Sabtu, 25 Mei 2019

Taat Dalam Iman dan Kasih


Minggu Paskah VI

Kisah Para Rasul 16:9-15; Mazmur 67;  Wahyu 2:10; 22 - 22:5;  Yohanes 14:23-29

Menjelang pembaptisan, pak Pendeta bertanya kepada katekisan, untuk mengetahui sejauh mana mereka mempersiapkan diri setelah mengikuti katekisasi. Kepada seorang remaja, pak pendeta bertanya, “Apa yang menjadi ciri khas seorang beriman Kristen?”

Remaja itu diam mencari-cari jawaban, mencoba mengingat yang diajarkan oleh guru katekisasi. Namun, toh tidak diingatnya. Secara spontan ia menjawab, “kasih dan pelayanan.”

Mendengar jawaban tersebut, pak pendeta mengernyitkan dahi. Maka cepat-cepat remaja itu meralat jawaban. “Mmm…maaf pak, maksud saya salib dan Alkitab.” Pendeta itu tersenyum puas, dan menyatakan remaja itu lulus alias siap untuk dibaptis. (dikutip dan disesuaikan dari buku Agus Gunadi, “Seinci Waktu, Sekaki Permata 2”)

Kisah yang ini menggambarkan keadaan yang terjadi bila yang diajarkan adalah agama. Agama yang sedang dibuktikan dari ciri khas atau atribut keagamaannya. Namun pertanyaannya, apakah benar bahwa atribut keagamaan Kristiani cukup membuktikan diri kita seorang Kristen, pengikut Kristus?

Mari kita belajar dari Yohanes 14:25-27, saat itu Yesus mengajar kepada para murid bahwa Allah adalah Bapa yang mengenal anak-anakNya, mencintai satu per satu, dan senantiasa menyertai mereka. Bukan hanya menjelaskan, Yesus juga memberi petunjuk bahwa bukti penyertaan Allah Bapa adalah,

 Akan hadir seorang Penghibur yakni Roh Kudus.
Roh Kudus hadir menyertai bukan hanya untuk menghibur, tapi juga sebagai penolong (ay.16) yang akan membela dan menguatkan murid-murid serta orang-orang lemah. Jean Vanier mengatakan Roh Penghibur hadir menyingkirkan rasa cemas karena kesepian, membawa rasa aman, damai dan persekutuan, serta memberi inspirasi dan daya dorong bagi untuk maju karena Ia memegang, membawa, dan tinggal dalam diri kita.

Tetapi tak semua orang dapat dengan mudah memahaminya. Setelah Filipus diberi jawaban, Yudas – yang bukan Iskariot – ganti bertanya “Tuhan, apakah sebabnya maka Engkau hendak menyatakan diri-Mu kepada kami, dan bukan kepada dunia?” (ay.22)

Hal ini ditanyakan kepada Yesus, mungkin karena para murid tidak yakin bahwa dunia akan mendengar kesaksian mereka. Mereka ingin Yesus sendiri yang mengatakan kepada dunia tentang hal tersebut sebab dunia butuh bukti yang jelas. Kalau berbicara mengenai Allah yang mahakuasa, kejadian alam cukup jelas membuktikan kemahakuasaan Allah. Tetapi membuktikan Allah adalah Bapa yang mengenal anak-anakNya, mencintai satu per satu, dan senantiasa menyertai mereka, tentu tidak mudah.

Orang sangat mungkin akan menjawab aku tidak merasakannya. Hidup ini terlalu keras, semakin sulit, dan makin tidak adil. Kalau Tuhan mengenal, mencintai habis-habisan, dan menyertai, mengapa orang tuaku menderita sakit menahun? Mengapa aku sukar mendapatkan pekerjaan yang layak? Mengapa masih ada penipuan, pemerkosaan, pemerasan, dan kekerasan terjadi dimana-mana? Mengapa masih ada yang menjadi korban kecurangan oknum politikus? Bukankah Allah yang mengenal, mencintai, dan menyertai anak-anakNya akan bertindak mengganjar orang-orang jahat setimpal dengan kejahatannya dan kami mendapat keadilan?

Pertanyaan-pertanyaan itu menggambarkan bahwa untuk meyakinkan banyak orang bahwa Allah adalah Bapa kita butuh bukti yang kuat. Tetapi Yesus tidak melakukan dengan hadir diseluruh penjuru bumi di masa hidupNya, karena Ia memiliki rencana untuk melibatkan murid-muridNya. Murid-muridNya, termasuk kita gereja hari ini adalah komunitas orang beriman yang akan melanjutkan tugas perutusan-Nya. Mereka dan kitalah yang akan menyatakan Yesus kepada dunia. Kitalah yang diutusNya menunjukkan bukti!

Dari Yohanes 14 : 23 kita mendapati Yesus memberi petunjuk bahwa bukti penyertaan Allah Bapa adalah dengan;

Menuruti firman-Ku
Menuruti firmanNya yang bagaimana? Pada dasarnya yang dimaksudkan dengan firmanNya adalah taat melakukan tindakan kasih; saling melayani, berbela rasa, dan hidup dalam persekutuan dengan orang lain, tidak menghakimi atau menghukum, tetapi mengampuni, bahkan mencintai musuh. Persis seperti yang Yesus lakukan kepada dan bersama murid-muridNya saat itu dengan menyembuhkan orang sakit, menghibur orang susah, menerima orang yang ditolak, mengampuni orang yang berdosa, membela orang yang lemah secara sosial.

Membuktikan kasih Allah Bapa yang yang mengenal anak-anakNya, mencintai satu per satu, dan senantiasa menyertai umat dalam setiap tantangan hidup di bumi bukan hanya dengan menceritakan keajaiban karya Tuhan, juga bukan dengan memenangi perbedatan tentang pokok-pokok agama yang sukar dibuktikan. Tugas kita adalah membuktikan kasih penyertaan Allah, yang harusnya terwujud dalam hidup sesehari dimana kita lebih suka mengampuni ketimbang menghakimi, menerima ketimbang membatasi, menghargai ketimbang merendahkan, dan mempermudah ketimbang mempersulit hidup mereka.

Kita bisa saja tidak yakin mampu melaksanakannya sebagaimana para murid yang tidak cukup yakin mampu melakukannya tanpa kehadiran Yesus dalam keseharian mereka. Terlebih realita hidup hari ini memberi tantangan yang keras, sulit, tidak adil dan banyak kepalsuan. Tetapi ingatlah pula bahwa Yesus tak benar-benar pergi, karena Ia hadir dalam Roh Kudus, sang penolong, sang penghibur di dalam diri orang-orang yang percaya kepada Yesus.

Saat kita merasa tak cukup kuat, Roh Kudus yang mengajar, mengingatkan, dan mendorong kita untuk terus menunjukkan bukti bahwa Allah adalah Bapa yang peduli dan penuh cinta.
BUKAN kehebatan kita, dan jelas BUKAN atribut keagamaan Kristiani kita yang membuktikan, tetapi ROH KUDUS yang menolong kita TAAT DALAM IMAN DAN KASIH. – ypp –


Biarlah Yesus lingkupimu dengan Roh dan KasihNya
dan memuaskan dahaga jiwamu
Biarlah Dia angkat bebanmu, memulihkan hidupmu
Bak merpati dan Roh yang turun atasmu
“Spirit Song”: John Wimber, terj. Juswantori Ichwan

Jumat, 17 Mei 2019

Mencinta Tanpa Batas


| Minggu Paska V |

| Kisah Para Rasul 11:1-18 | Mazmur 148 | Wahyu 21:1-6 | Yohanes 13:31-35 |



sumber: nakedpastor

David Hayward, pastor dan seniman berkebangsaan Amerika Serikat, pernah menggambar sebuah kartun yang memperlihatkan Yesus berbincang-bincang dengan beberapa pemuka agama. Di situ Yesus berkata kepada mereka, “The difference between me and you is you use scripture to determine what love means and I use love to determine what scripture means.” Melalui kartun itu, Hayward ingin berkata bahwa pada hakikatnya, Allah adalah kasih. Jadi, cinta kasih Yesus, Allah yang menjadi manusia itu, tidak terbatas pada ayat-ayat atau aturan-aturan dalam kitab suci. Ia justru menentukan dan mendefinisikan aturan-aturan kitab suci dengan landasan cinta kasih. Sebaliknya, tokoh-tokoh agama menentukan dan mendefinisikan cinta kasih dengan aturan-aturan dan ayat-ayat yang tertulis dalam kitab suci, sehingga cinta kasih menjadi terbatas dan kerdil. Kasih dibatasi hanya pada mereka yang satu golongan, sedangkan yang tidak segolongan layak dibenci.
Gereja mengenal hakikat Allah adalah kasih juga dari kitab suci. Hanya saja, poin penting itu–Allah adalah kasih–sering terlupakan sehingga apa pun dicari dan didefinisikan dengan kitab suci, termasuk cinta kasih itu sendiri. Bahkan tidak jarang, pola pikir yang dilandasi doktrin-doktrin juga sangat memengaruhi gereja untuk membaca kasih berdasarkan kitab suci. Akhirnya, seringkali gereja memahami cinta kasih dengan sangat kerdil, bahkan membatasi kasih–dan tanpa sadar pun akhirnya membatasi Allah. Gereja menentukan batasan-batasan siapa yang layak dikasihi dan siapa yang tidak berdasarkan apa yang didapat dari kitab suci. Gereja menolak mencintai orang yang berbeda agama, pribadi dengan disabilitas, orang-orang dengan orientasi homoseksual, dan orang-orang yang dicap berdosa. Gereja pun hampir tidak pernah berpikir untuk mencintai dunia, alam semesta yang diciptakan dan dicintai Allah ini.
Jika kita telah melihat bagaimana pola pikir dan doktrin membawa gereja pada penghayatan cinta kasih yang terbatas dan kerdil, tema yang mengantar kita pada perenungan di Minggu Paskah V justeru mengajak kita untuk “mencinta tanpa batas.” Injil Minggu ini, Yohanes 13:31-35, mengisahkan saat-saat terkhir Yesus bersama-sama murid-murid-Nya. Pada saat itulah Ia menasihati mereka untuk saling mengasihi. Yesus memberikan perintah baru bagi para murid untuk saling mengasihi. Pada saat-saat terakhir Yesus, perintah ini menjadi sangat penting dan dibutuhkan kerena mereka akan mengalami pengalaman menyakitkan, terluka, penyesalan, dan ketakutan. Mereka akan mengalami pengalaman traumatis yang membuat mereka rentan terpuruk dan terpisah satu sama lain. Oleh karena itu Yesus mewanti-wanti mereka untuk saling mengasihi, karena kasihlah yang dapat menguatkan dan memulihkan mereka. Dengan tindakan kasih juga mereka dapat saling menerima kerapuhan dan kegagalan satu sama lain untuk dapat saling memulihkan, tanpa menghakimi dan menyalahkan.
Perintah baru yang Yesus berikan ini pun diberi kesimpulan, “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku…” Perhatikanlah Yesus di sini menyatakan bahwa tindakan cinta kasih itu menjadi kesaksian bagi semua orang. Bukan hanya orang-orang tertentu, bukan kalangan murid saja, bukan juga orang Yahudi saja, melainkan semua orang. Pengalaman-pengalaman para murid yang terluka namun saling memulihkan dalam relasi cinta kasih itulah yang menjadi kesaksian yang kuat bagi semua orang tentang kasih Allah. Dengan demikian, pesan Yesus untuk mengasihi bukan hanya soal kasih kepada sesama dalam kelompok para murid, melainkan kasih bagi semua orang. Kasih yang membuka diri untuk jujur terhadap kerapuhan dan kegagalan, kasih yang merangkul dan memulihkan. Kualitas cinta kasih itulah yang dibagikan kepada semua orang tanpa batas.
Bacaan Pertama, Kisah Para Rasul 11:1-18, memperlihatkan bagaimana kasih Allah dinyatakan melampaui batasan Yahudi atau non-Yahudi, halal atau haram, tahir atau najis. Petrus yang membaptis Kornelius, seorang perwira pasukan Italia, di Kaisarea dipermasalahkan oleh saudara-saudara dari kalangan bersunat. Mereka tidak terima jika Injil Kristus diberikan kepada bangsa non-Yahudi, dan mempersalahkan Petrus yang masuk ke rumah orang tidak bersunat. Petrus pun mempertanggungjawabkan baptisannya kepada orang non-Yahudi di hadapan rekan-rekannya. Petrus menyatakan bahwa karunia Allah yang diberikan kepada orang-orang non-Yahudi itu adalah karunia yang juga diberikan kepada para murid, maka ia tidak mungkin mencegahnya. Pengalaman itu yang membuat Petrus mengakui bahwa “… Allah tidak membedakan orang.” (10:34). Pengalaman Petrus ini juga yang membuat rekan-rekannya pun mengaku, “Jadi kepada bangsa-bangsa lain juga Allah mengaruniakan pertobatan yang memimpin kepada hidup.”
Pengalaman Petrus bersama Kornelius yang bukan Yahudi menggugah pengertiannya bahwa Allah tidak membeda-bedakan orang. Kasih dan karunia Allah dinyatakan kepada semua orang tanpa pembedaan. Dalam hal Petrus, Allah memberikan karunia-Nya kepada seorang non-Yahudi yang dianggap najis dan kafir oleh orang-orang Yahudi. Allah meruntuhkan tembok pemisah itu dan menyatakan cinta kasih-Nya yang tanpa batas. Cinta kasih Allah itu juga yang menggerakan para rasul untuk terus bersaksi dengan landasan kasih Allah yang tak terbatas dan tak membeda-bedakan. Kesaksian itu didasarkan pada semangat cinta kasih yang membangun dan memulihkan.
Ribuan tahun setelah Yesus dan para rasul, gereja pun memiliki semangat untuk bersaksi. Sayang sekali kesaksian itu tidak dilandasi kasih yang memulihkan, melainkan semangat penaklukan. Pelayanan gereja tidak dilakukan dengan kasih yang tanpa batas, melainkan dengan membangun batas-batas bahkan tembok. Kitab suci tidak dibaca dengan kasih, melainkan dengan doktrin yang kerdil, kecurigaan, bahkan penghakiman terhadap kelompok yang berbeda. Gereja yang seharusnya menjadi komunitas yang merangkul dan memulihkan menjadi komunitas yang menghakimi dan menyingkirkan dengan landasan ajaran dan kitab suci.
Kembali ke kartun yang dibuat Hayward. Kartun itu menjadi kritik bagi gereja untuk meninjau kembali bagaimana selama ini gereja memaknai dan menghayati cinta kasih. Apakah kasih hanya menjadi konsep ajaran yang ditemukan di dalam kitab suci, atau kasih menjadi landasan dalam setiap aspek kehidupan orang Kristen? Apakah kasih Kristus yang tanpa batas dan memulihkan itu benar-benar berbuah sebagai tindakan atau hanya sebagai pokok ajaran kristiani? Allah adalah kasih, Kristus adalah teladan cinta kasih, maka kita pun belajar untuk mengasihi dari Allah di dalam Kristus. Dari Kristuslah kita belajar mengenai kasih yang menjadi landasan berpikir dan gaya hidup, kasih yang berupa tindakan dan bukan hanya konsep, kasih yang merangkul dan memeluk mereka yang terasingkan, kasih yang tidak menaruh kecurigaan pada mereka yang berbeda, kasih yang meruntuhkan batas-batas dan merayakan perbedaan, kasih yang tidak menghakimi orang lain sebagai pendosa, kasih yang memberi diri dan bersedia terluka, kasih yang merangkul dan memulihkan.
(ThN)

Kamis, 09 Mei 2019

MENGENAL YESUS DALAM SELEBRASI

Minggu Paskah IV 
Kisah Para Rasul 9 : 36 – 43; Mazmur 23; Wahyu 7 : 9 – 17; Yohanes 10 : 22 – 30

Saudara, suatu kali ada seorang pemain akrobat yang hendak menunjukkan keahliannya berjalan pada seutas tali di atas air terjun Niagara. Sebuah pertunjukkan yang akan menjadi keren kalau dia selamat tetapi akan menjadi naas jika ia jatuh, hilang dan mati. Sebelum memulai pertunjukkannya, ia sempat bertanya kepada para pengunjung yang saat itu sedang rekreasi di pinggir air terjun. “Saudara, saya akan menunjukkan keahlian saya menyebrang dari ujung ke ujung air terjun Niagara ini dengan berjalan pada tali di atas air terjun ini. Apakah anda percaya saya mampu melakukannya?”, tanya pemain akrobat. Awalnya semua penonton diam dan merasa tak yakin pada kemampuan pemain akrobat ini. Namun, sayup-sayup seorang demi seorang meneriaki “kami percaya. kamu bisa.”

Alhasil, pemain akrobat ini pun berjalan melintasi tali di atas air terjun Niagara menuju ujung seberang. Apa yang terjadi? Sang akrobat ini berhasil dan tiba di ujung seberang dengan selamat. Penonton yang sejak tadi memperhatikan dengan was-was akhirnya merasa lega dan kompak bertepuk tangan untuk memberi selamat kepada pemain akrobat. Namun ternyata, pertunjukkannya belum selesai. Ia berkata, “saudara, apakah anda percaya saya dapat berjalan kembali ke seberang dengan membawa sebuah kereta dorong?” karena sebelumnya ia berhasil, para penonton pun riuh berteriak “percaya, kamu bisa. Kami percaya” Namun sebelum berjalan, ia bertanya lagi. “jika anda percaya, apakah ada yang bersedia untuk duduk di dalam kereta dorong ini?” Semua diam seribu bahasa dan mundur perlahan sebagai tanda tidak bersedia dan bukti tak sepenuhnya percaya.

Ilustrasi ini menggambarkan bagaimana sulitnya untuk percaya sekalipun sudah melihat bukti. Sekaligus memperlihatkan betapa mudahnya orang terjebak pada selebrasi dan melupakan makna yang sesungguhnya dari sebuah momen. Demikian juga yang diungkap dalam Yohanes 10 : 22 – 30. Ketika Yesus sedang turut merayakan hari raya Pentahbisan Bait Allah di Yerusalem, ia didatangi oleh orang-orang Yahudi dan berkata (ay. 24)  “Berapa lama lagi Engkau membiarkan kami hidup dalam kebimbangan? Jikalau Engkau Mesias, katakanlah terus terang kepada kami." Lalu Yesus jawab, (ay. 25 – 26a) “Aku telah mengatakannya kepada kamu, tetapi kamu tidak percaya; pekerjaan-pekerjaan yang Kulakukan dalam nama Bapa-Ku, itulah yang memberikan kesaksian tentang Aku, tetapi kamu tidak percaya.”

Hal ini menjelaskan 3 hal:
1) Sulitnya orang-orang Yahudi percaya sekalipun mereka bukan hanya mendengar tetapi juga melihat dengan mata kepala mereka sendiri (bukan hoax tetapi fakta), bahwa Yesus sudah menyatakan dan berkarya sebagai mesias. Namun, mereka bukan tidak bisa percaya, tetapi tidak mau percaya.
2) Jangan-jangan selama ini mereka hanya melihat mujizat/karya/khotbah Yesus hanya sebatas selebrasi/perayaan akan sesuatu/sesuatu yang nampaknya wow tapi tidak betul-betul mengerti makna dari setiap tindakan Yesus
3) Pertanyaan orang-orang Yahudi ini dianggap memiliki maksud tersembunyi bak udang di balik batu. Karena mereka sedang mencari kelemahan/kesalahan Yesus dalam menjawab, dengan tujuan untuk menyingkirkan Yesus.

Saudara, di bacaan Injil ini kita menemukan bahwa ternyata jika orang-orang Yahudi menolak untuk menerima Yesus dan menolak percaya pada Yesus, maka selebrasi yang Yesus tampilkan hanya sekadar seleberasi biasa (tontonan) tanpa makna buat mereka, karena mereka menikmatinya tanpa mengenal Yesus. Tanpa mengerti makna kehadiran Yesus. Lantas, bagaimana kita mengenal Yesus dalam selebrasi? Hal ini dijelaskan dalam Kis. 9 : 36 – 43. Bacaan pertama ini berkisah tentang seorang murid perempuan bernama Tabita (Yun. Dorkas) yang tinggal di Yope. Semasa hidupnya, Dorkas dikenal sebagai perempuan baik karena suka berbuat baik dan memberi (sedekah dan pakaian) kepada janda dan orang-orang yang membutuhkan.

Namun, ia sakit dan meninggal dunia. Dalam kedukaan, sebagai wujud terima kasih orang-orang yang sudah ditolong, jenazah Dorkas dimandikan dan dibaringkan di ruang atas untuk siap dikuburkan. Namun, ketika orang-orang di Yope mendengar bahwa Petrus berada di Lida (berjarak sekitar 15 Km dari Yope), mereka pun mendatangi Petrus dan memintanya datang ke Yope. Sesampai di Yope, Petrus mendengar kisah kebaikan Dorkas, lalu ia berlutut dan berdoa. Apa yang terjadi? Dampak diberikanNya Roh Kudus di momen Pentakosta dalam diri para rasul (termasuk Petrus) membuat ia diberi kuasa untuk membangkitkan Dorkas. Melihat Dorkas hidup kembali tentu hal ini membuat masyarakat Yope khususnya orang-orang yang menangisi kematian Dorkas, merasakan sukacita dan merayakannya karena Dorkas, perempuan yang baik hidup kembali.

Di tengah-tengah momen selebrasi itu, ada hal lain yang mungkin terjadi. Misalnya, Petrus mungkin saja menjadi tinggi hati dan berbangga diri karena ia akan dikenal sebagai pahlawan/orang yang punya kuasa (like Jesus), bisa membangkitkan orang mati. Tetapi Petrus sadar diri bahwa kebisaannya dan selebrasi yang terjadi, itu bukan karena dirinya tetapi karena Tuhan. Tanpa pertolongan Tuhan, tentu dia tak bisa berbuat apa-apa. Selebrasi ini menunjukkan bahwa bukan hanya orang lain perlu mengenal Tuhan, tetapi seorang rasul pun perlu untuk terus sadar dan mengenal karya Tuhan melalui dirinya. Selebrasi Dorkas yang hidup kembali rupanya memberi pengenalan baru bagi orang-orang di Yope. Karena mereka bukan hanya mengenal Petrus sebagai rasul Tuhan, tetapi juga mengenal Tuhan melalui karya Petrus. Sehingga, mereka mereka menjadi orang-orang yang bukan hanya mengenal tetapi juga percaya pada Tuhan.

Saudara dari firman Tuhan ini, apa yang hendak kita refleksikan?
1. Apakah dalam setiap momen kehidupan kita (termasuk juga selebrasi/perayaan/kesuksesan) kita semakin mengenal Allah yang terus berkarya baik dalam diri kita seperti Petrus maupun dalam diri orang lain seperti orang-orang di Yope? Atau justru selama ini kita sudah melihat namun tak mau membuka hati untuk percaya dan semakin mengenal Tuhan seperti orang-orang Yahudi? Kita yang mana?
2. Proses mengenal dan percaya pada Tuhan bukan hanya terbatas pada selebrasi tetapi dalam berbagai momen seumur hidup.

Jumat, 03 Mei 2019

Perjumpaan yang Memulihkan


Minggu Paska III
| Kis 9:1-20 | Mzm 30 | Wah 5:11-14 | Yoh 21:1-19 |

Salah satu tren yang ada di kalangan masyarakat adalah reuni. Sensasi dalam perjumpaan itu seringkali menjadi penyegar di tengah kepenatan hidup sehari-hari. Bernostalgi dengan kawan lama, mempercakapannya dalam lensa yang lebih luas menimbulkan sensasi yang menyenangkan dan haru.

Begitu pula Yesus yang ‘bereuni’ dengan para murid setelah bangkitanNya. Tentu perjumpaan Yesus bersama murid-murid punya kesan yang mendalam.  Yesus terus menunjukkan tanda-tanda dan menampakkan diri kepada para murid selama 40 hari sebelum naik ke sorga. Salah satunya penampakan Yesus kepada Simon Petrus. Kisah ini adalah satu dari serangkaian penampakan Yesus pada murid-muridNya, dan bisa dibilang kisah ini yang cukup ikonik. Perjumpaan Yesus dan Petrus inilah yang menjadi pusat refleksi Minggu Paska III kali ini.
Sebagai kisah yang populer, perikop ini seperti sudah punya pakem tersendiri untuk ditafsirkan. Pola percakapan Agape-Filia menjadi dinamika percakapan Yesus dan Petrus.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Yesus    : Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi (agape) Aku lebih dari pada mereka ini?
Simon   : Benar Tuhan, Engkau tahu bahwa aku mengasihi  (filia)  Engkau.
Yesus    : Gembalakanlah domba-dombaku.

Yesus    : Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi (agape) Aku?
Simon   : Benar Tuhan, Engkau tahu bahwa aku mengasihi  (filia)  Engkau.
Yesus    : Gembalakanlah domba-dombaku.

Yesus    : Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi (filia) Aku?
Simon   : Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu bahwa aku mengasihi (filia) Engkau.
Yesus    : Gembalakanlah domba-dombaku.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Andres Nygren (Agape and Eros, 1930), teolog Swedia ini menjadi pencetus adanya hirarki kasih dan berpengaruh pada kekristenan. Agape sebagai kasih tertinggi, diikuti Filia dan Eros. Dengan kerangka berpikir milik Nygren, dialog antara Yesus dan Petrus akhirnya ditafsirkan sebagai diturunkannya standar Kasih oleh Yesus karena Petrus tidak akan bisa mencintai Allah dengan baik (tanpa syarat). Padahal tidak demikian. Agape adalah kata cinta dalam PB yang bersifat umum. Dalam Yohanes 3:19 ‘menyukai kegelapan’. Kata ‘menyukai’ berasal dari kata agape. Dalam Matius 23:6, ‘suka duduk di tempat terhormat’, dan kata ‘suka’ di sini berasal dari kata agape. Tapi justru filia, kasih yang tidak sebesar agape menurut Nygers, menunjukkan hal menarik. Yesus pernah berkata dalam Yoh 15:13, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya”. ‘Kasih’ ini bukan agape, tapi filiaFilia digunakan Yesus untuk menjelaskan seseorang yang begitu mencintai sahabat hingga mau memberikan nyawanya. Atas hal ini, kita bisa melihat percakapan Yesus dan Petrus dalam perikop ini dengan cara yang lebih hangat. Bukan Yesus yang menurunkan standar kasih, tapi justru Petrus yang mendesak Yesus untuk menggunakan filia bukan agape. Seakan-akan Petrus berkata, “jangankan agape, aku bisa filia kepada-Mu”. Setelah itu Yesus menanyai Petrus kedua kalinya dengan cara yang sama (agape-filia). Baru yang ketiga, Yesus meladeni tantangan Petrus dan mengonfirmasi hatinya. Yesus hafal betul sifat spontan murid-Nya. Baru ketika Yesus menggunakan kata filia dalam pertanyaan ketiganya, Petrus merasa sedih hatinya. Hal ini mengingatkannya pada peristiwa penyangkalan kepada Yesus sebanyak tiga kali. Dan tentu bukan sengaja, Yesus selalu memanggil Petrus dengan nama Simon, seakan ingin mengajaknya pergi ke masa lalu dan merenungkan peristiwa yang pernah terjadi. Bukan hanya penyangkalan, Petrus pernah berkata kepada Yesus  bahwa dia mau memberikan nyawanya pada Yesus (Yoh 13:37). Pertanyaan Yesus kepada Petrus seakan ingin merestorasinya.
Perjumpaan Yesus dan Petrus, sebenarnya bukan dalam perjumpaan fisik keduanya, namun momen ketika Yesus bertanya untuk ketiga kalinya. Saya membayangkan, ada memori yang terputar dalam benak Petrus. Seakan-akan dunia Petrus di-pause sementara. Yesus mengajaknya untuk pergi pada rasa sakit dan penyesalannya. Bukan untuk menghapus memori itu, tapi agar Petrus mampu menerima keutuhan dirinya dan bisa berubah. Dia menjawab Yesus untuk ketiga kalinya, bukan dengan spontan, namun dengan sebuah perenungan yang amat mendalam. KJV menggunakan kata ‘sedih’ yang dirasakan Petrus dengan kata ‘grieve’, bukan ‘sad’. Robin Dee Post, Ph. D, seorang psikolog klinis membedakan ‘sad’ dan ‘grieve’. ‘grieve’ memiliki dimensi kesedihan yang mendalam bahkan bisa menuju depresi. Kesedihan itulah yang dialami Petrus. Malu dan sesal yang dideritanya selama ini, justru Yesus mengajaknya untuk merengkuhnya sebagai keutuhan dirinya. Memulihkan dalam perenungannya sendiri. Ia bahkan berani mengasihi Yesus dengan filia kepada Yesus dengan kesungguhan hati.
Bukan berhenti di situ. Cara Yesus mematangkan Petrus bukan dalam jawaban Petrus, tapi jawaban Yesus yang selalu mengatakan ‘gembalakanlah domba-dombaKu’. Bayangkan, filia yang punya dimensi kasih yang mau memberi nyawa bagi sahabatnya, malah disuruh menggembalakan domba. Ini adalah plot twist yang Yesus hadirkan, dan pasti Petrus merasa sangat aneh sekali dalam dirinya. Dia siap memberi diri seutuhnya, tapi justru malah diminta menggembalakan domba. Yesus membalik pemahaman Petrus tentang memberikan nyawa. Mungkin Petrus sudah membayangkan kematian seperti Yesus atau mungkin bisa lebih kejam yang akan ditemuinya. Sebuah peristiwa heroik akan segala ditempuhnya sebagai bentuk cinta. Tapi, malah diminta mengembalakan domba. Bukan heroik dan terkenal, jutsru jadi pekerja yang tidak dianggap oleh siapapun, bahkan direndahkan. Bukan untuk menderita dan segera mati dalam waktu dekat, tapi malah menggembala setiap hari. Setiap hari! Bukan kemuliaan yang diurus, tapi domba dan segala kotorannya. What?!
Pemulihan yang ada bukan hanya berupa rasa yang berubah, penyesalan dan kesedihan (grieve) berubah jadi rasa cinta yang mengharukan. Tapi kesempatan untuk melaksanakan cintanya kepada Yesus. Di sinilah, Yesus membuat cinta itu tidak berada di tataran ucapan dan rasa, tapi tindakan nyata.

FTP

*tafsiran biblis diambil dari Dian Penuntun Edisi 27, ditulis oleh Pdt. Theodorus W. Noya (GKI Rungkut Asri Surabaya)
.