Kamis, 25 April 2019

BERHENTI MERAGU. PERCAYA DAN BERSAKSILAH!

| MINGGU PASKAH II |

| Kisah Para Rasul 5:27-32 | Mazmur 118:14-29 | Wahyu 1:4-8 | Yohanes 20:19-31

Untuk percaya pada sesuatu/seseorang dan menyebarluaskannya, seorang butuh bukti. Sebelum ada bukti yang pasti dan resmi maka yang ada adalah keraguan. Untuk menjadi seorang pemimpin daerah/negara dan wakil rakyat terpilh diperlukan catatan dan hasil kerja yang baik sebagai bukti dan alasan bagi rakyat untuk memilih. Untuk dinyatakan terpilih pun, dibutuhkan bukti alias data dari kumpulan surat suara sah yang masuk. Karena itu sejak 17 April – 22 Mei 2019 kegelisahan sedang meliputi warga negara Indonesia secara umum karena sedang menanti hasil penghitungan suara setelah merayakan pesta demokrasi yang begitu meriah. Dalam kegelisahan itu, ada yang percaya pada pengumuman hasil penghitungan cepat beberapa lembaga survei dan ada yang meragukannya.

Kegelisahan/keraguan ini akan berhenti bila hasil yang pasti/resmi dengan bukti yang kuat telah di umumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) 22 Mei 2019 mendatang. Karena saat itulah kebutuhan mendasar orang untuk menjadi percaya pada hasil pemilihan dan berani untuk bersaksi tentang hal tersebut terpenuhi dengan bukti dan data yang memadai dari KPU bahkan dari berbagai lembaga independen yang mengawal proses penghitungan suara dapat diakses dengan transparan.

Bila tak ada bukti yang kuat, maka tentu menjadi tak mudah. Itulah yang dihadapi pengikut Kristus yang hidup dalam iman dan percaya pada Yesus Kristus yang mati disalibkan dan bangkit dari maut. Sejatinya sukar untuk percaya pada peristiwa kematian dan kebangkitan. Terlebih data untuk percaya pada peristiwa kebangkitan ini berasal dari kesaksian orang-orang yang mengaku telah mendengar berita kebangkitan Yesus, atau sempat bertemu Yesus di kubur pagi-pagi benar. Kalau toh ada data yang paling otentik, hanyalah kain kafan bekas tubuh Yesus yang telah tergulung (Yoh.20:7). Murid-muridNya sendiri tidak begitu saja percaya. Bahkan Tomas dengan jelas meragukan kesaksian teman-temannya sampai ia berjumpa langsung dengan Yesus yang bangkit.

Padahal hidup beriman bukan hanya soal percaya pada kematian dan kebangkitan Yesus. Namun mengakui Ia yang mati dan bangkit itu sebagai juruselamat, yang akan menyelamatkan manusia dari segala bentuk kuasa dan kekuatan yang menindas. Ini lebih sukar lagi. Sebelum mati dan bangkit pun, tak sedikit yang meragukan Yesus sebagai juruselamat (bandingkan Yoh. 10:20). Karena penyelamat tentu dibayangkan memiliki kekuatan yang hebat, aman, makmur, berwibawa dan memiliki pasukan perang yang perkasa. Apalagi yang dihadapi para pengikut Kristus adalah kehidupan di zaman Kaisar Romawi, yang tak hanya menuntut ketaatan rakyatnya, tapi menuntut mereka untuk menyembah dia sebagai Tuhan. Karena sang Kaisar merasa memiliki kekuasaan dan kekuatan yang tak tertandingi.

Bila hari ini kita mendapati bahwa sejak dulu hingga sekarang banyak orang memilih tidak percaya, atau mulai percaya namun banyak bimbangnya, itu karena untuk percaya pada sesuatu/seseorang dan menyebarluaskannya, seorang butuh bukti yang meyakinkan secara rasio/nalar atau setidak-tidaknya secara tradisi sosio kultural. Yesus Kristus paham betul hal ini, karena itu Ia memakai cara yang memenuhi bahkan melampaui nalar/rasio kita (transrasional).

Yesus hadir menembus tembok dan pintu ruang yang tertutup sekaligus menerobos pintu hati dan pikiran para murid yang gelisah/ragu dengan sapaan “Damai Sejahtera bagi kamu.” Yesus ingin mengatakan bahwa kematian dan kebangkitan-Nya telah memulihkan hubungan antara manusia dengan Allah. Sekaligus menjadi jaminan bagi para murid bahwa kebangkitanNya telah mengalahkan segala kuasa dan kekuatan dunia dan membuat dunia ada dalam damai sejahtera. Yesus ingin menegaskan bahwa tanda keselamatan dari Allah tidak ditandai dengan kekuatan dan kekuasaan politik yang saling mengalahkan kekuatan dan kekuasaan yang lain. Tanda keselamatan juga bukan ketika aturan-aturan keagamaan dipenuhi dan dijalankan dengan ketat. Namun kata “Damai Sejahtera bagi kamu” menjadi tanda bahwa Keselamatan dari Yesus Kristus adalah keselamatan yang membuat orang susah merasakan penghiburan, orang berdosa mendapat pengampunan yang mendorongnya berpulih (/bertobat), para korban ketidakadilan mendapat pembelaan, orang yang takut berhenti meragu dan menjadi percaya. Yesus ingin setiap mereka yang ketakutan, cemas, dan khawatir membuka hati dan pikiran serta membawa kesemuanya kepada-Nya yang membawa dan membagikan damai sejahtera dan mendapat kelegaan.

Yesus sungguh memenuhi dan melampaui keraguan dan ketakutan para murid karena Ia tak hanya hadir memberi damai sejahtera namun juga menghembusi (BIS: meniupkan napas-Nya) mereka (Yoh 20:22). Ini menjadi bukti baru, bahwa Yesus memulihkan dan mengangkat para murid menjadi komunitas (ciptaan) baru yang digerakkan oleh napas Allah. Suatu tindakan dan pernyataan yang membawa para murid ke dalam relasi persekutuan dan misi dari Allah untuk bersaksi dan melayani di dunia dan bagi dunia. Ia sungguhlah “Alfa dan Omega…, yang ada, dan yang sudah ada dan yang akan datang, Yang Mahakuasa” (Wahyu 1:8).

Sehingga para murid tidak perlu lagi merasa takut, karena Yesus yang bangkit, senantiasa turut bekerja, hadir bersama dengan mereka dalam pewartaan mereka. Bahkan Tuhan akan memperlengkapi mereka dengan tanda-tanda yang meneguhkan. Mengapa Tuhan memperlengkapi? Tentu karena Tuhan tahu bahwa melanjutkan karya-Nya bukan hal yang mudah di tengah dunia yang membenci-Nya. Tuhan memang tidak menanti keadaan hidup ideal dan iman percaya yang sempurna, justru lebih sering di tengah kesulitan dan pergumulan kita diajak melakukan karya bersamaNya sehingga kita dan setiap orang yang terlibat merasakan kehadiran-Nya.

Bahkan bagi Bruce Epperly, seorang Teolog dan dosen, ketika murid Kristus yang melakukan karya dengan perlengkapan dari Tuhan. Ia sedang menghadirkan Roh Kudus yang menghadirkan pemulihan/rekonsiliasi di tengah banyaknya isu/roh yang memecah belah. Pernyataan Eperly ini menguatkan kita yang memiliki tantangan khusus hari ini. Tantangan untuk bersaksi hari ini adalah karena begitu banyak orang suka bersaksi. Kenyataannya kesaksian orang hari ini juga bersanding/beriringan dengan orang-orang yang bersaksi menyebarkan berita bohong dengan masif. Masifnya berita bohong hari ini berdampak pada perilaku orang yang cenderung jadi saling meragukan, sulit untuk percaya pada yang lain, bahkan tak jarang membuat orang memilih bungkam, atau malah berdebat dengan sengit. Tuhan memperlengkapi untuk percaya dan bersaksi bukan untuk berdebat. Karena sangat sedikit orang yang percaya karena kalah debat, justru perdebatan hanya akan memeruncing keadaan kebencian. Yesus melengkapi kita untuk tidak lagi meragu untuk berdialog, membangun jembatan damai sejahtera dari setiap perbedaan, membuka ruang-ruang perjumpaan yang menghadirkan damai sejahtera yang memulihkan bagi siapa saja yang sedang ketakutan, yang tersisih, terluka, tersakiti, terbungkam oligarki, terpukau hawa nafsu, termakan berita bohong, atau yang sedang terbawa arus sibuk saling melukai. Kalau dengan kesaksian kita mereka masih meragu dan belum percaya pada Kristus tidak Bangkit, Andar Ismail pernah berkata tenanglah dan teruslah menjadi teman yang percaya dan bersaksi membawa dampak. Itulah yang akan menjadi bukti meyakinkan bahwa Kristus Bangkit! 
(YPP)

Kamis, 18 April 2019

Menghadirkan Kehidupan

| MINGGU PASKAH |

| Yesaya 65:17-25 | Mazmur 118:1-2, 14-24 | Kisah Para Rasul 10:34-43 | Lukas 24:1-12 |


Menjelang Paska tahun lalu, dirilis sebuah film berjudul Mary Magdalene. Film ini berkisah tentang Yesus Kristus, namun dari sudut pandang seorang Maria Magdalena. Film ini menggambarkan Maria Magdalena sebagai seorang pemikir bebas yang melawan budaya patriarki. Film Mary Magdalene berusaha memulihkan nama baik Maria Magdalena yang telah mengalami pembunuhan karakter selama berabad-abad. Pembunuhan karakter itu telah terjadi sejak tahun 591, ketika Paus Gregorius I menyebutnya sebagai perempuan pendosa yang terlibat dalam praktik prostitusi. Selama berabad-abad banyak orang Kristen meyakini hal itu, sekalipun tidak ada penjelasannya dalam Perjanjian Baru. Tahun 2016 lalu, Paus Fransiskus secara resmi menghapus anggapan yang menyebut Maria Magdalena sebagai seorang pelacur. Bahkan kesaksian Injil justru memperlihatkan bahwa Maria Magdalena adalah perempuan istimewa. Semua Injil mencatat bahwa Maria Magdalena adalah saksi (atau salah satu saksi) pertama dari kebangkitan Kristus.
Semua Injil memberi kesaksian bahwa yang menjadi saksi kebangkitan Kristus pertama kali adalah para perempuan. Namun demikian, selain sosok Maria Magdalena yang mengalami peyorasi, peran perempuan setelah kebangkitan seperti terlupakan, bahkan hilang dari catatan-catatan Perjanjian Baru. PB memperlihatkan peran yang begitu besar dari para murid laki-laki. David Hayward, seorang pastor dan seniman menggambar sebuah kartun yang memperlihatkan para murid laki-laki berkata pada para murid perempuan, “So ladies, thanks for being the first witness and report the resurrection and we’ll take it from here.” Kartun ini mau menunjukkan bahwa setelah kebangkitan Kristus, yang disaksikan pertama kali oleh perempuan, justru peran perempuan semakin tenggelam dalam gereja. Peran itu diambil alih oleh para murid laki-laki.


Injil Lukas bahkan mencatat bahwa ketika para perempuan memberitahukan berita kebangkitan kepada para rasul yang laki-laki itu, perkataan mereka dianggap omong kosong oleh para rasul (Luk. 24:11). Para murid laki-laki itu tidak percaya kepada para perempuan itu. Pada masa itu memang perempuan mengalami diskriminasi. Selain tidak diberi tempat dalam masyarkat, mereka juga kerap dianggap pembohong dan berbicara omong kosong. Tidak heran jika peran perempuan dalam gereja mula-mula pun tidak terlalu disorot. Ini memperlihatkan bahwa dalam gereja mula-mula terjadi diskriminasi terhadap perempuan. Pengaruh budaya Yahudi ternyata cukup kuat dalam gereja. Ini terlihat ketika gerejalah yang melakukan pembunuhan karakter terhadap tokoh perempuan yang penting dalam Injil. Namun demikian, kisah kebangkitan dan penampakan diri Yesus pertama kali memperlihatkan bahwa Allah merangkul mereka yang terdiskriminasi dan direndahkan dalam masyarakat. Sebagaimana Allah menyapa para gembala melalui kelahiran Kristus, Ia pun menyapa dan merangkul para perempuan melalui kebangkitan Kristus.
Pengaruh budaya Yahudi yang cukup kuat adalah juga yang melatarbelakangi kisah pengakuan Petrus dalam bacaan kedua (Kis. 10:34-43). Sebelumnya, Petrus diberi penglihatan  berulang akan hewan-hewan haram yang disuruh untuk dia sembelih dan makan (Kis. 10:-16). Awalnya ia ragu-ragu karena ia memegang teguh trasidi Yahudi tentang makanan halal dan haram. Namun dia diberitahu bahwa apa yang telah dinyatakan halal oleh Allah tidak boleh dinyatakan haram olehnya. Penglihatan itu ternyata juga berkaitan dengan panggilan dia untuk melayani seorang non-Yahudi, yakni Kornelius. Petrus pun kemudian tidak ragu untuk bertamu dan masuk ke rumah Kornelius, seorang non-Yahudi yang dianggap najis oleh orang-orang Yahudi. Keputusan Petrus untuk melayani Kornelius ternyata didasarkan pada penglihatannya yang membuat ia paham bahwa Allah tidak membeda-bedakan orang berdasarkan bangsanya. Allah pun menyapa mereka yang bukan Yahudi, orang-orang disingkirkan dan didiskriminasi oleh masyarakat Yahudi.
Pada momen Paska ini, kita diajak untuk menghadirkan kehidupan. Dunia saat ini berproses ke arah kematian. Kematian itu bukanlah kematian fisik melainkan kekerasan, diskriminasi, permusuhan, ketidakadilan, penindasan, juga ekploitasi dan pencemaran lingkungan hidup. Bebarapa pekan belakangan ini, kita melihat banyak sekali permusuhan dan kebencian akibat perbedaan pilihan politik, baik cebong vs kampret maupun golput vs no-golput; Ada diskriminasi terhadap mereka yang memilih untuk tidak memilih; Ada juga arogansi karena mereka yang tidak memilih merasa lebih idealis. Kita pun melihat kekerasan dalam kalangan pelajar yang berujung pidana, atau terorisme akibat kebencian terhadap kelompok lain yang berbeda. Kematian dan kehancuran yang lain pun kita saksisan sehari-hari, sampah-sampah plastik mengotori dan merusak lingkungan darat dan laut, bahkan membawa kematian pada hewan-hewan dan tumbuhan.
Kebangkitan Kristus adalah juga kebangkitan semesta, karena Ia menghadirkan kehidupan untuk semesta. KebangkitanNya memberikan kehidupan yang melawan ketidakadilan, diskriminasi, kekrasan penindasan dan eksploitasi. Ia merangkul mereka yang disingkirkan dari masyarakat, Ia mendamaikan dan memulihkan relasi yang rusak, Ia memberikan keberanian dan pengharapan bagi mereka yang ketakutan. Melalui momen kebangkitan Kristus, kita pun diajak untuk menghadirkan kehidupan serta memperjuangkan keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan. Kita dipanggil untuk membawa perdamaian di tengah permusuhan, memperjuangkan keadilan dan melawan diskriminasi, menolak kekerasan dan terorisme, serta berjuang untuk kelestarian dan pemulihan lingkungan hidup.
(TWN)

Salib: Jalan yang Paradoksal


| JUMAT AGUNG |

| Yesaya 52:13-53:12 | Mazmur 22 | Ibrani 10:16-25 | Yohanes 19:16b-37 |


Yang patah tumbuh, yang hilang berganti.
Yang hancur lebur akan terobati.
Yang sia-sia akan jadi makna.
Yang terus berulang suatu saat henti.
Yang pernah jatuh ‘kan berdiri lagi.
Yang patah tumbuh, yang hilang berganti.

Itu adalah penggalan lagu grup musik Banda Neira. Lagu di atas memperlihatkan gambaran sebuah proses kehidupan di mana jatuh dan bangkit datang silih berganti bahkan berkelindan menjadi satu. Ada kalanya hidup membawa pada kekecewaan, kemarahan, ketakutan dan kejatuhan. Tetapi ada masa di mana kita bangkit dan berdiri.
Inilah makna salib. Bagi banyak orang, salib mungkin bermakna kemenangan, kemuliaan, kabanggaan. Tetapi salib pun merupakan simbol kerendahan, penderitaan, dan kematian. JΓΌrgen Moltmann, teolog Protestan asal Jerman, melihat bahwa karya Allah dalam sejarah ini terpusat pada salib dan kebangkitan Kristus. Salib yang adalah simbol kehinaan, kehancuran dan kematian diterima oleh Allah dalam Kristus yang bangkit untuk memberi pengharapan. Namun, salib dan kebangkitan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena Kristus yang bangkit adalah juga Kristus yang tersalib. Salib harus dilihat dari perspektif kebangkitan, yakni salib Kristus adalah akhir dari penghakiman Allah dan karenanya ciptaan baru dan harapan baru dimulai di dalam Kristus. Namun, kebangkitan juga perlu dilihat dari perspektif salib, yakni kebangkitan tidak serta merta menggantikan salib, justru kebangkitan menjadi signifikan dan relevan karena salib. Salib dan kebangkitan adalah dua sisi keterlibatan Allah dalam hidup manusia, yang artinya Allah hadir bersama umat-Nya dalam segala waktu dan tempat. Ia Allah yang turut menderita bersama kita, tetapi juga yang mengangkat kita. Di sini, salib dan kebangkitan merupakan satu kesatuan yang memiliki dua dimensi, yakni maut dan pengharapan. Pengharapan hanya akan ada jika ada pengalaman maut, namun pengalaman akan maut diangkat dalam kebangkitan yang membawa pengharapan.
Salib menjadi simbol kematian, tetapi juga pengharapan. Satu kata yang dingkapkan Yesus dalam kisah sengsara menurut Injil Yohanes menunjukkan dua dimensi paradoks dari salib. Kata ini adalah tetelestai, yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia “sudah selesai.” Kata tetelestai dapat kita maknai bahwa itu adalah akhir dari semuanya, Yesus merangkul kematiaanNya sampai akhir di salib. Namun, di samping itu, tetelestai juga bermakna berakhirnya suatu tugas, yakni tugas melaksanakan karya keselamatan Allah bagi dunia. Ia merangkul kematian dengan kesadaran dan kerelaan untuk membawa pengharapan akan pengampunan dan kehidupan bagi seluruh ciptaan. Injil Yohanes juga mencatat ketika lambung Yesus ditikam, keluarlah darah dan air. Ini juga merupakan simbol yang merangkul kedua dimensi salib. Darah merupakan simbol penderitaan dan kematian, sementara air adalah simbol kehidupan. Jalan salib adalah jalan yang paradoksal, kematian dan kehidupan.
Salib yang menjadi akhir kehidupan Yesus membuka jalan bagi pendamaian Allah dan ciptaan. Surat Ibrani menyebutkan bahwa salib menjadi jalan baru yang memulihkan hubungan Allah dengan ciptaan-Nya. Penulis Ibrani memakai gambaran Bait suci yang tersekat-sekat. Melalui kematian Yesus, sekat-sekat itu ditiadakan. Dalam kesaksian Injil Matius, Markus, dan Lukas, ketika Yesus mati, tirai Bait Suci yang memisahkan tempat kudus dan tempat mahakudus terkoyak. Dengan terkoyaknya tirai Bait Suci, maka tidak ada lagi pemisah antara Allah dan manusia. Allah di dalam Kristus merangkul kematian untuk berdamai dengan ciptaan-Nya. Salib menunjukkan terkoyaknya tubuh Kristus yang membawa pengharapan dan rekonsiliasi.
Namun demikian, salib tidak dapat dimaknai bahwa Yesus mati supaya kita hidup. Kematian Yesus adalah kematian semesta. Salib adalah karya Allah yang merangkul penderitaan dan kematian bersama-sama dengan manusia yang menderita dan mati karena dosa. Seperti yang Moltmann katakan, Allah adalah Allah yang turut menderita bersama ciptaan, tetapi juga yang mengangkat ciptaan. James Cone, teolog pembebasan kulit hitam yang mengembangkan teologi hitam, merefleksikan salib Kristus ke dalam pengalaman penindasan yang dialami oleh orang-orang kulit hitam di Amerika pada era 1880-1940an. Orang-orang kulit hitam pada masa itu mengalami ketakutan dan teror akan kematian pada pohon gantungan (lynching tree). Banyak orang kulit hitam, yang merupakan budak orang kulit putih, dihukum mati dengan cara digantung di pohon tanpa diadakan pengadilan terlebih dulu.  Dari pengalaman ini, Cone menghubungkan orang-orang kulit hitam yang mendapat perlakuan tidak adil dengan salib Kristus. Cone memandang salib Kristus seperti pohon gantungan yang digunakan untuk menggantung orang kulit hitam. Layaknya orang kulit hitam yang digantung di pohon, Yesus pun digantung di salib. Ia dihina dan dianggap kotor, ia dipertontonkan di tengah publik dan direndahkan. Yesus dan orang kulit hitam sama-sama menderita. Salib menjadi simbol bahwa Yesus yang menderita di salib juga merasakan penderitaan orang kulit hitam Amerika yang menderita di pohon gantungan. Namun, iman pada Allah dalam Kristus yang tersalib juga memberikan kekuatan dan keberanian untuk menanggung penderitaan serta kemampuan untuk mencari makna dan pengharapan dalam situasi yang berat. Kematian dan penderitaan bukanlah akhir, tetapi makna kematian bermanifestasi dalam kebangkitan Kristus. Salib tidak hanya menawarkan penderitaan, tetapi juga pengharapan, sebuah tempat untuk rekonsiliasi, tempat untuk melihat ke belakang bersama dan meratap bersama.
Melalui refleksi akan kisah sengsara Yesus, kita melihat bahwa salib adalah jalan yang paradoksal. Salib bukan hanya bermakna kematian dan penderitaan, tetapi juga bermakna pengharapan. Malalui salib dan penderitaan Kristus, umat yang tertekan dan putus asa karena penderitaan menerima pengharapan bahwa mereka tidak sendiri dalam menjalani penderitaan itu. Yesus yang tersalib juga merasakan apa yang mereka rasakan. Yesus juga menanggung penderitaan yang sama, bahkan lebih besar. Salib dan kematian bukan akhir, justru salib adalah jalan yang harus dilalui untuk menuju kebangkitan. Salib akan menjadi kesia-siaan tanpa kebangkitan, namun kebangkitan juga menjadi tidak relevan tanpa salib. Dalam kehidupan manusia ada fase di mana kita mengalami kejatuhan, kekecewaan, kehancuran, trauma dan keputusasaan. Namun, pandanglah pada salib Kristus, maka kita mendapat pengharapan bahwa penderitaan dan salib tidak pernah hadir tanpa kebangkitan. Kejatuhan dan keterpurukan tidak pernah ada tanpa pengharapan akan masa depan.
Kembali ke lagu tadi, “Yang patah tumbuh, yang hilang berganti.” Pengalaman patah dan jatuh bukanlah akhir. Selalu ada yang tumbuh dari yang patah, ada yang berganti dari yang hilang, ada pemulihan dari kehancuran, dan ada makna dari kesia-siaan.  Salib dan kebangkitan Kristus menunjukkan bahwa yang patah akan tumbuh, dan yang hilang akan berganti. Pengalaman trauma dan ketakutan yang dialami dalam teror kematian di salib tidak lantas mematikan pengharapan. Justru dari situ timbul pengharapan, dan pengharapan menjadi kekuatan dan dasar yang kuat bagi karya Kristen di dalam dunia. Pengharapan menjadi pendorong bagi rekonsiliasi dari trauma kekerasan dan penindasan. Pengharapan menjadi kekuatan bagi murid Kristus melanjutkan kehidupan dan menjadi saksi atas karya kehidupan, kematian dan kebangkitan Kristus bagi dunia. Itulah paradoks salib, kematian dan kehidupan, ketakutan dan pengharapan.
(ThN)

Kamis, 11 April 2019

SUARAKAN DAMAI

| MINGGU PRAPASKAH VI |

| Yesaya 50:4-9 | Mazmur 118:1-2, 19-29 | Filipi 2:5-11 | Lukas 19:28-40 |

      Media sosial di Indonesia gempar lagi dengan kasus perundungan terhadap seorang remaja putri bernama Audrey. Audrey mengalami kekerasan fisik dan emosional yang mengakibatkan dirinya mengalami banyak luka di tubuhnya dan trauma. Ia dianiaya oleh 3 orang pelaku utama dan dibantu 9 orang rekannya. Apa yang Audrey alami, didengar, dilihat, danturut dirasakan masyarakat Indonesia. #JusticeForAudrey terpampang di media sosial masyarakat Indonesia sebagai suara Indonesia untuk Audrey. Suara yang menuntut masyarakat untuk berhenti memandang perundungan sebagai hal yang biasa-biasa saja, suara yang menuntut pendidikan anti kekerasan di sekolah dan di rumah, suara yang menuntut keadilan baik untuk Audrey maupun korban lainnya, dan suara yang membawa kedamaianbagi Audrey bahwa ia tidak sendiri. Apa yang dialami Audrey, maupun banyaknya kasus yang belum terkuak menunjukkan bahwa rasa damai adalah kebutuhan dan perlu disuarakan bersama. 
      Demikian juga yang dialami oleh masyarakat Yahudi di era Yesus Kristus. Di masa penganiayaan yang dialami oleh masyarakat Yahudi dari pemerintahan romawi melalui pajak yang tinggi, mereka membutuhkan raja yang mampu menyuarakan, membela dan memberi mereka rasa damai. Ketika Yesus hadir dan dilihatlah karya-karya mujizat yang pernah Ia lakukan(ay. 37), maka Yesuslah yang dianggap sebagai orang yang tepat sebagai raja yang datang membawa pembebasan dan damai bagi mereka yang membutuhkan Itu sebabnya, ketika Yesus berjalan menuju Yerusalem, Yesus yang pada masa itu hanya mengendarai/menunggangi seekor keledai muda (bdk. Za. 9 : 9) tidak dianggap soal oleh orang-orang yang menyambutNya. Padahal umumnya, seorang raja akan memakai kuda/unta untuk ditunggangi sebagai binatang mahal dan nampak lebih terhormat. Bahkan Yesus juga mendapat perlakuan yang sangat istimewa. Ia benar-benar disambut sebagai seorang Raja, karena mereka – orang-orang yang turut dalam perjalanan ke Yerusalem menghamparkan pakaian mereka di jalan (red carpet) sebagai penghormatan bagi Yesus. Bahkan bukan hanya itu, mereka pun memuji Allah dengan suara nyaring “diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan, damai sejahtera di sorga dan kemuliaan di tempat yang mahatinggi!” teriakan ini merupakan nyanyian puji-pujian kepada Allah (bdk. Mzm. 118:26a), sekaligus pengakuan bersama bahwa Yesus adalah Raja yang datang dalam nama Tuhan. 
      Di tengah-tengah suara dan rasa sukacita umat Yahudi, ternyata ada juga suara yang nyinyir. Lihat saja, ketika banyaknya orang memuji Yesus, beberapa orang Farisi yang turut dalam perjalanan itu berkata kepada Yesus,“Guru, tegorlah murid-muridMu itu.” Apa yang dipikir oleh orang Farisi sehingga mereka menganggap bahwa yang dilakukan para murid Yesus itu salah dan patut ditegor? 1) Karena mereka tidak menerima Yesus sebagai Raja, 2) Yesus hanya dianggap sebagai guru, 3) Yesus hanya diterima sebagai anak tukang kayu (seperti penolakan terhadapNya di Nazareth). Namun ternyata, Yesus tidak menyuruh suara-suara itu untuk diam. Yesus justru berkata kepada orang Farisi, jika mereka ini diam, maka batu iniakan berteriak. Apa maksudnya? 1) Yesus dapat memakai media apa saja untuk mengakuiNya sebagai raja, 2) Apa yang disuarakan adalah benar. Karena Yesus adalah Raja damai untuk membebaskan manusia bukan dari pemerintahan Romawi, tetapi dari dosa. 3) Yesus mengajak umat saat itu untuk berhenti berdiam. Bersuaralah demi kedamaian dan suarakanlah bersama!Di dunia ini, ketika banyak orang memakai pepatah “diam itu emas.” Ternyata dalam ajaran Yesus, diam tak selamanya emas. Karena kita perlu bersuara. Kita perlu berani mengatakan sesuatu yang baik dan benar, bukan nyinyir apalagi menyebarkan berita kebencian dan hoax. Kiranya kita dimampukan untuk berani menyuarakan kedamaian seperti yang diteladankan Kristus bagi kita. Terutama sebagai masyarakat Indonesia, kita menyuarakan suara kita dengan damai di pesta demokrasi tanggal 17 April 2019 mendatang.
(MCT)

Menilik Hati, Meneguhkan Relasi

| MINGGU PRAPASKAH V |

| Yesaya 43:16-21 | Mazmur 126 | Filipi 3:4-14 | Yohanes 12:1-8 |

      Kurang dari dua minggu lagi, perhelatan akbar pesta demokrasi Indonesia akan digelar serempak di seluruh penjuru negeri. Aroma persainganpun makin kuat terasa. Lihat saja, pohon-pohon di tepian jalan sekarang berbuah poster caleg. Poster-poster itu bermain kata persuasif dan ‘adu rayu’ (single terbaru Yovie yang dinyanyikan Glen dan Tulus). Grafis-visual yang sangat menarik atau ada juga yang nampaknya tidak niat membuat poster. Namun kalau kita perhatikan konten poster tersebut, hampir setiap caleg menjanjikan pembelaannya kepada orang miskin (wong cilik). Janji demi janji diobral. Ada yang janji menghapuskan pajak kendaraan bermotor, bantuan tunai, semua fasilitas gratis, dll. Entah janji mereka masuk akal dan aplikatif atau hanya mengawang di angkasa, intinya mereka menampakkan keberpihakan mereka kepada orang miskin. Bukan hanya janji saja, penampilan para calon-calon inipun berubah. Selayaknya orang yang mendapatkan ‘pencerahan’ spiritual, mereka meninggalkan cara hidup mereka yang lama dan bertransformasi menjadi manusia baru. Para parlente yang tadinya hidup dengan bermewah-mewahan, tiba-tiba menjadi sosok yang sangat sederhana dan santun. Ugahari sekali! Tapi, ‘pencerahan’ itu seakan punya siklus, yang berlangsung tiap 5 tahun sekali. Yang tadinya tidak pernah makan di emperan jalan, sekarang bisa makan dimana saja asalkan mendapat simpati dari wong cilik. Ya, di sini orang miskin menjadi komoditas suara yang sangat menjanjikan. Yang berarti, keberpihakan mereka sangatlah tendensius. Pembelaan mereka adalah palsu!
      Hal yang sama ditunjukkan oleh Yudas dalam bacaan Injil kita. Dia memprotes keras tentang apa yang dilakukan oleh Maria. Bagaimana tidak, Maria menggunakan minyak narwastu murni yang mahal untuk meminyaki kaki Yesus (ay. 3), padaha minyak itu bisa digunakan untuk hal lain. Narwastu adalah sejenis tanaman wewangian yang digunakan untuk membuat minyak wangi (lih. Kid 4:13-14), dan cara disimpan di dalam guci tertutup, dan jika akan dibuka, leher gucinya harus dipatahkan (lih. Mrk 14:3). Dengan perlakuan istimewa terhadap minyak itu, tidak heran jikalau harganya menyentuh harga fantastis, yakni 300 dinar. Kita tahu bahwa 1 dinar adalah upah pekerja dalam satu hari. Berarti, minyak narwastu yang digunakan Maria untuk membasuh kaki Yesus berharga 300 kali upah pekerja harian. Pantas saja, sang bendahara protes terhadap tindakan Maria. “Mengapa minyak narwastu ini tidak dijual tiga ratus dinar dan uangnya diberikan kepada orang-orang miskin?” Lihat! Betapa mulia hati Yudas Iskariot. Keberpihakannya kepada orang miskin begitu kuat terasa. Melalui perkataannya, seakan-akan ia sangat menyayangkan uang 300 dinar terbuang percuma, apalagi hanya untuk membasuh kaki. Tetapi, ada kekhasan Injil Yohanes disbanding Markus dan Matius. Hanya di dalam Injil Yohanes, motivasi Yudas Iskariot ditunjukkan dengan jelas. Hal itu dikatakannya bukan karena ia memperhatikan nasib orang-orang miskin, melainkan karena ia adalah seorang pencuri; ia sering mengambil uang yang dipegangnya (ay. 6). Ya, pembelaan Yudas ternyata adalah palsu, sama dengan pencitraan para orang-orang suci dadakan di masa pemilu!
      Brand orang miskin dijual demi mendapatkan simpati, dan setelah itu bisa melakukan manuver pribadi. Ini adalah kejahatan! Memang, Yesus adalah tokoh yang sangat berpihak pada orang kecil dan terpinggirkan, namun itu muncul karena Yesus mencintai setiap mereka. Kasih yang tanpa syarat ia berikan kepada orang-orang miskin. Cinta yang apa adanya, bukan ada apanya! Berbeda dengan Yudas. Yudas terjatuh karena uang. Bahkan, penulis Injil Yohanes memberinya predikat sebagai pencuri (ay. 6). Kita juga akhirnya akan tahu, bahwa demi uang juga, Yudas menjual Yesus. Apa yang dilakukan Yudas semata-mata karena ia terjebak oleh uang. Seseorang pernah berkata; bagi orang serakah, satu isi dunia diberikan dipangkuannya saja masih akan kurang. Hatinya dipenuhi keinginan untuk mendapatkan uang, uang, dan uang. Hal ini kontras dengan apa yang dilakukan Maria. Sebelum kisah pengurapan ini, Yesus membangkitkan Lazarus saudara Maria. Dalam kisah itu, Yesus bukan hanya membangkitkan Lazarus, namun juga ikut MENANGIS bersama mereka. Maria merasakan cinta Yesus kepada mereka. Atas sentuhan cinta itu, Maria melakukan tindakan pembasuhan itu. Ia tidak segan-segan mengucurkan minyak mahal itu untuk Yesus, sedangkan Yudas sangat matematis nan materialistis. Hati yang diluapi oleh cinta Tuhan, dibanding dengan hati yang hanya mengejar uang. Perlakuan orang yang hatinya sudah disentuh oleh cinta, tidak akan pernah itung-itungan. Budayawan Indonesia, Sujiwo Tejo pernah berkata; cinta itu tanpa pengorbanan, kalau kamu masih merasa berkorban, itu bukan cinta, tapi itung-itungan. Itulah yang dilakukan Maria. Sedikitpun ia tak merasa rugi!
      Paulus pun demikian dalam bacaan kedua, Filipi 3:4-14. Pada ayat 8 Paulus mengatakan “malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus,”. Kemantapan hati Paulus ini merupakan pendendapan rasa atas segala perjalanan spiritualnya. Dasar segala pelayanannya kini adalah cintanya kepada Yesus Kristus. Bahkan, ia menggunakan frasa  ‘ditangkap’ oleh Tuhan Yesus (ay. 12). TB-BIMK menerjemahkan ini dengan ‘merebut saya dan menjadikan saya milik-Nya’. Ketika seseorang merasa memiliki dan dimiliki, ia akan melakukan segalanya atas nama cinta, bukan untung-rugi.
       Tampaknya, gereja juga harus menilik hatinya sendiri. Melayani kepada kaum papa seringkali menjadi tagline aksi sosial, dan biasanya terjadi di aksi sosial Paskah. Keberpihakan ini apakah memang berasal dari hati kita yang dipenuhi cinta Tuhan, ataukah hanya sebuah tindakan pelaksanaan program. Alih-alih pelaksanaan program, gereja menjadi sangat superior ketika bisa membagikan mie instan kepada panti jompo atau tempat-tempat penampungan lainnya. Seakan-akan, ketika sudah bisa memberikan bantuan, gereja menjadi hebat dan luar biasa, dan menempatkan penerima sumbangan sebagai orang lemah dan patut dikasihani. Kalau memang akan melakukan aksi sosial, biarlah itu didasarkan pada jiwa (hati) yang melayani, dan ini bisa meneguhkan relasi kita kepada Tuhan. Meneguhkan relasi kepada Tuhan tentunya dengan cara berelasi baik dengan sesama, yang sekali lagi, didasari oleh hati yang diluapi oleh cinta Tuhan kepadanya. Dan untuk setiap kita, kita perlu menilik hati kita. Apakah kita sudah merasa disentuh oleh cinta Tuhan? Atau masihkan kita mengejar sesuatu yang justru bisa memenjarakan hati kita seperti Yudas? Tiliklah hatimu, teguhkan relasimu dengan relasi yang tulus dan penuh cinta.
(FTP)