Kamis, 31 Juli 2025

Menjaring Angin

MENJARING ANGIN
Minggu Biasa
Pengkhotbah 1:12-14, 2:18-23; Mazmur 49:1-12; Kolose 3:1-11; Lukas 12:13-21

Tanyakanlah!
  • Tanyakanlah pada mereka yang punya pekerjaan lebih dari satu bidang, “Apakah penghasilanmu sehari sudah cukup untuk hidupmu?”
  • Tanyakanlah pada orang yang sedang mengejar karier, “Apakah seminggu bekerja lima hari sudah cukup untuk menjamin prestasi dalam kariermu?”
  • Tanyakanlah pada mereka yang sedang persiapan menikah, “Apakah penghasilan kerjamu berbulan-bulan sudah cukup untuk menyelenggarakan pesta pernikahan seperti yang kamu inginkan?”
  • Tanyakanlah pada keluarga yang sedang mendaftarkan anaknya untuk sekolah, “Apakah bertahun-tahun bekerja sudah cukup untuk membayar sekolah?”
Entah mengapa, saya yakin jawaban dari semua pertanyaan itu adalah: Tidak. Harian, mingguan, bulanan, bahkan tahunan. Rasanya tidak pernah akan cukup untuk memenuhi apa yang kita sedang rencanakan. Bahkan, dalam semua usaha, bisa saja kita merasa sedang menjaring angin alias tidak merasa hasil apa-apa.



#1 Marilah Berefleksi!
Pengkhotbah menunjukkan betapa sia-sianya berusaha, bahkan seperti menjaring angin. Lelah berusaha, namun tidak mendapatkan hasil apa-apa. Pengkhotbah menggunakan gaya penulisan untuk menegur manusia dan pola pikirnya. Sebab, manusia berusaha untuk menghasilkan segala sesuatu dan terus-menerus berharap agar hasilnya selalu sesuai dengan keinginannya. Bahkan dalam kenyataan hidup, sering kali harapan itu berakhir pada kekecewaan. Maka, Pengkhotbah menekankan pentingnya kembali kepada Tuhan, yang sebenarnya adalah “bagian yang hilang” dari intensitas usaha manusia. Tujuan Pengkhotbah adalah agar segala sesuatu yang sudah diusahakan itu memampukan kita untuk menemukan maksud Tuhan di dalamnya.

Mazmur 49 menekankan pentingnya memahami bahwa bukan hanya manusia yang berusaha, tetapi sesungguhnya Allah tidak pernah berhenti berusaha dalam kehidupan ini. Mazmur juga mengutarakan hal yang kontras, yaitu manusia yang percaya kepada Allah namun lebih suka berfokus pada kemampuannya sendiri. Padahal, Allah tidak diam. Dia turut bekerja saat kita merasa lelah dalam pergumulan-pergumulan kita.

Kemampuan berefleksi adalah kemampuan menemukan maksud Tuhan di tengah berbagai aktivitas kita. Lelah itu pasti, tapi mulai sekarang, menemukan Tuhan di antara kelelahan kita adalah sebuah kehausan. Sebab, jika kita mampu menemukan maksud-Nya, sekali pun hari-hari ini kita lelah, namun kita tetap merasakan kebahagiaan karena semakin yakin bahwa Tuhan beserta. Seperti tujuan Pengkhotbah, yaitu agar kita sebagai pembaca tidak jatuh dalam kekecewaan akibat harapan yang tinggi. Seperti tujuan Mazmur, yaitu agar kita sebagai pembaca juga tidak larut hanya pada rasa percaya tapi benar-benar mengutamakan Dia dalam semua usaha kita. Makin giat kita berusaha, makin giat juga kita berefleksi, agar sekecil apa pun usaha kita, kita mampu melihat Tuhan yang mendatangkan hasil terbaik untuk kita, keluarga, pelayanan rutin gereja, serta orang-orang di sekitar kita.

#2 Mulailah Merasa Cukup!
Rasul Paulus menasehati jemaat di Kolose agar mereka segera meninggalkan kehidupan dalam kebiasaan mereka yang lama. Paulus menekankan pentingnya merespons keselamatan yang sudah dikerjakan Yesus itu dengan menjadi “manusia baru”, yaitu manusia yang bersedia untuk hidup dalam Tuhan dan tidak lagi berfokus pada kegalauan akan persoalan-persoalan pemenuhan kebutuhan, pemenuhan gengsi, juga memuaskan diri sendiri.

Yesus mengajarkan bahwa iman memampukan kita mengelola harta milik dengan cara yang berbeda. Bahkan, bisa jadi tidak seperti cara kebanyakan orang. Kepemilikan harta seharusnya tidak boleh memengaruhi semangat pertumbuhan iman setiap orang. Namun pada kenyataannya, sejak zaman Yesus, Dia sendiri sudah berjumpa dengan karakter orang yang lebih mengutamakan hartanya daripada imannya. Bahkan, orang kaya itu menjumpai Yesus agar Yesus memberi perhatian pada harta milik orang itu, bukan pada imannya. Kalimat akhir dari Yesus, “Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendirim tetapi tidak kaya di hadapan Allah.” (ayat 21) menjadi pesan yang sangat kuat karena Yesus memperbarui pemahaman kita.

Dari bagian-bagian ini, kita diajak untuk meninggalkan kebiasaan lama kita, yaitu sering merasa kurang dan jarang merasa cukup atas semua pemberian-Nya dalam kehidupan kita. Kita terjebak pada tuntutan, tapi lupa bahwa ada tuntunan. Kita terjebak pada kekuatiran, bahkan melupakan ketenangan. Kita lupa untuk mengucap syukur atas semua yang “cukup”, yang sudah Dia hadirkan dalam hidup kita.

Marilah Lanjutkan Usaha Kita!
Berusaha boleh, tapi jangan sampai patah semangat karena merasa sedang menjaring angin. Berusaha boleh, tapi jangan sampai kehilangan maksud Tuhan dalam kehidupan kita. Berusaha boleh, asalkan kita tidak lupa untuk mengucap syukur atas semua kecukupan yang Dia berikan.

(RA)

Sabtu, 26 Juli 2025

DIA HANYA SEJAUH DOA

 Kejadian 18 : 20 – 32; Mazmur 138; Kolose 2 : 6 – 15; Lukas 11 : 1 – 13

Menurut sebuah riset yang dilakukan oleh Health Collaborative Center (HCC) mengungkapkan bahwa sekitar 30an% anak SMA di Jakarta terindikasi memiliki masalah Kesehatan jiwa.[1] Ketika kondisi ini muncul, setiap remaja sesungguhnya membutuhkan tempat untuk bercerita. Namun faktanya, hal ini sulit untuk didapatkan baik itu dalam lingkup keluarga maupun teman sekitarnya.

Fenomena ini diamini oleh mantan Menteri Kesehatan RI, Prof. Nila Moeloek yang menyoroti bahwa dulu ada kebiasaan setiap makan bersama keluarga, selalu ada momen untuk menceritakan kejadian atau aktivitas dalam satu hari kepada orang tua. Namun sekarang, itu semua hilang karena semua sibuk dengan gadget masing-masing. Hal ini mengakibatkan anak-anak merasa kesepian karena interaksi dengan orang tua atau saudara semakin terbatas.

Bukan hanya dialami oleh anak remaja. Semakin hari, setiap orang dewasa makin susah untuk punya teman cerita karena semua sibuk dengan kesibukannya masing-masing. Kalaupun ada, belum tentu mudah untuk diungkapkan karena banyak hal yang dipikirkan. Mulai dari memikirkan teman bercerita pun punya persoalannya sendiri atau ada ketakutan akan bocor ke mana-mana atau takut diberi saran yang salah atau distigma dan lain sebagainya.

Dalam kondisi ini, baik anak remaja maupun orang dewasa semakin hari merasa kesepian karena kondisi membuat semakin sulit untuk berbagi apa yang sedang dialami atau digumulkan. Di tengah pergumulan kesepian, kesendirian dan tak ada teman untuk berbagi cerita, ternyata masih ada yang bisa kita ajak ngobrol dan tak perlu khawatir karena selalu ada waktu untuk kita, tidak bocor ke mana-mana, dan Ia dapat memberi solusi dan ketenangan yang kita butuhkan. Ia pun pribadi yang tidak pernah jauh dari kita. Ia ada Tuhan. Sebab Dia hanya sejauh doa.

Doa merupakan bagian dari kehidupan manusia. Martin Luther pun pernah menuliskan, “to be a Christian without prayer is no more possible to be alive without breathing.” Itu sebabnya doa menjadi nafas dan sarana yang digunakan manusia secara gratis dan unlimited untuk berbicara dengan Tuhan.

Hal ini terlihat dalam bacaan pertama dalam Kejadian 18 : 20 – 32 yang berisikan doa Abraham kepada Tuhan yang memuat negosiasi dari Abraham kepada Tuhan, agar Tuhan tidak murka kepada Sodom dan Gomora karena Abraham berpikir ada orang benar juga di sana yang hidup bersama-sama dengan orang fasik. Proses negosiasi dari 50 orang benar sampai 20 orang benar tetap didengar Tuha. Dari apa yang dilakukan Abraham dan Tuhan dalam bacaan pertama ini memberi gambaran bahwa Tuhan begitu dekat dan terbuka untuk diajak bicara (a.k.a berdoa). Jadi berdoalah kepada Tuhan.

Berdoa pun bukan hanya ditunjukkan oleh Abraham, tetapi juga oleh Yesus dalam bacaan Injil hari ini. Lukas 11 : 1 diawali dengan memperlihatkan bahwa Yesus sedang berdoa. Apa yang Ia lakukan merupakan bentuk pengajaran kepada para muridNya supaya mereka pun bertekun dalam doa. Berdoa pun bukan hanya dalam kondisi hidup sedang baik, dalam kondisi hidup yang penuh tantangan pun tetap perlu untuk berdoa. Hal inilah yang diingatkan oleh Paulus kepada jemaat di Kolose yang menjadi bacaan kedua kita.

Paulus mengingatkan mereka yang kala itu pun sedang dalam kondisi penuh tantangan karena muncul banyak ajaran palsu dan tekanan untuk mereka. Paulus ingatkan dalam ay. 6 - 7 bahwa mereka telah menerima Kristus Yesus sebagai Tuhan mereka, maka hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia, berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, bertambah teguh dalam iman dan hendaklah hatimu melimpah dengan Syukur.

Dari surat Paulus ini, ia mau tekankan bahwa dekat dengan Tuhan bukan berarti hidup akan selalu baik-baik saja. Justru akan ada tantangan, ada masalah, ada persoalan yang akan dihadapi. Tapi biarlah melalui semua dinamika hidup itu bukan membuat jemaat di Kolose makin jauh dari Tuhan tapi justru makin dekat dengan Tuhan. Karena Tuhanlah yang akan memberi kekuatan dan kemenangan (ay. 15).

Pada akhirnya, melalui berdoa kita bukan melihat kita yang hebat tetapi Tuhan yang Mahahebat. Karena segala persoalan apapun dapat kita ceritakan padaNya dan Ia punya beragam cara untuk menolong kita dan akhirnya membuat kita melihat dalam syukur seperti yang diungkapkan oleh Daud dalam Mazmur 138. Sebab Daud bersyukur karena karena Tuhan itu setia dan kasihNya kekal. (Ay. 3) Engkau menjawab apabila aku berseru kepadaMu; Engkau menguatkan aku sehingga aku berani.

 

Pesan firman Tuhan hari ini mengingatkan kita bahwa

1)    Jika dalam dunia kita tidak menemukan seorangpun untuk mengadu dan bercerita dengan bebas dan tanpa bebas. Ingat kita masih punya Tuhan.

2)    Datanglah pada Tuhan dalam doamu. Karena Ia selalu bersedia untuk mendengarkan apapun yang ingin kita sampaikan dalam kondisi baik maupun tak baik. 

3)    Berdoa pada Tuhan tidak berarti hidupmu tidak akan ada masalah. Tapi berdoalah pada Tuhan karena apapun masalahmu, Ia selalu setia memberi kekuatan, kasih dan keberanian.

 

Tuhan memberkati kita semua. Amin

-mC-



[1] Studi Ungkap Kesepian Hantui Remaja Indonesia http://dtk.id/NXVwZd

Sabtu, 19 Juli 2025

KERAMAHAN, BUKAN KEMARAHAN

Lukas 10:38-42

Coba sebutkan, siapa dosen/guru terkiller anda? Saya pernah ditanya begini dan saya pun langsung mengingat sebuah nama dosen semasa kuliah, yang terkenal lintas angkatan sebagai dosen yang sangat galak. Menariknya, suatu ketika sang dosen menjelaskan dengan berkelakar, 

“kan seperti Firman Tuhan, tiap orang ada talentanya. Talenta saya marah-marah. Semua sudah ada perannya masing-masing. Bayangkan kalau dalam dunia ini tidak ada yang punya talenta marah.”

Guyonan tentang kemarahan sebagai sebuah talenta barangkali terdengar janggal, namun penting juga untuk kita diskusikan. Umumnya, amarah mengandung konotasi negatif atau buruk. Amarah dinilai bersifat destruktif. Kemarahan dianggap tidak baik. Lebih baik melakukan keramahan, seperti tema kita. Tapi, seperti kelakar dosen saya tadi yang dapat membawa kita pada pertanyaan eksistensial, tidakkah amarah salah satu anugerah dari Tuhan, bahkan menjadi salah satu atribut keilahian? Tidakkah kita juga mengenal Allah melalui Kristus yang marah terhadap mekanisme hewan kurban di Bait Allah (Lukas 19:45-46)? Tidakkah Yesus marah pada Petrus yang menentang kehendak Allah atas peristiwa salib Kristus bahkan menyebutnya “iblis” (Markus 8:33)? Tidakkah Yesus marah pada kemunafikan kelompok Farisi dan ahli Taurat hingga memerintahkan untuk melakukan apa yang mereka katakan, tapi jangan turuti yang mereka lakukan (Matius 23:3)?

Ternyata Alkitab mencatatkan amarah memang sebagai bagian dari ragam emosi manusia, tapi juga atribut yang melekat pada pribadi Allah. Efesus 4:26 pun mencatatkan setidaknya bisa dibedakan antara sinful anger dan holy anger, “apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa”. Holy anger bercirikan perlawanan terhadap ketidakadilan, kemunafikan, kejahatan, dan keegoisan diri sendiri. Sinful anger, sebaliknya. Jika demikian, maka ada bentuk-bentuk amarah yang malah menunjukkan keramahan dan kepedulian pada penindasan yang dialami sesama, bahkan mengandung citra keilahian dalam diri manusia.

Pertanyaannya, apa yang membuat kemarahan Marta dalam teks leksionari kita mendapat teguran dari Yesus? Apa yang membuat Yesus memutuskan bahwa kemarahan Marta terhadap Maria itu tak termasuk sebagai holy anger seperti ketika Yesus sendiri marah? Apa yang menjadikan kemarahan Marta tidak mengandung kepedulian dan keramahan terhadap sesama seperti kemarahan Yesus?

Mari hayati perkataan Yesus, “Marta, Marta, engkau khawatir dan menyusahkan diri dengan banyak hal, tetapi satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian terbaik yang tidak akan diambil dari dia (Lukas 10:41-42).” Sambil membaca kalimat ini, telusurilah gambar-gambar yang ada di internet dengan kata kunci “Maria dan Marta” atau “Mary and Martha”. Anda akan segera menemukan pola dari positioning atau peletakkan tokoh Maria dan Marta yang senada dalam gambar-gambar tsb. Marta diletakkan di belakang dengan raut wajah sangsi menampilkan karakter antagonis, sedangkan Maria berada di depan dengan raut wajah lembut menampilkan karakter protagonis. Marta diselubungi bayangan lebih gelap, sedangkan Maria menerima cahaya dan fokus yang lebih terang. Postur tubuh Marta provokatif dan intimidatif, bahkan terhadap Yesus. Berbeda sekali dengan postur submisif Maria. Keberpihakan Yesus merujuk pada tokoh Maria. Melalui semua media itu, maka kita akan digiring untuk mengamini bahwa Yesus menolak Marta dan karyanya.

Namun, apa sebenarnya yang ditolak? Martanya atau sikap batinnya? Banyak penafsir sudah mengembosi ke-antagonis-an Marta dengan mengatakan bahwa pelayanan Maria dan Marta sama pentingnya. Misalnya Dorothee Soelle, “Kita tak perlu membagi dunia menjadi Maria-Maria yang lembut, menyimak dan menyerahkan diri, di satu sisi dan Marta-Marta yang pragmatis dan sibuk, di sisi lain. Kita membutuhkan keduanya. Maria dan Marta. Sebab dalam kenyataannya kita sendirilah kedua saudari itu .” Maria mewakili bahasa kasih Words of Affirmation & Quality Time, bidang pelayanannya Sie Persekutuan (Lukas 10:39) dan tipe spiritualitasnya adalah Kontemplasi (Yohanes 12:3). Marta mewakili bahasa kasih Act of Service, bidang pelayanannya Sie Pemerhati (Lukas 10:40) dan tipe spiritualitasnya Aksi (Yohanes 12:2). Penafsiran semacam ini menunjukkan bahwa bukan Marta dan karyanya yang ditolak. Tapi sikap batin dalam bentuk kemarahannya yang tak dibenarkan oleh Yesus.

Marta mengatakan “Tuhan, tidakkah Engkau peduli bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku.” Frasa “membiarkan aku melayani seorang diri” menunjukkan betapa Marta ternyata tidak menikmati pelayanannya dan kehabisan daya karena terdistraksi. Pelayanan yang mestinya dilakukan dengan kasih yang tulus dan sukacita, malah diiringi dengan gerutu, perbandingan-perbandingan dan pikiran-pikiran yang tak perlu. Dalam bahasa Yunani, kata yang dicatatkan sebagai teguran Yesus “engkau khawatir” ialah merimnao, mengandung arti seseorang yang saking khawatirnya secara sengaja mencari-cari kesalahan dalam pelayanan Maria. Merimnao merujuk pada seseorang yang khawatir karena kepentingannya sendiri.  

Untuk itu, Yesus melihat kemarahan Marta yang kelihatannya sebagai perlawanan terhadap ketidakadilan itu sebenarnya distraksi/pengalihan isu dari perasaannya yang sesungguhnya yakni “saya tidak dipedulikan, pelayanan saya tidak diperhatikan, saya sudah susah-susah tapi tidak ada yang mengucapkan terima kasih, dsb”.

Kita semua tanpa terkecuali, punya potensi berlindung dibalik topeng perlawanan (terhadap ketidakadilan), padahal sesungguhnya wajah kita bertabur permusuhan (terhadap mereka yang berbeda kepentingan). Kelihatannya hospitalitas, ternyata hostilitas. Kita diajak memeriksa diri. Bukan segala amarah yang mendukakan-Nya, hanyalah amarah yang berkutat pada kenyamanan diri sendiri. Bukannya kita tak boleh marah, tapi jangan asal marah-marah bahkan menuduh Allah seolah Ia tak lagi sayang pada kita. Biarlah sungguh-sungguh kita peduli dan ramah, dan jika marah, biarlah sungguh-sungguh kita marah dalam alasan, cara dan bentuk yang tepat.   

 

 

Kamis, 03 Juli 2025

DITUNJUK, DIUTUS, DAN DIPERLENGKAPI

Lukas 10:1-11, 16-20

Hari ini kita merenungkan bagaimana Yesus menunjuk, mengutus, dan memperlengkapi murid-murid-Nya, bukan hanya yang dua belas, tetapi juga tujuh puluh murid lainnya. Ini bukan hanya sejarah, tapi juga panggilan hidup kita hari ini sebagai pengikut Kristus.

Pertama, Sebenarnya muncul pertanyaan, mengapa Yesus mengutus 70 murid yang lain. Namun, pemilihan tujuh puluh murid mengingatkan kita pada Kejadian 10, yang mencatat daftar 70 bangsa keturunan Nuh. Ini bukan angka kebetulan. Tuhan memakai simbol ini untuk menyatakan bahwa pengutusan-Nya adalah untuk seluruh dunia, bukan hanya untuk bangsa Yahudi.

Hal menarik juga akan kita temukan bila kita menengok pasal sebelumnya, dalam Lukas 9. Yesus hanya mengutus kedua belas rasul. Namun di pasal 10, jumlah dan lingkupnya diperluas. Hal ini tentu akan mengubah persepsi kita, karena seringkali kita berpikir bahwa yang diutus hanya orang-orang tertentu saja. Entah yang diutus hanya mereka yang cakap berbicara, punya latar belakang teologi, hafal ayat-ayat Alkitab, dll. Namun, pengutusan 70 murid ini menangkis persepsi tentang eksklusivitas kerasulan. Artinya: pada waktu pengutusan bukan hanya untuk para rasul, namun terbuka bagi siapa saja. Sehingga, di masa kini kitab isa melihat bahwa tugas pengutusan itu bukan hanya milik pendeta, misonaris, penginjil, tetapi juga untuk semua umat, yakni untuk semua orang yang percaya kepada-Nya.

Kadang, kita berpikir; aku ini siapa dan bisa apa? Kalau demikian, tidurlah dalam satu ruangan tertutup dengan ditemani satu ekor nyamuk saja. Terganggu, bukan? Kalau nyamuk saja bisa memberi dampak, apalagi hidupmu. Beritakanlah!

Kedua, mengapa Yesus katakana bahwa Dia mengutus mereka sebagaimana mengutus kawanan domba di Tengah-tengah serigala? Apakah ini semacam tindakan yang menakut-nakuti agar mereka bisa serius?

Sebagai orang yang hidup di Indonesia, tentu kita akan berpikir ke sana. Bahwa, pengutusan itu mengerikan, bahkan tak jarang bisa merenggut nyawa. Namun, kita harus sadar bahwa konteks penulisan Lukas ada dalam struktur Masyarakat tertentu. Apa artinya?

Pengutusan ini terjadi dalam konteks penjajahan Romawi. Menariknya, dalam mitologi Romawi, kota Roma didirikan oleh Remus dan Romulus yang konon disusui oleh seekor serigala betina (Lupa Capitolina). Serigala menjadi simbol kekuatan, kekuasaan, bahkan kekejaman Romawi. (bandingkan dengan logo tim sepakbola AS Roma)

Dalam hal ini, Yesus ingin agar para murid berangkat dengan kesadaran bahwa mereka menyebarkan Injil di Tengah kondisi yang tidak mudah. Ada kekuatan politis yang tidak bisa mereka remehkan. Namun, hal ini bukan bermaksud menakut-nakuti, namun agar mereka memiliki taktik dan strategi tertentu dalam menjalankan misi Allah. Yesus tidak mau mereka berangkat dengan gegabah. Ada ancaman, tekanan, dan represi yang jelas di depan mata. Namun justru ke sanalah Injil dibawa. Di tengah dominasi kekuasaan, Injil datang membawa pembebasan, kelegaan, dan pengharapan. Saat Yesus mengutus mereka dengan menyinggung hal Romawi, berarti jelas inti pesan yang disampaikan, yakni pembebasan dan pemulihan bangsa.

Ketiga, ketika para murid kembali, mereka bersukacita karena berhasil. Bahkan roh-roh pun takluk kepada mereka (ayat 17). Tapi Yesus mengoreksi fokus mereka. Keberhasilan pelayanan memang menggembirakan, tetapi itu bukan intinya. Mereka ternyata berfokus pada hasilnya, namun lupa apda sesuatu yang lebih penting. Sebenarnya, hal itu manusiawi, karena menyelebrasikan sebuah pencapaian tidak ada salahnya. Namun di sini lah justru Yesus mengajak mereka kembali pada core misi itu sendiri. Mengapa ini penting? Karena jika hanya fokus pada hasil: Ketika ditolak, kita bisa kecewa, marah, dan pahit lalu berhenti mengabarkan kebaikan Allah. Namun, ketika berhasil, kita bisa jatuh dalam kesombongan dan kepuasan, lantas berhenti. Yesus menghendaki, agar mereka menyadari bahwa bukan itu yang layak disyukuri. Lukas 10:20 dituliskan, Namun demikian janganlah bersukacita karena roh-roh itu takluk kepadamu, tetapi bersukacitalah karena namamu ada terdaftar di sorga." Terdaftar di sorga, itulah intinya. Hal ini bukan berarti langsung merujuk pada keselamatan, namun respon kita atas keselamatan yang sudah Tuhan berikan. Artinya, mari Jalani tugas pengutusan ini bukan dengan berat hati atau beban, namun sukacita dan syukur atas anugerah kerselamatan yang sudah Tuhan beri. Dan satu lagi, bahwa mereka tidak perlu kagum akan keberhasilan, karena memang Tuhan sudah memperlengkapi kita yang sudah diutus oleh-Nya.

Di ayat 1 dijelaskan, Kemudian dari pada itu Tuhan menunjuk tujuh puluh murid yang lain, lalu mengutus mereka berdua-dua mendahului-Nya ke setiap kota dan tempat yang hendak dikunjungi-Nya. Hal ini semestinya menyadarkan kita, bahwa pekerjaan ini bukanlah milik kita, namun milik-Nya. untuk itu, mari kerjakan sebaik-baiknya!


Sabtu, 24 Mei 2025

Ketaatan sebagai Pemberian Allah

Yohanes 14:23-29 / Wahyu 21:10,22-22:5

Pernahkah anda menuliskan surat wasiat? Mari kita membayangkan, kira-kira apa yang akan kita tuliskan dalam surat wasiat itu? Warisan seperti apa yang akan kita tinggalkan? Saat saya menanyakan ini ke teman-teman, banyak yang menjawab, “saya akan memberikan tanah, emas, rumah, dan tabungan buat anak-cucu”, tapi ada juga yang berkelakar menjawab “saya akan tinggalkan hutang, hehehe”.


Suatu ketika, ada seorang ibu yang meninggalkan wasiatnya bagi anaknya. Anti-mainstream warisannya yakni berupa misi-misi yang harus dikerjakan. Misi itu antara lain:


  1. Temui dan ampuni ayahmu yang pernah meninggalkan kita

  2. Kunjungi tetangga yang dulu sering jadi tempat perlindungan kita 

  3. Les piano untuk bisa main Fur Elise (Beethoven) yang menjadi cita-citamu waktu kecil

  4. Menjajaki pekerjaan sebagai guru yang menjadi passion-mu sejak kecil


Saat mengerjakan misi, sang anak lama-kelamaan merasa hidupnya diubahkan. Misi itu mempertemukan ia dengan ayahnya, tetangganya, dirinya di masa kecil, pekerjaan yang menjadi mimpinya. Tahu-tahu dia berfokus mengerjakan misi, tidak hanya memikirkan hartanya kelak dan ternyata di akhir sang notaris menunjukkan ada rumah yang disediakan ibunya. Rumah itu pun kemudian diubahnya menjadi tempat belajar gratis buat anak-anak yang membutuhkan. Warisan yang diberikan sang ibu adalah misi-misi ketaatan yang memperjumpakan sang anak dengan panggilan hidupnya. 


Wasiat yang Tuhan Yesus  berikan sebelum naik ke surga kepada para rasul ternyata bukan harta dalam bentuk yang “sudah jadi” dan terima beres, tapi sebuah misi yang harus terus-menerus dikerjakan. Pemberian Allah kepada murid-muridnya adalah misi ketaatan dalam menghadirkan damai sejahtera di bumi seperti di surga. Yohanes 14:27 mengatakan “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah  dan gentar hatimu.” Apa itu damai, apa itu eirene (yunani), apa itu shaloom (ibrani)?


Damai bukan hanya soal rasa tenang, kestabilan emosi dan harmoni batin (inner peace) seperti menurut filsafat Yunani. Damai bukan terutama soal tidak adanya gangguan atau pemberontakan seperti pemahaman PAX ROMANA. Damai itu multidimensional. Dalam PL, shaloom merupakan panggilan yang melingkupi :

1) kesejahteraan fisik dan material (seruan nabi Yeremia, Yesaya, dll di tengah penderitaan umat)

2) keadilan/kesejahteraan relasional (adanya hubungan yang baik dan benar tanpa penindasan)

3) kesadaran moral dan integritas (tanpa keculasan dan kedengkian)


Dalam PB, eirene melengkapi makna damai dengan dimensi spiritual yang mengaitkan langsung kedamaian dengan karakter Allah sendiri. Allah disebut sebagai Allah Sang Sumber Damai Sejahtera yang mampu memberikan damai sejahtera itu sendiri (Yohanes 14:27; Ibrani 13:20). Tuhan Yesus sendiri disebut sebagai Tuhan damai sejahtera (2 Tesalonika 3:16), begitu pula Roh Kudus dalam Roma 14:17, “sebab Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera, dan sukacita oleh Roh Kudus”.


Sehingga kriteria damai sejahtera itu holistik karena mencakup hidup yang berpusat pada Kristus, moral yang bersih, tubuh dan jiwa yang sehat, relasi dengan Tuhan dan sesama yang sehat, begitu pula dengan alam semesta yang Tuhan berikan. Berat? Ya, banget. Abot? Abot tenan.


Bahkan perjuangan damai sejahtera seringkali menghantarkan kita pada konsekuensi-konsekuensi atau resiko dimusuhi. Namun itulah mengapa ini disebut “perjuangan” bukan sekadar berpangku tangan. Ada daya juang yang menjadi bagian dari proses Tuhan menguduskan dan melayakkan umat-Nya. Itulah juga mengapa misi ketaatan yang Tuhan wasiatkan tetap mengandung jaminan penyertaan, pengajaran, dan penghiburan dari Roh Kudus (Yohanes 14:26),


“tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu.”


Roh Kudus memimpin kita untuk mendengarkan, melakukan, juga merefleksikan kembali terus-menerus apa yang dapat diperbaiki dari hari ke hari. Listen - Do - Reflect. Pemberian Allah bukan berupa barang “jadi” dan terima beres, tapi misi yang harus terus diperjuangkan. Pemberian Kristus bagi murid-murid-Nya adalah misi ketaatan, misi menghadirkan Kerajaan Allah di bumi seperti di surga. 


Lebih lanjut, penglihatan Yohanes yang dicatatkan dalam Wahyu 21 dan 22 pun menunjukkan betapa misi yang kita kerjakan menjadi bagian dari visi misi Kerajaan Allah yang kelak membawa umat pada langit dan bumi yang baru. Dalam PB, kebaruan itu dibedakan antara neos dan kainos. Neos berarti barang baru dengan kualitas lama, misalnya ketika handphone kita diganti casing-nya. Kainos berarti barang baru dengan kualitas baru, misalnya handphone lama diganti dengan smartphone. 


Ini berarti orang Kristen yang mengaku sebagai pengikut Kristus bukan hanya soal memakai kalung salib, rajin menyapa dengan kata shaloom atau “puji Tuhan, haleluya. Melainkan ketaatan setiap saat dalam segala dimensi kehidupan yang mengubahkan. Perwujudannya dapat dilihat dan telah dimulai dari jaman PL dan PB dengan hancurnya tembok-tembok diskriminasi (kaya/miskin, Yahudi/non-Yahudi, budak/merdeka, sunat/tidak bersunat, laki/perempuan). Di saat yang sama, juga kita temukan dalam teladan Yesus membangun komunitas yang rekonsiliatif dan memperjuangkan pengampunan satu sama lain. 


Masih banyak PR gereja (gereja adalah kita semua umat-Nya) untuk mengolah daya juang bersama dalam ketaatan pada nilai-nilai Kerajaan Allah. Hingga kelak damai sejahtera Tuhan Allah genapi pada kesudahannya, (Yesaya 11:6-9)


“Serigala akan tinggal bersama domba dan macan tutul akan berbaring di samping kambing. Anak lembu dan anak singa akan makan rumput bersama-sama, dan seorang anak kecil akan menggiringnya. Lembu dan beruang akan sama-sama makan rumput dan anaknya akan sama-sama berbaring, sedang singa akan makan jerami seperti lembu. Anak  yang menyusu akan bermain-main dekat liang ular tedung dan anak yang cerai susu akan mengulurkan tangannya ke sarang ular beludak. Tidak ada yang akan berbuat jahat atau yang berlaku busuk di seluruh gunung-Ku yang kudus, sebab seluruh bumi penuh dengan pengenalan akan TUHAN, seperti air laut yang menutupi dasarnya.”








Jumat, 16 Mei 2025

KASIH ALLAH YANG MENGINSPIRASI

 

Yohanes 13:31-35

Setelah merenungkan tentang penampakan-penampakan Yesus kepada para murid pasca kebangkitan, minggu ini kita digeret untuk ke belakang untuk membaca kisah sebelum penangkapan Yesus. Persisnya, saat Yudas sudah pergi dari setelah makan perjamuan, Yesus memberikan sebuah perintah baru kepada para murid. Sebenarnya, ada yang menarik ketika kita membaca tentang perintah baru dalam Yohanes 13:31-35. Apa yang baru dari perintah itu? Hal ini yang sebenarnya penting untuk kita renungkan.

Sebagaimana kita tahu, wejangan terakhir ini tentu punya makna yang sangat besar, mengingat bahwa Yesus sendiri tahu bahwa waktu-Nya akan segera tiba. Seakan-akan ini menjadi pesan terakhir Yesus bagi para murid. Hal ini bisa bermakna bahwa Yesus ingin memberi bekal kepada para murid dalam bentuk wejangan sebelum Ia ditangkap. Nah, wejangan itu berupa perintah baru untuk saling mengasihi.

Pendekatan Konversif

Perintah untuk mengasihi tentu bukan hal yang baru bagi para murid-murid. Yesus sudah pernah mengajarkannya berulang-ulang kepada mereka, baik yang memang dalam bentuk ajaran, ataupun laku hidup sehari-hari Yesus bersama orang-orang. Dan tentu, rujukan kita untuk melihat ajaran Yesus tentang kasih tentu dalam Hukum Kasih yang tertuang dalam Matius 22:37-40. Bahkan, tanpa Yesus ajarkan pun, mereka sudah akrab dengan hukum kasih ini seperti yang sudah diajarkan dan diteruskan oleh nenek moyang mereka (bdk. Ulangan 6:5, Imamat 19:18). Lalu, mengapa ini disebut baru? Bukankah mengasihi orang lain juga pernah diajarkan Yesus (bdk. Matius 22:39)? Baiknya, kita melihat struktur antara keduanya;

·     Yohanes 13:34 Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi.

·     Matius 22:39 Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.

Ketika dibaca sekilas, ada sebuah pembeda yang jelas antara kedua ayat ini, yakni setelah kata “seperti”. Yang berarti, jika dalam Mat 22:39 ingin mengatakan bahwa cara dan motivasi untuk mengasihi sesama adalah seperti mengasihi diri sendiri. Sedangkan Perintah Baru dalam Yohanes 13:34 seakan-akan Yesus mengubah cara dan motivasinya, yakni seperti yang sudah Ia lakukan. Di sini kita bisa melihat sesuatu yang baru, yang beda dari biasanya, dan itulah Perintah Baru. Hal ini dikuatkan dengan argumen bahwa saat mengasihi sesama seperti diri sendiri itu bisa berantakan karena kadang orang sulit mengasihi dirinya sendiri. Selain itu, bisa saja kita berpikir, “nah, inilah Perintah Baru, akrena kasih yang sejati hanya ada dalam nama Yesus”.

Nah, hal ini benar-benar baru, bukan? Iya, baru. Baru saja kita menggugurkan apa yang sudah diajarkan Yesus saat mengajar tentang hukum kasih. Hukum Kasih adalah hukum yang sudah diajarkan Allah melalui Musa dalam kitab Taurat, serta Yesus menegaskannya kembali sebagai pedoman hidup. Jika kita menggunakan pendekatan konversif saat membaca Perintah Baru, secara otomatis kita akan melihat bahwa Hukum Kasih menjadi sesuatu yang tidak sempurna dan seakan-akan memang selayaknya diganti. Di sini kita perlu berhati-hati.

Konteks Baru

Bacaan Injil kita di Minggu ini cukup tricky. Lebih mudah mengkhotbahkan tentang penggantian (konversi) dan bisa terdengar sangat memukau. Namun, penggantian ini berbahaya karena bisa menggugurkan apa yang sudah diperintahkan oleh Allah sendiri melalui Musa, dan diulang kembali oleh Tuhan Yesus sebagai hukum yang pertama dan terutama! Lantas pertanyaan di awal muncul, “mengapa ini baru?”

Untuk bisa membaca ini lebih terang, kita harus melihat konteks yang memang berbeda antara kedua teks ajaran tentang kasih ini. Dalam Hukum Kasih, konteks mengasihi sesama adalah benar-benar ditujukan untuk kasih kepada setiap orang, bahkan tanpa pilih kasih. Itulah kenapa ada imbuhan “seperti dirimu sendiri” sebagai pengaplikasiannya. Selain itu, kata “sesama” adalah terjemahan dari kata πλησίον (plēsion), yang berarti orang terdekat. Terjemahan KJV dan NIV juga menerjemahkan kata itu dengan arti “neighbour”. Sehingga, konteks Hukum Kasih itu diperuntukkan untuk kasih yang universal, yakni pedoman hidup sehari-hari untuk mengasihi sesama. Lantas, apa bedanya?

Kita perlu mengingat konteks Perintah Baru. Perintah Baru ada dalam balutan rasa haru dalam diri Yesus di masa-masa akhir-Nya bersama para murid. Yesus ingin membekali mereka dengan ajaran agar mereka tetap bersatu dan tidak saling meninggalkan. Hal itu terbukti Ketika mereka kocar-kacir saat Yesus ditangkap dan dianiaya. Hanya ada Yohanes yang bersama Ibu Yesus. Maka dari itu, Perintah Baru ini sangat lekat dengan perintah Yesus agar mereka bisa saling mengasihi dalam komunitas sebagai murid-murid Yesus. Dalam Perintah Baru itu Yesus juga menegaskan indentitas mereka sebagai murid yang akan dikenal orang di luar dari perilaku mereka, yakni saling mengasihi. Sehingga, ketika mereka saling mengasihi, mereka secara otomatis mampu menjadi saksi. Inilah Perintah Baru, yakni saat Yesus benar-benar memberikan sebuah pedoman untuk hidup sebagai sebuah komunitas orang percaya yang hidup saling mengasihi dan –secara otomatis—bersaksi.

Sekali lagi, konsep mengasihi dalam komunitas dalam Perintah Baru ini tidak bisa dibenturkan dengan konsep Hukum Kasih, karena konteks dan tujuannya sangat berbeda. Dan yang menjadi menarik, hal ini masih sangat relevan hingga sekarang. Lihat saja, perpecahan terjadi di dalam tubuh gereja sendiri. Ada blok-blok atau grup-grup yang berselisih paham di gereja. Ada pendeta yang dipaksa turun dari mimbar oleh sekelompok anggota jemaat. Perpecahan jemaat yang kemudian saling bermusuhan. Bahkan, permusuhan antar kolega. Di sinilah Perintah Baru itu menjadi sesuatu yang sangat baru pada waktu itu, karena Yesus benar-benar ingin murid-murid-Nya memiliki kesatuan hati yang utuh dan kompak untuk mempersaksikan kasih Kristus.

Pertanyaan Reflektif

Pertanyaan reflektif yang menarik untuk kita renungkan adalah, bagaimana gereja kita? Adakah kasih yang akrab satu sama lain? Misalkan saja, ada anggota jemaats akit, apakah hanya akan dikunjungi oleh seorang pendeta saja?

Atau, bila ada yang mengalami beratnya masalah hidup, apakah ada yang menemani? Atau merasa itu tugas pendeta dan para penatua saja?

Bukan dengan maksud membenturkan kedua ajaran kasih, namun minggu ini kita diingatkan untuk bisa saling mengasihi satu dengan yang lain, khususnya dalam komunitas. Yesus ingin tubuh-Nya (gereja) tetap bisa menjadi sesuatu yang mencerminkan kemuliaan-Nya. Dan jangan lupa, sebelum Ia mengatakan tentang Perintah Baru, Ia mengingatkan mereka tentang kesatuan diri-Nya dengan Sang Bapa. Bersatu dalam kasih dan karya, untuk bisa mempersaksikan kemuliaan-Nya.

 

Jumat, 25 April 2025

TAK BERHENTI BERSAKSI

Yohanes 20:19-31 | Kisah Para Rasul 5:27-32

Ibu, Bapak, Saudari dan Saudara, pernahkah Anda merasa lelah untuk berkata benar? Atau merasa sia-sia menyampaikan kebaikan, karena merasa tak didengar? Dalam hidup ini, tak sedikit dari kita yang akhirnya memilih diam. Kita tidak berhenti karena tidak tahu apa yang harus dikatakan, tapi karena kecewa, takut ditolak, atau merasa sendiri.

Namun bacaan hari ini mengajak kita untuk kembali melihat: bahwa kita punya alasan kuat untuk tidak berhenti bersaksi karena Tuhan kita adalah Tuhan yang tidak pernah berhenti bekerja. Dalam kasih-Nya, Ia terus menyapa dan memulihkan umat-Nya. Dan kepada umat yang telah dipulihkan, Ia memberi tugas mulia: menjadi saksi.

Agar kita kian mengerti makna panggilan untuk tak berhenti bersaksi, kita perlu terlebih dahulu mengingat karakter Allah yang setia. Apa yang Ia lakukan terhadap murid-murid yang ketakutan dan kecewa?

1. Tuhan Tak Pernah Berhenti Menyapa dan Menolong

Yohanes 20 membawa kita pada sebuah ruangan tertutup. Para murid mengunci diri, bukan hanya karena takut pada orang Yahudi, tetapi karena mereka sedang menghadapi trauma dan kehilangan yang luar biasa. Mereka telah menyerahkan harapan mereka pada Yesus, tetapi kemudian menyaksikan sendiri bagaimana Dia disalibkan dan mati. Mereka takut, bingung, dan kehilangan arah.

Dalam ketakutan para murid itu, Yesus datang. Tanpa mengetuk. Tanpa diundang. Ia masuk dan berkata: “Damai sejahtera bagi kamu.” Menghadapi murid-murid yang terpenjara ketakutan dan melupakan firman-Nya bahwa Ia akan bangkit, Yesus tidak menghakimi. Ia tahu trauma para murid-Nya, dan Ia tidak mengabaikannya. Kehadiran-Nya adalah tanda bahwa Tuhan tidak menyerah terhadap umat-Nya. Dalam ketakutan, dalam keputusasaan, bahkan dalam ruang-ruang terkunci—Tuhan tetap hadir dan menolong.

Karya Allah yang seperti inilah yang menjadi fondasi iman kita. Iman bukan soal optimisme buta. Iman adalah keberanian untuk tetap percaya bahwa Allah tidak meninggalkan kita, bahkan saat kita terkunci dalam rasa takut.

Namun bagaimana jika kita sudah tidak sanggup berharap? Bagaimana jika yang tersisa hanyalah pertanyaan dan keraguan? Mari kini kita cermati apa dan bagaimana Yesus berjumpa dengan Tomas.

2. Kesaksian Lahir dari Iman yang Bergulat

Tomas sering dijuluki sebagai “Si Peragu.” Tapi jika kita jujur, bukankah kita sering seperti dia? Setelah dihantam kekecewaan besar—baik dalam relasi, pelayanan, atau harapan hidup—kita sulit percaya lagi. Kita kembali ke pola lama: pesimis, sinis, dan menarik diri. Seperti Tomas, kita pun berkata, “Sebelum aku melihat dan menyentuh, aku tidak akan percaya.” Perkataan itu bukan hanya ekspresi keraguan intelektual, tapi juga jeritan luka yang dalam. Tomas tidak sedang menolak Yesus, ia hanya tidak sanggup berharap lagi. Dan inilah yang luar biasa: Yesus tidak marah. Ia datang secara personal, memanggil nama Tomas, memperlihatkan luka-Nya, dan berkata: “Taruh jarimu di sini... jangan tidak percaya, melainkan percayalah.”

Yesus hadir bukan untuk memaksa percaya, tetapi untuk memulihkan relasi. Ia menghargai pergumulan batin. Ia tidak anti terhadap pertanyaan, selama itu lahir dari kerinduan untuk sungguh-sungguh percaya. Di sinilah kita belajar: iman sejati bukan berarti tidak pernah ragu. Iman sejati adalah keberanian untuk membawa keraguan itu kepada Tuhan, dan membiarkan Dia menyentuh luka kita. Dari proses bergumul itulah, akhirnya Tomas bisa bersaksi dengan tulus dan penuh keyakinan: “Ya Tuhanku dan Allahku!” Kesaksian lahir bukan dari jawaban yang instan, tetapi dari proses pemulihan yang personal.

Tapi apakah setelah dipulihkan kita bisa dengan mudah bersaksi? Tidak juga. Tantangan tetap ada. Tapi di situlah pentingnya kesetiaan.

3. Tantangan dan Kesaksian

Setelah Yesus naik ke surga, para murid tidak langsung hidup nyaman. Dalam Kisah Para Rasul 5, mereka ditangkap dan dihadapkan kepada Mahkamah Agama. Mereka dipaksa diam. Ditekan untuk berhenti mengajar dalam nama Yesus.Namun yang terdengar adalah suara keberanian: “Kami harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia.” Para murid bisa berkata begitu karena mereka punya dasar iman yang kuat—iman yang lahir dari pengalaman ditolong dan dipulihkan oleh Yesus sendiri.

Kita pun akan menghadapi tekanan. Mungkin bukan dari penguasa, tapi dari lingkungan, keluarga, bahkan keraguan diri sendiri. Mungkin kita akan ditertawakan, dikucilkan, atau dianggap fanatik. Tapi jangan berhenti bersaksi. Kita tidak bersaksi karena keadaan mudah, kita bersaksi karena Tuhan setia. Dengan kata lain, kita dapat meyakini bahwa bersaksi itu bukan soal sudah sempurna maka dapat berbagi. Tapi soal berkata jujur: “Aku pernah terluka, tapi Tuhan menyembuhkan. Aku pernah ragu, tapi Tuhan hadir dan memberiku damai.”

Ibu, Bapak, Saudari dan saudara, hari ini kita belajar bahwa Tuhan tidak berhenti berkarya. Oleh sebab itu, kita pun tak selayaknya berhenti bersaksi. Mungkin kita hari ini seperti Tomas—letih, ragu, kecewa. Tapi ingatlah: Tuhan tetap datang. Ia tidak marah. Ia hadir, dan memulihkan. Ketika kita sudah dipulihkan, jangan simpan sendiri pengalaman itu. Jadikan itu kesaksian. Katakanlah kepada dunia bahwa Tuhan hidup, dan karena itu, kita pun hidup, percaya, dan tak berhenti bersaksi.


ypp

Sabtu, 19 April 2025

PASKAH: MENGINGAT, PERCAYA, DAN MENJADI SAKSI-NYA

Minggu Paska
Yesaya 65:17-25 | Mazmur 118:1-2, 14-24 | Kisah Para Rasul 10:34-43 | Lukas 24:1-12

Percaya Saudara bahwa Yesus benar-benar bangkit? Belakangan ini, ada cerita soal anggota gereja yang mulai goyah, karena mendapat pertanyaan-pertanyaa dari orang-orang di sekitarnya, "Benarkah Yesusmu bangkit?" Ada kemungkinan pertanyaan-pertanyaan ini muncul karena ada klaim-klaim yang terlihat ilmiah dan historis bahwa Yesus tidak bangkit. Dulu, tahun 1980-an pernah ditemukan makam yang katanya adalah makam keluarga Yesus di Kota Talpiot, yang disimpulkan bahwa Yesus tidak bangkit. Ada juga tulisan-tulisan yang dengan yakin berkata bahwa kalau kubur Yesus kosong, bukan berarti Yesus bangkit, sebab tidak ada buktinya. Kesimpulan yang lebih kuat adalah jenazah-Nya diambil dan dipindakan ke tempat lain. Ada banyak kabar dan berita yang menggugurkan dasar kepercayaan Kristen tentang kebangkitan Kristus. Pokok iman inilah yang sering menjadi sasaran dari teori, hipotesis, dan penemuan yang didaulat sebagai "historis" dan "ilmiah".

Kesaksian Injil Lukas menyatakan bahwa para saksi pertama kebangkitan Yesus, para perempuan, dua Maria dan Yohana, juga hanya menemukan kubur yang kosong. Mereka tidak langsung bertemu dengan Yesus. Respons awal mereka pasti syok, berusaha memproses apa yang mereka saksikan. Ketika otak mereka sedang memproses informasi itu, hadirlah dua sosok yang berpakaian putih kemilau, mengatakan, "Mengapa kamu mencari Dia yang hidup, di antara orang mati?" Mereka mau berkata bahwa jika Ia tidak ada di dalam kubur, itu artinya Ia telah bangkit. Teguran dua orang berpakaian kemilauan itu sekaligus menjadi pewartaan mengenai kebangkitan Yesus. Pewartaan itu dilanjutkan dengan ajakan untuk mengingat, "Ingatlah apa yang dikatakan-Nya kepada kamu, ketika Ia masih di Galilea ..." Dalam kondisi trauma dan ketakutan, kadang otak kita tidak bisa memproses informasi dengan baik, sulit untuk mengingat. Inilah yang dialami para perempuan in, mereka lebih mengingat hal-hal yang buruk, seperti trauma dan ketakutan mereka akan sengsara dan kematian Yesus. Mereka pun melupakan janji Tuhan bahwa Ia akan bangkit dan tidak menyadari bahwa kubur kosong adalah bukti Ia setia pada janji-Nya.

Karena itu, kedua sosok itu hadir unruk mengingatkan mereka akan janji Tuhan. "Teringatlah mereka akan perkataan Yesus itu." Ingatan inilah yang menggerakkan para perempuan ini untuk percaya bahwa Kristus sudah bangkit. Kubur kosong adalah tanda Yesus bangkit, bukan kerena jenazah-Nya dicuri atau dipindahkan. Dalam kondisi otak mereka yang masih memproses informasi yang begitu di luar nurul mereka, mereka percaya. Karena itu, mereka kembali kepada para murid yang lain. Apa yang mereka lakukan? Kelanjutan dari percaya, yakni bersaksi. Mereka menceritakan semua kepada para rasul dan suadara yang lain. Sebagai perempuan dalam masyarakat Yahudi yang patriarkis, mereka kerap dianggap lemah dan kurang dianggap di tengah komunitas. Namun, itu tidak mengurangi semangat para perempuan itu untuk menyampaikan berita kebangkitan Tuhan Yesus sesuai dengan perkataan-Nya yang mereka ingat dan sesuai dengan fakta kubur kosong yang mereka lihat. Benar saja, kesaksian mereka tidak dipercaya para murid yang lain, bahkan dikatakan omong kosong. Dalam bahasa Yunani, “omong kosong” ini memakai kata leros yang secara harfiah punya arti ‘mengigau’, ‘menceracau’, ‘bicara tanpa sadar’. Jadi dalam pikiran para murid lainnya, perempuan-perempuan yang kembali dari kubur Yesus itu sedang bermimpi, mengigau, atau meracau tentang Yesus yang bangkit.

Inilah respons para murid karena trauma mereka. Ingatan mereka diliputi ketakuan dan trauma, sehingga mereka pun melupakan perkataan Yesus tentang kebangkitan-Nya. Mendengar informasi dari para peremupuan, otak mereka merespons dengan penyangkalan. Namun, dalam ketakutannya, Petrus penasaran. Ia sulit untuk percaya, karena itu ia mau melihat sendiri, maka ia cepat-cepat pergi ke kubur. Ia pun melihat kubur yang kosong. apakah kemudian kubur kosong itu mengingatkan dia kembali akan janji Yesus dan kemudian percaya tidak dikatakan dalam perikop kita. Namun, jika merujuk pada ayat 34, kita melihat bahwa Tuhan telah menampakkan diri kepada Simon. Simon Petrus pun percaya, dan inilah yang menggerakan ia juga untuk bersaksi, bahkan bukan hanya kepada orang Yahudi, tetapi juga kepada bangsa lain. Inilah yang dipersaksikan Kisah Para Rasul ketika ia membaptis Kornelius, seorang perwira pasukan Italia. Kesaksian Petrus ini menunjukakn bahwa Kristus bukan hanya bangkit sdan hidup, tetapi juga memberi kehidupan. Tindakan Petrus yang masuk ke rumah seorang bukan Yahudi, melawan tradisi, menjadi kesaksian bagi kita bahwa Kristus bangkit dan menghidupkan semua orang, merangkul semua tapa diskriminasi dan membeda-bedakan. Karena itulah juga berita kebangkitan itu dinyatakan pertama kali kepada para perempuan yang sering kali didiskriminasi dalam masyarakat.

Kebangkitan Kristus menggunah ingatan dan iman para perempuan sehingga mereka berani bersaksi sekalipun di tengah diskriminasi; juga Petrus yang pada awalnya sangsi, tetapi kemudian menjadi saksi, bahkan dengan kesaksian yang mendobrak tradisi dan melawan diskriminasi. Dengan mengingat dan percaya, kita pun diberi kekuatan untuk bersaksi. Bersaksi bukanlah soal meng-counter klaim-klaim ketidakbangkitan Yesus berdasarkan bukti-bukti "ilmiah" dan "historis", melainkan dengan tutur kata dan karya kita yang menghadirkan kehidupan, ketika dunia saat ini berproses ke arah kematian. Kematian itu bukanlah kematian fisik melainkan kekerasan, diskriminasi, permusuhan, ketidakadilan, penindasan, juga ekploitasi dan pencemaran lingkungan hidup. Kekesarasan dan kesewenang-wenangan aparat; para pejabat pemerintahan yang mempertontonkan kebobrokan, suap, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan; masyarakat yang juga menjadi cerminan dari pemerintahnya; diskriminasi dan persekusi, penolakan bahkan kekerasan terhadap kelompok yang berbeda; eksploitasi terhadap para pekerja dan buruh. Dunia pun menuju krisis global kerena pertengkaran duo gemini. Kematian dan kehancuran yang lain pun kita saksikan sehari-hari, sampah-sampah plastik mengotori dan merusak lingkungan darat dan laut, bahkan membawa kematian pada hewan-hewan dan tumbuhan.

Kebangkitan Kristus adalah juga kebangkitan semesta, karena Ia menghadirkan kehidupan untuk semesta. Kebangkitan-Nya memberikan kehidupan yang melawan ketidakadilan, diskriminasi, kekerasan penindasan dan eksploitasi. Ia merangkul mereka yang disingkirkan dari masyarakat, Ia mendamaikan dan memulihkan relasi yang rusak, Ia memberikan keberanian dan pengharapan bagi mereka yang ketakutan. Melalui momen kebangkitan Kristus, kita pun diajak untuk menjadi saksi kebangkitan, yakni membawa perdamaian di tengah permusuhan, memperjuangkan keadilan dan melawan diskriminasi, menolak kekerasan dan terorisme, serta berjuang untuk kelestarian dan pemulihan lingkungan hidup. Amin. (ThN)