Lukas 10:38-42
Coba sebutkan, siapa dosen/guru terkiller anda? Saya pernah ditanya begini dan saya pun langsung mengingat sebuah nama dosen semasa kuliah, yang terkenal lintas angkatan sebagai dosen yang sangat galak. Menariknya, suatu ketika sang dosen menjelaskan dengan berkelakar,
“kan seperti Firman Tuhan, tiap orang ada talentanya. Talenta saya marah-marah. Semua sudah ada perannya masing-masing. Bayangkan kalau dalam dunia ini tidak ada yang punya talenta marah.”
Guyonan tentang kemarahan sebagai sebuah talenta barangkali terdengar janggal,
namun penting juga untuk kita diskusikan. Umumnya, amarah mengandung konotasi
negatif atau buruk. Amarah dinilai bersifat destruktif. Kemarahan dianggap tidak
baik. Lebih baik melakukan keramahan, seperti tema kita. Tapi, seperti kelakar
dosen saya tadi yang dapat membawa kita pada pertanyaan eksistensial, tidakkah
amarah salah satu anugerah dari Tuhan, bahkan menjadi salah satu atribut keilahian?
Tidakkah kita juga mengenal Allah melalui Kristus yang marah terhadap mekanisme
hewan kurban di Bait Allah (Lukas 19:45-46)? Tidakkah Yesus marah pada Petrus yang menentang kehendak
Allah atas peristiwa salib Kristus bahkan menyebutnya “iblis” (Markus 8:33)? Tidakkah Yesus
marah pada kemunafikan kelompok Farisi dan ahli Taurat hingga memerintahkan
untuk melakukan apa yang mereka katakan, tapi jangan turuti yang mereka lakukan
(Matius 23:3)?
Ternyata Alkitab mencatatkan amarah memang sebagai bagian
dari ragam emosi manusia, tapi juga atribut yang melekat pada pribadi Allah. Efesus
4:26 pun mencatatkan setidaknya bisa dibedakan antara sinful anger dan holy
anger, “apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa”. Holy
anger bercirikan perlawanan terhadap ketidakadilan, kemunafikan, kejahatan,
dan keegoisan diri sendiri. Sinful anger, sebaliknya. Jika demikian, maka
ada bentuk-bentuk amarah yang malah menunjukkan keramahan dan kepedulian pada
penindasan yang dialami sesama, bahkan mengandung citra keilahian dalam diri
manusia.
Pertanyaannya, apa yang membuat kemarahan Marta dalam teks leksionari
kita mendapat teguran dari Yesus? Apa yang membuat Yesus memutuskan bahwa
kemarahan Marta terhadap Maria itu tak termasuk sebagai holy anger seperti
ketika Yesus sendiri marah? Apa yang menjadikan kemarahan Marta tidak mengandung
kepedulian dan keramahan terhadap sesama seperti kemarahan Yesus?
Mari hayati perkataan Yesus, “Marta, Marta, engkau khawatir dan
menyusahkan diri dengan banyak hal, tetapi satu saja yang perlu: Maria telah
memilih bagian terbaik yang tidak akan diambil dari dia (Lukas 10:41-42).” Sambil
membaca kalimat ini, telusurilah gambar-gambar yang ada di internet dengan kata
kunci “Maria dan Marta” atau “Mary and Martha”. Anda akan segera menemukan pola
dari positioning atau peletakkan tokoh Maria dan Marta yang senada dalam
gambar-gambar tsb. Marta diletakkan di belakang dengan raut wajah sangsi
menampilkan karakter antagonis, sedangkan Maria berada di depan dengan raut
wajah lembut menampilkan karakter protagonis. Marta diselubungi bayangan lebih
gelap, sedangkan Maria menerima cahaya dan fokus yang lebih terang. Postur
tubuh Marta provokatif dan intimidatif, bahkan terhadap Yesus. Berbeda sekali
dengan postur submisif Maria. Keberpihakan Yesus merujuk pada tokoh Maria. Melalui
semua media itu, maka kita akan digiring untuk mengamini bahwa Yesus menolak
Marta dan karyanya.
Namun, apa
sebenarnya yang ditolak? Martanya atau sikap batinnya? Banyak penafsir sudah
mengembosi ke-antagonis-an Marta dengan mengatakan bahwa pelayanan Maria dan
Marta sama pentingnya. Misalnya Dorothee Soelle, “Kita tak perlu membagi dunia
menjadi Maria-Maria yang lembut, menyimak dan menyerahkan diri, di satu sisi
dan Marta-Marta yang pragmatis dan sibuk, di sisi lain. Kita membutuhkan
keduanya. Maria dan Marta. Sebab dalam kenyataannya kita sendirilah kedua saudari
itu .” Maria mewakili bahasa kasih Words of Affirmation & Quality Time, bidang
pelayanannya Sie Persekutuan (Lukas 10:39) dan tipe spiritualitasnya adalah Kontemplasi
(Yohanes 12:3). Marta mewakili bahasa kasih Act of Service, bidang
pelayanannya Sie Pemerhati (Lukas 10:40) dan tipe spiritualitasnya Aksi
(Yohanes 12:2). Penafsiran semacam ini menunjukkan bahwa bukan Marta dan
karyanya yang ditolak. Tapi sikap batin dalam bentuk kemarahannya yang tak dibenarkan
oleh Yesus.
Marta mengatakan
“Tuhan, tidakkah Engkau peduli bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang
diri? Suruhlah dia membantu aku.” Frasa “membiarkan aku melayani seorang diri”
menunjukkan betapa Marta ternyata tidak menikmati pelayanannya dan kehabisan
daya karena terdistraksi. Pelayanan yang mestinya dilakukan dengan kasih
yang tulus dan sukacita, malah diiringi dengan gerutu,
perbandingan-perbandingan dan pikiran-pikiran yang tak perlu. Dalam bahasa
Yunani, kata yang dicatatkan sebagai teguran Yesus “engkau khawatir” ialah merimnao,
mengandung arti seseorang yang saking khawatirnya secara sengaja
mencari-cari kesalahan dalam pelayanan Maria. Merimnao merujuk pada seseorang
yang khawatir karena kepentingannya sendiri.
Untuk itu, Yesus
melihat kemarahan Marta yang kelihatannya sebagai perlawanan terhadap
ketidakadilan itu sebenarnya distraksi/pengalihan isu dari perasaannya yang
sesungguhnya yakni “saya tidak dipedulikan, pelayanan saya tidak diperhatikan,
saya sudah susah-susah tapi tidak ada yang mengucapkan terima kasih, dsb”.
Kita semua
tanpa terkecuali, punya potensi berlindung dibalik topeng perlawanan (terhadap
ketidakadilan), padahal sesungguhnya wajah kita bertabur permusuhan (terhadap mereka
yang berbeda kepentingan). Kelihatannya hospitalitas, ternyata hostilitas. Kita diajak memeriksa diri. Bukan segala amarah yang mendukakan-Nya, hanyalah
amarah yang berkutat pada kenyamanan diri sendiri. Bukannya kita tak boleh
marah, tapi jangan asal marah-marah bahkan menuduh Allah seolah Ia tak lagi
sayang pada kita. Biarlah sungguh-sungguh kita peduli dan ramah, dan jika marah, biarlah sungguh-sungguh kita marah dalam alasan, cara dan bentuk yang tepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar