Rabu, 30 Maret 2022

MAKNA PENGURAPAN YESUS

Minggu Pra Paskah V


Yesaya 43:16-21 │ Mazmur 126 │ Filipi 3:4-14 │ Yohanes 12:1-8

 

Pernahkah Anda bingung mencari oleh-oleh untuk sahabat dan keluarga saat sedang bepergian? Saya pernah menjumpai orang yang kebigungan mencari oleh-oleh untuk kerabatnya. Ia lantas memilih membeli berbagai macam makanan dan barang khas dari tempat ia berlibur. Pernah juga saya menjumpai orang yang mondar-mandir di pusat jajanan lantas keluar tanpa membawa satu jenis jajanan pun dan nampak masih berpikir apa yang harus ia beli. Saya pun pernah menjadi keduanya.

Sebenarnya mengapa kita pusing mencari oleh-oleh? Bisa jadi hanya kebiasaan timbal balik, sudah pernah diberi ya pantasnya memberi balik. Tapi tidak sedikit yang menjadi pusing mencari oleh-oleh yang sesuai untuk orang-orang terkasih karena rindu merawat relasi. Membawakan oleh-oleh yang unik nan khas sekaligus sesuai bisa dilihat sebagai bentuk nyata mengingat dan mengenal mereka yang terkasih. Seringkali hal ini akhirnya membuat kita tak terasa telah mengeluarkan biaya yang mahal. Tak terasa! Ya, karena relasi itu berharga, maka biaya bukan jadi masalah.

Maria dalam Injil hari ini juga nampak sebagai seorang yang sangat menghargai relasi dengan Yesus Kristus. Ia merawat relasi itu dengan jalan memberikan yang terbaik bagi Sang Sahabat. Sahabat yang baru saja membangkitkan Lazarus, saudaranya (Maria). Terbaik di sini bukan masalah harganya yang kalau dihitung dengan ukuran hari ini berkisar Rp. 45.000.000 (ayat 5 à 300 dinar = 300 x upah harian buruh = 300 x 150.000). Sebab terbaik di sini adalah yang tepat alias sesuai bagi Yesus, Sang Sahabat yang akan memasuki jalan penderitaan bahkan akan mati dan dikubur (ayat 7).

Lho, tapi kan Maria belum tahu secara persis kapan Yesus akan menjalani peristiwa Salib? Ya juga sih. Tapi Maria sangat kenal Yesus. Pengenalannya membuat ia merasakan kasih yang besar dari Yesus. Minyak wangi yang mahal itu bentuk penghargaan Maria bagi kasih Yesus. Meski sebenarnya tidak sebanding kalau disandingkan dengan kasih yang begitu besar dari Yesus. Jadi dapatlah diatakan bahwa pengurapan ini bagi Maria adalah bentuk ia membalas kasih Yesus Kristus yang sudah lebih dulu mengasihi Marta, Lazarus dan dia.

Hal ini membuktikan kekuatan kasih Kristus yang sanggup menggerakkan siapa saja untuk berbuat kasih berapapun harganya. Selain Maria, kita juga mengenal Paulus (Filipi 3:4-14) yang melepaskan segala sesuatu yang lahiriah, yang semula dianggapnya menguntungkan. Paulus rela melepaskan bahkan menganggap hal-hal itu sebagai sampah karena ia sudah merasakan indahnya berjumpa dan mengenal Kristus dan kasih-Nya.

Dari Paulus, kita juga mendapati pentingnya kita mengarahkan diri pada apa yang di depan. Paulus dalam Filipi 3:13-14 berkata “Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus.”

 

Melalui 2 ayat ini Paulus ingin mengajak kita sebagai pribadi maupun komunitas iman untuk mengarahkan diri ke depan. Apakah ini berarti menyepelekan yang sudah terjadi? Apakah ini berarti tidak menghargai masa lalu? Tentu bukan. Paulus sendiri belum tau apa yang di depannya, namun ia tahu bahwa dunia di depannya tidaklah sama dengan dunia di belakangnya. Iman kita perlu dijaga dan dikembangkan melalui sebuah keinginan/harapan pada perkembangan baik yang terus menerus terjadi.

Hal ini membuat kita dapat kembali pada Injil. Pengurapan Maria terhadap Yesus pun dapat kita lihat sebagai dukungan atas Yesus untuk memasuki perjalanan di depan-Nya. Segera setelah ini Yesus akan memasuki Yerusalem. Minggu depan kita akan merayakan peristiwa itu dalam Minggu Palmarum. Ada jalan rumit di depan, tak pasti bagaimana bentuk penyiksaan, hinaan, dan kematian yang akan menyongsong Dia. Kegelisahan bisa saja mulai merasuk dalam kemanusiaan Yesus. Sehingga dukungan kasih dari sahabat tentu berarti bagi Dia memasuki masa sengsara dan membangkitkan semangat bahwa setelah masa sengsara itu penebusan tergenapi.

Saudari-a, menarik untuk kita renungkan di masa pra paskah 5 ini. Hari-hari ini kita mendengar adanya kemungkinan bahwa pandemi ini akan segera berakhir. Pemerintah dan pihak terkait dengan penanganan pandemi mulai merancangkan masa transisi dari pandemi menuju endemi. Maka bacaan kita hari ini mengajak kita untuk mengarahkan diri ke depan pada kasih, tuntunan dan penyertaan Allah. Kasih, tuntunan dan penyertaan Allah akan menyadarkan kita bahwa memang kita rapuh. Kita bisa punya rencana a-b-c-d-e-sampai j, lalu harus diubah dalam sekejap menjadi k-l-m-n-o karena keadaan terkini. Namun dalam tuntunan dan penyertaan Allah itulah kita juga dimampukan memiliki hasrat dan keyakinan bahwa Allah yang penuh kasih dan setia akan memulihkan semesta. Kita hanya perlu setia berjalan ke depan bersama-sama, walau perlahan dan tertatih-tatih, dalam kebingunan dan kembimbangan namun tetap penuh tekad memperjuangkan kebajikan/kebenaran/belas kasih Allah. Lakukanlah semuanya sebagai syukurmu pada Kristus atas kasih-Nya.

Bagaimana kalau ada Yudas-Yudas yang mempertanyakan aksi kasih kita? Apakah aktivitas melayani Tuhan membuatku tidak menyapa mereka yang miskin dan berbeban berat? Ya bila Yudas bertanya, dengarkanlah sebagai pengingat agar kita terus memberi yang terbaik buat Yesus. Yesus memang peduli dan mengasihi pada kaum miskin. Namun saat kepedulian dan kasih terhadap orang miskin digunakan sebagai alasan untuk mencela sebuah tindakan kasih, kita patut waspada. Jangan biarkan komentar Yudas di sekelilingmu menjadi penghambat untuk menyatakan kasih pada Tuhan dan sesama.

Kalau kita sendiri ingin memastikan diri agar sungguh serupa dengan Maria dan Tindakan kasihnya. Marilah kita mundur satu Langkah dan bertanya: Apakah kehadiranku dan tindakanku sungguh karena kasih atau demi mendapat pengakuan?

Apabila kita melayani dan mengasihi setiap anggota keluarga, mitra pelayanan, mitra bisnis, kekasih, musuh, yang miskin ataupun yang kaya, yang menyenangkan ataupun yang menjengkelkan dengan segenap hati kita untuk mensyukuri kasih Tuhan; percayalah semuanya akan menjadikan hidup kita wangi seperti wangi narwastu.

ypp

Kamis, 24 Maret 2022

MENERUSKAN KASIH BAPA YANG MENYAMBUT

Minggu IV dalam Masa Prapaska

Yosua 5:9-12 | Mazmur 32 | 2 Korintus 5:16-21 | Lukas 15:1-3, 11-132


Rembrandt van Rijn, The Return of The Prodigal Son, c. 1661-1669

Lukisan di atas adalah karya Rembrandt van Rijn, seorang pelukis berkebangsaan Belanda, yang berjudul “The Return of the Prodigal Son”. Lukisan itu adalah interpretasi Rembrandt atas perumpamaan tentang “Anak yang Hilang” dalam Injil Lukas. Jika melihat lukisan di atas, apa yang bisa kita pelajari? Atau lebih, tepatnya, siapa yang hilang? Pada lukisan itu ada tokoh sang bapa, anak bungsu, dan anak sulung, serta para pelayan. Lukisan Rembrandt ini menginterpretasikan bahwa yang hilang bukan hanya si anak bungsu, tetapi juga anak sulung. Si bungsu menghambur-hamburkan uang, sementara si sulung merasa tidak memiliki dan dimiliki. Berikutnya, perhatikanlah sang bapa. Tangan kirinya terlihat kekar dan maskulin, sementara tangan kanannya lebih lembut dan feminin. Ini merupakan simbol dari Allah yang adalah bapa dan ibu sekaligus. Ini menunjukkan Allah yang berbelas kasih dan pengampun.

Dari lukisan Rembrandt itu, kita bisa melihat bahwa perumpamaan ini sebenarnya adalah kisah Bapa yang berbelas kasih dan pengampun. Namun, kenapa kita mengenalnya dengan kisah anak yang hilang, bahkan LAI pun memberikan judul perikop demikian? Mungkin karena ia termasuk dalam trilogi kisah “yang hilang”, bersama domba yang hilang dan dirham yang hilang. Dalam Bahasa Inggris, anak yang hilang disebut the prodigal son, seperti judul lukisan Rembrandt. Jika kita kurang memperhatikan, mungkin kita akan menduga bahwa prodigal itu berarti hilang, tapi ternyata bukan. Prodigal berarti boros, menghambur-hamburkan. Jadi, the prodigal son adalah anak yang boros, yang menghambur-hamburkan. Namun, apakah benar anak bungsu ini boros? Atau jangan-jangan ada tokoh lain dalam kisah ini yang lebih boros?

Mari kita telaah ketiga tokoh dalam perumpamaan ini.

1.  Anak bungsu. Jika kita melihat perjalanan hidupnya dari meminta warisan sampai makan makanan babi, kita pasti akan menilai dia boros. Namun, jika kita perhatikan, si bungsu ini sangat perhitungan. Saat sedang susah, ia masih sempat berpikir untung-rugi. Buktinya ada pada ayat 17. Ia menyadari keadaanya saat itu, lalu membandingkan dengan keadaan di rumah bapanya. Ternyata keadaan di rumah bapa lebih enak dan menguntungkan, jadi lebih baik kembali. Walaupun hanya menjadi budak, tetapi lebih baik daripada makan makanan babi.

2.  Anak sulung. Jelas dia ini sangat perhitungan. Ia merasa bahwa sang bapa tidak pernah membuat pesta untuknya, padahal sudah bertahun-tahun hidup bersama bapanya, setia di samping bapanya. Sebaliknya, si anak yang nakal ini dibuatkan pesta, padahal seharusnya dihukum. Si sukung terlihat hitung-hitungan dengan ganjaran, dan karena itu dia tidak terima jika si bungsu diampuni, bahkan dipestakan.

3.  Sang bapa. Ketikan si bungsu meminta warisan, sang bapa tidak berpikir panjang, langsung membagikan warisannya. Kepada si anak sulung, ia tidak berpikir sial hartanya, dan menyatakan bahwa harta dan kepemilikannya adalah harta dan kepemilikan si anak sulung juga. Selain itu, ketika anak bungsu kembali, ia langsung mengampuni si bungsu, memberikan pakaian yang terbaik, dan mengadakan pesta kepada anak bungsu ini. Ia tidak curiga jika sewaktu-waktu anak bungsu ini akan mencuri darinya, atau mungkin suatu saat mengkhianatinya dan pergi lagi. Ia tidak perhitungan, bahkan menghambur-hamburkan hartanya dan cintanya.

Dari ketiga tokoh itu, bisa kita simpulkan bahwa yang boros dan menghambur-hamburkan adalah sang bapa, bukan anak bungsu, apalagi anak sulung. Karena itulah, fokus perumpamaan ini bukanlah soal anak yang hilang atau anak yang boros, melainkan bapa yang boros akan cinta kasih dan pengampunan. Dan itulah gambaran tetang Allah kita. Allah yang tidak memperhitungkan pelanggaran, sebagaimana juga dipersaksiakan dalam bacaan kedua dan Mazmur tanggapan leksionari Minggu ini. Allah yang memberi rahmat tanpa syarat, cinta kasih tanpa transaksi, pengampunan tanpa hitung-hitungan.

Celakanya, orang Kristen sendiri yang menjadikan Allah sebagai pribadi peritungan dan transaksional. Banyak orang Kristen yang beranggapan bahwa jika mereka rajin beribadah, rajin memberi persembahan nanti Tuhan akan memberkati mereka. Parahnya lagi, ada yang berjudi dengan Allah; Memberikan persepuluhan supaya Allah melimpahkan berkat sepuluh kali lipat. Allah yang penuh rahmat itu dijadikan Allah yang transaksional dan hitung-hitungan, yang memberikan berkat-Nya karena umat-Nya taat beribadah. Bukan hanya itu, selain Allah dijadikan transaksional, Ia juga dijadikan sosok penagih utang yang kejam. Jika tidak beribadah dan memberi persembahan, tidak diberkati; Jika berdosa harus dihukum; Jika menyakiti harus disakiti. Allah dijadikan Allah yang transaksional oleh orang-orang Kristen yang tidak terima jika Allah memberikan rahmat-Nya dan menyambut semua orang. Mereka merasa bahwa Allah harus memberi ganjaran setimpal, seperti si anak sulung. Karena itu, dalam kisah ini, yang hilang sebenarnya bukan hanya anak bungsu melainkan juga anak sulung.

Perumpamaan ini sebenarnya ditujukan kepada orang-orang Farisi yang tidak terima jika para pelacur dan pemungut cukai disamput dan dikasihi Yesus. Mereka ingin Yesus menjauhi para pelacur dan pemungut cukai itu. Mereka seperti anak sulung yang menuntut ganjaran setimpal dan marah jika orang yang dianggap berdosa itu disambut oleh Allah. Untuk menegur merekalah, Yesus menyampaikan perumpamaan ini. Bukan tidak mungkin, perumpamaan ini pun menegur kita. Kisah ini mengajarkan dan mengingatkan kita bahwa Allah adalah Allah yang berlimpah dan menghamburkan cinta kasih, Allah yang boros akan belas kasihan dan pengampunan, yang menyambut siapa pun tanpa syarat. Dengan begitu, kita diajak juga untuk meneruskan cinta kasih Allah yang menyambut itu. Amin (thn)

Kamis, 17 Maret 2022

PERTOBATAN SEBAGAI GAYA HIDUP

 Minggu III dalam Masa Prapaska

Yesaya 55:1-9 | Mazmur 63:1-8 | 1 Korintus 10:1-13 | Lukas 13:1-9


Sikap mempersalahkan korban seringkali kita jumpai dalam masyarakat kita. Yang paling sering adalah ketika terjadi kasus-kasus pemerkosaan atau pelecehan seksual. Banyak orang berkomentar soal korban pemerkosaan yang salah karena pulang malam-malam dengan pakaian minim. Bahkan, pihak kepolisian yang seharusnya menolong korban menegakkan keadilan pun ikut mempersalahkan korban dengan menuduh mereka mengundang syahwat dengan berpakaian minim dan seksi, atau mencari gara-gara dengan pulang malam-malam sendirian. Padahal, pemerkosaan dan pelecehan seksual juga terjadi kepada mereka yang berpakaian tertutup dan jarang keluar rumah, di tempat-tempat pendidikan, tempat kerja, bahkan tempat ibadah. Pemerkosaan dan pelecehan seksual terjadi bukan karena korban yang berpakaian minim, tetapi karena pelaku berotak minim.

Sikap mempersalahkan korban itu juga tercermin dari perkataan orang-orang yang menemui Yesus dalam bacaan Injil. Mereka membawa kabar kepada Yesus tentang kasus pembunuhan terhadap orang Galilea atas perintah Pilatus, lalu darah mereka dicampur dengan darah hewan korban. Siapakah orang-orang Galilea yang dimaksud? Mengapa Pilatus membunuh orang-orang Galilea itu? Pilatus memang terkenal kejam dan bengis. Yosefus, sejarawan Yahudi, pernah mencatat bahwa Pilatus pernah memerintahkan tentara untuk menghabisi para demonstran Yahudi yang mengkritik tindakan Pilatus mengambil uang persembahan Bait Allah untuk proyek pembangunan saleuran air. Pernah juga ia membantai orang-orng Samaria di gunung suci mereka, Gunung Gerizim. Menurut catatan Bapa Gereja Sirilus dari Alexandria, orang-orang Galilea yang dibunuh Pilatus adalah para pengikut Yudas. Mereka menolak untuk mengakui Kaisar Romawi, dan mengharamkan persembahan kurban yang ditujukan bagi kesejahteraan kaisar dan orang-orang Romawi. Oleh karena itu Pilatus memerintahkan agar orang-orang Galilea itu dibunuh bersama dengan kurban-kurban yang mereka persembahkan, dan mencampurkan darah mereka dengan darah kurban itu.

Yesus memahami bahwa mereka ini berpandang bahwa orang-orang Galilea itu berdosa besar sehingga mati dengan cara yang tragis. Yesus sendiri menolak pandangan bahwa penderitaan adalah hukuman untuk suatu dosa tertentu, dan bahwa beratnya penderitaan dan tragisnya kematian menandakan besarnya juga dosa mereka. Yesus memperkuatnya dengan kasus tragis kedua yang berhubungan dengan proyek air minum. Belum lama terjadi suatu kecelakaan di Yerusalem yang menyebabkan delapan belas orang Yerusalem meninggal. Para korban adalah mereka yang terlibat membangun Menara Siloam di sudut tembok kota. Karena itulah berkembang rumor dalam masyarakat bahwa itulah hukuman bagi orang-orang yang menolong Pilatus dengan proyek-proyek busuknya. Yesus menolak pandangan demikian, “Tidak! Mereka tidak lebih berdosa daripada orang-orang Israel lainnya!” Kecelakaan atau malapetaka fisik bukanlah hukuman akibat dosa. Ada banyak orang yang tidak lebih berdosa daripada mereka pun mengalami malapeteka dan penderitaan. 

Momen ini pun digunakan Yesus untuk memperingatkan mereka bertobat. Menurut Yesus, jika bangsa Yahudi tidak bertobat, maka mereka akan mengalami kebinasaan. Bahkan bangsa-bangsa akan mengalami hukuman lebih ringan daripada bangsa Yahudi yang tidak bertobat. Ini juga sekaligus mengkritik eksklusivisme orang Yahudi yang selalu merasa lebih benar daripada bangsa lain. Berita pertobobatan ini Yesus lanjutkan dengan perumpamaan tentang pohon ara. Pohon ara ini ditanam di tanah yang baik, di dalam kebun anggur. Itu artinya semua kebutuhan nutrisi dan perawatan lebih dari cukup. Tentu saja si pemiliknya berharap agar pohon ara itu berbuah. Namun, setelah 3 tahun pohon itu hanya menghasilkan daun, sehingga si pemiliknya kecewa. Tiga tahun adalah waktu yang cukup untuk menantikan pohon ara itu berbuah. Namun, tukang kebun meminta waktu setahun lagi merawat dan memberi pupuk, jika pohon itu tidak berbuah juga, akan ditebang. Tiga tahun di sini juga menunjukkan bahwa pelayanan Yesus di antara orang Yahudi juga sudah tiga tahun, sudah hampir selesai. Namun, ternyata mereka belum juga berbuah. Mereka tidak bedanya dengan bangsa-bangsa lain yang tidak mengenal Allah. Karena itu, Yesus memperingatkan murid-murid-Nya untuk bertobat, selagi masih ada waktu.

Hidup setiap murid Tuhan yang bertobat seharusnya menghasilkan buah. Buah yang dimaksud adalah karakter dan perilaku baik. Karakter dan perilaku baik itu berbeda bahkan berlawanan dengan tabiat manusia lama sebelum mengenal Kristus. Bertobat, dalam bahwaa Yunani adalah metanoia, yang berarti berbalik arah. Karena itu, bertobat bukan hanya berhenti melakukan tindakan dosa melainkan juga berbalik arah dari dosa. Bukan sekadar berhenti mencuri, melainkan berusaha memberi dan berbagi. Bukan hanya berhenti membicarakan kesalahan orang lain, melainkan juga berusaha menjadi teladan agar orang lain termotivasi melakukan tindakan kebajikan. Bukan hanya berhenti bertindak egois, melainkan juga belajar melayani orang lain. Di sinilah bertobat bukan menjadi sebuah tindakan pada waktu tertentu, melainkan sebuah gaya hidup, yang terus-menerus dipupuk sehingga menghasilkan buah. (thn)


Kamis, 10 Maret 2022

BERARAK MENUJU HIDUP SEJATI

Minggu II dalam Masa Prapaska

Kejadian 15:1-12, 17-18 | Mazmur 27 | Filipi 3:17-4:1 | Lukas 13:31-35


Beriman membutuhkan keberanian. Pengakuan iman dalam bahasa Latin disebut credo, yang berarti "aku percaya". Kata credo sendiri punya arti yang lain, yakni "menaruh hati". Ia berasal dari akar kata cor, yang artinya "jantung" atau "hati", pusat perasaan dan emosi, di dalamnya terkandung jiwa yang menggerakkan manusia. Kata cor inilah yang menjadi akar kata courage dalam bahasa Inggris, yang berarti "keberanian". Jadi, beriman dan keberanian itu memiliki akar kata yang sama, dan ini bukan hanya kebetulan, karena beriman memang membutuhkan keberanian. Keberanian ada dua jenis. Yang pertama adalah keberanian spontan dan situasional, yang muncul pada saat dibutuhkan. Misalnya ada seorang anak yang tenggelam di sungai, dan seseorang secara heroik loncat ke sungai untuk menyelamatkan anak itu. Keberanian ini adalah keberanian yang muncul saat dibutuhkan. Keberanian yang kedua bukanlah keberanian spontan, situasional, dan heroik. Keberanian ini dicontohkan dengan seseorang bersedia tetap menghadapi tantangan tanpa lari atau menghindarinya, keberanian untuk menghadapi ketakutan dan memikul beban. Keberanian ini adalah karakter.

Keberanian kedua inilah yang dimiliki oleh Yesus. Ketika itu orang-orang Farisi datang untuk memperingati-Nya bahwa Herodes berniat untuk membunuh-Nya. Mereka menyuruh-Nya untuk meninggalkan Galilea. Namun Yesus bergeming. Jawaban Yesus justeru menujukkan bahwa tidak semestinya Ia mati di luar Yerusalem. Ia malah sudah mantap untuk menuju tantangan yang lebih mengerikan, Yerusalem. Herodes hanya punya kekuasaan di Galilea. Namun di Yerusalem ada Gubernur Romawi serta Mahkamah Agama yang siap menekan Yesus. Yesus malah menuju ke sana. Namun, bukan berarti Yesus putus asa dan siap untuk mati. Kematian adalah risiko yang harus Ia ambil untuk menunaikan misi-Nya. Yesus tahu bahwa Ia akan ditolak dan mati di Yerusalem, tetapi ia tidak menghindar atau melarikan diri dan mencari solusi mudah. Ia menuju Yerusalem, menghadapi kesulitan dan gelapnya tantangan demi cinta-Nya bagi dunia yang rapuh ini.

Keberanian Yesus bukanlah keberanian spontan dan heroik, melainkan keberanian yang sehari-hari dan menjadi karakter. Inilah keberanian (courage) yang berasal dari hati (cor), melakukan sesuatu sepenuh hati; Keberanian untuk mencintai tanpa takut kehilangan, untuk menunaikan misi Allah tanpa enggan, karena pada akhirnya akan ada kesejatian dan kehidupan. Keberanian seperti ini timbul dari kesadaran bahwa kehidupan adalah embara bersama Allah. Jika kita menilik kisah Abram, kita melihat bahwa ia sempat merasa ragu karena usianya sudah tidak memungkinkan untuk memiliki keturunan, sehingga ia memilik Eliezer untuk menjadi ahli warisnya. Ia takut kehilangan dan mencari rasa aman. Namun Allah menjanjikannya keturunan yang banyak seperti bintang di langit dan pasir di laut. Di dalam janji itu juga Allah mengingatkan Abram bahwa dirinya adalah pengembara, pendatang di tanah asing, dan keturunannya pun akan menjadi orang asing di negeri yang bukan milik mereka.

Allah menegaskan tentang kehidupan sebagai pengembara karena kemelekatan akan kepemilikan dan kemapanan membuat manusia enggan untuk kehilangan, takut memgambil risiko, ragu untuk beriman dengan hati, lalu mengambil jalan pintas yang mudah. Jika kita adalah pengembara dan pendatang, dan hidup ini adalah embara bersama Allah, kita pun memiliki keberanian untuk beriman, untuk mencinta tanpa takut kehilangan, untuk terus berkarya demi Kerajaan Allah. Karena itulah juga, Rasul Paulus menegaskan kepada jemaat di Filipi dan kita bahwa kewargaan kita bukanlah di dunia ini, melainkan warga Kerajaan Allah. Dengan begitu, kita tidak menjadi gereja yang melekat pada tempat dan kepemilikan. Dengan demikian, kita dapat beriman dengan berani tanpa takut kehilangan.

Masa pandemi ini kembali menegaskan identitas kita sebagai pengembara di tanah asing. Sebagai gereja, kita diingatkan kembali bawha kita tidak bisa melekat dengan tempat dan kepemilikan. Kita menyadari bahwa segala sesuatu tidak pasti, tidak stabil, dan bisa berubah. Rasa takut kehilangan serta keinginan untuk mempertahankan kemapanan dan kestabilan membuat kita gagal untuk melanjutkan karya kita menebarkan cinta Allah dan melakukan misi Allah dari hati. Kita adalah gereja yang terus mengembara di tengah dunia ini, yang berjalan bersama Allah di tengah segala ketidakpastian, perubahan, dan ancaman. Karena itu marilah terus berarak bersama Allah untuk menghadirkan kehidupan, memperjuangkan cinta kasih meskipun ditolak, mewartakan keadilan dan perdamaian sekalipun kehilangan, menunaikan misi Allah sekalipun jalan di depan penuh ancaman dan ketidakpasti, terus beriman dengan keberanian karena percaya bahwa Allah menuntun kita kepada hidup yang sejati. (thn)


Jumat, 04 Maret 2022

MENGAKRABI KESUSAHAN, MERANGKUL KEHIDUPAN

Minggu I Masa Prapaska

Ulangan 26:1-11 | Mazmur 91:1-2, 9-16 | Roma 10:8-13 | Lukas 4:1-12


Kita pasti tidak ingin merasakan kesusahan. Apa pun akan kita lakukan untuk menghidari kesusahan. Atau jika sudah telanjur jatuh dalam kesusahan, kita akan berusaha keluar dari kesusahan itu dengan cara apa pun. Namun, sekeras apa pun kita berusaha, yang namanya, kesusahan, penderitaan, pergumulan itu pasti ada. Ia adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Pandemi Covid saat ini misalnya. Tidak ada yang ingin virus kecil itu menyebar ke seluruh dunia dan membuat kesusahan di berbagai aspek kehidupan. Pandemi yang terjadi telah mengakibatkan banyak duka, penderitaan, dan pergumulan. Namun, bagaimana cara kita menghadapi dan bertahan dalam kesusahan itulah yang yang membentuk jati diri kita. Ketangguhan yang membuat kita bertahan itu disebut resiliensi atau daya lenting.

Resiliensi atau daya lenting adalah kemampuan seseorang untuk menahan atau menyerap tekanan dan kembali pulih lagi. Seperti rotan yang ditarik sampai melengkung kemudian akan melenting kembali kepada posisinya semula. Resiliensi atau daya lenting bukan hanya soal menahan kesusahan, tetapi juga mampu berimprovisasi terhadap keadaan. Orang yang tangguh atau berdaya lenting adalah orang yang mampu menerima kenyataan, memiliki iman yang mendalam, dan memiliki kemampuan untuk berimprovisasi dengan keadaan dan berpulih. Jadi, daya lenting atau resiliensi kita juga terlihat dari bagaimana mengakrabi kesusahan itu sambil tetap berpengharapan kepada Allah.

Pada Minggu pertama dalam masa Prapaska ini, bacaan Injil mengajak kita untuk melihat Yesus yang memulai pelayanan-Nya dengan berpuasa selama empat puluh hari di padang gurun. Masa empat puluh hari inilah yang menjadi acuan bagi gereja untuk mempraktikkan puasa dan pantang selama empat puluh hari masa Prapska. Dalam empat puluh hari ini, Yesus diperhadapkan pada godaan iblis yang menuntut-Nya memilih menyelesaikan persoalan dengan pendekatan kekuasaan dan cara mudah, atau taat kepada kehendak Allah dan merangkul penderitaan. Masa empat puluh hari puasa Yesus ini menunjukkan kualitas Yesus dalam menghadapi kesusahan dan penderitaan.

Godaan pertama yang Yesus hadapi adalah mengubah roti menjadi batu. Ini adalah jalan mudah ketika menghadapi kelaparan. Dengan roti gratis, maka tidak ada lagi kelaparan. Jika ada cara yang mudah dan gratis, manusia akan memilih cara mudah dan gratis itu untuk lepas dari pergumulan, terutama masalah perut. Tetapi Yesus memilih untuk merangkul derita itu. Bagi Yesus, roti dan Firman Allah harus seimbang, maka Ia memilih jalan salib, proses yang panjang, tidak mudah dan murah, namun menjadikan kasih Allah lebih berharga dan bermakna. Sebab, walaupun tersedia banyak makanan namun jika hati tidak dipenuhi cinta kasih yang bersumber dari Tuhan maka semua itu akan mubazir, malah menjadi sumber konflik.

Hal lain yang menggoda adalah kekuasaan yang didapat dengan menyembah iblis. Dalam keadaan terjepit, manusia cenderung mengambil kesempatan untuk mendapatkan kekuasaan sekalipun harus berkompromi dengan yang tidak benar. Dengan kekuasaan, manusia bisa dengan mudah keluar dari penderitaan dan kesusahan. Namun bagi Yesus, bukan kuasa yang penting, melainkan kasih Allah. Ia tahu bahwa kehendak berkuasa akan membuat manusia menjadi arogan dan tak pernah puas. Yesus memilih jalan pengurbanan dan pelayanan dengan menerima kenyataan penderitaan.

Godaan ketiga adalah menguji kesetiaan dan penyertaan Allah. Yesus ditantang menjatuhkan diri dari bubungan Bait Allah sebagai pembuktian iman. Tidak memenuhi permintaan itu berarti pengecut, namun melakukannya sama dengan mencobai Allah sendiri. Dalam kesusahan, terkadang manusia tergoda untuk mempertanyakan apakah Allah menyertai, apakah aku dikasihi, jika Tuhan mahakasih mengapa aku menderita, dan pertanyaan-pertanyaan pembuktian iman sehingga tergoda untuk mencobai Allah. Namun Yesus memilih untuk merangkul keprihatinan dalam ketulusan. Ia tahu bahwa Allah menyertai-Nya, dan Ia tidak butuh pembuktian bahwa Ia dikasihi. Yesus tahu itu karena setelah pembaptisan-Nya, Allah menegaskan itu, “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan” (Luk. 3:22).

Dari cara Yesus menghadapi kesusahan selama empat puluh hari di padang gurun, kita melihat daya lenting Yesus yang mampu menerima kenyataan tanpa mencari jalan pintas yang mudah dan murah, Ia memiliki iman kepada Allah yang mengasihi-Nya, serta mampu untuk tetap teguh dan dengan kreatif menghadapi tantangan yang dialami-Nya tanpa mencobai Allah. Pengalaman Yesus ini adalah pengalaman kita juga dalam menghadapi penderitaan. Kadang ktia tergoda untuk mengabil jalan yang mudah, atau menggunakan cara kekuasaan, bahkan sampai meragukan penyertaan Tuhan dan mencobai-Nya. Kita memang takut, khawatir, bahkan frustasi menghadapi kesusahan. Namun, dari Yesus kita belaja untuk menerima kesusahan itu sebagai bagian akrab dari kehidupan kita, dan tetap percaya bahwa Allah mengasihi kita dan tidak pernah meninggalkan kita, sehingga kita bisa menghadapi kesusahan itu dengan kreativitas untuk tetap teguh, tidak goyah, dan setia, serta pada saatnya mengalami pemulihan. (thn)