Sabtu, 27 Januari 2024

KUASA-NYA MELEBIHI SEGALANYA

Minggu ke-IV Sesudah Epifani 
Ulangan 18:15-20 | Mazmur 111 | 1 Korintus 8:1-13 | Markus 1:21-28
 
Sebuah rumah produksi dan pembuat konten berbasis di Jakarta bernama Studio Antelope, merilis daftar 10 film Indonesia terlaris sepanjang 2023. Dari 10 film tersebut, enam diantaranya merupakan film bergenre horor. Mengapa demikian? Pdt. Yahya Wijaya menganggap bahwa data semacam ini mencerminkan bahwa masih banyak diantara masyarakat Indonesia yang hidup dalam budaya ketakutan. Sebuah budaya yang berangkat dari merasa diri kecil dan tidak berdaya. Ketakutan seseorang terhadap hantu bisa saja dikarenakan ia beranggapan bahwa hantu lebih kuat dari manusia gegara hantu bisa menembus dinding sedangkan manusia tidak. Ironisnya, budaya ini seakan dipertahankan dengan jalan secara rutin menonton film-film bergenre horor. Hingga tanpa sadar, semakin banyak hal yang ditakuti. Termasuk takut memasuki rumah baru, kantor baru, suasana baru dan tahun baru. Hal-hal yang seharusnya disyukuri dan disambut dengan gembira, malah dicurigai sebagai tempat dan keadaan yang dikuasai oleh hantu/ roh jahat.
Bacaan Injil hari ini mengajak kita untuk bergumul ulang, apakah kita layak hidup dalam budaya atau bahkan membudayakan ketakutan pada hantu/ roh jahat? Sebab bacaan Injil hari ini menceritakan bagaimana sikap Yesus terhadap roh jahat yang merasuki seorang umat di rumah ibadat.

Saat itu disampaikan ada roh jahat atau dalam bahasa aslinya pneuma akathartos (pneuma= roh, akathartos= tercemar, jahat, tidak suci). Roh jahat atau roh cemar itu berada bahkan mengikat seorang umat. Orang tersebut terikat dengan roh yang cemar dan karena itu menjadi pribadi yang melawan kehadiran Yesus. Dalam keadaan ini, Yesus menunjukkan otoritas dan kuasa-Nya atas roh jahat itu dengan berkata “Diam, keluarlah dari padanya!” Seketika itu roh jahat itu keluar dari orang tersebut. Kuasa Yesus dalam peristiwa tersebut membuat semua takjub. Sebab kuasa Yesus bukan saja terasa ketika Yesus mengusir roh jahat, tapi sudah terasa sejak Yesus menyampaikan pengajaran. Hal ini membuat semua orang tak dapat menahan diri untuk mem-viral-kan Yesus Kristus dan kuasa-Nya.

Dengan demikian maka sudah selayaknyalah kita membarui diri. Kita tak dapat membiarkan diri terjebak dalam budaya ketakutan yang menyekitari. Sebab budaya ketakutan itu juga bisa jadi adalah wujud roh jahat yang mengikat dan menjadikan kita melawan kehadiran dan kuasa Yesus. Mungkin akan ada orang yang berkata, “ah, nonton horor kan hanya sebagai hiburan. Kita percaya bahwa kuasa Tuhan lebih dari segalanya.” Tapi diam-diam ia terikat dengan film horor, sehingga kalau belum menonton yang horor-horor akan takut ketinggalan atau belum merasa terhibur. Hiburan yang membebaskan justru menjadi sebuah keterikatan.

Pesan ini senada dengan yang dapat kita temukan dalam Bacaan Kedua/ Rasuli dalam 1 Korintus 8:1-13. Di sana Rasul Paulus memeringatkan jemaat Korintus tentang keterikatan pada keinginan dan kebebasan dalam hal makan persembahan berhala yang dapat menjauhkan umat dari kehendak Allah. Paulus mau mengingatkan bahwa keterikatan ini bukan hanya berbicara tentang orang-orang yang bergumul-juang beralih dari kebiasaan lama hidup dalam penyembahan berhala. Sebab seorang yang merasa bebas memakan persembahan berhala bisa terjerat ikatan keinginan dan kebebasan hingga tak sadar telah menjadi ‘batu sandungan’ bagi sesamanya yang masih bergumul lepas dari kebiasaan penyembahan berhala.

Oleh sebab itu, penting untuk memahami dengan utuh makna kuasa Kristus yang melebihi segalanya. Bacaan Injil memang memberi kita dasar bahwa Kristus hadir melawan semua kuasa jahat yang berusaha menawan dan menarik orang dari kehidupan bersama dengan Tuhan. Meski demikian, setiap umat Tuhan harus mengakui bahwa semua dapat tergoda dan terikat dengan roh cemar sekalipun dirinya menjadikan gereja sebagai rumah kedua sekalipun! (Seperti orang yang berada di rumah ibadah mendengarkan Yesus mengajar dalam Bacaan Injil hari ini.)

Roh cemar yang mengikat itu bukan hanya soal hantu, tapi juga soal kesombongan diri (merasa sudah terbebas dari berhala dan ketakutan pada hantu), soal kemarahan, soal kekecewaan, soal dendam, soal harta, soal tahta, soal kenikmatan-kenikmatan diri, soal pornografi, soal ketidaksetiaan (perselingkuhan), dsb. Maka jangan biarkan diri terlena, merasa diri sudah menjadi bagian dari tubuh Kristus tetapi terus mengikatkan diri pada yang di luar kehendak Sang Kepala – yakni Kristus sendiri.

Itulah mengapa kesadaran akan kuasa Kristus yang melebihi segalanya perlu diikuti dengan rasa hormat, disiplin dan tanggung jawab hidup di dalam Kristus. Sebab dalam hormat akan Tuhan, kita akan bebas hidup berdisiplin mengarahkan diri pada Tuhan, memeriksa diri dan memohon pada Tuhan agar dilepaskan dari ikatan-ikatan roh jahat. Kedisiplinan tersebut akan membimbing kita untuk dengan bebas dan gembira menjalani tanggung jawab sebagai orang beriman pada Kristus tanpa menjadi sandungan bagi sesama. Saat proses itu terus berlangsung maka disaat itulah kita memberitakan bahwa kuasa Kristus melebihi segalanya.

ypp

Sabtu, 20 Januari 2024

MENANGKAP MOMENTUM HIDUP

 Minggu ke-3 Sesudah Epifani

Yunus 3:1-5, 10 | Mazmur 62:6-13 | 1 Korintus 7:29-31 | Markus 1:14-20


Menangkap Momentum Hidup. Mari kita cek dulu arti momentum. Dalam ilmu fisika, momentum berarti besaran yang berkaitan dengan benda yang besarnya sama dengan hasil kali dari  massa benda yang bergerak itu dan kecepatan geraknya; atau kuantitas gerak. Intinya, momentum adalah besaran yang berhubungan dengan massa dan kecepatan gerak benda. Namun, kita tidak mau membahas fisika, jadi mari kita lihat makna lainnya dari momentum di KBBI. Selain, arti yang tadi, momentum juga berarti saat yang tepat atau kesempatan. Ya, momentum juga berarti kesempatan. Maka, tema itu bisa kita buat menagkap waktu yang tepat dalam hidup, atau menangkap kesempatan dalam hidup. Jika menggunakan kalimat yang lebih populer, hidup ini adalah kesempatan, kesempatan yang perlu kita raih. Generasi milenial pada masanya mungkin sangat akrab dengan ungkapan dalam Bahasa Latin, carpe diem, yang secara harfiah berarti "petiklah hari". Ungkapan ini berasal dari seorang penyair Romawi yang hidup pada akhir masa sebelum Masehi hingga awal Masehi, yakni Quintus Horatius Flaccus, yang lebih dikenal dengan nama Horatius. Maksud kata-kata ini adalah orang dianjurkan untuk hidup memanfaatkan hari ini secara lebih optimal tidak menunda sesuatu untuk hari esok. Dengan begitu kita lebih dapat memanfaatkan waktu yang diberikan secara optimal. Inilah menangkap momentum hidup, kesempatan atau waktu yang tepat dalam hidup.

Dalam bacaan kita, kita bisa melihat Yesus menggunakan momentum, ketika Yohanes Pembaptis ditangkap. Setelah Yohenes ditangkap, maka tidak ada lagi yang memberitakan pertobatan dan pengampunan dosa. Inilah sebuah momentum, waktu yang tepat bagi Yesus. Yesus menggunakan momentum ini untuk memulai pengajaran-Nya tentang Injil Kerajaan Allah, pertobatan dan pengampunan. “Saatnya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” (Markus 1:15). Injil yang Yesus beritakan mengajak umat untuk bertobat kerena Allah telah menyatakan Kerajaan-Nya, yakni karya penyelamatan-Nya bagi dunia. Ini juga momentum, kesempatan bagi banyak orang untuk bertobat, karena Allah telah menyatakan Kerajaan-Nya, yakni keselamatan dan pengampunan. 

Dalam Injil Minggu ini, kita pun melihat bagaimana para murid yang pertama, Simon Petrus, Andreas, Yakobus, dan Yohanes menangkap momentum ini. Mereka diajak oleh Yesus untuk mengikut Dia memberitakan Kerajaan Allah. Bagi mereka berempat, Yesus itu seorang asing yang tiba-tiba datang saat mereka sedang bekerja dan berkata, “Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia.” Respons yang logis dari para murid adalah pasti bertanya-tanya dan ragu. Namun, mereka justru segera mengikuti Dia. Petrus dan Andreas segera meninggalkan jala mereka, Yakobus dan Yohanea pun segera meninggalkan ayah mereka dan mengikut Dia. Segera. Ini kata kunci yang penting dalam Injil Markus. Mereka tidak menunda, mereka meninggalkan keluarga dan pekerjaan mereka, lalu mengikut Yesus memberitakan Kerajaan Allah. Mereka menangkap momentum itu, kesempatan dan waktu yang tepat, saat Yesus memanggil mereka.

Jujur, jika kita diminta untuk meninggalkan pekerjaan kita atau meninggalkan keluarga kita untuk mengikut Yesus, pasti kita akan merasa berat. Namun, apakah dengan demikian, lalu kita kurang beriman, atau kurang kristiani? Atau paling tidak kita ini kurang beriman daripada Petrus, Andreas, Yakobus, dan Yohanes, meskipun mereka juga tidak sesempurna yang kita bayangkan. Saat ini tentu mengikut Yesus tidak lagi seperti para murid dulu yang mengikut Yesus secara fisik. Yesus hadir bersama mereka secara fisik. Jadi jika mengikut Dia pergi ke mana-mana, mau tidak mau mereka harus meninggalkan pekerjaan dan keluarga mereka. Namun, kondisi kita sekarang ini berbeda. Yesus tidak lagi hadir secara fisik bersama kita. Lalu bagaimana mengikut Yesus dalam konteks kita, tanpa meninggalkan pekerjaan dan keluarga kita? Penginjil Markus menunjukkan paling tidak dua hal terkait respons para murid. 

Pertama, para murid ini mengikut Yesus dengan melepaskan. Ya, mereka menangkap momentum dengan melepaskan; Melepaskan pekerjaan sebagai penjala ikan dan menjadi penjala manusia; Melepaskan nilai-nilai yang lama, dan merangkul nilai-nilai baru, yakni nilai-nilai Kerajaan Allah; Melepaskan kehidupan lama yang nyaman bagi mereka, dan menyambt kehidupan baru bersama Yesus. Dengan demikian, mengikut Yesus bukan berarti berhenti bekerja, tetapi bekerja dengan nilai-nilai Kerajaan Allah, melakukan pekerjaan kita sebaik mingkin, dan menjadi berkat bagi keluarga. Misalnya dengan tidak bermalas-masalan dan terima gaji buta; Meninggalkan cara kerja yang curang tapi menguntungkan, dan bekerja dengan jujur; Meninggalkan kenyamanan dan bekerja keras untuk menghidupi keluarga; Melepaskan atau merelakan harta kita untuk membantu korban bencana alam atau kelaparan. Ada kenyamanan yang klita lepaskan, tetapi ada nilai-nilai Kerajaan Allah, yakni kasih, keadilan, perdamaian, yang kita rangkul. Mengikut Yesus berarti menerapkan nilai-nilai Kerajaan Allah dalam hidup kita, apa pun yang kita lakukan.

Kedua, mereka mengikut Yesus segera. Mereka tidak menunda-nunda. Tidak tunggu beberapa hari, atau beberapa jam, tetapi segera. Momentum Yesus memanggil mereka itu mereka tangkap dan gunakan dengan bijaksana. Di sini kita belajar bahwa panggilan mengikut Yesus dan menerapkan nilai-nilai Kerajaan Allah itu perlu kita respons segera. Saat ini juga, selama momentumnya masih ada. Momentum ini adalah saat ini. Artinya dalam hidup sehari-hari, setiap hari, saat ini, di mana pun kita berada, apa pun yang kita kerjaan. Jangan tunggu nanti. Nanti saja kalau saya sudah sukses, saya mau bantu orang. Nanti, kalau saya lulus kuliah, saya mau melayani di gereja. Nanti kalau saya diterima bekerja, saya mau jadi pengurus komisi, atau kalau pekerjaan saya sudah stabil saya mau jadi penatua. Nanti dulu deh, saya masih belum layak untuk menjadi penatua. Jika seperti ini, sampai kapan pun waktunya tidak akan tepat. Akan selalu ada nanti-nanti yang lain. Ini artinya kita sedang menyia-nyaikan momentum yang entah akan sampai kapan. Tuhan mau kita menjawab panggilan-Nya segera, bukan menunda-nunda. Menangkap momentum saat ini.

Bacaan pertama juga menujukkan bagaimana masyarakat Niniwe menangkap momentum. Yunus yang ditugasi Allah untuk mewartakan pertobatan bagi Niniwe, ditanggapi dengan positif oleh mereka. Saat itu juga, seluruh kota itu mengadakan perkabungan dan pertobatan. Allah yang penuh rahmat dan pengampunan itu memberi mereka kesempatan, momentum untuk bertobat, dan mereka menangkap momentum itu dengan segera dan dengan bijaksana. Tanpa menunda, mereka meningggalkan cara hidup lama mereka dan berbalik kepada Allah.

Saudara-saudari, benar apa kata nyantian viral itu, hidup ini adalah kesempatan. Kesempatan untuk melepaskan dan menangkap. Hari ini dan setiap hari Tuhan memanggil kita untuk meninggalkan kenyamanan kita, cara hidup kita yang lama yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Kerajaan-Nya, untuk bekerja mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah, pengampunan dan pertobatan, cinta kasih dan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan. Apakah jawab kita? Maukah kita melepaskan kenyamanan hidup dan menangkap momentum itu? Maukah kita mengambil risiko melepaskan kenikmatan untuk mewujudkan Kerajaan Allah? Maukah kita melakukannya segera, tidak menunda-nunda dan menunggu nanti? Carpe diem. Petiklah hari, tangkaplah momentum, pakailah kesempatan yang Tuhan berikan, agar hidup kita tidak sia-sia. Kiranya Tuhan memampukan kita untuk menjawab panggilan-Nya. Amin. (thn)

Minggu, 14 Januari 2024

HIDUP BUKAN MILIK KITA SENDIRI

(Minggu II Sesudah Epifani)

1 Samuel 3 : 1 – 20; Mazmur 139 : 1 – 6, 13 – 18; 1 Korintus 6 : 12 – 20; Yohanes 1 : 43 – 51

 

Hidup bukan milik kita sendiri yang menjadi tema hari ini seperti membentuk sebuah kontradiktif. Karena bagaimana mungkin hidup yang kita miliki bukan menjadi milik kita sendiri? Lantas menjadi milik siapa? Jika kita memperhatikan seluruh kumpulan bacaan hari ini, kita akan menemukan jawabannya.

 

Saudara, seluruh bacaan masing-masing menceritakan tentang seorang tokoh. Dan masing-masing tokoh mengajarkan kita tentang bagaimana mereka menemukan bahwa hidup bukan milik mereka sendiri saja. Bacaan pertama dari 1 Samuel 3 : 1 – 20 menceritakan bagaimana Samuel, anak Hana yang sejak kecil diserahkan Hana kepada Tuhan sudah bertumbuh menjadi seorang pria muda dan menjadi pelayan Tuhan di bawah pengawasaan imam Eli.

 

Kala itu Samuel yang masih muda sedang tidur di dalam rumah Tuhan, tempat Tabut Tuhan. Ketika ia sedang tidur, ia mendengar suara yang memanggil dirinya namun dia mengira bahwa yang memanggilnya adalah imam Eli. Makanya dia bangun dan berlari menemui imam Eli. Hal itu dilakukan bisa jadi karena imam Eli sudah dalam kondisi lanjut usia, sehingga Samuel yang mendengar seseorang memanggilnya berpikir bahwa pastilah yang memanggilnya imam Eli karena membutuhkan pertolongannya. Namun ternyata, bukan imam Eli yang memanggilnya. Melainkan Tuhan.

 

Hal ini disadari oleh imam Eli, bukan Samuel karena sudah tiga kali Tuhan memanggilnya tetapi ia tidak menyadarinya. Tapi bagaimana mungkin hal ini terjadi? Bukankah Samuel tinggal di rumah Tuhan? Sudah jadi pelayan Tuhan? dan secara ekslusif di bawah pengawasan imam Eli pulak. Bagaimana bisa Samuel tidak mengenal Allah?

 

Beberapa tafsiran pun mengungkapkan hal itu. Yang pertama, karena sekalipun Samuel tinggal di rumah Tuhan, jadi pelayan Tuhan, diawasi imam Eli tidak menjamin Samuel mengenal Tuhan. Hal ini diungkapkan di dalam bacaan di ay. 7a (TB2) “Samuel belum begitu mengenal TUHAN. Maksud dari tidak mengenal Tuhan bukan apa yang dilakukannya selama ini tidak sungguh-sungguh ia lakukan.

 

Tapi apa yang ia lakukan hanya sebatas pengenalan dalam ranah pengetahuan bukan pengalaman. Sehingga secara pribadi, proses perjumpaan itu belum ia rasakan dan alami. Yang kedua, Samuel tidak mengenal Tuhan karena ay. 7b (TB2) “firman Tuhan belum dinyatakan kepadanya” makna dari kalimat ini ditafsirkan oleh beberapa penafsir salah 1nya oleh William Barclay adalah karena di masa Perjanjian Lama, proses mengenal Tuhan selalu dimulai dari Tuhan. Sehingga ketika firman Tuhan belum dinyatakan kepada Samuel, seberapa keraspun Samuel berusaha mengenal Tuhan hal itu akan tetap sukar dilakukan.  

 

Pada akhirnya, imam Eli pun menyadari bahwa yang memanggil Samuel adalah Tuhan, sehingga ia berkata kepada Samuel, “Pergilah tidur. Jika Ia memanggilmu, jawablah: Berfirmanlah, ya TUHAN, sebab hambaMu ini mendengar.” Dan kalimat inilah yang diungkapkan oleh Samuel ketika ia kembali dipanggil Tuhan. Sehingga panggilan dari Tuhan, perjumpaan dengan Tuhan dan firman yang disampaikan Tuhan pun menjadi momen penegasan bahwa hidup Samuel bukan lagi miliknya sendiri tetapi sesungguhnya milik Allah karena Ia dipanggil Allah, berjumpa dengan Allah dan firman Tuhan telah dinyatakan kepadaNya.

Sementara itu dalam kitab nyanyian Mazmur 139, Daud sebagai pemazmur pun merefleksikan bahwa hidupnya bukan hanya milik dirinya sendiri dan dijalani oleh dirinya sendiri, tetapi hidupnya pun adalah milik Tuhan dan dijalani bersama Tuhan. Sebab Tuhan begitu menyelidiki, mengetahui, mengerti, mengamati, memagari bahkan menenunnya[1] sejak dalam kandungan ibu.

 

Menyadari bahwa hidup ini bukan hanya milik diri sendiri tetapi juga milik Tuhan melahirkan sukacita dan syukur yang amat dalam oleh pemazmur, sebab Daud katakan (ay. 14) “Aku bersyukur kepadaMu sebab aku dijadikan dengan dahsyat dan ajaib. Betapa ajaib[2] apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya.”

 

Saudaraku yang terkasih, selanjutnya dalam 1 Korintus 6 Paulus pun mengingatkan bahwa jemaat di Korintus pada masa lampau yang hidupnya dalam konteks yang sedang brutal karena banyak ajaran sesat, percabulan, penyembahan berhala, perzinahan, dan banyak kejahatan lainnnya (bc. 1 Kor. 6 : 9 – 10). Dalam konteks itu, sangat mungkin banyak jemaat pun terpengaruh dengan gaya hidup dan lingkungan yang ada. Di kondisi inilah, Paulus ingatkan mereka bahwa tubuh yang mereka gunakan bukan hanya milik mereka sendiri. Sehingga mereka tidak boleh jatuh pada percabulan dan hal-hal yang pada masa itu dianggap lumrah.

 

Paulus nyatakan bahwa tubuh mereka (hidup mereka) bukan milik mereka sendiri tetapi milik Allah. Paulus tegaskan (ay. 19 - 20), “atau tidak tahukah kamu bahwa tubuh kamu semua adalah bait Roh Kudus yang tinggal di dalam kamu, Roh yang kamu peroleh dari Allah – dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab, kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!”

 

Kalimat yang disampaikan oleh Paulus merupakan penegasan bahwa tubuh kita bukan milik kita sendiri dan tubuh kita tempat tinggal Roh Kudus, yang bukan berarti tubuh kita seperti lampu jin untuk Roh Kudus tetapi sebuah ungkapan bahwa Allah dekat dan di dalam manusia juga, maka hendaknya jemaat di Korintus tidak sembarangan dengan tubuh dan tidak menyia-nyiakan hidup. Karena menyia-nyiakan tubuh dengan kejahatan = menyia-nyiakan Allah yang hidup di dalam kita.

 

Selanjutnya dalam bacaan Injil, Yohanes 1 : 43 – 51 memperlihatkan bagaimana Yesus memanggil murid-muridNya, yaitu Filipus. Dan bagaimana respon Filipus? Di bacaan memang nampaknya tidak langsung ikut Yesus karena Filipus menjumpai Natanael dulu untuk mewartakan kabar ini. Tapi pada akhirnya kita tahu bahwa Filipus pun menjadi salah 1 murid Yesus.

 

Apa yang membuat Filipus bersedia ikut Yesus dan meninggalkan apa yang ia miliki selama ini (zona nyaman)? Karena ia tahu, hidupnya bukan miliknya sendiri melainkan milik Allah. Sehingga apapun yang dikehendaki Allah, apapun panggilan Allah, apapun yang Allah beri semua baik adanya.

 

Makanya ketika ia menyampaikan kepada Natanael bahwa telah menemukan Yesus yang disebut Musa dalam Taurat dan nabi-nabi, yaitu Yesus anak Yusuf dari Nazaret, Natanael sempat skeptis, mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret? Dengan antusias, percaya diri dan iman – Filipus berkata “mari dan lihatlah” (ay. 46)

 

Saudaraku yang terkasih, dari seluruh bacaan hari ini kita belajar dari semua para tokoh Alkitab bahwa hidup setiap orang, termasuk kita bukan hanya milik kita sendiri tetapi milik Allah. Hal ini perlu terus kita ingat dan menjadi kesadaran bagi kita supaya kita tidak asal-asalan dengan hidup. Tidak gampang terlena dengan tawaran lingkungan yang membuat kita merusak tubuh (hidup). Tetapi hidup ini kita jaga – syukuri – dan muliakan Tuhan dengan hidup kita. Sehingga seperti Filipus yang memperkenalkan Yesus kepada Natanael, kita pun dapat memperkenalkan Yesus melalui kehidupan kita setiap hari. Tuhan memberkati kita semua. Amin

(mc)



[1] dibuat dengan ketelitian, kesabaran, kehati-hatian dan penuh perhatian

[2] bukan kejadian biasa, bernuansa mujizat, langka

Sabtu, 06 Januari 2024

DIKASIHI DAN BERKENAN KEPADA ALLAH

Minggu Pembaptisan Yesus

Kejadian 1:1-5 | Mazmur 29 | Kis 19:1-7 | Mrk 1:4-11

 

Beberapa waktu lalu, kota Kupang dihebohkan dengan adanya KKR yang berujung pada pelaksanaan baptis ulang secara masal. Tak heran, kejadian ini  mengundang berbagai macam respon, baik yang menentang atau mendukung dengan tegas. Harus diakui, perkara baptisan memang menjadi isu klasik yang selali asyik untuk diperdebatkan, entah secara metodologis, teologis, tradisi, atau sesepele masalah like and dislike. Tak jarang, kita mendengar kesaksian orang-orang Kristen sepulang dari Yerusalem dan dengan bangga menceritakan keikutsertaannya pada baptisan di Sungai Yordan. “Mirip sama Tuhan Yesus..”, kata mereka lugu. Tentu hal ini musti mendapat respon yang rendah hati dari gereja, bahwa kerap kali gereja menyuarakan keadilan dan cinta kasih Allah dari mimbar, namun jarang sekali mengajarkan perkara doktrinal. Mungkin gereja berpikir sudah sangat membekali calon jemaat saat katekisasi. Ya, mungkin saja.

Minggu ini, kita berhenti pada bacaan Injil mengenai pembaptisan Yesus. Ada beberapa poin yang bisa kita renungkan bersama mengenai kisah ini. Perenungan kita berangkat dari sebuah pertanyaan; mengapa Yesus dibaptis?

Pertama, bila kita membaca kisah ini secara sekilas, wajar bila kita merasa ada yang aneh. Kita tau, bahwa Yohanes Pembaptis melakukan pembaptisan dengan seruan pertobatan (Mat 3:2, Mrk 1:4). Lantas, berdosakah Yesus? Yesus adalah Yang Maha Kudus yang keluar dan datang dari Sang Bapa (lih. Yoh 8:42) yang sudah pasti bersih dari salah dan dosa. Lalu untuk apa?

Ada alasan menarik bila kita melihat pada kekhasan Markus dalam menempatkan kisah pembaptisan Yesus pada perikop pertama dalam keseluruhan Injil. Kita mengetahui, keempat Injil Sinoptik memiliki karakteristik dan kekhasan masing-masing. Hanya Injil Matius dan Lukas yang menceritakan dengan indah mengenai kisah kelahiran Sang Raja Semesta di atas dunia. Peristiwa inkarnasi dalam drama Natal menuturkan kesudian Yang Maha Tidak Terbatas lahir ke dunia dalam wujud manusia yang dipenuhi segala keterbatasan. Lahirnya Yesus ke dunia menjadi tanda bahwa Ia adalah Allah yang berbelarasa kepada umat-Nya yang menderita sengsara dalam segala pergumulan hidup. Ya, Matius dan Lukas menarasikan belarasa itu dengan baik. Lantas, apakah Markus menganggap belarasa Allah itu tidak penting? Tentu, Markus sebagai Injil tertua memiliki caranya sendiri untuk mengungkapkan belarasa Allah. Baptisan, dalam tradisi Perjanjian Lama adalah ritus yang digunakan untuk pembersihan diri dan dikhususkan untuk kaum proselit, yakni orang bukan Yahudi yang mau percaya kepada Allah YHWH dan mengikuti cara hidup sebagai orang Yahudi (lihat kisah Naaman). Berarti, baptisan memang diperuntukkan bagi orang-orang berdosa. Tak heran, Yohanes pembaptis menyerukan pertobatan dalam pembaptisannya. Yesus sebagai orang Yahudi tentu mengenal konsep ini dengan baik, tetapi Ia dengan sengaja memberi diri-Nya dibaptis sebagai bentuk belarasa kepada manusia yang berdosa meski ia tidak pernah berbuat dosa (lih. 2 Kor 5:21). Injil Markus memang tidak mencatat proses inkarnasi Yesus dalam kelahiran-Nya, namun Injil Markus menempatkan kisah pembaptisan Yesus sebagai pembuka Injil yang berrarti bahwa Yesus adalah Allah yang mau menjadi sama dengan manusia yang berdosa.

Kisah pembaptisan Yesus dalam Markus ini menggemakan kasih Allah yang berbelarasa kepada umat-Nya. Ia melakukan itu, dengan sadar bahwa Ia merendahkan diri-Nya dan menjadi setara dengan manusia berdosa. Belarasa dan empati inilah yang menjadi keagungan cinta-Nya. Hal yang tidak mudah bahkan sulit ditemui pada zaman modern. Manusia semakin ingin dimengerti namun tidak ingin dimengerti. Kita mengenal istilah ‘walking on other shoes’ namun tidak mau melakukannya. Orangtua yang sering memarahi anaknya karena anaknya dianggap nakal dan kurang ajar. Orangtua itu lupa, bahwa pola piker dan kematangan mental si anak sedang bertumbuh. Bukannya memahami mereka, yang terjadi justru memaksakan anak untuk bisa berpikir dan bersikap seperti orang dewasa. Yesus mengajarkan itu melalui pembaptisannya. Orang di seluruh Yudea dan Yerusalem datang pada saat itu (Mrk 1:5) dan Yesus mendemonstrasikan kerendahan hati itu kepada mereka.

Kedua, ada alasan lain mengapa Yesus memberi diri dibaptis oleh Yohanes Pembaptis. Bila meminjam narasi dari Injil Matius, kita akan menemukan beragam emosi ketika Yohanes berhadapan dengan Yesus yang memintanya untuk membaptiskan-Nya. Matius 3:14-15; Tetapi Yohanes mencegah Dia, katanya: "Akulah yang perlu dibaptis oleh-Mu, dan Engkau yang datang kepadaku?" Lalu Yesus menjawab, kata-Nya kepadanya: "Biarlah hal itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kehendak Allah." Dan Yohanes pun menuruti-Nya. Ada rasa sungkan, takut, tidak layak, bahagia, dan segala rasa yang bercampur dalam satu adegan itu. Tentu hal itu dikarenakan Yohanes pembaptis tau siapa yang sedang berada di hadapannya. Namun yang perlu kita perhatikan adalah respon Yesus, "Biarlah hal itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kehendak Allah.". Yesus meyakinkan Yohanes Pembaptis bahwa pembaptisan itu harus dilakukan dalam rangka penggenapan seluruh kehendak Allah. Kata ‘Kehendak Allah’ ini bisa kita pahami sekilas sebagai ketaatan dari satu pihak kepada pemilik otoritas yang lebih tinggi—dalam hal ini Anak kepada Bapa. Namun, kita tidak bisa melihatnya demikian. Kisah pembaptisan ini ditutup dengan peristiwa teofani yang membagongkan, yang memerlihatkan panggung teatrikal ilahi, dimana Allah Trinitas hadir bersama-sama dalam ruang dan waktu yang sama serta bisa ditangkap oleh indrawi manusia. Sehingga ‘Kehendak Allah’ ini bukanlah sebuah perintah atasan kepada bawahan, namun sebuah ungkapan cinta dari Bapa, Anak, dan Roh Kudus yang selalu rindu untuk bersama dan tak terpisahkan oleh ruang dan waktu. Kehadiran Roh Kudus dalam wujud burung merpati yang hinggap ke atas Yesus dan suara Allah yang datang dari langit ini bukan menunjukkan awal kebersamaan atas ketiga-Nya. Bacaan Pertama Minggu ini dalam Kejadian 1:1-5 pada narasi penciptaan sudah menceritakan bagaimana Bapa, Anak, dan Roh Kudus sudah ada dan tidak pernah terpisahkan. Hal ini dipertegas dalam kisah pembaptisan Yesus yang begitu indah nan romantis. Kehendak Allah yakni kerinduan itu juga diiyakan oleh Yesus yang meyakinkan Yohanes Pembaptis, bahwa peristiwa itu harus terjadi. Kita tidak boleh lupa, bahwa pembaptisan Yesus adalah langkah start bagi Yesus untuk memulai karya penyelamatan-Nya. Sejak memulai karya-Nya di dunia, hingga detik-detik kematian-Nya, Ia selalu rindu untuk ada Bersama dengan Sang Bapa dan Roh Kudus. Erangan Yesus yang dicatat dalam Alkitab; Eli Eli Lama Sabakhtani menjadi isyarat bahwa Kehendak Allah Trinitas adalah selalu ada dan bersama dalam segala ruang dan waktu.

Yesus memberikan teladan bahwa dalam segala karya, Ia menyadari bahwa Ia ada dalam persekutuan cinta Bersama Sang Bapa dan Roh Kudus. Ia berani menjalani karya pelayanan di dunia bukan sebagai cara melaksanakan perintah, namun karena kehendak bersama dalam Ketiganya untuk mewujudkan cinta dalam misi penebusan dosa. Misi yang berujung pada derita bahkan kematian itu dimulai dengan sadar karena ada cinta dalam diri-Nya dari Sang Bapa yang mengasihi dan berkenan kepada-Nya. Bila demikian, kita pun sudah semestinya berani menjalani kehidupan yang sulit dan penuh misteri dengan keyakinan iman bahwa kita tidak pernah berjalan sendirian. Minggu ini adalah kebaktian Minggu pertama di tahun 2024. Kita selalu ada dalam sebuah kepastian bahwa kita tidak tau pasti apa yang akan terjadi di sepanjang tahun ini, namun biarlah keyakinan bahwa kita dihisab dalam persekutuan Allah Trinitas, dan tidak ada satupun kuasa di dunia yang sanggup memisahkan kita dari kasih-Nya (Roma 8:38-39).

Tema ibadah kita adalah ‘Dikasihi dan Berkenan kepada Allah’. Kita bisa saja berpikir bahwa agar kita dikasihi Tuhan dan berkenan di hadapan-Nya, kita harus hidup dengan berbelarasa dan berempati pada yang lain serta melakukan segala kebaikan dalam hidup. Bila demikian standar yang dipasang, adakah di antara kita yang berani mengangkat tangan dan mengaku bahwa kita sudah hidup baik, berbelarasa, berempati pada sesama, sehingga kita layak dikasihi dan berkenan kepada Allah? Jujurly, saya sendiri akan berpikir belasan kali untuk meyakini hal itu. Namun, bukankah kita mengenal Allah yang senantiasa berbelarasa kepada umat-Nya? Ia mengasihi kita dengan segala kondisi kita. Yesus mau dibaptis adalah tanda bahwa Ia memahami dan mengerti segala kondisi kita. Ketika Ia mau memebri diri dibaptis, itu adalah tanda bahwa memang kita dalam segala keberdosaan kita tetaplah dicintai dan berkenan di hadapan-Nya! Lantas, bagaimana? Saya punya sebuah cerita.

Ada seorang anak yang lapar sepulang sekolah. Ia sangat ingin makan. Untuk itu, dia menyapu dan mengepel seisi rumah dengan sungguh-sungguh. Ia melakukannya agar ibunya segera iba dan mememberikan ia makan siang. Apakah akhirnya ibunya memberikan ia makan? Pasti! Namun, apa yang akan terjadi bila ia tak menyapu dan mengepel? Apakah ia akan tetap mendapat makanan? Pasti! Meski ia tidak menyapu dan mengepel, ibunya akan selalu memberinya makan seperti biasa karena ibunya sangat mencintai anaknya. Lantas, dengan makanan, kasih sayang, perawatan kala sakit, dan jutaan cinta yang diterima oleh si anak, bukankah sudah seyogyanya anak itu hidup berbakti kepada ibunya? Dengan syukur dan rasa terima kasih, ia akan membantu ibunya melakukan pekerjaan rumah. Bukan atas dasar rayuan, tapi karena ia merasa dicintai selalu dan selalu oleh ibunya.

Yesus memulai karya-Nya yang berujung pada kematian karena Ia dicinta oleh Sang Bapa dan Roh Kudus. Sang Bapa mencintai dan berkenan kepada-Nya, dan karena itulah Ia mengambil jalan penderitaan bahkan kematian. Sang Bapa, juga berkenan dan mengasihi kita senantiasa apapun kondisi dan keberadaan kita. Jadi, bagaimana?

FTP