Sabtu, 19 Juli 2025

KERAMAHAN, BUKAN KEMARAHAN

Lukas 10:38-42

Coba sebutkan, siapa dosen/guru terkiller anda? Saya pernah ditanya begini dan saya pun langsung mengingat sebuah nama dosen semasa kuliah, yang terkenal lintas angkatan sebagai dosen yang sangat galak. Menariknya, suatu ketika sang dosen menjelaskan dengan berkelakar, 

“kan seperti Firman Tuhan, tiap orang ada talentanya. Talenta saya marah-marah. Semua sudah ada perannya masing-masing. Bayangkan kalau dalam dunia ini tidak ada yang punya talenta marah.”

Guyonan tentang kemarahan sebagai sebuah talenta barangkali terdengar janggal, namun penting juga untuk kita diskusikan. Umumnya, amarah mengandung konotasi negatif atau buruk. Amarah dinilai bersifat destruktif. Kemarahan dianggap tidak baik. Lebih baik melakukan keramahan, seperti tema kita. Tapi, seperti kelakar dosen saya tadi yang dapat membawa kita pada pertanyaan eksistensial, tidakkah amarah salah satu anugerah dari Tuhan, bahkan menjadi salah satu atribut keilahian? Tidakkah kita juga mengenal Allah melalui Kristus yang marah terhadap mekanisme hewan kurban di Bait Allah (Lukas 19:45-46)? Tidakkah Yesus marah pada Petrus yang menentang kehendak Allah atas peristiwa salib Kristus bahkan menyebutnya “iblis” (Markus 8:33)? Tidakkah Yesus marah pada kemunafikan kelompok Farisi dan ahli Taurat hingga memerintahkan untuk melakukan apa yang mereka katakan, tapi jangan turuti yang mereka lakukan (Matius 23:3)?

Ternyata Alkitab mencatatkan amarah memang sebagai bagian dari ragam emosi manusia, tapi juga atribut yang melekat pada pribadi Allah. Efesus 4:26 pun mencatatkan setidaknya bisa dibedakan antara sinful anger dan holy anger, “apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa”. Holy anger bercirikan perlawanan terhadap ketidakadilan, kemunafikan, kejahatan, dan keegoisan diri sendiri. Sinful anger, sebaliknya. Jika demikian, maka ada bentuk-bentuk amarah yang malah menunjukkan keramahan dan kepedulian pada penindasan yang dialami sesama, bahkan mengandung citra keilahian dalam diri manusia.

Pertanyaannya, apa yang membuat kemarahan Marta dalam teks leksionari kita mendapat teguran dari Yesus? Apa yang membuat Yesus memutuskan bahwa kemarahan Marta terhadap Maria itu tak termasuk sebagai holy anger seperti ketika Yesus sendiri marah? Apa yang menjadikan kemarahan Marta tidak mengandung kepedulian dan keramahan terhadap sesama seperti kemarahan Yesus?

Mari hayati perkataan Yesus, “Marta, Marta, engkau khawatir dan menyusahkan diri dengan banyak hal, tetapi satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian terbaik yang tidak akan diambil dari dia (Lukas 10:41-42).” Sambil membaca kalimat ini, telusurilah gambar-gambar yang ada di internet dengan kata kunci “Maria dan Marta” atau “Mary and Martha”. Anda akan segera menemukan pola dari positioning atau peletakkan tokoh Maria dan Marta yang senada dalam gambar-gambar tsb. Marta diletakkan di belakang dengan raut wajah sangsi menampilkan karakter antagonis, sedangkan Maria berada di depan dengan raut wajah lembut menampilkan karakter protagonis. Marta diselubungi bayangan lebih gelap, sedangkan Maria menerima cahaya dan fokus yang lebih terang. Postur tubuh Marta provokatif dan intimidatif, bahkan terhadap Yesus. Berbeda sekali dengan postur submisif Maria. Keberpihakan Yesus merujuk pada tokoh Maria. Melalui semua media itu, maka kita akan digiring untuk mengamini bahwa Yesus menolak Marta dan karyanya.

Namun, apa sebenarnya yang ditolak? Martanya atau sikap batinnya? Banyak penafsir sudah mengembosi ke-antagonis-an Marta dengan mengatakan bahwa pelayanan Maria dan Marta sama pentingnya. Misalnya Dorothee Soelle, “Kita tak perlu membagi dunia menjadi Maria-Maria yang lembut, menyimak dan menyerahkan diri, di satu sisi dan Marta-Marta yang pragmatis dan sibuk, di sisi lain. Kita membutuhkan keduanya. Maria dan Marta. Sebab dalam kenyataannya kita sendirilah kedua saudari itu .” Maria mewakili bahasa kasih Words of Affirmation & Quality Time, bidang pelayanannya Sie Persekutuan (Lukas 10:39) dan tipe spiritualitasnya adalah Kontemplasi (Yohanes 12:3). Marta mewakili bahasa kasih Act of Service, bidang pelayanannya Sie Pemerhati (Lukas 10:40) dan tipe spiritualitasnya Aksi (Yohanes 12:2). Penafsiran semacam ini menunjukkan bahwa bukan Marta dan karyanya yang ditolak. Tapi sikap batin dalam bentuk kemarahannya yang tak dibenarkan oleh Yesus.

Marta mengatakan “Tuhan, tidakkah Engkau peduli bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku.” Frasa “membiarkan aku melayani seorang diri” menunjukkan betapa Marta ternyata tidak menikmati pelayanannya dan kehabisan daya karena terdistraksi. Pelayanan yang mestinya dilakukan dengan kasih yang tulus dan sukacita, malah diiringi dengan gerutu, perbandingan-perbandingan dan pikiran-pikiran yang tak perlu. Dalam bahasa Yunani, kata yang dicatatkan sebagai teguran Yesus “engkau khawatir” ialah merimnao, mengandung arti seseorang yang saking khawatirnya secara sengaja mencari-cari kesalahan dalam pelayanan Maria. Merimnao merujuk pada seseorang yang khawatir karena kepentingannya sendiri.  

Untuk itu, Yesus melihat kemarahan Marta yang kelihatannya sebagai perlawanan terhadap ketidakadilan itu sebenarnya distraksi/pengalihan isu dari perasaannya yang sesungguhnya yakni “saya tidak dipedulikan, pelayanan saya tidak diperhatikan, saya sudah susah-susah tapi tidak ada yang mengucapkan terima kasih, dsb”.

Kita semua tanpa terkecuali, punya potensi berlindung dibalik topeng perlawanan (terhadap ketidakadilan), padahal sesungguhnya wajah kita bertabur permusuhan (terhadap mereka yang berbeda kepentingan). Kelihatannya hospitalitas, ternyata hostilitas. Kita diajak memeriksa diri. Bukan segala amarah yang mendukakan-Nya, hanyalah amarah yang berkutat pada kenyamanan diri sendiri. Bukannya kita tak boleh marah, tapi jangan asal marah-marah bahkan menuduh Allah seolah Ia tak lagi sayang pada kita. Biarlah sungguh-sungguh kita peduli dan ramah, dan jika marah, biarlah sungguh-sungguh kita marah dalam alasan, cara dan bentuk yang tepat.   

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar