Kamis, 31 Juli 2025

Menjaring Angin

MENJARING ANGIN
Minggu Biasa
Pengkhotbah 1:12-14, 2:18-23; Mazmur 49:1-12; Kolose 3:1-11; Lukas 12:13-21

Tanyakanlah!
  • Tanyakanlah pada mereka yang punya pekerjaan lebih dari satu bidang, “Apakah penghasilanmu sehari sudah cukup untuk hidupmu?”
  • Tanyakanlah pada orang yang sedang mengejar karier, “Apakah seminggu bekerja lima hari sudah cukup untuk menjamin prestasi dalam kariermu?”
  • Tanyakanlah pada mereka yang sedang persiapan menikah, “Apakah penghasilan kerjamu berbulan-bulan sudah cukup untuk menyelenggarakan pesta pernikahan seperti yang kamu inginkan?”
  • Tanyakanlah pada keluarga yang sedang mendaftarkan anaknya untuk sekolah, “Apakah bertahun-tahun bekerja sudah cukup untuk membayar sekolah?”
Entah mengapa, saya yakin jawaban dari semua pertanyaan itu adalah: Tidak. Harian, mingguan, bulanan, bahkan tahunan. Rasanya tidak pernah akan cukup untuk memenuhi apa yang kita sedang rencanakan. Bahkan, dalam semua usaha, bisa saja kita merasa sedang menjaring angin alias tidak merasa hasil apa-apa.



#1 Marilah Berefleksi!
Pengkhotbah menunjukkan betapa sia-sianya berusaha, bahkan seperti menjaring angin. Lelah berusaha, namun tidak mendapatkan hasil apa-apa. Pengkhotbah menggunakan gaya penulisan untuk menegur manusia dan pola pikirnya. Sebab, manusia berusaha untuk menghasilkan segala sesuatu dan terus-menerus berharap agar hasilnya selalu sesuai dengan keinginannya. Bahkan dalam kenyataan hidup, sering kali harapan itu berakhir pada kekecewaan. Maka, Pengkhotbah menekankan pentingnya kembali kepada Tuhan, yang sebenarnya adalah “bagian yang hilang” dari intensitas usaha manusia. Tujuan Pengkhotbah adalah agar segala sesuatu yang sudah diusahakan itu memampukan kita untuk menemukan maksud Tuhan di dalamnya.

Mazmur 49 menekankan pentingnya memahami bahwa bukan hanya manusia yang berusaha, tetapi sesungguhnya Allah tidak pernah berhenti berusaha dalam kehidupan ini. Mazmur juga mengutarakan hal yang kontras, yaitu manusia yang percaya kepada Allah namun lebih suka berfokus pada kemampuannya sendiri. Padahal, Allah tidak diam. Dia turut bekerja saat kita merasa lelah dalam pergumulan-pergumulan kita.

Kemampuan berefleksi adalah kemampuan menemukan maksud Tuhan di tengah berbagai aktivitas kita. Lelah itu pasti, tapi mulai sekarang, menemukan Tuhan di antara kelelahan kita adalah sebuah kehausan. Sebab, jika kita mampu menemukan maksud-Nya, sekali pun hari-hari ini kita lelah, namun kita tetap merasakan kebahagiaan karena semakin yakin bahwa Tuhan beserta. Seperti tujuan Pengkhotbah, yaitu agar kita sebagai pembaca tidak jatuh dalam kekecewaan akibat harapan yang tinggi. Seperti tujuan Mazmur, yaitu agar kita sebagai pembaca juga tidak larut hanya pada rasa percaya tapi benar-benar mengutamakan Dia dalam semua usaha kita. Makin giat kita berusaha, makin giat juga kita berefleksi, agar sekecil apa pun usaha kita, kita mampu melihat Tuhan yang mendatangkan hasil terbaik untuk kita, keluarga, pelayanan rutin gereja, serta orang-orang di sekitar kita.

#2 Mulailah Merasa Cukup!
Rasul Paulus menasehati jemaat di Kolose agar mereka segera meninggalkan kehidupan dalam kebiasaan mereka yang lama. Paulus menekankan pentingnya merespons keselamatan yang sudah dikerjakan Yesus itu dengan menjadi “manusia baru”, yaitu manusia yang bersedia untuk hidup dalam Tuhan dan tidak lagi berfokus pada kegalauan akan persoalan-persoalan pemenuhan kebutuhan, pemenuhan gengsi, juga memuaskan diri sendiri.

Yesus mengajarkan bahwa iman memampukan kita mengelola harta milik dengan cara yang berbeda. Bahkan, bisa jadi tidak seperti cara kebanyakan orang. Kepemilikan harta seharusnya tidak boleh memengaruhi semangat pertumbuhan iman setiap orang. Namun pada kenyataannya, sejak zaman Yesus, Dia sendiri sudah berjumpa dengan karakter orang yang lebih mengutamakan hartanya daripada imannya. Bahkan, orang kaya itu menjumpai Yesus agar Yesus memberi perhatian pada harta milik orang itu, bukan pada imannya. Kalimat akhir dari Yesus, “Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendirim tetapi tidak kaya di hadapan Allah.” (ayat 21) menjadi pesan yang sangat kuat karena Yesus memperbarui pemahaman kita.

Dari bagian-bagian ini, kita diajak untuk meninggalkan kebiasaan lama kita, yaitu sering merasa kurang dan jarang merasa cukup atas semua pemberian-Nya dalam kehidupan kita. Kita terjebak pada tuntutan, tapi lupa bahwa ada tuntunan. Kita terjebak pada kekuatiran, bahkan melupakan ketenangan. Kita lupa untuk mengucap syukur atas semua yang “cukup”, yang sudah Dia hadirkan dalam hidup kita.

Marilah Lanjutkan Usaha Kita!
Berusaha boleh, tapi jangan sampai patah semangat karena merasa sedang menjaring angin. Berusaha boleh, tapi jangan sampai kehilangan maksud Tuhan dalam kehidupan kita. Berusaha boleh, asalkan kita tidak lupa untuk mengucap syukur atas semua kecukupan yang Dia berikan.

(RA)

Sabtu, 26 Juli 2025

DIA HANYA SEJAUH DOA

 Kejadian 18 : 20 – 32; Mazmur 138; Kolose 2 : 6 – 15; Lukas 11 : 1 – 13

Menurut sebuah riset yang dilakukan oleh Health Collaborative Center (HCC) mengungkapkan bahwa sekitar 30an% anak SMA di Jakarta terindikasi memiliki masalah Kesehatan jiwa.[1] Ketika kondisi ini muncul, setiap remaja sesungguhnya membutuhkan tempat untuk bercerita. Namun faktanya, hal ini sulit untuk didapatkan baik itu dalam lingkup keluarga maupun teman sekitarnya.

Fenomena ini diamini oleh mantan Menteri Kesehatan RI, Prof. Nila Moeloek yang menyoroti bahwa dulu ada kebiasaan setiap makan bersama keluarga, selalu ada momen untuk menceritakan kejadian atau aktivitas dalam satu hari kepada orang tua. Namun sekarang, itu semua hilang karena semua sibuk dengan gadget masing-masing. Hal ini mengakibatkan anak-anak merasa kesepian karena interaksi dengan orang tua atau saudara semakin terbatas.

Bukan hanya dialami oleh anak remaja. Semakin hari, setiap orang dewasa makin susah untuk punya teman cerita karena semua sibuk dengan kesibukannya masing-masing. Kalaupun ada, belum tentu mudah untuk diungkapkan karena banyak hal yang dipikirkan. Mulai dari memikirkan teman bercerita pun punya persoalannya sendiri atau ada ketakutan akan bocor ke mana-mana atau takut diberi saran yang salah atau distigma dan lain sebagainya.

Dalam kondisi ini, baik anak remaja maupun orang dewasa semakin hari merasa kesepian karena kondisi membuat semakin sulit untuk berbagi apa yang sedang dialami atau digumulkan. Di tengah pergumulan kesepian, kesendirian dan tak ada teman untuk berbagi cerita, ternyata masih ada yang bisa kita ajak ngobrol dan tak perlu khawatir karena selalu ada waktu untuk kita, tidak bocor ke mana-mana, dan Ia dapat memberi solusi dan ketenangan yang kita butuhkan. Ia pun pribadi yang tidak pernah jauh dari kita. Ia ada Tuhan. Sebab Dia hanya sejauh doa.

Doa merupakan bagian dari kehidupan manusia. Martin Luther pun pernah menuliskan, “to be a Christian without prayer is no more possible to be alive without breathing.” Itu sebabnya doa menjadi nafas dan sarana yang digunakan manusia secara gratis dan unlimited untuk berbicara dengan Tuhan.

Hal ini terlihat dalam bacaan pertama dalam Kejadian 18 : 20 – 32 yang berisikan doa Abraham kepada Tuhan yang memuat negosiasi dari Abraham kepada Tuhan, agar Tuhan tidak murka kepada Sodom dan Gomora karena Abraham berpikir ada orang benar juga di sana yang hidup bersama-sama dengan orang fasik. Proses negosiasi dari 50 orang benar sampai 20 orang benar tetap didengar Tuha. Dari apa yang dilakukan Abraham dan Tuhan dalam bacaan pertama ini memberi gambaran bahwa Tuhan begitu dekat dan terbuka untuk diajak bicara (a.k.a berdoa). Jadi berdoalah kepada Tuhan.

Berdoa pun bukan hanya ditunjukkan oleh Abraham, tetapi juga oleh Yesus dalam bacaan Injil hari ini. Lukas 11 : 1 diawali dengan memperlihatkan bahwa Yesus sedang berdoa. Apa yang Ia lakukan merupakan bentuk pengajaran kepada para muridNya supaya mereka pun bertekun dalam doa. Berdoa pun bukan hanya dalam kondisi hidup sedang baik, dalam kondisi hidup yang penuh tantangan pun tetap perlu untuk berdoa. Hal inilah yang diingatkan oleh Paulus kepada jemaat di Kolose yang menjadi bacaan kedua kita.

Paulus mengingatkan mereka yang kala itu pun sedang dalam kondisi penuh tantangan karena muncul banyak ajaran palsu dan tekanan untuk mereka. Paulus ingatkan dalam ay. 6 - 7 bahwa mereka telah menerima Kristus Yesus sebagai Tuhan mereka, maka hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia, berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, bertambah teguh dalam iman dan hendaklah hatimu melimpah dengan Syukur.

Dari surat Paulus ini, ia mau tekankan bahwa dekat dengan Tuhan bukan berarti hidup akan selalu baik-baik saja. Justru akan ada tantangan, ada masalah, ada persoalan yang akan dihadapi. Tapi biarlah melalui semua dinamika hidup itu bukan membuat jemaat di Kolose makin jauh dari Tuhan tapi justru makin dekat dengan Tuhan. Karena Tuhanlah yang akan memberi kekuatan dan kemenangan (ay. 15).

Pada akhirnya, melalui berdoa kita bukan melihat kita yang hebat tetapi Tuhan yang Mahahebat. Karena segala persoalan apapun dapat kita ceritakan padaNya dan Ia punya beragam cara untuk menolong kita dan akhirnya membuat kita melihat dalam syukur seperti yang diungkapkan oleh Daud dalam Mazmur 138. Sebab Daud bersyukur karena karena Tuhan itu setia dan kasihNya kekal. (Ay. 3) Engkau menjawab apabila aku berseru kepadaMu; Engkau menguatkan aku sehingga aku berani.

 

Pesan firman Tuhan hari ini mengingatkan kita bahwa

1)    Jika dalam dunia kita tidak menemukan seorangpun untuk mengadu dan bercerita dengan bebas dan tanpa bebas. Ingat kita masih punya Tuhan.

2)    Datanglah pada Tuhan dalam doamu. Karena Ia selalu bersedia untuk mendengarkan apapun yang ingin kita sampaikan dalam kondisi baik maupun tak baik. 

3)    Berdoa pada Tuhan tidak berarti hidupmu tidak akan ada masalah. Tapi berdoalah pada Tuhan karena apapun masalahmu, Ia selalu setia memberi kekuatan, kasih dan keberanian.

 

Tuhan memberkati kita semua. Amin

-mC-



[1] Studi Ungkap Kesepian Hantui Remaja Indonesia http://dtk.id/NXVwZd

Sabtu, 19 Juli 2025

KERAMAHAN, BUKAN KEMARAHAN

Lukas 10:38-42

Coba sebutkan, siapa dosen/guru terkiller anda? Saya pernah ditanya begini dan saya pun langsung mengingat sebuah nama dosen semasa kuliah, yang terkenal lintas angkatan sebagai dosen yang sangat galak. Menariknya, suatu ketika sang dosen menjelaskan dengan berkelakar, 

“kan seperti Firman Tuhan, tiap orang ada talentanya. Talenta saya marah-marah. Semua sudah ada perannya masing-masing. Bayangkan kalau dalam dunia ini tidak ada yang punya talenta marah.”

Guyonan tentang kemarahan sebagai sebuah talenta barangkali terdengar janggal, namun penting juga untuk kita diskusikan. Umumnya, amarah mengandung konotasi negatif atau buruk. Amarah dinilai bersifat destruktif. Kemarahan dianggap tidak baik. Lebih baik melakukan keramahan, seperti tema kita. Tapi, seperti kelakar dosen saya tadi yang dapat membawa kita pada pertanyaan eksistensial, tidakkah amarah salah satu anugerah dari Tuhan, bahkan menjadi salah satu atribut keilahian? Tidakkah kita juga mengenal Allah melalui Kristus yang marah terhadap mekanisme hewan kurban di Bait Allah (Lukas 19:45-46)? Tidakkah Yesus marah pada Petrus yang menentang kehendak Allah atas peristiwa salib Kristus bahkan menyebutnya “iblis” (Markus 8:33)? Tidakkah Yesus marah pada kemunafikan kelompok Farisi dan ahli Taurat hingga memerintahkan untuk melakukan apa yang mereka katakan, tapi jangan turuti yang mereka lakukan (Matius 23:3)?

Ternyata Alkitab mencatatkan amarah memang sebagai bagian dari ragam emosi manusia, tapi juga atribut yang melekat pada pribadi Allah. Efesus 4:26 pun mencatatkan setidaknya bisa dibedakan antara sinful anger dan holy anger, “apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa”. Holy anger bercirikan perlawanan terhadap ketidakadilan, kemunafikan, kejahatan, dan keegoisan diri sendiri. Sinful anger, sebaliknya. Jika demikian, maka ada bentuk-bentuk amarah yang malah menunjukkan keramahan dan kepedulian pada penindasan yang dialami sesama, bahkan mengandung citra keilahian dalam diri manusia.

Pertanyaannya, apa yang membuat kemarahan Marta dalam teks leksionari kita mendapat teguran dari Yesus? Apa yang membuat Yesus memutuskan bahwa kemarahan Marta terhadap Maria itu tak termasuk sebagai holy anger seperti ketika Yesus sendiri marah? Apa yang menjadikan kemarahan Marta tidak mengandung kepedulian dan keramahan terhadap sesama seperti kemarahan Yesus?

Mari hayati perkataan Yesus, “Marta, Marta, engkau khawatir dan menyusahkan diri dengan banyak hal, tetapi satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian terbaik yang tidak akan diambil dari dia (Lukas 10:41-42).” Sambil membaca kalimat ini, telusurilah gambar-gambar yang ada di internet dengan kata kunci “Maria dan Marta” atau “Mary and Martha”. Anda akan segera menemukan pola dari positioning atau peletakkan tokoh Maria dan Marta yang senada dalam gambar-gambar tsb. Marta diletakkan di belakang dengan raut wajah sangsi menampilkan karakter antagonis, sedangkan Maria berada di depan dengan raut wajah lembut menampilkan karakter protagonis. Marta diselubungi bayangan lebih gelap, sedangkan Maria menerima cahaya dan fokus yang lebih terang. Postur tubuh Marta provokatif dan intimidatif, bahkan terhadap Yesus. Berbeda sekali dengan postur submisif Maria. Keberpihakan Yesus merujuk pada tokoh Maria. Melalui semua media itu, maka kita akan digiring untuk mengamini bahwa Yesus menolak Marta dan karyanya.

Namun, apa sebenarnya yang ditolak? Martanya atau sikap batinnya? Banyak penafsir sudah mengembosi ke-antagonis-an Marta dengan mengatakan bahwa pelayanan Maria dan Marta sama pentingnya. Misalnya Dorothee Soelle, “Kita tak perlu membagi dunia menjadi Maria-Maria yang lembut, menyimak dan menyerahkan diri, di satu sisi dan Marta-Marta yang pragmatis dan sibuk, di sisi lain. Kita membutuhkan keduanya. Maria dan Marta. Sebab dalam kenyataannya kita sendirilah kedua saudari itu .” Maria mewakili bahasa kasih Words of Affirmation & Quality Time, bidang pelayanannya Sie Persekutuan (Lukas 10:39) dan tipe spiritualitasnya adalah Kontemplasi (Yohanes 12:3). Marta mewakili bahasa kasih Act of Service, bidang pelayanannya Sie Pemerhati (Lukas 10:40) dan tipe spiritualitasnya Aksi (Yohanes 12:2). Penafsiran semacam ini menunjukkan bahwa bukan Marta dan karyanya yang ditolak. Tapi sikap batin dalam bentuk kemarahannya yang tak dibenarkan oleh Yesus.

Marta mengatakan “Tuhan, tidakkah Engkau peduli bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku.” Frasa “membiarkan aku melayani seorang diri” menunjukkan betapa Marta ternyata tidak menikmati pelayanannya dan kehabisan daya karena terdistraksi. Pelayanan yang mestinya dilakukan dengan kasih yang tulus dan sukacita, malah diiringi dengan gerutu, perbandingan-perbandingan dan pikiran-pikiran yang tak perlu. Dalam bahasa Yunani, kata yang dicatatkan sebagai teguran Yesus “engkau khawatir” ialah merimnao, mengandung arti seseorang yang saking khawatirnya secara sengaja mencari-cari kesalahan dalam pelayanan Maria. Merimnao merujuk pada seseorang yang khawatir karena kepentingannya sendiri.  

Untuk itu, Yesus melihat kemarahan Marta yang kelihatannya sebagai perlawanan terhadap ketidakadilan itu sebenarnya distraksi/pengalihan isu dari perasaannya yang sesungguhnya yakni “saya tidak dipedulikan, pelayanan saya tidak diperhatikan, saya sudah susah-susah tapi tidak ada yang mengucapkan terima kasih, dsb”.

Kita semua tanpa terkecuali, punya potensi berlindung dibalik topeng perlawanan (terhadap ketidakadilan), padahal sesungguhnya wajah kita bertabur permusuhan (terhadap mereka yang berbeda kepentingan). Kelihatannya hospitalitas, ternyata hostilitas. Kita diajak memeriksa diri. Bukan segala amarah yang mendukakan-Nya, hanyalah amarah yang berkutat pada kenyamanan diri sendiri. Bukannya kita tak boleh marah, tapi jangan asal marah-marah bahkan menuduh Allah seolah Ia tak lagi sayang pada kita. Biarlah sungguh-sungguh kita peduli dan ramah, dan jika marah, biarlah sungguh-sungguh kita marah dalam alasan, cara dan bentuk yang tepat.   

 

 

Kamis, 03 Juli 2025

DITUNJUK, DIUTUS, DAN DIPERLENGKAPI

Lukas 10:1-11, 16-20

Hari ini kita merenungkan bagaimana Yesus menunjuk, mengutus, dan memperlengkapi murid-murid-Nya, bukan hanya yang dua belas, tetapi juga tujuh puluh murid lainnya. Ini bukan hanya sejarah, tapi juga panggilan hidup kita hari ini sebagai pengikut Kristus.

Pertama, Sebenarnya muncul pertanyaan, mengapa Yesus mengutus 70 murid yang lain. Namun, pemilihan tujuh puluh murid mengingatkan kita pada Kejadian 10, yang mencatat daftar 70 bangsa keturunan Nuh. Ini bukan angka kebetulan. Tuhan memakai simbol ini untuk menyatakan bahwa pengutusan-Nya adalah untuk seluruh dunia, bukan hanya untuk bangsa Yahudi.

Hal menarik juga akan kita temukan bila kita menengok pasal sebelumnya, dalam Lukas 9. Yesus hanya mengutus kedua belas rasul. Namun di pasal 10, jumlah dan lingkupnya diperluas. Hal ini tentu akan mengubah persepsi kita, karena seringkali kita berpikir bahwa yang diutus hanya orang-orang tertentu saja. Entah yang diutus hanya mereka yang cakap berbicara, punya latar belakang teologi, hafal ayat-ayat Alkitab, dll. Namun, pengutusan 70 murid ini menangkis persepsi tentang eksklusivitas kerasulan. Artinya: pada waktu pengutusan bukan hanya untuk para rasul, namun terbuka bagi siapa saja. Sehingga, di masa kini kitab isa melihat bahwa tugas pengutusan itu bukan hanya milik pendeta, misonaris, penginjil, tetapi juga untuk semua umat, yakni untuk semua orang yang percaya kepada-Nya.

Kadang, kita berpikir; aku ini siapa dan bisa apa? Kalau demikian, tidurlah dalam satu ruangan tertutup dengan ditemani satu ekor nyamuk saja. Terganggu, bukan? Kalau nyamuk saja bisa memberi dampak, apalagi hidupmu. Beritakanlah!

Kedua, mengapa Yesus katakana bahwa Dia mengutus mereka sebagaimana mengutus kawanan domba di Tengah-tengah serigala? Apakah ini semacam tindakan yang menakut-nakuti agar mereka bisa serius?

Sebagai orang yang hidup di Indonesia, tentu kita akan berpikir ke sana. Bahwa, pengutusan itu mengerikan, bahkan tak jarang bisa merenggut nyawa. Namun, kita harus sadar bahwa konteks penulisan Lukas ada dalam struktur Masyarakat tertentu. Apa artinya?

Pengutusan ini terjadi dalam konteks penjajahan Romawi. Menariknya, dalam mitologi Romawi, kota Roma didirikan oleh Remus dan Romulus yang konon disusui oleh seekor serigala betina (Lupa Capitolina). Serigala menjadi simbol kekuatan, kekuasaan, bahkan kekejaman Romawi. (bandingkan dengan logo tim sepakbola AS Roma)

Dalam hal ini, Yesus ingin agar para murid berangkat dengan kesadaran bahwa mereka menyebarkan Injil di Tengah kondisi yang tidak mudah. Ada kekuatan politis yang tidak bisa mereka remehkan. Namun, hal ini bukan bermaksud menakut-nakuti, namun agar mereka memiliki taktik dan strategi tertentu dalam menjalankan misi Allah. Yesus tidak mau mereka berangkat dengan gegabah. Ada ancaman, tekanan, dan represi yang jelas di depan mata. Namun justru ke sanalah Injil dibawa. Di tengah dominasi kekuasaan, Injil datang membawa pembebasan, kelegaan, dan pengharapan. Saat Yesus mengutus mereka dengan menyinggung hal Romawi, berarti jelas inti pesan yang disampaikan, yakni pembebasan dan pemulihan bangsa.

Ketiga, ketika para murid kembali, mereka bersukacita karena berhasil. Bahkan roh-roh pun takluk kepada mereka (ayat 17). Tapi Yesus mengoreksi fokus mereka. Keberhasilan pelayanan memang menggembirakan, tetapi itu bukan intinya. Mereka ternyata berfokus pada hasilnya, namun lupa apda sesuatu yang lebih penting. Sebenarnya, hal itu manusiawi, karena menyelebrasikan sebuah pencapaian tidak ada salahnya. Namun di sini lah justru Yesus mengajak mereka kembali pada core misi itu sendiri. Mengapa ini penting? Karena jika hanya fokus pada hasil: Ketika ditolak, kita bisa kecewa, marah, dan pahit lalu berhenti mengabarkan kebaikan Allah. Namun, ketika berhasil, kita bisa jatuh dalam kesombongan dan kepuasan, lantas berhenti. Yesus menghendaki, agar mereka menyadari bahwa bukan itu yang layak disyukuri. Lukas 10:20 dituliskan, Namun demikian janganlah bersukacita karena roh-roh itu takluk kepadamu, tetapi bersukacitalah karena namamu ada terdaftar di sorga." Terdaftar di sorga, itulah intinya. Hal ini bukan berarti langsung merujuk pada keselamatan, namun respon kita atas keselamatan yang sudah Tuhan berikan. Artinya, mari Jalani tugas pengutusan ini bukan dengan berat hati atau beban, namun sukacita dan syukur atas anugerah kerselamatan yang sudah Tuhan beri. Dan satu lagi, bahwa mereka tidak perlu kagum akan keberhasilan, karena memang Tuhan sudah memperlengkapi kita yang sudah diutus oleh-Nya.

Di ayat 1 dijelaskan, Kemudian dari pada itu Tuhan menunjuk tujuh puluh murid yang lain, lalu mengutus mereka berdua-dua mendahului-Nya ke setiap kota dan tempat yang hendak dikunjungi-Nya. Hal ini semestinya menyadarkan kita, bahwa pekerjaan ini bukanlah milik kita, namun milik-Nya. untuk itu, mari kerjakan sebaik-baiknya!