Kamis, 29 Februari 2024

Kemarahan dalam Cinta-Nya

Minggu Pra Paskah III 

Keluaran 20:1-17 | Mazmur 19 | 1 Korintus 1:18-25 | Yohanes 2:13-22


Dari Alkitab, kita mendapat gambaran bahwa Allah dapat hadir dalam dua gaya yang berbeda. Gaya yang pertama, Allah hadir dengan menyenangkan karena menganugerahkan pengampunan, perlindungan dan berkat bagi umat-Nya. Gaya yang kedua, Allah hadir dengan menyeramkan karena mengancam dan menghukum manusia yang berpikir jahat, bertindak jahat dan keburukan lain. Hal yang menarik adalah kenyataan bahwa ternyata cukup banyak orang yang lebih suka memberitakan Allah dan kemarahan-Nya. Ingat saja Yunus yang begitu bersemangat memberitakan kemarahan Allah kepada masyarakat Niniwe. Yunus berikutnya menjadi begitu kecewa ketika Allah lebih ingin menunjukkan kemurahan hatinya ketimbang kemarahan-Nya.

Daaann…dalam bacaan Injil hari ini kita mendapati Yesus yang marah di Bait Allah. Lalu bagaimana kita harus merenungkannya?


Pertama, cerita kemarahan selalu diikuti dengan cerita kemurahan Allah.

Saudari-saudara, memang benar bahwa Alkitab menyebutkan tentang kemarahan Allah. Namun sadari pulalah bahwa bukti-bukti kemarahan Allah tak pernah menjadi bukti tunggal. Lihatlah bagaimana rangakaian kisah Yesus di bait Allah. Ketika Dia datang untuk merayakan Paskah di Yerusalem Yesus marah, Yohanes 2:15-16 menyebut,

“Ia membuat cambuk dari tali lalu mengusir mereka semua dari Bait Allah             dengan semua domba dan lembu mereka. Uang penukar-penukar             dihamburkan-Nya ke tanah dan meja-meja mereka dibalikkan-Nya. Kepada         pedagang-pedagang merpati Ia berkata, “Ambil semuanya dari sini! Jangan     kamu membuat rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan!”

Kemarahan Yesus ini disebabkan oleh karena terjadinya perdagangan hewan kurban di halaman Bait Allah. Untuk kita ingat bersama bahwa halaman bait Allah adalah tempat di mana orang non-Israel dapat beribadah kepada Allah. Sebab mereka tak diperkenankan memasuki bagian halaman untuk kaum Perempuan dan halaman untuk kaum laki-laki Israel apalagi bagian Ruang Kudus dan Ruang Maha Kudus. Dengan terjadinya perdagangan di halaman, maka kesempatan bagi bangsa asing untuk beribadah kepada Allah menjadi sangat terbatas dan penuh gangguan. Yesus tak rela keserakahan menguasai bathin umat Allah.

Keserakahan ini bukan hanya soal memakan lahan peribadahan sesamanya, namun juga muncul dalam perdagangan yang penuh kecurangan. Mereka yang membawa hewan kurban sendiri namun dinyatakan tak layak akan diharuskan membeli hewan kurban yang ada di halaman itu dengan harga yang berlipat. Demikian pula dengan mereka yang hendak mempersembahkan uang harus menukar dengan mata uang dirham dengan nilai tukar yang tinggi dan memberatkan umat yang mau beribadah. Maka kemarahan Yesus sejatinya lebih merupakan ekspresi Cinta-Nya bagi mereka yang tergolong sebagai sang liyan – orang asing dan juga kemurahan hati bagi semua umat yang dihimpit keserakahan sesamanya saat hendak menyembah Allah. Cinta Allah ini tercurah bagi umat yang mau hidup dalam kekudusan dan kebenaran.


Kedua, Allah setia memelihara kekudusan dan kebenaran umat

Dalam Keluaran 20:1-17 kita berjumpa dengan sepuluh perintah Tuhan. Sepuluh perintah ini dimulai dengan sebuah kalimat penginat bagi umat. “Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan.” Ini sebuah penegasan bagi umat bahwa Allah sedemikian setia. Ia yang sudah menyelamatkan itu kini ingin terus menyertai dan menjaga hidup umat dalam kebenaran-Nya. Maka sepuluh perintah adalah petunjuk mengenai cara merespons kesetiaan Allah. Umat dapat merespons dengan bertindak setia dan taat pada perintah Allah.

Saat kita kembali pada Injil maka kita temukan komitmen Allah ini makin nyata dalam ucapan Yesus berikutnya di bait Allah. Saat Yesus berkata, “Runtuhkanlah Bait Suci ini, dan dalam tiga hari Aku akan membangunnya,” Yesus sedang menghubungkan diri-Nya sebagai Bait Allah yang sejati. Yesus rela bahwa diri-Nya akan turut hangus/diruntuhkan demi menyucikan dan memelihara kekudusan serta kebenaran umat-Nya. Tak semua langsung bisa memahami, namun ketika dapat memahaminya maka sejatinya semua dapat menghayati bahwa Yesus telah menyucikan kita semua. Kita yang telah disucikan-Nya dilayakkan-Nya menjadi bait suci-Nya. Sebagaimana dikatakan Rasul Paulus dalam 1 Korintus 6:19-20 “Atau tidak tahukah kamu bahwa tubuh kamu adalah bait Roh Kudus yang tinggal diam di dalam kamu, Roh yang kamu peroleh dari Allah? …. Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!”

Maka panggilan kita selanjutnya adalah mengerjakan apa yang disebutkan oleh surat Titus 2:11-12, “Sebab sudah nyatalah anugerah Allah yang menyelamatkan semua manusia dan mendidik kita supaya kita meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi dan supaya kita hidup bijaksana, adil dan saleh di dalam dunia sekarang ini.” Dengan kita mengerjakan kebenaran itu membuktikan kemurahan hati Allah Sang Cinta bukan sesuatu yang murahan. Cinta Allah justru mendorong kita meninggalkan cara hidup yang murahan tanpa harus diancam dengan kemarahan Allah. Hanya sikap hidup yang ditopang oleh Cinta Allah saja yang membuat umat Tuhan dapat menghadapi tantangan hidup hari-hari ini seperti kesalehan palsu, ketidaksetiaan bahkan pengkhianatan, pementingan diri sendiri, dsb.
ypp

Selasa, 20 Februari 2024

Jalan Serta Yesus

 

Minggu Pra Paska II

Kejadian 17:1-7, 15-16 | Mazmur 22:23-31 | Roma 4:13-25 | Markus 8:31-38

Tema kali ini tentu mengingatkan kita pada lagu Sekolah Minggu yang sangat klasik;

Jalan serta Yesus, jalan serta-Nya setiap hari

Jalan serta Yesus, serta Yesus s’lamanya

Jalan dalam suka, jalan dalam duka

Jalan serta-Nya setiap hari

Jalan dalam suka, jalan dalam duka

Serta Yesus s’lamanya

Jika kita perhatikan lirik lagu itu, terdapat makna yang mendalam. Ajakan untuk anak-anak untuk terus setia berjalan serta Yesus tidak sekali dua kali, namun setiap hari. Tentu, hal ini tidak semudah nyanyian ini. Pada praktiknya, banyak halangan dan segala rintangan, terutama bila keadaan hidup tidak sejalan dengan ekspektasi kita. Ya, Ketika realitas justru melenceng dari segala harapan dan prediksi. Adakah kesetiaan untuk jalan serta Yesus?

Teks bacaan injil kita hari ini berkisah tentang pengajaran Yesus pada para murid mengenai kenyataan yang akan dihadapi-Nya. Yesus menceritakan bagaimana Ia akan ditolak dan pada akhirnya harus mati, lalu bangkit pada hari yang ketiga. Setelah Yesus menceritakan itu, Simon menariknya ke samping dan menegor Yesus. Apa yang dilakukan Simon ini tentu sangat mudah kita maklumi. Mungkin, kalua kita mengingat banyak kisah orangtua yang berkata pada anaknya bahwa hidupnya sudah tidak lama lagi, tentu si anak akan gelisah dan merasa tidak nyaman. “Mama ngomong apa sih..”, begitulah kira-kira respon si anak. Demikianlah Simon yang menegur Yesus, tentu sangat mudah kita maklumi. Namun, respon Yesus pada Simon ini yang musti kita telaah lebih lanjut. "Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.", demikianlah jawaban Yesus pada Simon. Sekilas, kita akan sepakat bahwa Yesus menjawabnya dengan intonasi tinggi, atau dengan kata lain Yesus memarahi Simon. Namun, benarkah kemarahan Yesus ini dengan tujuan mengenyahkan (baca; mengusir) Simon?

Jika melihat kata ‘enyahlah’ memang serasa kasar dan ada nada pengusiran di sana. Namun, ada makna lain ketika kita melihat bahasa asli dari kata ‘enyahlah’. Ὕπαγε ὀπίσω μου (Hypage [h]opiso mou) memiliki arti get behind me atau pergilah ke belakangku, atau dalam arti lain, Yesus menyuruh Simon untuk mengambil posisi di belakang-Nya. Mengambil posisi di belakang Yesus bisa berarti secara fisik berjalan mengikuti-Nya, atau mengikuti pikiran-Nya seperti yang Ia katakan; sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia. Sehingga, Yesus memang benar tampak memarahi Simon, namun kemarahan-Nya bukan untuk mengusirnya, namun justru memerintahkan Simon untuk dekat dan mengikuti-Nya dari belakang. Dari jawaban ini, Yesus tidak mengusir atau menyuruh Simon menjauh dari-Nya, namun justru mau mengajak Simon untuk bisa melihat lebih dalam lagi akan misi-Nya di dunia. Ia rindu supaya murid yang disayanginya itu mau setia meski Ia akan mengalami penderitaan bahkan kematian.

Apa yang menjadi respon Simon adalah cerminan kita yang seringkali menolak jalan Tuhan yang diberikan untuk kita. Itulah mengapa, banyak orang percaya menjadi goyah karena ia merasa doa-doanya tidak dijawab oleh Tuhan. Padahal, mungkin Tuhan sudah memberinya jawaban, namun ia merasa bahwa itu bukan jawaban karena berbeda dengan apa yang diinginkannya. Lebih lagi, ia merasa doanya tidak dikabulkan. Di sanalah seringkali ada iman yang goyah, karena ia merasa Tuhan tidak peduli dengannya. Memang tidak mudah bila harus menjalani kehidupan yang tidak seturut dengan keinginan kita, namun justru di situlah seni dalam jalan serta Yesus. Yesus mengajak kita untuk mau menyelaraskan langkah kaki kita dengan langkah kaki-Nya.

Di atas sudah saya tuliskan kegusaran seorang anak yang menanggapi kalimat dari ibunya tentang kematian. Saya akan ceritakan kisah selanjutnya. Dalam sebuah ibadah penghiburan, saya berjumpa dengan seorang anak yang satu tahun terakhir begitu luar biasa merawat ibunya yang saat itu sakit keras. Ia benar-benar tampak tulus dan gigih untuk mengupayakan kesembuhan untuk ibunya. Suatu kali, ia merasa takut saat ibunya mengatakan bahwa waktu yang dimilikinya tidak lama lagi. Ia sampai menangis dan minta untuk saya doakan. Tentu, ketakutan itu sangat termaklumi. Namun, pada akhirnya, ibunya berpulang setelah berjuang dengan penyakit kerasnya. Saya cukup kuatir ketika akan menemuinya di rumah duka, namun kekuatiran saya sirna seketika. Ia segera menemui saya dan berkata, “Mama sudah tidak sakit lagi, Pak. Mama sudah menang, dan berjumpa dengan Tuhan. Ada sedih, tapi ini jalan Tuhan.” Inilah yang dimaksudkan menyelaraskan langkah kaki kita dengan Tuhan. Meski sulit, namun akhirnya mau jalan serta Yesus, yakni berjalan mengikuti-Nya.

Kidung pujian yang sangat kita kenal dari NKB 188 berjudul ‘Tiap Langkahku’ agaknya mengalami kesalahan translasi. Dalam lirik Bahasa Indonesia, dituliskan dengan ‘Tiap langkahku diatur oleh Tuhan’. Bila demikian, kita seperti bidak catur yang dilangkahkan oleh Tuhan Sang Pemain Catur. Namun, bahasa asli kidung ini adalah Each Step I take my Saviour goes before me, yang artinya lebih dekat pada ‘tiap langkah yang kuambil, Penyelamatku berjalan di depanku’. Ya, Allah selalu berjalan di depan, masalahnya apakah kita mau mengikut-Nya kemana pun Ia pergi meskipun ada susah dan derita? Ya, itu tidak mudah dan butuh perjuangan yang sangat keras. Namun, susah dan derita adalah warna perjalanan, bukan destinasi. Yesus katakan bahwa Ia akan bangkit pada hari ketiga, yang berarti ujung perjalanan kita adalah keselamatan yang penuh damai sejahtera.

Bacaan pertama dan kedua berkisah tentang pergumulan Abraham dan Sarah mengenai kerinduan mereka akan hadirnya momongan. Masa penantian yang tidak sebentar, bukan setahun dua tahu, bahkan bukan belasan tahun, namun puluhan tahun. Jelas, secara medis akan mudah mendapat vonis bahwa keduanya sulit mendapatkan momongan. Budaya patriarki membuat Sarah menjadi objek yang dipersalahkan dan dilabeli mandul. Tentu, bagi Sarah hal itu bukan hal mudah. Sangat beralasan bila ia menyerah dan hidup dalam derita. Namun, Abraham terus mau berjalan dalam kehendak Allah. Ia tidak protes dan menjalani semua perintah Allah dengan tekun dan setia. Singkat cerita, Allah menganugerahi mereka momongan.

Saya dan Ayu, istri saya, pernah memiliki pergumulan serupa, namun tidak selama Abraham dan Sarah. Tiga tahun lebih belum dikaruniai anak, padahal sudah ada kerinduan besar di hati kami waktu itu. Suatu kali, Ayu hamil 9 minggu, namun harus menjalani kuretase karena janin tidak berkembang sama sekali. Itu pukulan berat bagi kami. Namun, kami terus mengupayakan promil dengan didampingi dokter kandungan. Waktu berjalan begitu cepat, namun harapan kami seakan kian pudar. Belum lagi ditambahi pertanyaan-pertanyaan yang menjemukan dari mulut orang-orang; kok belum isi? Kok lama sekali? Si anaknya B sudah punya anak padahal baru setahun menikah, dan bla bla bla. Itu cukup mengganggu mental kami. Jadi, bagi kita, jangan mudah mempertanyakan hal privat seperti itu kepada orang lain. Itu menyakitkan. Cukup doakan saja apa yang menjadi pergumulan orang lain. Program demi program kami ikuti dengan penuh pengharapan, namun hasil positif tak kunjung tampak pada alat tes kehamilan. Entah sudah berapa alat tes kehamilan yang membuat kami meneteskan air mata. Hingga, beberapa kali lidah saya kelu dan tercekat ketika harus memimpin Doa Bapa Kami. Saya terhenti pada kalimat ‘jadilah kehendak-Mu’. Serasa sulit sekali melanjutkan doa itu. Sulit sekali! Saat itu, seakan kami tidak punya pegangan apapun. Ibarat seseorang diterpa badai, kami tak punya pohon atau apapun untuk berpegangan. Ibarat terseret arus deras, kami tidak punya sesuatu untuk berpegangan. Hingga akhirnya kami sadar, satu-satunya yang bisa kami pegang adalah tangan kami sendiri, yaitu mengatupkannya, melipat jari-jarinya, dan berdoa. Itulah pegangan kami satu-satunya. Kami kembalikan segala pengharapan kami pada penyerahan diri atas kehendak Allah dalam hidup kami. Dan, itulah yang kami lakukan selalu. Jalan serta Yesus, meski keadaan tak berjalan seperti yang kami kehendaki.

Ada sebuah bagian dalam liturgi kita yang selalu kita lakukan untuk membuka dan menutup ibadah, yakni perarakan Alkitab. Tentu, kita harus meyakini bahwa itu bukan berarti Pelayan Firman manja sehingga Alkitab itu harus dibawakan seorang Penatua. Namun, prosesi perarakan Alkitab masuk berarti Sang Firman (Kristus) masuk dan mengajak kita berjumpa (bersekutu) dengan-Nya. Begitu pula ketika pulang, kita diajak untuk megikuti Sang Firman (Kristus) itu kemana pun Ia pergi. Menyelaraskan langkah kaki kita dengan langkah-Nya, meski sulit dan penuh derita, namun ada kedamaian di ujung sana. Jalan serta Yesus, setiap hari!

ftp

Jumat, 16 Februari 2024

ALLAH YANG TAK INGKAR JANJI

Minggu I dalam Masa Prapaska

Kejadian 9:8-17; Mazmur 25:1-10; 1 Petrus 3:18-22; Markus 1:9-15



Pemilu memang sudah selesai, bahkan menurut perhitungan cepat (quick count), sudah ada capres-cawapres yang menang dalam satu putaran. Namun, mari kita me-review kembali masa kampanye lalu. Dalam kampanye capres-cawapres dan caleg, apa yang selalu dikumandangakn oleh mereka? Janji. Janji untuk memperjuangkan keadilan, kesejahteraan, serta kemajuan negara. Beberapa berjanji untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi; beberapa berjanji memperjuangakn hak rakyat kecil; beberapa berjanji mengadakan perubahan. Bahkan mungkin kita memilih karena janji-janji mereka ini. Namun, kita semua juga tahu bahwa janji politikus itu seperti air. Maksudnya bukan menyegarkan, tapi susah dipegang. Pengalaman berkata bahwa janji politikus itu sekadar janji saja. Kalau sudah menjabat, seringnya mereka lupa dengan janjinya. Janji selalu mengandung harapan. Orang yang diberi janji selalu berharap bahwa janji itu akan dipenuhi. Jadi, janji yang tidak ditepati itu sama saja dengan harapan palsu.

Syukurlah ada yang tidak pernah ingkar janji, yakni Allah kita. Pada bacaan pertama, Allah berjanji kepada Nuh dan keturuanannya bahwa Ia tidak akan memusnahkan bumi. Sebelumnya, Allah kecewa dengan manusia ciptaan-Nya yang jahat. Dengan segala cara manusia bertindak untuk menguasai sesamanya, bahkan melakukan kejahatan. Allah melihat bumi itu rusak akibat manusia yang menjalankan hidup yang rusak di bumi. Allah kemudian menghukum bumi dengan air bah karena kesalahan manusia.

Namun demikian, Allah tidak bisa tidak mengasihi. Dalam kemarahan dan kekecewaan-Nya pun, Ia masih memberi ruang belas kasihan. Karena itulah ia menyelamatkan Nuh beserta keluarganya, juga hewan-hewan. Mereka yang diselamatkan ini diharapkan dapat memulai kehidupan baru di bumi. Allah pun berjanji tidak akan memusnahkan bumi, tetapi menyelamatkannya. Itulah mengapa dalam perjanjian-Nya dengan Nuh, fokusnya bukan pada manusia, tetapi pada ciptaan. Misalnya, “Aku membuat perjanjian-Ku dengan kamu dan keturunanmu, dan dengan segala makhluk hidup…” (Kej 9:9-10); “Inilah tanda perjanjian yang Kuadakan antara Aku dan kamu serta segala makhluk hidup…” (Kej. 9:12); “Busur-Ku Kutaruh di awan menjadi tanda perjanjian antara Aku dan bumi” (Kej. 9:13). Karena kasih-Nya, Allah mengikat janji-Nya untuk menyelamatkan dunia ini. Perjanjian Allah ini menegaskan bahwa meskipun kenyataan dunia ini tidak baik, akhir dunia bukanlah kehancuran melainkan pemulihan dan pembaruan dalam rengkuhan cinta kasih-Nya.

Janji keselamatan dan pembaruan inilah yang digenapi dalam kehadiran Yesus Kristus. Yesus adalah penggenapan janji Allah akan keselamatan dunia. Di dalam Dia, Allah menyelamatkan dunia ini, melalui karya pelayanan, sengsara, kematian, kebangkitan, dan kenaikan Kristus ke surga yang sama-sama akan kita hayati dan rayakan sepanjang Masa Raya Paska ini. Tidak sampai di situ, Kristus pun akan datang kembali untuk membarui dunia ini. Dalam menjalani karya keselamatan bagi dunia Yesus pun menerima janji Sang Bapa, yang telah kita lihat pada Minggu Pembaptisan Yesus dan Minggu Transfigurasi kemarin. "Engkaulah Anak-Ku yang terkasih, kepada-Mulah Aku berkenan" (Mrk. 1:11). Janji Bapa kepada Yesus adalah kasih dan perkenanan-Nya. Jadi, Yesus menjalani semua karya penyelamatan-Nya sampai kenaikan-Nya ke surga, bahkan kedatangan-Nya kembali, di dalam kasih dan perkenanan Allah. 

Kasih dan perkenanan Bapa itulah yang memampukan Yesus untuk menjalani panggilan-Nya. Ketika memulai pelayanan-Nya, Ia pun berhasil melawan godaan karena kasih dan perkenanan Allah itu. Yesus memulai pelayanan dengan berpuasa selama 40 hari di padang gurun –yang menjadi landasan kita menjalani puasa Prapaska. Di sana Ia dicobai dengan berbagai godaan. Injil Markus tidak merinci apa saja pencobaan iblis, tetapi Injil Lukas dan Injil Matius menyebutkan bahwa Yesus dicobai untuk mengubah batu menjadi roti, menjatuhkan diri dari bubungan bait Allah, dan diberikan seluruh kerajaan dunia jika sudah menyembah kepada iblis. Melalui ketiga pencobaan itu, Yesus tidak jatuh.

Dalam keadaan tubuh yang lemas setelah berpuasa 40 hari, pastinya Yesus sebagai manusia mengalami kelemahan dan rentan ketika dicobai; bukan hanya dengan kebutuhan dan kenikmatan, tetapi juga dengan pembuktian akan kasih dan perkenanan Allah. Ia tahu bahwa Allah menyertai-Nya, dan Ia tidak butuh pembuktian bahwa Ia dikasihi. Yesus tahu itu karena setelah pembaptisan-Nya, Allah menegaskan itu, "Engkaulah Anak-Ku yang terkasih. Kepada-Mulah aku berkenan" (Mrk. 1:11). Bahkan, setelah pencobaan itu, Yesus tetap menjalani semua karya-Nya, bahkan sengsara-Nya. Ia tidak lari dan menghindari penderitaan yang Ia hadapi, bahkan ketika Ia merasa ditinggalkan, karena Ia tahu bahwa Sang Bapa tak pernah meninggalkan-Nya. Kasih dan perkenanan Allah itulah yang menguatkan dan meneguhkan-Nya.

Saudara-saudari, janji selalu mengandung harapan. Orang yang diberi janji selalu berharap bahwa janji itu akan dipenuhi. Karena itu, berharap pada janji Allah itu mendatangkan kekuatan bagi umat-Nya. Hidup kita sebagai orang percaya didasari pada pengharapan akan janji Allah yang akan merengkuh kita ke dalam persekutuan abadi bersama-Nya kelak; janji keselamatan dan pembaruan bagi selutuh ciptaan. Itulah yang memotivasi kita untuk terus berkarya dalam kehidupan kita di tengah dunia. Sebagaimana Yesus yang setia menjalani panggilan-Nya, bahkan penderitaan dan kematian, kita pun berharap pada janji Allah dan janji itulah yang memampukan kita untuk setia menjalani panggilan kita di dunia ini. Harapan akan janji keselamatan itulah yang memotivasi kita untuk terus bergerak, berkarya, bertindak, menghadirkan karya kealamatan Allah dalam hidup kita sehari-hari, melalui cinta kasih, kepedulian, pertobatan, pengampuanan, pemulihan, keadilan, dan perdamaian. Amin.
(ThN)

Senin, 12 Februari 2024

KESALEHAN SENYAP

 Rabu Abu

Yoel 2:1-2, 12-17; Mazmur 51:3-19; 2 Korintus 5:20–6:10; Matius 6:1-6, 16-21


Beberapa hari sebelum pemilu, saya mencari-cari informasi soal caleg-caleg di daerah pemilihan saya. Beberapa saya oeriksa rekam jejak, visi-misi dan program unggulannya. Ada beberapa nama yang langsung masuk black list, salah satunya yang pakai embel-embel "Pdt" di depan namanya. Bagi saya jabatan pendeta tidak relevan dengan pekerjaan sebagai wakil rakyat. Entah apa yang dipikirkan caleg pendeta itu. Mungkin dia mau mendulang suara dari masyarakat Kristen, atau hanya sekadar pamer bahwa ia adalah pendeta, orang saleh. Kalau yang pertama berarti dia memainkan politik identitas, jika yang kedua berarti dia hanya ingin pamer ke-"Kristen"-annya. Ada unsur kesombongan rohani, kesalehan yang berisik.

Pada bacaan pertama, kita bisa melihat bahwa kesombongan, kebanggaan diri, dan ketamakan menyebabkan para nabi diutus Allah untuk menegur dan mengingatkan manusia. Nabi Yoel diutus Allah untuk menegur umat karena kesombongan dan kebanggaan diri. Allah melalui Nabi Yoel mengajak agar umat manusia yang merasa diri paling mulia di antara semua ciptaan untuk segera berbenah diri. “Tetapi sekarang juga,” Demikian Firman TUHAN, ‘berbaliklah kepada-Ku dengan segenap hatimu, dengan berpuasa, dengan menangis, dan dengan mengaduh.”

Yesus pun mengkritik orang Farisi karena ibadah yang mereka lakukan ditujukan untuk memamerkan kesalehan di depan orang lain. Kesalehan yang berisik. Mereka berdoa, berpuasa, dan memberi sedakah sesuai ajaran agama. Namun, mereka tidak peduli dengan orang miskin, mereka merampas hak para janda, mereka suka menghakimi orang-orang yang mereka anggap tidak saleh. Ibadah ritual mereka jalankan dengan ketat, tetapi mereka tidak punya kepedulian sosial terhadap sesamanya. Yesus pun mengkritik mereka atas tiga ritual yang sering dijalankan, memberi sedekah, berdoa, dan berpuasa.

Memberi sedekah bagi orang Yahudi adalah sebuah ritual yang mendatangkan pahala, karena itu orang-orang Farisi senang memberi sedekah kepada orang miskin supaya dapat pahala. Selain pahala, mereka juga suka dilihat orang supaya dianggap sebagai orang-orang yang dermawan. Mereka punya kebiasaan mengumpulkan orang-orang miskin di jalan atau di tempat ibadat dan kemudian membagi-bagikan sedekah kepada mereka di hadapan banyak orang. Ini yang dikecam oleh Yesus, dengan berkata “... janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu." Yang penting bukan sedekahnya, tetapi niat untuk memberi dan berbagi. Bukan untuk pamer, tetapi kerena kepedulian.

Berikutnya berdoa. Doa merupakan ritual rutin orang Yahudi setiap 3 jam. Biasanaya dilakukan oleh orang-orang Farisi di rumah-rumah ibadat dengan suara nyaring supaya didengar dan dilihat orang. Ketika jam doa dan mereka jauh dari rumah ibadah, mereka sengaja berdoa di pinggir jalan, terutama di perempatan jalan, supaya banya orang merlihat dan berkata mereka orang saleh. Doa menjadi kebanggan yang mereka pamerkan di depan orang karena dianggap saleh. Ini juga dikecam oleh Yesus dengan berkata, "Masuklah ke kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapa di tempat tersembunyi." Doa adalah komunikasi dengan Allah, jadi tidak perlu dipamerkan dan diucapkan dengan suara nyaring dan bertele-tele supaya didengar orang. Jadi tidak masalah jika kita berdoa di ruang ibadah atau di tempat umum, misalnya kantor, sekolah, rumah sakit. Yang masalah adalah jika doa dilakukan untuk cari muka, supaya dianggap saleh.

Kemudian puasa. Puasa itu wajib bagi orang Yahudi. Orang Farisi juga suka menunjukkan bahwa mereka sedang puasa, dengan membuat diri mereka terlihat sangat mederita atau terlihat lemas, matanya dibuat hitam seperti orang kelaparan. Lagi, supaya orang tahu bahwa mereka sedang berpuasa. Yesus juga mengecam ini dan berkata, "Cucilah mukamu, minyakilah kepalamu." Puasa sih puasa, tetapi wajah tetap harus segar. Jangan dipamerkan jika sedang puasa. Bukan berarti tidak boleh puasa, tetapi jangan dengan motivasi pamer kesalehan.

Saudara-saudari, saat ini kita mengawali masa Prapaska. Masa prapaska adalah masa kita merenungkan sengsara Kristus, menyatukan penderitaan kita dengan penderitaan Kristus. Masa Prapaska merupakan persiapan orang percaya menuju Paska, melalui doa, penyesalan, pertobatan, dan penyangkalan diri. Prapaska juga adalah masa khusus bagi umat percaya untuk berpuasa dan berpantang selama 40 hari. Bagi orang Kristen, puasa dan pantang adalah latihan rohani untuk menahan diri, menyangkal diri, dan bertobat serta mempersatukan pengurbanan diri kita dengan pengurbanan diri Yesus di kayu salib demi keselamatan dunia. Dalam puasa, kita berkurban dengan melepaskan hal-hal yang kita senangi atau yang menjadi kebutuhan kita.

Puasa dan pantang bukanlah sekadar menahan diri, melainkan juga mengurangi jatah makan atau belanja kita sehingga ada yang dapat kita bagikan dengan sesama. Puasa selalu berkaitan dengan memberi sedekah, membatu orang lain yang membutuhkan peruatan baik kita. Karena itu selama masa Prapaska ini, kita juga diajak untuk melakukan perbuatan-perbuatan bagi bagi sesama kita. Selain itu, kita mengembagkan spiritualitas juga dengan doa. Doa bukan hanya soal berkomunikasi dengan Allah, tetapi juga relasi dengan sesama. Doa yang sejati bukan hanya menutup mata dan melipat tangan, tetapi juga membuka mata untuk melihat realitas di sekitar kita serta mengulurkan tangan untuk menolong sesama kita. Makan, doa juga berkaitan dengan memberi sedekah, artinya kepedulian untuk membantu orang lain. Semua itu, doa, puasa, sedekah, tidak kita lakukan dengan berisik, tetapi dalam senyap.

Inilah makna Prapaska. Ibadah yang bukan hanya ritual, tetapi juga sosial. Ibadah yang bukan untuk dipamerkan, melainkan untuk menyatukan pengurbanan kita dengan pengurbanan Kristus. Simbol abu pada Rabu Abu, awal masa Prapaska ini, mengingatkan kita bahwa kita ini bukan siapa-siapa. Mengajak kita untuk bertobah dari segala kesombongan kita, keangkuhan kita, dan kehendak untuk memamerkan kesalehan. Marilah memasuki Prapaska dengan penyangkalan diri, dengan ibadah kita yang tidak hanya ritual semata, tetapi ibadah yang meyeluruh dalam hidup kita sehari-hari. Bukan dalam kesalehan yang berisik, melainkan kesalehan yang senyap. Amin.

Sabtu, 10 Februari 2024

KEMULIAAN DALAM SOLIDARITAS TANPA BATAS

 

(Minggu Transfigurasi)

2 Raja-raja 2 : 1 - 12; Mazmur 50 : 1 - 6; 2 Korintus 4 : 3 - 6; Markus 9 : 2 - 9

 

Saudara, di masa serba individualis ini banyak orang malas dan enggan untuk memilih hidup bersama orang lain dalam semangat solidaritas. Itu sebabnya di masa kini, kasih dan kepedulian pada sesama seringkali menjadi hal langka dan mahal. Dalam kondisi dunia yang serba individualis ini, kita justru diajak untuk kembali memiliki semangat solidaritas kepada sesama.

 

Hal ini terlihat dari sikap Elisa kepada Elia dalam bacaan pertama di kitab 2 Raja-raja 2 : 1 - 12. Diceritakan, dalam perjalanan yang dilakukan oleh Elia dan Elisa dari Gilgal, Elia sempat berpesan kepada Elisa supaya tetap tinggal sebab Elia harus melakukan perjalanan selanjutnya seperti yang dikehendaki Tuhan kepadanya, yakni dari Gilgal ke Betel. Namun sekalipun diminta tinggal, kala itu Elisa justru merespon, Demi TUHAN yang hidup dan demi hidupmu sendiri, aku tidak akan meninggalkan engkau.

 

Bukan hanya sekali Elia berpesan demikian, karena setelah tiba di Betel, Yerikho dan di sungai Yordan Elia berpesan hal yang sama kepada Elisa. Namun berkali-kali Elia berpesan supaya Elisa tetap tinggal, berkali-kali juga Elisa menolak untuk tinggal dan tetap mengikuti Elia ke manapun Elia pergi. Pertanyaannya, mengapa Elisa tidak mengikuti apa yang disampaikan Elia? Tentu bukan karena Elisa tipe keras kepala, suka membangkang dan tidak dengar-dengaran. Tapi apa yang dilakukan oleh Elisa adalah sebagai bentuk solidaritas Elisa kepada Elia.

 

Pertanyaannya mengapa Elisa bertindak sebegitunya kepada Elia? Mengapa sekalipun ia punya peluang untuk istirahat di satu tempat dan berleha-leha tapi ia tetap melanjutkan perjalanan dengan Elia? Jawabannya lagi dan lagi adalah karena solidaritas (KBBI: bersifat mempunyai atau memperlihatkan perasaan bersatu, senasib dan rasa setia kawan) Elisa kepada Elia.

 

Tapi mengapa Elisa harus bertindak solider kepada Elia? Karena Elisa mengenal Elia. Ia mengenal Elia sebagai abdi Allah. Namun bukan hanya itu, Elisa juga tahu kondisi Elia. Bahwa Elia kala itu diperintahkan Tuhan ke beberapa tempat dalam kondisinya sudah tua. Sehingga untuk melakukan perjalanan yang panjang, jauh dan melelahkan itu Elia tentu tidak dapat melakukannya sendiri. Ia butuh didampingi. Ia butuh kawan dalam perjalanan. Di tambah lagi dalam bacaan diungkapkan sudah jadi rahasia umum bahwa Elia akan diangkat oleh Tuhan (ay. 3 dan 5). Kalimat ini bermakna ambigu karena ada yang mengartikannya sebagai kematian Elia. Ada juga yang mengartikan sebagai kemuliaan yang diterima Elia. Ada pula yang mengartikannya secara harafiah karena terkait dengan apa yang tertulis dalam ay. 11.

 

Dalam berbagai tafsiran, Elisa dalam ketidakpahamannya akan kondisi Elia berusaha untuk tetap solid, dekat dan menjadi kawan dalam perjalanan. Oleh karena itu dalam semangat solidaritasnya, Elisa bukan hanya mengenal tetapi juga bersedia untuk mendampingi Elia ke manapun ia diutus Tuhan untuk pergi.

 

Bahkan solidaritas yang ditunjukkan oleh Elia begitu tanpa batas. Karena sekalipun ia ikut lelah, ia tahu resiko yang harus ia hadapi. Ia tetap menunjukkan sikap solidernya kepada Elia. Apa yang dilakukan oleh Elisa apakah berdampak? Ya. Apa yang ia lakukan dengan mengetahui dan menemani Elia sebagai bentuk solidaritasnya mendapat kemuliaan yang bukan sebatas dari orang-orang yang melihat betapa setianya Elisa kepada Elia. Tapi akhirnya ia mendapat kemuliaan dalam solidaritasnya yang tanpa batas dari Allah.

 

Saudaraku dari bacaan pertama kita belajar bahwa solidaritas itu mendatangkan kemuliaan yang didapat Elisa dari Allah. Hal ini pun sejalan dengan apa yang diungkapkan pemazmur dalam Mazmur 50 yang menceritakan dalam kondisi dunia yang jauh dari keadilan, Allah datang dan tidak berdiam diri (ay. 3) tapi Ia datang untuk mengadili umatNya sebab Allah sendirilah Hakim. Bahkan apa yang Allah lakukan dipersaksikan oleh langit yang memberitakan keadilan Allah. Apa yang Allah lakukan sebagai bentuk solidaritasnya kepada umatNya.

 

Bukan hanya dalam Perjanjian Lama, karena dalam Perjanjian Baru di Injil Markus pun diungkapkan tentang bagaimana Allah solider kepada manusia melalui proses transfigurasi (trans: perubahan; figur: gambar/rupa). Mungkin apa yang terjadi pada Yesus di atas gunung yang terlihat oleh Petrus, Yohanes dan Yakobus adalah hal yang bagi kita biasa. Namun sesungguhnya ini adalah sebuah titik awal Yesus memperkenalkan Allah dalam diriNya yang siap menderita bagi umatNya. Sebab minggu depan kita akan memasuki Minggu Prapaskah (minggu sengsara).

 

Saudaraku, apakah dengan mengetahui bahwa solidaritas sesungguhnya membuat manusia tergerak untuk hidup solider juga dengan Tuhan dan sesama? Ternyata belum tentu. Sebab dalam bacaan kedua, 2 Kor. 4 : 3 - 6 memberi gambaran bahwa ada juga orang-orang yang ternyata sudah diberitakan Injil tetap menutup diri dari Injil sebab mereka tidak percaya bahkan enggan untuk melakukan firman dengan hidup solider dengan Tuhan dan sesama. Dampaknya? Bukannya hidup dalam kemuliaan Allah, mereka justru akan binasa.

 

Saudara dengan demikian, apa yang menjadi pesan firman Tuhan di minggu Transfigurasi ini?

1. Milikilah semangat solidaritas tanpa batas dalam kehidupan sehari-hari kepada orang-orang di sekitar kita

2. Ingatlah bahwa memiliki solidaritas tanpa batas bukan dilakukan dari kita, oleh kita dan untuk kita. Tapi kita lakukan karena sejak awal solidaritas itu sudah dimulai oleh Allah untuk kita umatNya dan perlu kita teruskan kepada sesama

3. Biarlah melalui tindakan solidaritas tanpa batas kepada sesama yang kita lakukan, kita mendapat kemuliaan sejati yang berasal dari Allah.

 

Tuhan memuliakan kita semua. Amin. (mc)

Jumat, 02 Februari 2024

SENTUHAN KASIH ALLAH

Minggu V sesudah Epifani

Yesaya 40:21-31 | Mzm 147:1-11, 20 | 1 Korintus 9:16-23 | Markus 1:29-39

Setiap kita tentu rindu pada sentuhan kasih Allah. Terlebih, kita yang sedang dilanda pergumulan hidup. Kita ingin dilegakan dan dilepaskan dari belenggu sesaknya hidup. Teks Injil Minggu kita hari ini berkisah tentang bagaimana Yesus tampil untuk memberi kelepasan bagi orang-orang yang sedang dilada sakit, kerasukan setan, serta gumul-juang lain dalam kehidupan orang pada masa itu.

Pertama, Yesus berjumpa dengan mertua Simon yang sedang menderita sakit demam. Ketika membaca teks ini, terbersit sebuah pertanyaan, “sungguh beratkah demam itu, sehingga Anak Allah harus turun tangan?” Demam dalam pemahaman kita orang Indonesia yang hidup di zaman modern adalah penyakit yang sangat umum, yang mungkin kita kenal sebagai masuk angin. Penyakit yang hanya perlu dihadapi dengan koin dan balsam untuk kerokan atau teh manis panas yang melegakan dada. Sehingga, ada dugaan bahwa demam yang dimaksud di sini bukan sekedar demam. Dalam Ulangan 28:22 dituliskan, 28:22 TUHAN akan menghajar engkau dengan batuk kering, demam, demam kepialu, sakit radang, kekeringan, hama dan penyakit gandum; semuanya itu akan memburu engkau sampai engkau binasa. Demam memiliki asosiasi bukan hanya sebagai penyakit fisik, namun spiritual, yakni hukuman Allah. Selain itu, dengan anggapan sebagai manusia yang dihukum Allah, tentu ia mendapat stigma negatif dari orang-orang di sekitarnya. Sehingga, Ketika Yesus menyembuhkan mertua Simon, Yesus melepaskannya dari masalah ragawi, spiritual, sekaligus sosial. Kasih Allah hadir melalui perlakuan Yesus terhadapnya, tak banyak bicara atau kata-kata penuh penghakiman, namun sentuhan dalam sunyi yang memulihkan manusia secara utuh.

Kedua, demam ibu mertua Simon dalam teks Markus 1, Matius 8 atau Lukas 4, sebenarnya menunjukkan keterbatasan pengetahuan tentang sakit penyakit. Ibu mertua Simon menderita demam yang mengakibatkannya harus terbaring di tempat tidur. Kata terbaring di sini menggunakan kata κατέκειτο (katekeito), yakni frasa yang sama untuk menggambarkan kondisi orang lumpuh yang dibawa kepada Yesus melalui atap (bdk. Markus 2:4). Berarti, ibu mertua Simon benar-benar sakit keras sehingga membuatnya terbarih lemah tak berdaya. Ilmu pengetahuan yang belum berkembang membuat penamaan akan sebuah penyakit sangat terbatas. Sehingga, hal ini membuka kemungkinan bahwa kita sebenarnya tidak benar-benar tahu tentang pergumulan apa yang dihadapi oleh mertua Simon. Namun, dalam ketidakmengertian ini, Yesus pergi ke sana, dan memulihkannya. Ketidakmengertian akan sebuah masalah ini juga seringkali kita hadapi sebagai manusia. Kadang, kita tidak mengerti benar apa yang sedang kita hadapi. Kadang seseorang bisa saja menangis, namun ia tidak bisa membahasakan perasaan yang sedang dihadapinya. Mental health issue, menjadi problematika yang mendapat perhatian publik akhir-akhir ini. Banyak orang kesulitan untuk mendeskripsikan perasaan mereka. Yang ada hanyalah rasa sedih yang bingung, sakit hati yang tidak terjelaskan. Demam ibu mertua Simon ini membuka segala kemungkinan terhadap masalah yang tidak terjelaskan, namun kita semua menangkap ada masalah serius di sana. Namun, justru di sini lah Yesus hadir sebagai Allah yang memberikan sentuhan kelegaan dan pemulihan. Tanpa kata dan segala probabilitas diagnosa, Ia datang dan memulihkan manusia rentan itu. Seakan-akan, Yesus tahu semua yang dirasa tanpa ada penjelasan kata. Ia mampu ikut menghayati sakit yang tidak terceritakan dengan baik. Seperti lirik lagu rohani yang dulu populer, sebagai berikut

Yesus perhatikan
Tiap tetesan air mata
Dia mengenal hatimu yang
Penuh penyesalan dosa

Yesus mengenal arti dari tetesan air mata yang membasahi pipi, Ia tahu itu semua. Ia mengenal hati yang hancur dan rumit tak karuan. Ia ada dan datang untuk memberikan pemulihan bagi mereka yang datang dan berharap kepada-Nya.

Ketiga, di ayat 35, Yesus di waktu pagi-pagi benar, mengambil waktu sendiri untuk berdoa. Di tengah himpitan banyak manusia dengan segala pergumulannya, Yesus mengkhususkan waktu menyendiri untuk berdoa. Yesus sedang melakukannya sendiri, tidak mengajak mudir-murid-Nya. Hal ini menandakan bahwa Ia tak sedang mengajar tentang arti doa, namun Ia melakukannya dengan sadar dan privat. Kita bisa menangkap laku Yesus ini sebagai sebuah kesadaran spiritual bagaimana seseorang seharusnya tetap memelihara konektivitasnya kersama Allah (intimacy with God) dengan menjaga disiplin doa. Yesus memiliki keseimbangan laku ritual dan fungsi-Nya. Ia tidak terjebak melakukan ini-itu dan menjadi kelehahan (burn out), namun Ia tetap melakukan doa dan permenungan pribadi.

Hal ini menjadi sorotan khusus bagi para pelayan-pelayan di gereja. Tuntutan keberhasilan program berbasis indikator yang njlimet yang dibuntuti evaluasi berkepanjangan seringkali membuat seorang pelayan mengalami ketimpangan para pelaku diakonia. Rentetan jadwal dan agenda sering menyeret para pelayan menjadi robot pelaksana program kerja gereja yang tak jarang membuat mereka ‘kehausan’. Misalnya saja, panitia Natal atau Paska. Semua panitia akan terpaku pada rundown, konsumsi, AC ruangan, dan tetek bengek lainnya. Bahkan, saat doa, semua panitia akan ribut sendiri dan tak jarang menimbulkan kegaduhan di bagian belakang ruang ibadah. Yang terjadi di akhir perayaan adalah kelegaan karena kuantitas kehadiran dan konsumsi yang tidak kurang. Fenomena semacam ini harus diwaspadai oleh semua pelayan, termasuk seorang pendeta. Kita sebagai para pelayan Allah, tidak hanya bertugas mengartikulasikan sentuhan kasih Allah kepada seluruh umat, namun kita juga diajak menari dalam tiap gerak pelayanan yang dibangun. Yesus mengajarkan kepada setiap kita untuk menjaga keseimbangan itu. Jika boleh dibahasakan, kita semestinya memiliki keseimbangan dalam dimensi struktural dan ritual.

Keempat, ada hal menarik yang perlu kita renungkan. Dalam pembuka perikop ini, dimulai dengan kata ‘sekeluarnya’. Yesus setelah keluar dari rumah ibadat, langsung menuju ke rumah Simon Petrus, yang ternyata mertuanya sedang mengalami sakit demam. Mengapa Yesus tiba-tiba saja pergi ke sana? Mungkin ada yang menjawab dalam hati, “kan Yesus Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga Ia tahu dimana umat yang menantikannya”. Jawaban itu tidak salah, namun bukankah Ia pergi sana bersama Yohanes dan Yakobus? Meski tidak dijelaskan secara tekstual, ada kemungkinan besar bahwa Yohanes dan Yakobus lah yang menginfokan perihal sakitnya ibu mertua Simon kepada Yesus. Di sini kita bisa merenungkan sebuah poin sederhana mengenai tema kita, yakni Sentuhan Kasih Allah. Kadang kala, kita tidak berperan besar dalam pergumulan orang lain, namun bagaimana kita dengan sadar mengambil peran kecil di dalamnya, yakni menginfokan pergumulan saudara kita kepada Tuhan dalam doa. Doa kita kepada Allah sesungguhnya tidak semestinya berisi tentang kebutuhan pribadi, namun mengingat keresahan dunia di sekitar kita. Pada akhirnya, kita bisa mencontoh Yakobus dan Yohanes, yakni bukan hanya ‘menyampaikan’ keresahan itu kepada Yesus, namun akhirnya  pergi kepada seseorang yang sedang sakit, dan kita tahu, Yesus ada bersama langkah-langkah kita. Sentuhan Kasih Allah itu bisa terwujud dalam kesadaran, bahwa kita juga bisa membuat orang-orang merasakannya, karena Yesus ada bersama kita.

ftp