Minggu Biasa
Kejadian 3:8-15; Mazmur 130; 2 Korintus 4:13-5:1; Markus 3:20-35
Kebencian yang meletup-letup terhadap orang lain mampu membuat seseorang melakukan tindakan-tindakan yang di luar nalar. Saat seseorang membenci orang lain, ia akan mencari cara untuk menjatuhkan orang tersebut bagaimanapun caranya. Misalnya, di masa kini, seseorang dapat memanfaatkan media sosial untuk menjatuhkan “lawannya”. Instrumen yang seharusnya menolong manusia keluar dari cangkang ketidaktahuan menuju pada kemudahan akses informasi, nyatanya bisa dipakai untuk mencederai kehidupan bersama. Melaluinya ujaran kebencian dan berita hoaks mampu beredar dengan bebas sehingga bisa mengubah paradigma seseorang bahkan massa yang lebih banyak untuk mempercayai sesuatu yang tidak benar.
Meski di zaman Yesus dunia digital belum eksis, namun sikap kebencian sudah menunjukkan wajahnya melalui Ahli-ahli Taurat. Dalam Markus 3:20-30, kita bisa menyaksikan bagaimana Ahli-ahli Taurat itu datang dan menyebut Yesus kerasukan Be’elzebul (Pemimpin Setan) dan menggunakan kuasa itu untuk mengusir setan. Nampaknya mereka begitu kuatir pamor mereka merosot dengan kehadiran dan pelayanan yang Yesus lakukan sampai-sampai melontarkan tuduhan yang tak berdasar. Yesus merespon tuduhan itu dengan menunjukkan sebuah argumen bahwa tidak mungkin iblis mengusir iblis. Jika iblis melawan dirinya sendiri, maka tentulah ia akan berakhir dengan sendirinya. Lebih dari itu, Yesus melontarkan sebuah pernyataan yang tajam sekaligus kontroversial, “siapa saja yang menghujat Roh Kudus tidak mendapat ampun selama-lamanya, melainkan bersalah karena berbuat dosa yang kekal” (Mrk. 3:29). Apakah maksudnya menghujat Roh Kudus? Bukankah Yesus itu Sang Kasih yang selalu memberikan pengampunan? Lalu apakah memang ada dosa kekal?
Ahli-ahli Taurat sudah sangat jelas melihat karya-karya Allah di dalam Yesus, namun mereka menutup hati terhadap karya-karya Allah di dalam diri Yesus. Padahal mereka adalah seorang “ahli” yang mendalami tentang karya-karya Allah di dalam Taurat. Mereka sadar bahwa apa yang dilakukan Yesus merupakan karya Allah dalam kuasa Roh Kudus yang nyata, namun tetap menolak untuk mengakuinya. Sikap Ahli-ahli Taurat inilah yang merupakan bentuk penghujatan kepada Roh Kudus.
Tentu saja tidak ada dosa yang tak bisa diampuni oleh Allah. Saat manusia pertama Adam dan istrinya, Hawa jatuh dalam dosa karena ingin berpengertian seperti Allah, berita tentang pengampunan sudah mulai digaungkan meski nampak samar. Hal itu nampak dalam percakapan Allah dengan ular, “Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya.” (Kej. 3:15). Ayat ini mengandung janji pertama tentang kedatangan Sang Penebus yang akan mengalahkan setan (Bdk. Why. 12:1-12, 14:1; 22:12,6). Janji itu mulai mewujudnyata melalui karya keselamatan yang dikerjakan oleh Kristus melalui kematian, kebangkitan juga kenaikan-Nya.
Pengampunan sudah direncanakan sejak awal dan pada akhirnya pengampunan itu selalu tersedia kepada semua orang yang tidak mengeraskan hati dan menolak anugerah-Nya. Alih-alih membuka hati dan menerima anugerah itu, Ahli-ahli Taurat justru menolakanya. Jadi tak mendapatkan ampun, bukan karena Sang Pencipta itu kejam, melainkan karena ciptaan yang secara sengaja menolak untuk diampuni. Dengan demikian ungkapan “dosa yang kekal” harus dipahami sebagai situasi di mana seseorang yang terus-menerus menolak cinta kasih yang telah dianugerahkan oleh Allah melalui Yesus dalam kuasa Roh Kudus sehingga hidupnya mengalami kesukaran yang berkepanjangan.
Kini kita diajak untuk tidak mengeraskan diri juga hati terhadap Rahmat yang Allah telah anugerahkan melalui Yesus dalam kuasa Roh Kudus. Bukankah sejak semula kita terus menerus merasakan rahmat itu, sampai sekarang bahkan seterusnya. Sadarilah, rasakan, dan bagikan lah cinta kasih Allah itu pada sesama dan semesta. Selamat meresponi rahmat Allah!
feeg