Selasa, 29 Desember 2020

BERDAMAI DENGAN KEBARUAN

(Tahun Baru 2021)

 Pengkhotbah 3 : 1 – 13


Masihkah kita mengingat masa transisi ketika kita memasuki masa pandemi dan memasuki situasi baru yang dikumandangkan di mana-mana sebagai new normal?

 

Apa yang kita rasakan? Semua mungkin akan sepakat menjawab, ngga enak! Wajib pake masker, ngomong terbatas, udah ngomong terbatas - ngga kedengaran pula, napas terengal-engal, ada protokol di mana-mana. Arrrrggg tidak enak! Kita bahkan mungkin mengeluh, kenapa sih hidup yang sudah ribet jadi tambah ribet lagi dengan harus pake masker, dikit-dikit semprot badan tapi bukannya parfum malah disinfektan, ngga bisa keluar rumah berbulan-bulan, mata lelah karena online terus, berat badan ngga stabil karena hanya di rumah aja, bosan, dll.

 

Ketika memasuki sesuatu yang baru, semua rasanya tidak enak, kita berupaya sekuat tenaga, sekuat-kuatnya, setahan-tahannya untuk bertahan dan beradaptasi sekalipun sulit dan butuh waktu.

 

Tapi kini semua yang awalnya terasa berat untuk memasuki new norwal, kondisi yang baru, lama-lama jadi ngga berat tuh. Kita jadi biasa. Kita jadi bisa tuh berdamai dengan kebaruan. Benar juga sebuah ungkapan “bisa karena biasa. Biasa sekalipun awalnya terpaksa.”

 

Karena kita menyadari bahwa pada akhirnya hal baru itu jadi sesuatu yang harus kita terima dan jalani. Kita harus berdamai dengan situasi yang berubah-ubah dalam kehidupan kita supaya kita tetap bisa bertahan dan berjuang dengan setiap perubahan yang kapan saja bisa terjadi dalam kehidupan kita.

 

Alfred North Whitehead, seorang filsuf Amerika berpendapat dalam bukunya yang berjudul Process and Reality, bahwa segala sesuatu di dunia ini mengalami perubahan yang konsisten (Dian Penuntun 2020, 254). Bahwa perubahan atau sesuatu yang baru itu sesuatu yang pasti terjadi dan pasti akan kita alami dalam perjalanan kehidupan ini. Oleh karena itu, kita harus siap dengan segala perubahan – segala kebaruan yang bisa sewaktu-waktu terjadi dalam kehidupan kita.

 

Saudara, nasihat yang sama kita temukan dalam tulisan Salomo di Kitab Pengkhotbah 3 : 1 - 13 

1)   Salomo ingatkan di ayat 1, tertulis “untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya.” Segala sesuatu punya waktu, bukan hanya manusia tetapi apa pun di bawah langit ada waktunya. Kondisi, cuaca, bencana, dll ada waktunya, bisa berubah-ubah, bisa ada keadaan baru yang pasti terjadi dalam kehidupan ini.

 

2)   Di ay. 2 – 8 Salomo memperlihatkan bukti bahwa segala sesuatu ada waktunya di bawah langit ini. Dunia ini tidak mononton. Selalu berubah-ubah. Selalu ada peristiwa baru yang bisa terjadi. Contoh dari kitab Pengkhotbah ini adalah ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal; ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun; ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang; ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara dan seterusnya.

 

Dalam kalimat-kalimat ini Salomo mengingatkan bahwa hidup ini dinamis. Selalu ada perubahan atau kebaruan yang terjadi. Dan karena hal itu terjadi, maka hal itu tidak bisa dielak.

 

3)   Kita mau diajak untuk berdamai dengan setiap proses kebaruan yang awalnya tidak enak. Di ay. 11 tertulis “Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya...” Dari ayat ini kita mau diajak untuk belajar berdamai dengan setiap proses yang baru dan harus kita jalani. Mungkin awalnya tidak enak, tidak nyaman, tidak menyenangkan, berat untuk dijalani. Tapi kitab Pengkhotbah mengingatkan bahwa segala sesuatu yang punya waktu ini adalah milik Tuhan – dibuat oleh Tuhan! Dan jika awalnya mungkin proses itu tidak enak, tapi ingatlah Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya. Nikmatilah, berdamailah dan jalanilah bersama dengan Tuhan!

 

Mengawali tahun ini, kita mau diingatkan bahwa ketika kita memasuki tahun yang baru. Di hari-hari ke depan ada banyak kebaruan yang akan kita temui karena segala sesuatu ada waktunya. Namun biarlah firman Tuhan hari ini membekali perjalanan kita untuk siap dan dimampukan berdamai dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Selamat Tahun Baru saudaraku, Tuhan Sang Pembuat segala sesuatu dan melampaui segala sesuatu berjalan bersama kita dan menolong kita semua. Amin. 

(mc)

Minggu, 27 Desember 2020

BIJAKSANA DI AKHIR TAHUN

 Tutup Tahun 2020

1 Raja-raja 3:5-14 | Yohanes 8:12-19


Saat ini kita berada pada penghujung tahun 2020 dan akan menjelang tahun baru, tahun 2021. Biasanya menjelang tahun baru, banyak orang yang membuat resolusi tahun baru. Ada banyak bentuk resolusi tahun baru, misalnya lulus kuliah, naik jabatan, turun berat badan. Entah itu resolusi baru, atau meneruskan resolusi 2020, meneruskan resolusi 2019, meneruskan 2018, dan seterusnya. Resolusi biasanya merupakan harapan di tahun yang akan datang. Saat ini rasanya harapan kita di tahun baru kira-kira sama; pandemi Covid berakhir dan keadaan pulih kembali.

Selain resolusi, biasanya juga ditayangkan kaleidoskop, yakni aneka peeistiwa yang telah terjadi yang ditayangkan secara singkat. Meskipun singkat, kaleidoskop menjadi momen kita untuk mengenang masa lalu yang telah terjadi. Momen bagi kita untuk mensyukuri kebaikan Tuhan yang telah menyertai kita sepanjang tahun. Saat ini kita mau melihat dua  hal ini, resolusi dan keleidoskop. Harapan akan masa depan dan evaluasi dari masa lalu kita lakukan ketika memasuki fase baru dalam hidup kita, dalam hal ini memasuki tahun baru.

Bacaan pertama menceritkan Salomo ketika ia memasuki fase baru dalam hidupnya, menjadi raja Israel. Salomo dikenal karena hikmatnya yang ia termia dari Allah. Ketika memulai pemerintahannya, Salomo dijumpai Allah dalam mimpi dan ditawarkan untuk mengajukan permintaan. Salomo kemudian mengawalinya dengan mengingat karya Allah dalam perjalanan hidupnya. Ia mengingat kasih karunia Allah terhadap Daud, ayahnya. Kasih setia Allah itu tidak berhenti sampai Daud. Salomo memaknai jabatan raja yang diturunkan dari ayahnya sebagai wujud kasih setia Allah terhadapnya juga. Saat itu, ia menyadari bahwa ia memiliki tanggung jawab besar, ia khawatir karena dipercaya untuk memimpin Israel, sebuah bangsa yang besar.

Kekuatiran ini menunjukkan kerapuhan Salomo ketika ia diperhadapkan pada fase baru dalam hidupnya. Ada ketakutan, ada kekhawatiran akan masa depan, apalagi ia menjadi raja di usia muda dan belum berpengalaman. Semua kekuatirannya itu disampaikannnya kepada Allah yang penuh kasih setia seperti yang dia imani selama ini. Ia lemah dan ia menyadari itu. Ia menyadari kerapuhannya. Tetapi Allah mengisi kerapuhannya itu dengan menjawab kebutuhannya. Kasih setia Allah pada masa lalu yang dia ingat ini membuat ia menyerahkan dirinya kepada tuntunan Allah. Karena itu resolusinya untuk memasuki fase baru dalam hidupnya adalah dengan meminta hikmat dari Allah.

Dengan mengingat masa lalu, kasih karunia dan kesetiaan Allah yang menopang kelemahannya dan ayahnya, Ia menyadari bahwa ia membutuhkan hikmat dari Allah untuk menjalani masa depan. Ia mengingat masa lalu dalam kasih karunia Allah untuk kembali ke masa kini dengan penyertaan Allah yang menuntunnya menjalani masa depan.

Salomo tidak minta macam-macam. Ia meminta hikmat. Hikmat artinya kearifan, kebijaksanaan. Orang yang bijaksana adalah orang yang cermat, teliti dan berhati-hati dalam menghadapi kesulitan. Dalam diri Salomo, hikmat itu datang dari Allah. Ia menyadari kelemahan dan kerapuhan dirinya ketika memimpin sebuah bangsa yang besar, dan karena itu ia meminta Allah menuntunnya untuk memiliki hikmat dalam menimbang perkara. Ia menyadari masa depannya, dan kerena itu ia memercayakan dirinya kepada tuntunan Tuhan.

Saudara-saudari, dalam menghadapi fase baru hidupnya, Salomo melakukan dua hal tadi, kaleidoskop dan resolusi. Ia mengingat masa lalunya dan menentukan arah ke depannya. Saat ini kita ada pada masa untuk memulai satu fase baru dalam hidup kita. Memang bukan untuk menjadi raja seperti Salomo, melainkan memasuki tahun yang baru. Mungkin tahun yang baru ini penuh banyak hal yang membuat kita khawatir; kita tidak tahu apakah tahun 2021 nanti Covid akan selesai, atau malah semakin bertambah. Kita tidak tahu bagaimana dampaknya pada pekerjaan kita, dengan relasi kita, bahkan kita tidak tahu apakah kita sudah bisa beribadah kembali di gereja.

Namun demikian, marilah memandang ke belakang sepanjang tahun yang telah lalu. Mari mengingat tahun 2020 yang penuh dengan ketakutan, hari-hari kita diisi dengan kekhawatiran, banyak berita tentang kesedihan dan kematian di sekitar kita. Namun, di samping itu kita juga mengingat bahwa dalam segala ketakutan dan kekuatiran, dalam kematian dan kepedihan itu, Allah tetap menyertai kita. Kasih setia-Nya menuntun kita melalui tahun yang penuh ancama ini dan memampukan kita untuk merenungkannya pada akhir tahun ini. Kita mengingat bahwa tanpa pertolongan Tuhan, kita tidak mungkin bertahan. 

Dengan mengingat, kita menyadari bahwa kita lemah dan rapuh, dan kasih setia Allahlah yang memampukan kita. Karena itu, memasuki tahun yang baru, fase baru dalam hidup kita, marilah meminta hikmat dari Tuhan. Biarlah Tuhan yang menuntun kita melalui masa depan yang penuh misteri ini. Biarlah Tuhan memberikan kita hikmat untuk hidup bijaksana bukan hanya pada akhir tahun ini, tetapi juga pada tahun yang baru, sepanjang tahun depan. Kiranya kita hidup dengan bijaksana untuk memilih yang baik, bijaksana ketika menghadapi situasi yang sulit dan memberatkan, bijaksana dalam pergumulan di tahun yang akan datang. Biarlah hikmat itu semua datangnya dari Tuhan. Kiranya ia yang sudah menyertai kita, akan selalu menyertai kita sampai kapan pun. Amin.

(thn)

Kamis, 24 Desember 2020

MENJADI SAKSI NATAL BAGI DUNIA

Natal 2020

 Lukas 2:8-20

 

Masyarakat zaman mutakhir dapat melakukan komunikasi antar benua dengan begitu lancar, memperoleh informasi yang cukup bahkan melimpah, dan semua dapat dilakukan dengan begitu cepat. Hal ini membuat proses pemilihan umum daerah maupun pusat dapat diikuti dengan cepat. Ini terjadi karena dilakukannya penghitungan cepat oleh perwakilan lembaga survey dari berbagai tempat dan terus saling berkomunikasi langsung dengan rekan-rekannya. Hasil komunikasi cepat tersebut disebut hasil penghitungan cepat. Meski pengumuman pemenang pemilihan umum resmi tetap menanti proses penghitungan suara secara langsung oleh Komisi Pemilihan Umum, namun dengan cara-cara yang mutakhir hasil hitung cepat pemilihan umum bukan lagi dianggap prediksi tapi nyaris sebuah kenyataan. Sebab hasil prediksinya makin hari makin akurat.

 

Akan tetapi, kemutakhiran ini memiliki kendala. Salah satunya ketika komunikasi dilakukan dengan begitu cepat, tak jarang terjadi kemelesetan informasi. Hal ini dapat berujung pada salah paham antar kelompok masyarakat. Oleh karena itu, berbagai media nasional menggemakan pentingnya masyarakat zaman mutakhir untuk memeriksa kembali informasi yang diterimanya. Beberapa media kemudian digolongkan sebagai media terpercaya, sementara ada media-media tertentu yang dikenal sebagai media yang kerap melahirkan berita palsu/hoax. Sehingga saat ini masyarakat memiliki pilihan-pilihan media yang mereka percaya dapat memberikan informasi yang akurat atas berita-berita penting terkini.

 

Bila masyarakat masa kini memiliki pilihan untuk mendengar berita penting dari media tertentu, maka di saat Natal perdana terjadi masyarakat di sana juga tentu memiliki pilihan untuk mendengar dari pihak-pihak tertentu. Terlebih saat ada berita tentang kelaihran Juruselamat yang mereka nantikan. Mereka tentu berharap berita tentang Juruselamat ini disampaikan oleh staf khusus dari Istana Raja atau staf khusus dari Bait Allah. Namun, ternyata yang menerima dan membawa berita penting tentang kelahiran Juruselamat adalah para gembala.

 

Siapa mereka? Gembala adalah warga biasa – bahkan rendahan dalam tatanan sosial masyarakat zamannya. Mereka bukan staff istana, mereka juga bukan staff Bait Allah, apalagi reporter dari media terpercaya masa kini. Sangat mungkin orang-orang yang mendengar perkataan para gembala tentang kelahiran Juruselamat lebih banyak yang menilai berita itu hoax/palsu malah mungkin dianggap sebagai sebuah hasil lamunan di padang rumput. Para gembala itu pun mungkin juga tidak sepenuhnya yakin bahwa kesaksian mereka akan didengar. Hal ini mungkin juga kita jumpai hingga hari ini ketika ada orang atau saat kita bersaksi tentang kelahiran Yesus Kritus, Sang Juruselamat Dunia, sedikit yang langsung bisa memahami atau sedikit yang bisa langsung percaya.

 

Namun, kemungkinan-kemungkinan tersebut tak menyurutkan langkah para gembala. Mereka yakin atas rahmat dari Tuhan mereka beroleh kebahagiaan dan keselamatan sehingga harus menuju Betlehem untuk menyaksikan Natal dan menyatakan segala sesuatu sesuai dengan yang disampaikan malaikat pada mereka. Sebab mereka percaya, berita kelahiran Juruselamat itu bukan sebuah berita palsu/hoax. Kelahiran Juruselamat adalah sebuah karya penyelamatan yang nyata. Kenyataan itu memberi kemantapan dan kemantapan para gembala ini tak sia-sia. Lihatlah ayat 19, cerita tentang Maria yang menyimpan perkataan gembala di hatinya. Perkataan gembala itu pasti menjadi kekuatan dan pengharapan bagi Maria untuk melanjutkan karyanya menjadi ibu bagi Sang Juruselamat di dunia.

 

Dengan demikian, saudara-saudara, biarlah pada Natal ini setiap kita mau menjadi para gembala, yang mungkin memiliki keterbatasan. Mungkin sedikit orang yang bisa langsung percaya pada kita karena kita masih muda atau karena status ekonomi kita lebih rendah dari pendengar kesaksian kita atau karena kita berasal dari suku minoritas di lingkungan tempat tinggal kita ataupun karena kita kini terbatas dalam penggunaan gawai. Jangan biarkan keadaan diri kita menghambat kita untuk menjawab panggilan Tuhan untuk mewartakan Natal bagi dunia. Sebab berita sukacita Natal bukan hanya bersifat personal, hanya bagi diri kita sendiri saja, tapi bersifat komunal yakni bagi kelompok yang luas bahkan bagi dunia. Kalaupun tidak banyak yang langsung merespons kesaksian kita, percayalah ada satu orang/kelompok yang dikuatkan oleh kesaksian kita. Oleh karena itu, mari bagikan sukacita Natal, bagikan pengalaman hidup bersama Yesus Kristus dalam keseharianmu melalui yang ada padamu. Ceritakan Natal melalui telponmu, melalui sms-mu, melalui media sosialmu, ataupun melalui suratmu kepada sahabat yang sudah lama tidak bisa bertemu di gereja maupun di ruang-ruang virtual. Sebab melalui cerita/kesaksian tentang Natal orang-orang juga dapat merasakan bahwa Juruselamat hadir mendukung, menopang, menguatkan dan menghiburkan.

 

Kita tak perlu memiliki akun media sosial yang terverifikasi untuk bisa menjadi saksi Natal bagi dunia. Kita tak perlu menjadi ketua panitia Natal dulu baru bisa menjadi saksi Natal bagi dunia. Kita tak perlu menjadi menteri dulu baru bisa menjadi saksi Natal bagi dunia. Sebab para gembala yang menjadi saksi Natal perdana itupun tetap adalah gembala. Mereka tidak lantas viral dan terkenal.

 

Adapun yang berubah dari diri mereka adalah diri mereka yang bersukacita setelah mereka berjalan menuju ke Betlehem dan berjumpa dengan Sang Juruselamat dunia. Mereka disebutkan kembali dengan bersukacita “sambil memuji dan memuliakan Allah.” (ay.20) Perjumpaan dengan Yesus di Natal perdana itu tidak meninabobokan para gembala untuk tetap tertindas dan merasa kecil sebagai gembala. Perjumpaan dengan Yesus meneguhkan mereka bahwa setiap orang – rakyat jelata pun – dikasihi Tuhan dan Tuhan mau memakai mereka. Oleh karenanya Kasih itu harus dibagikan kepada dunia dengan tulus dan sederhana.

 

Selamat menjadi saksi Natal bagi dunia dalam setiap keberadaanmu.

Selamat memuji dan memuliakan Allah dalam hidupmu di dunia.

ypp

Selasa, 22 Desember 2020

JURU SELAMAT DUNIA TELAH LAHIR

 Ibadah Malam Natal

Yesaya 9:2-7 | Mazmur 96 | Titus 2:11-14 | Lukas 2”1-14

Ada tokoh-tokoh penting yang menyekitari Yesus saat kelahiranNya di dunia yang terangkum dalam bacaan Injil kita hari ini. Paling tidak, ada Maria dan Yusuf, serta para gembala. Dalam kisah epic kelahiran Yesus yang sederhana, ada kemiripan antar ketiganya jika kita melihat dari beberapa teks Injil. Apa kemiripan mereka? Ya, mereka dijumpai Malaikat Allah. Dalam setiap perjumpaan itu pun, ada kemiripan yang bisa kita gali lebih dalam, yakni isi atau pesan yang dikatakan oleh Malaikat itu.

Kepada Maria, Malaikat berkata kepadanya dalam  Lukas 1:30 Kata malaikat itu kepadanya: "Jangan takut, hai Maria,. Sedangkan kepada Yusuf, Malaikat menjumpainya dalam mimpi dan berkata dalam Matius 1:20, Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut. Kepada para gembala yang sedang sibuk menggembalakan domba, Malaikat menyapa mereka dalam Lukas 2:10 Lalu kata malaikat itu kepada mereka: "Jangan takut. Kalau kita perhatikan, ada pesan yang sama yang dikatakan kepada ketiganya. Pesan yang sama; JANGAN TAKUT. Kita bisa berandai pada ketiganya, bahwa setiap pribadi mereka memiliki ketakutan masing-masing, namun secara komunal, ketakutan disebabkan oleh hal yang sama. Lukas 2:1 mencatat, Pada waktu itu Kaisar Agustus mengeluarkan suatu perintah, menyuruh mendaftarkan semua orang di seluruh dunia. Kaisar Agustus memerintah selama kurang lebih 44 tahun. Dalam masa pemerintahannya, Romawi menjadi sangat makmur dan sejahtera. Ya, bagi warga Roma, Agustus merupakan pahlawan yang dipuja-puja. Namun, bagi orang-orang Yahudi, Agustus menjadi sosok yang amat ditakuti. Penjajahan Romawi di bawah tangan dingin Agustus, menjadikan pajak yang tinggi sebagai kebijakan utama. Tentu, sebagai manusia terjajah, mental manusianya menjadi lembek dan penuh ketakutan. Karena alasan itulah, semua orang Yahudi hidup dalam ketakutan, termasuk Maria, Yusuf, dan para gembala.

Pertanyaan sederhana; apa yang dibutuhkan orang yang sedang takut? Menjadi berani? Berani adalah respon dari sebuah stimulus. Tepatnya, apa yang membuat orang yang awalnya takut menjadi berani?

Iseng-iseng saya bertanya pada istri, “bayangkan, aku masih di gereja hingga larut malam, dan kamu dipastori sendirian, lalu mati lampu dan gelap total?”

 Ia menjawab segera, “ya aku ketakutan lah pasti”

Tapi, kalau ada orang datang, bagaimana?”, tanyaku lagi cepat.

Ya siapa dulu yang datang, kalau kamu ya aku ga jadi takut, kalau orang asing, ya bisa tambah takut.” Imbuhnya.

Sederhana. Orang yang ketakutan itu butuh orang yang menemani, khususnya, orang yang dikenal dengan baik, bahkan yang mencintai. Ditemani oleh orang yang mencintai kita membuat kita tenang dan menjadi berani. Dan untuk alasan itulah, Yesus lahir ke dunia. Bayi kecil itulah yang suatu saat akan bersedia menahan lapar dalam hidupnya. Bayi kecil itulah yang berbela rasa dengan segala duka dan kecewa yang kita alami. Bayi kecil itulah yang akan menemani kita dalam setiap gumul dan juang.

Maria, Yusuf, dan para gembala, tetap pada apa yang dikerjakannya. Namun mental mereka diubahkan. Dari yang tadi penuh ketakutan, menjadi riang dan berani. Paling tidak, itulah yang dicatat dalam Lukas 2:20 Maka kembalilah gembala-gembala itu sambil memuji dan memuliakan Allah.

Kondisi atau keadaan tidak berubah, namun hati kita yang diubahkan oleh kelahiranNya. Ingat, Agustus memerintah 30 SM-14 M. berarti kelahiran Yesus tidak menurunkan Agustus sebagai kaisar, namun masyarakat beroleh pengharapan yang baru. Sebagaimana kondisi sekarang, covid-19 tidak serta merta hilang dalam peristiwa kelahiran Yesus kali ini. Sekali lagi, kondisi tidka berubah, namun mental dan semangat kita lah yang diubahkanNya. Di sini kita sepakat dengan kutipan dari Captain Jack Sparrow, 'The problem is not the problem. The problem is your attitude about the problem'. SIkap hati kitalah yang menjadi inti, dan Yesus hadir di sana memberikan pengharapan yang baru.

Natal adalah peristiwa kelahiran Yesus, berate setiap tahun kita merayakan Hari Ulang Tahun Yesus Kristus. Masakan, kita tidak mau memberi kado untuk yang berulang tahun? Memberi kado, pasti membuat kita berpikir, kado apa yang akan membuat orang yang sedang berulang tahun ini happy? Ada sepenggal cerita untuk kita renungkan;

Suatu ketika saat masa raya Natal, guru-guru Sekolah Minggu dari sebuah gereja mendatangi panti asuhan di tepian kota. Seperti biasa, mereka bercerita pada anak-anak panti tetang kelahiran Yesus. Mereka menceritakan tentang Tiga Orang Majus yang mempersembahkan ems, kemenyan, dan mur untuk Bayi Kudus yesus. Setelah selesai bercerita, mereka mengajak anak-anak panti untuk menggambar kandang domba tempat Yesus lahir. Anak-anak begitu semangat dalam menggambar. Seorang guru sekolah minggu berjalan berkeliling melihat pekerjaan anak-anak itu. Tibalah ia pada salah seorang anak yang sedang menggambar dengan serius. Aneh, ia begitu tertarik dengan gambar anak itu. Ia duduk di samping anak itu, dan bertanya, “gambarnya bagus, tapi kok bayinya ada dua?”. Anak itu menghentikan gambarannya, dan menjawabnya, “iya kak, yang satu ini Tuhan Yesus, yang satu aku”. Guru itu bertanya kembali, “waw, bagus. Tapi kok ada kamu di situ?” Anak itu kembali menjawab, “iya kak. Aku kan tidak tahu lahir di mana, dan aku mau lahir saja di sebelah Yesus. Aku juga ingin seperti tiga orang Majus, bisa memberi, tapi aku tidak punya apa-apa. Nah, akum au tidur di samping Yesus, biar Yesus tidak kedinginan.” Guru Sekolah Minggu itu menitikkan air mata, dan segera mengusapnya. “kira-kira, Yesus suka dengan hadiahku nggak ya, kak?” Guru Sekolah Minggu itu berusaha menjawab anak itu dengan suara yang sedikit tergetar, ”Tuhan Yesus pasti suka. Ia sangat senang dengan hadiahmu.”

Memang, jika kita mau hadir dan menghangatkan yang lain, tak usah bertanya kepada Yesus apakah Ia senang dengan kado kita.

Selamat natal, dan selamat menjadi kado bagiNya.

Haleluya.

ftp

KELAHIRAN-NYA MELEGAKAN JIWA

Minggu I Sesudah Natal

 Lukas 2:21-40

 

Seorang dokter Skotlandia, A.J. Cronin (1896-1981) terpaksa berhenti dari praktik medisnya karena sakit. Lalu ia memutuskan untuk menulis novel. Namun, ketika novel itu baru setengah jadi, ia patah semangat dan membuang naskahnya ke tempat sampah.

Dalam keadaan sangat putus asa, Cronin berjalan-jalan di Highlands, Skotlandia dan melihat seorang pria sedang mencangkuli rawa. Ia mencoba mengeringkan tanah berlumpur itu untuk dijadikan padang rumput. Saat Cronin bertanya mengapa ia melakukannya, pria itu menjawab, "Ayah saya menggali rawa ini, tetapi ia tak pernah bisa menjadikannya padang rumput. Namun, kami tahu, hanya dengan mencangkulnya, rawa ini bisa dijadikan padang rumput. Karena itu, saya terus mencangkul."

Melihat kejadian itu, ia kembali termotivasi dan berpengharapan, Cronin segera pulang, mengambil naskahnya dari tempat sampah, dan berjuang menyelesaikannya.

Terkadang kita juga harus berada dalam situasi yang membutuhkan ketekunan dan kesabaran dalam pengharapan untuk menjalaninya. Pertanyaannya apakah kita bersedia terus menggali "rawa", apa pun yang ditugaskan Allah kepada kita?

 

Bila Cronin belajar dari pria penggali rawa, hari ini kita dapat belajar dari Simeon dan Hana.

Simeon dan Hana adalah dua orang dari komisi senior/lansia yang begitu memahami tradisi agama dalam hal ini mengenai Mesias. Dalam masyarakat Yahudi, penantian akan kedatangan Mesias adalah suatu yang besar. Pengharapan Mesianik tak ubahnya seperti kisah rakyat yang diwariskan secara turun temurun. Mereka bukan hanya memahami kisah penuh harapan itu. Namun mereka juga tergolong "sisa-sisa Israel" yang bertahan dari era pembuangan. Sehingga mereka tentu masih merekam bagaimana pahitnya penderitaan di pembuangan dan bagaimana panjangnya menantikan nubuatan datangnya Mesias yang tak kunjung tergenapi. Waktu yang terus berjalan, menjadi penguji keteguhan hati mereka dalam pengharapan.

Siapa simeon dan hana?

Simeon disebut oleh Lukas sebagai seorang yang benar lagi saleh dan dengan setia menantikan penghiburan bagi Israel (Penghiburan dapat berarti keselamatan sebagai penggenapan nubuat dari Yesaya 40:1 dan 49:13). Para ahli menduganya bahwa ia  termasuk dalam “orang pendiam di negeri” (Mazmur 35:20). Orang yang tidak suka memamerkan syareat atau aqidah agama. Namun, punya komitmen dalam melakukan kehendak ilahi. Dengan diam-diam memelihara hidup kudus.

Sementara Hana adalah seorang nabi perempuan, anak Fanuel dari suku Asyer yang sudah makin sedikit populasinya. Ia Nabiah yang ditinggal mati oleh suaminya di usia pernikahan yang sangat muda, menua tanpa siapa-siapa dan memutuskan menghabiskan sisa hidupnya di bait Allah.

 

Simeon dan Hana adalah mereka yang merajut ingatan penderitaan serta pergumulan sehari-harinya dengan pengharapan mesianik yang selama ini mereka dengar-percaya dan wariskan. Tentu menjadi tak mudah harus melakukannya. Ada ruang di antara penderitaan dan harapan. Bersyukur bahwa dalam ruang tersebut Roh Kudus bekerja memberi kekuatan kepada mereka. Secara terus menerus kekuatan Roh Kudus hadir menyapa ketika mereka berharap karena penderitaan sekaligus menderita karena berharap. Kehadiran Roh Kudus membuat Simeon dan Hana bertahan dalam ketegangan kreatif tersebut.

 

Kisah Simeon dan Hana menerangkan bahwa pengharapan nyatanya tak sia-sia. Dengan ketekunan masing-masing hidup dalam ketegangan derita dan harapan serta perlindungan Roh Kudus mereka kemudian berkesempatan merasakan kelegaan.

 

Kelegaan Simeon nampak dari kesiapannya menyambut kematian. Ia berkata "Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera," Lukas 2:29 (TB)  Rest in Peace.

Kelegaan Simeon ini mengingatkan dan menguatkan kita. Sebab, ketika kehadiran Allah dalam Kristus telah kita rasakan maka selanjutnya kita dapat menatap hari depan, termasuk kelak bila tiba waktunya kita harus meninggal, kita dapat menatapnya di dalam damai sejahtera bukan dalam ketakutan/keputusasaan. Kedatangan Mesias bukan hanya melenyapkan kebinasaan melainkan juga untuk menghadapi kefanaan dengan tetap berpengharapan.

 

Sementara Kelegaan yang dialami Hana dinyatakan dengan tindakannya bersyukur. Namun Hana tidak berhenti dengan bersyukur saja karena telah melihat sang Mesias. Ia melanjutkan kabar sukacita kepada “semua yang menantikan kelepasan bagi Yerusalem”, walaupun usianya sudah 84 tahun. Ia memberitakan hal ini kepada semua orang. Bayangkanlah betapa bingungnya orang-orang mendengar bahwa bayi itu adalah Mesias?

 

Bagaimana dengan kita hari ini? Adakah iman kita hanyalah iman yang diam saja? Adakah iman kita goyah saat mengetahui bahwa Mesias sekalipun harus menghadapi tantangan bahkan pertentangan dalam karya-Nya? Ataukah kita mau ambil bagian dalam menyaksikan karya penyelamatan Allah yang dinyatakan melalui kelahiran dan kehidupan Yesus?

Hari ini kita masih berharap bahwa keadaan segera pulih. Sebagian kita mungkin sudah semakin lelah dengan pembatasan-pembatasan, menerapkan protokol kesehatan, dan lelah dengan lambatnya gerak perekonomian. Keadaan ini nyata, namun kenyataan ini adalah ladang paling tepat untuk menghidupi firman Tuhan yang menyapa kita dalam tema Harapan berbuah Kelegaan.

Bagaimana bila harapanku belum terwujud saat ini? Ingatlah kisah Cronin di awal tadi, setelah ia terus menulis akhirnya ia menghasilkan novel. Akhirnya novelnya yang berjudul Hatter's Castle terjual sebanyak tiga juta kopi. Hal ini melegakannya. Namun dari mana kelegaan ini berasal? Dari pengharapan dalam dirinya yang kembali muncul setelah melihat seorang yang terus menggali rawa sambil berharap rawa itu dapat menjadi sebuah padang rumput.

Dari Simeon-Hana, Cronin dan penggali rawa kita belajar bahwa orang yang berpengharapan seringkali menyadari tidak ada pertanda bahwa keadaan akan membaik namun tetap memilih untuk percaya.

Kini kembali pada kita siapkah kita hidup berpengharapan dan memperoleh kelegaan dari kelahiran Yesus Kristus Sang Mesias?

ypp

Rabu, 16 Desember 2020

SESUNGGUHNYA AKU INI HAMBA TUHAN

Minggu Adven IV

2 Samuel 7:1-11, 17 | Lukas 1:46-55 | Roma 16:25-27 | Lukas 1:26-38


Salam Maria, penuh rahmat, Tuhan sertamu.

Terpujilah engkau di antara wanita,

dan terpujilah buah tubuhmu, Yesus.


Itu adalah penggalan dari Doa Salam Maria, yang sering diucapkan oleh umat Katolik dan Ortodoks (dengan sedikit perbedaan dalam tradisi Ortodoks). Kedua tradisi Kristen itu sangat menghargai Maria sebagai Bunda Yesus, sampai-sampai umat Protestan banyak salah paham kalau mereka menuhankan Bunda Maria. Tetapi di situlah masalahnya, tradisi Prostetan kurang memberi tempat penghargaan bagi Maria, sehingga muncul salah paham terhadap tradisi-tradisi Kristen yang mengagungkan Maria. Mungkin hanya pada Minggu Adven yang keempat, Gereja Protestan berfokus kepada sosok Maria, Bunda Yesus.

Pada Minggu Adven keempat ini juga kita mau belajar dari Maria. Dalam teks Injil, diceritakan Maria dikunjungi oleh malaikat Gabriel di rumahnya. Pada kunjungan itu, Gabriel menyapa Maria dengan kata-kata, “Salam, hai engkau yang dikaruniai.” Kalimat ini menjadi bagian pertama doa salam Maria. Perjumpaan dengan Gabriel mengagetkan Maria. Bukan karena malaikat itu hadir dengan jubah putih berkilau dan bersayap, seperti digambarkan film-film. Maria terkejut karena salam yang begitu istimewa disampaikan kepadanya. Alkitab BIMK lebih jelas menujukkan ini, “engkau yang diberkati Tuhan secara istimewa.” Ini jelas membuat Maria terkejut dan bertanya-tanya dalam hatinya. Maria hanyalah seorang perempuan biasa dari kalangan Yahudi awam yang tidak terpandang di Nazaret, kota kecil yang tidak dianggap di Provinsi Galilea yang tidak istimaewa dan tidak diperhitungkan. Ada apa sehingga salam itu begitu istimewa.

Yang lebih mengejutkan lagi adalah utusan Tuhan itu memberitakan bahwa Maria akan mengandung anak laki-laki, padahal saat itu Maria belum bersuami. Ia baru bertunangan dengan Yusuf, dan menurut hukum Yahudi pertunangan itu dilangsungkan selama satu tahun sebelum menikah, dan tidak dimungkinkan untuk berhubungan intim. Perkataan Maria “aku belum bersuami” secara harfiah dapat berarti “aku belum pernah behubungan intim dengan laki-laki.” Lalu bagaimana mungkin ia hamil. Pikiran Maria pasti itu berkecamuk. Ia bingung karena mendapat berita bahwa ia mengandung. Apa jadinya jika ia hamil sebelum menjadi istri yang sah dari Yusuf? Paling ringan mungkin Yusuf akan menceraikannya dan pertunangan mereka dibatalkan. Jika Yusuf tidak terima, Maria akan diserahkan ke pengadilan agama dengan tuduhan perzinahan. Perempuan yang dituduh berzinah pada masa itu, hukumannya adalah rajam. Itu konsekuensi paling berat yang harus dihadapi Maria jika ia kedapatan hamil sebelum menikah.

Memang tidak secara rinci digambarkan di Alkitab, tapi dengan konsisi yang seperti ini, kita bisa membayangkan bagaimana Maria bergumul dengan berat sebelum ia berkata, “jadilah kepadaku menurut perkataanmu itu.” Apakah Maria hanya asal jawab saja? Tentu tidak. Ia tahu konsekuensinya, tidak mungkin ia asal jawab. Ia pasti sudah mempertimbangakn dan menggumuli itu semua. Ia menyadari posisinya sebagai hamba Tuhan, dan karena itu ia mau dipakai oleh Tuhan untuk menyatakan karya keselamatan-Nya. Ia mau menjaid hamba yang mengutamakan kehendak Tuhannya demi keselamatan dunia. Ia memaknai ini sebagai panggilan Tuhan bagi hidupnya. Di sinilah kualitas Maria sebagai seorang hamba Tuhan. Ia tahu bahwa keadaannya tidak baik dan tidak memihak dirinya. Ia tahu bahwa pilihannya akan mendatangkan kesusahan bagi dirinya. Namun ia menempatkan segala keinginan dan kehendaknya di bahwa kehendak Tuhan. Ia memilih melakukan perannya sebagai hamba Tuhan.

Saudara, kita sering mendengar dan menggunakan istilah hamba Tuhan di gereja. Namun demikian, entah mengapa orang Kristen lebih sering melekatkannya pada pendeta, penginjil, penatua sebagai jabatan. Akhirnya jabatan ini dikultuskan, kata Hamba Tuhan seakan-akan menjadi hak istimewa bagi orang-orang tertentu, sehingga kenyataannya menjadi jauh dari makna hamba yang sebenarnya. Ada yang mengaku hamba Tuhan, tapi jamnya Rolex, mobilnya Rolls Royce, kalau pelayanan luar kota selalu minta menginap di hotel bintang lima, dan mematok bayaran tertentu untuk sekali pelayanan. Mengaku hamba, tetapi menjadi seperti Tuhan. Judulnya hamba, tapi gaya hidupnya raja. 

Hari ini, kita belajar dari Maria untuk kembali memaknai hamba Tuhan sesuai dengan makna sesuangguhnya. Seorang hamba adalah orang yang menempatkan segala keinginan dan kehandaknya di bawah kehendak Tuannya. Tak perlu memberi hak istimewa kepada orang-orang tertentu dengan julukan hamba Tuhan. Kita semua dalah hamba Tuhan, dan karena itu marilah memaknai hidup kita ini sebagai para hamba yang bersedia memberikan yang terbaik dari kita demi kepentingan Tuhan kita. Jika Maria memberi dirinya untuk Tuhan pakai menjalankan kehendak-Nya, marilah memberi diri kita untuk menyatkan kehendak dan karya Tuhan bagi dunia. Maranata. Tuhan beserta kita. Amin.


Selasa, 08 Desember 2020

“BUKAN AKU MELAINKAN DIA”

 

Minggu Adven III

Yesaya 61 : 1 – 4, 8 – 11; Mazmur 126; 1 Tesalonika 5 : 16 – 24; Yohanes 1 : 6 – 8, 19 – 28

 

Lilin adven ketiga dinyalakan di minggu ini sebagai simbol menanti dengan sukacita. Sukacita karena sebentar lagi perayaan natal akan tiba. Ketika momen setahun sekali ini akan dirayakan oleh hampir seluruh gereja-gereja di seluruh dunia, semua orang menyambutnya dengan rasa syukur, sukacita dan acapkali jadi menjadi momen super sibuk. Sibuk bukan hanya karena banyak deadline di akhir tahun.

Tetapi juga sibuk mempersiapkan natal dengan dekorasi rumah, memasang pohon natal, menyiapkan tukar kado natal, membuat kue natal, menyiapkan baju natal dan lain sebagainya. Hal itu mendatangkan sukacita untuk kita semua, bukan? Tapi yang perlu kita tanyakan kembali dan sadari adalah apakah semua-muanya yang kita lakukan dan kita siapkan benar-benar untuk Dia, Tuhan yang telah lahir untuk kita? atau hanya untuk aku (kita) semata? Dalam semua bacaan minggu ini, kita diajak untuk melihat kembali tentang Dia.

Dalam bacaan pertama, Yesaya menyampaikan kabar yang mendatangkan sukacita untuk Sion, umat Allah. Kabar sukacita itu bukan karena perbuatan Yesaya, bukan juga karena perbuatan nabi-nabi yang lain. Tetapi perbuatan Dia, Tuhan yang mengurapinya dan mengutusnya untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang yang sengsara, remuk, tertawan dan terkurung. Kabar baik dari Allah ini membawa penghiburan kepada semua orang.

Berita baik dari Allah ini pun membuat orang-orang yang sedang terpuruk pada masa itu untuk bangun atau bangkit kembali, sebab mereka masih punya pengharapan dan Dia Sang Sumber Pengharapan. Bukan hanya dalam bacaan pertama yang mengisahkan betapa hebatNya Allah itu. Karena dalam nyanyian ziarah yang ditulis oleh pemazmur, juga mengungkapkan pemulihan keadaan Sion yang hanya didapat hanya dari Tuhan.

Ketika situasi penuh sulit dan penuh derai air mata, Allah bukan meninggalkan mereka. Gusti ora sare - Allah tidak tidur. Ia melakukan perkara yang besar untuk umatNya dengan mendatangkan pemulihan dan mendatangkan sukacita bagi umat Tuhan. Sehingga umat Tuhan bersorak-sorai dan bersyukur sebab Allah melakukan perkara besar untuk kehidupan mereka.

Dari dua bacaan ini kita melihat bahwa Allah sungguh luar biasa berkarya dalam sejarah kehidupan manusia. Bahkan Allah memakai orang-orangNya (Yesaya dan pemazmur) untuk menyampaikan berita sukacita dari Allah. Tak dapat dipungkiri, para penyampai berita sukacita Allah juga dihormati, dipercaya dan mungkin saja dijunjung tinggi oleh para pendengar lainnya. Sebab mereka adalah orang-orang yang dipercaya Allah untuk menyampaikan pesan Allah kepada umat Allah.

Namun ketika penyampai pesan Allah dihormati, dipercaya apalagi dijunjung tinggi, amat sangat berbahaya ketika mereka menjadi lupa diri dan jatuh pada kesombongan dan lebih mengutamakan aku (diri sendiri) ketimbang Dia (Allah yang berkarya). Untuk itu, mari kita belajar dari kisah Yohanes Pembaptis yang ditulis dalam bacaan Injil yang menjunjung Dia ketimbang keakuannya (Yohanes).

Ketika Yohanes adalah seorang yang diutus Tuhan untuk memberi kesaksian tentang terang itu dan menjadi pembuka jalan bagi Mesias (bdk. Luk. 3 : 4 – 6; Yes. 40 : 3 - 5), ia sempat ditanya oleh beberapa imam dan orang-orang Lewi. Ia ditanya “siapakah engkau?”, pertanyaan yang sangat sederhana namun sangat berbahaya. Mengapa berbahaya? karena Yohanes yang saat itu sudah viral sebagai Yohanes Pembaptis punya peluang besar untuk lupa diri dan jatuh dalam kesombongan.

Ia bisa saja mengatakan hal yang tidak benar dengan menjawab aku mesias, supaya ia semakin viral dan ditinggikan orang lain. Tetapi bacaan menuliskan, ia mengaku dan tidak berdusta dengan mengatakan “aku bukan Mesias.” Pertanyaan sederhana namun tetap berbahaya pun masih tetap diberikan kepada Yohanes, apakah engkau Elia? nabi yang akan datang? Dengan tahu siapa dirinya dan dengan tegas ia sampaikan bahwa ia bukan semua yang ditanyakan oleh para imam dan orang-orang Lewi itu.

Ia tegaskan bahwa, “Akulah suara orang yang berseru-seru di padang gurun: Luruskanlah jalan Tuhan! seperti yang telah dikatakan nabi Yesaya.” (ay. 23). Ia pun mengatakan lagi “membuka tali kasut-Nya pun aku tidak layak.” (ay. 27). Hebat sekali Yohanes Pembaptis. Dia tetap bisa sadar diri akan siapa dirinya dan tetap menjunjung Dia yang mengutusnya.

Saudara, dari perenungan firman Tuhan hari ini kita mau belajar bahwa:

1)   Bacaan-bacaan dalam Alkitab mengemukakan, bahwa Allah selalu berkarya dalam perjalanan hidup manusia. Entah itu melalui kabar baik yang diperdengarkan, tindakan Allah yang memulihkan, menyelamatkan, membangkitkan kehidupan yang terpuruk, mendatangkan sukacita, dll. Apa yang tertulis dalam bacaan menjadi bukti bahwa hanya Tuhan Sang Sumber Pengharapan dan Pertolongan.

 

Kisah Allah berkarya tentu bukan hanya dalam Alkitab, tetapi dalam kehidupan kita juga sekarang ini. Ketika kita sekarang mendengar kabar baik (anak lulus/naik kelas, nilai ujian baik, mendapat pekerjaan, kembali bekerja, dagangan laris, biaya sekolah dikurangi/dimudahkan, dll) bersyukurlah karena semua itu bukti pengharapan dan pertolongan Allah dalam perjalanan hidup kita.  

 

2)   Ketika Allah memakai kita jadi penyampai pesan Allah (pengkhotbah) atau melalui keberhasilan yang kita raih dan dapatkan saat ini atau melalui rasa hormat orang lain buat kita. Ingatlah bahwa semua keberhasilan, semua yang bisa kita lakukan dan semua penghormatan yang kita terima adalah karya Allah dalam hidup kita, maka hendaknya kita sadar diri dan meninggikan bukan aku melainkan Dia.

 

Biarlah di masa penantian ini, kita mempersiapkan diri kita untuk Dia bukan hanya untuk aku. Tuhan menolong kita semua. Amin.

-mc-

 

Rabu, 02 Desember 2020

MENANTI DENGAN AKTIF

Minggu Adventus II

Yesaya 40:1-11 | Mzm 85:2-3, 9-14 | 2 Petrus 3:8-15 | Markus 1:1-8


Minggu Adven II memiliki aroma penghayatan tentang iman yang berpusat pada penantian akan kedatangan Sang Imanuel. Teks Injil yang hendak direnungkan diambil dari Markus 1:1-8, yang menceritakan tentang Yohanes Pembaptis yang menyuarakan pertobatan. Bagaimana Yohanes Pembaptis ini?

Dalam tradisi pernikahan adat Jawa, ada sebuah tarian yang akan digelar sebelum pengantin masuk ke area resepsi lalu naik ke pelaminan. Penari itu disebut cucuk lampah. Penari itu akan memasuki ruang pernikahan, menari dengan lemah gemulai namun atraktif, dan menyita seluruh perhatian tamu undangan. Penari itu menyiapkan jalan bagi masuknya pengantin, dan dipercaya menjadi tolak bala bagi jalannya respsi pernikahan.


 

Demikianlah Yohanes Pembaptis menyiapkan jalan dengan menyita perhatian orang-orang pada saat itu. Bagaimana tidak, dia tampil sedemikian nyentrik dan mencolok dibanding orang-orang pada umumnya. Yohanes Pembaptis berkata, “Sesudah aku akan datang Ia yang lebih berkuasa dari padaku;…” (ayat 7). Nampaknya, ia tidak hanya sedang menginformasikan akan kedatangan seseorang, namun ia sendiripun menunggu sosok itu. Berarti, di sini kita bisa melihat, bahwasanya ia tak hanya menunggu, namun juga ingin memperkenalkan seseorang di depan halayak ramai. Dengan luar biasanya ia menggambarkan sosok yang jauh lebih baik dari dirinya. Untuk informasi, Yohanes Pembaptis sudah bisa dikatakan sebagai manusia yang menjauhi hal-hal duniawi. Berarti, dia sudah dianggap orang yang suci. Hal itu diafirmasi oleh datangnya orang-orang dari seluruh Yudea dan penduduk Yerusalem (ayat 5) mau datang kepadanya untuk memberi diri dibaptis. Namun, dengan rendah hati, ia menggambarkan sosok yang ditunggu itu adalah sosok yang begitu agung dan mulia. “Ia yang lebih berkuasa dari padaku; membungkuk dan membuka tali kasut-Nyapun aku tidak layak.”, itulah perkataannya yang dicatat dalam ayat 7. Perhatikan kata ‘membungkuk’ dan ‘kasut’. ‘Membungkuk’ berarti merendahkan kepala, dan ‘kasut’ menyimbolkan kaki. Mendekatkan kepala kepada kaki saja tidak layak. Berati, yang ditunggu ini adalah sosok yang benar-benar kudus dan suci, dan memang benar-benar layak untuk dinanti-nantikan. Sikap Yohanes Pembaptis sang cucuk lampah ini mengekspresikan iman yang aktif. Ia menunggu sosok yang ia tahu benar siapa gerangan, dan memberikan yang terbaik bagiNya, yakni memperkenalkan Yesus dengan benar. 

Dalam Minggu Adven II ini, kita diajak untuk memiliki ekspresi iman seperti Yohanes Pembaptis. Kita tidak boleh lupa, bahwa Minggu Adven memiliki dua dimensi, yakni menantikan kelahiran Kristus di dunia serta menantikan kedatanganNya untuk yang kedua kali. Jika memang demikian, kita adalah para cucuk lampah yang bertugas mempersiapkan jalan bagi kedatanganNya. Kapan kedatangan Kristus untuk yang kedua kali, itu bukan urusan kita, namun memastikan diri sebagai cucuk lampah yang baik adalah panggilan setiap kita.

Paulo Coelho pernah menuliskan; Life was always the matter of waiting the right moment to act, bahwa hidup itu berarti menunggu momen yang pas untuk beraksi. Kita tahu, menunggu memang bukanlah hal yang menyenangkan. Namun, di tengah-tengah masa kita menunggu itu, pasti Tuhan hadirkan momen kita untuk beraksi. Aksi apa? Aksi untuk memperkenalkan sosok yang kita tunggu tersebut. Kita tahu, bukan dengan cara berteriak-teriak tentang siapa Yesus, namun dengan kasih yang bisa kita berikan pada orang lain. Prinsip dunia pemasaran; visual always speaks louder. Bahwa apa yang bisa dilihat dan dirasakan, itu punya gaung dan gema yang jauh lebih keras daripada sekedar kata-kata. Orang yang belum mengenal Kristus tidak membaca Injil, tidak mengikuti PA atau seminar kekristenan. Yang bisa mereka baca hanya satu, tingkah laku dan tutur kata kita. Apakah kita sedang mencerminkan kebaikan atau tidak. Peristiwa dibunuhnya Pendeta Yeremia di Papua, juga aksi brutal di Sigi begitu mengerikan. Banyak respon dari masyarakat yang ada di media sosial. Apa respon kita? Ternyata, ada seseorang yang bertanya kepada saya, "kalian itu kok nggak marah, nggak ngamuk-ngamuk?". Ya, itu momen saya. Saya hanya menjawab, "kami tidak diajarkan untuk ngamuk-ngamuk, tapi mengasihi dan mendoakan mereka". Percayalah, momen-momen itu pasti ada dalam smasa penantian kita. pertinyiinyi, apa kita mau menangkap momen itu atau tidak (?). 

Dalam perikop pertama Injil Markus, seakan-akan memang berbicara banyak tentang Yohanes Pembaptis. Namun, coba perhatikan ayat pertama. Markus 1:1 adalah sebuah orientasi atas seluruh bacaan Injil Markus, dan nampaknya memang demikian sepatutnya kehidupan manusia. Apa memang benar, Yesus yang menjadi orientasi utama dalam kehidupan kita? Jika memang demikian, kehidupan kita akan senantiasa mencerminkan iman akan penantian kita atas kedatanganNya. Jangan sampai kita mengalami apa yang disebut ‘disorientasi iman’, yakni ketika kita sudah tidak lagi menantikan Kristus. Tidak lagi menantikan Kristus berarti kita kehilangan arah dan tujuan kehidupan. Bukankah itu sangat berbahaya. Fanny Crosby, pengarang ribuan puisi dan lagu-lagu hymne gereja, pernah ditanya oleh seseorang, “bukankah kamu buta, dan tidak inginkah kamu melihat kembali?” Crosby menjawabnya, “tidak perlu, kalaupun aku melihat, yang ingin aku lihat pertama adalah Yesus Kristus ketika aku mati nanti”. Sebuah jawaban yang begitu mendalam, namun mencerminkan sebuah orientasi iman yang kuat dan terarah. Bagaimana denganmu? Selamat menantikan Kristus. Selamat memasuki Minggu Adven II. Maranata.

ftp