Bacaan Injil hari ini mengajak kita untuk bergumul ulang, apakah kita layak hidup dalam budaya atau bahkan membudayakan ketakutan pada hantu/ roh jahat? Sebab bacaan Injil hari ini menceritakan bagaimana sikap Yesus terhadap roh jahat yang merasuki seorang umat di rumah ibadat.
Sabtu, 27 Januari 2024
KUASA-NYA MELEBIHI SEGALANYA
Bacaan Injil hari ini mengajak kita untuk bergumul ulang, apakah kita layak hidup dalam budaya atau bahkan membudayakan ketakutan pada hantu/ roh jahat? Sebab bacaan Injil hari ini menceritakan bagaimana sikap Yesus terhadap roh jahat yang merasuki seorang umat di rumah ibadat.
Sabtu, 20 Januari 2024
MENANGKAP MOMENTUM HIDUP
Minggu ke-3 Sesudah Epifani
Yunus 3:1-5, 10 | Mazmur 62:6-13 | 1 Korintus 7:29-31 | Markus 1:14-20
Menangkap Momentum Hidup. Mari kita cek dulu arti momentum. Dalam ilmu fisika, momentum berarti besaran yang berkaitan dengan benda yang besarnya sama dengan hasil kali dari massa benda yang bergerak itu dan kecepatan geraknya; atau kuantitas gerak. Intinya, momentum adalah besaran yang berhubungan dengan massa dan kecepatan gerak benda. Namun, kita tidak mau membahas fisika, jadi mari kita lihat makna lainnya dari momentum di KBBI. Selain, arti yang tadi, momentum juga berarti saat yang tepat atau kesempatan. Ya, momentum juga berarti kesempatan. Maka, tema itu bisa kita buat menagkap waktu yang tepat dalam hidup, atau menangkap kesempatan dalam hidup. Jika menggunakan kalimat yang lebih populer, hidup ini adalah kesempatan, kesempatan yang perlu kita raih. Generasi milenial pada masanya mungkin sangat akrab dengan ungkapan dalam Bahasa Latin, carpe diem, yang secara harfiah berarti "petiklah hari". Ungkapan ini berasal dari seorang penyair Romawi yang hidup pada akhir masa sebelum Masehi hingga awal Masehi, yakni Quintus Horatius Flaccus, yang lebih dikenal dengan nama Horatius. Maksud kata-kata ini adalah orang dianjurkan untuk hidup memanfaatkan hari ini secara lebih optimal tidak menunda sesuatu untuk hari esok. Dengan begitu kita lebih dapat memanfaatkan waktu yang diberikan secara optimal. Inilah menangkap momentum hidup, kesempatan atau waktu yang tepat dalam hidup.
Dalam bacaan kita, kita bisa melihat Yesus menggunakan momentum, ketika Yohanes Pembaptis ditangkap. Setelah Yohenes ditangkap, maka tidak ada lagi yang memberitakan pertobatan dan pengampunan dosa. Inilah sebuah momentum, waktu yang tepat bagi Yesus. Yesus menggunakan momentum ini untuk memulai pengajaran-Nya tentang Injil Kerajaan Allah, pertobatan dan pengampunan. “Saatnya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” (Markus 1:15). Injil yang Yesus beritakan mengajak umat untuk bertobat kerena Allah telah menyatakan Kerajaan-Nya, yakni karya penyelamatan-Nya bagi dunia. Ini juga momentum, kesempatan bagi banyak orang untuk bertobat, karena Allah telah menyatakan Kerajaan-Nya, yakni keselamatan dan pengampunan.
Dalam Injil Minggu ini, kita pun melihat bagaimana para murid yang pertama, Simon Petrus, Andreas, Yakobus, dan Yohanes menangkap momentum ini. Mereka diajak oleh Yesus untuk mengikut Dia memberitakan Kerajaan Allah. Bagi mereka berempat, Yesus itu seorang asing yang tiba-tiba datang saat mereka sedang bekerja dan berkata, “Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia.” Respons yang logis dari para murid adalah pasti bertanya-tanya dan ragu. Namun, mereka justru segera mengikuti Dia. Petrus dan Andreas segera meninggalkan jala mereka, Yakobus dan Yohanea pun segera meninggalkan ayah mereka dan mengikut Dia. Segera. Ini kata kunci yang penting dalam Injil Markus. Mereka tidak menunda, mereka meninggalkan keluarga dan pekerjaan mereka, lalu mengikut Yesus memberitakan Kerajaan Allah. Mereka menangkap momentum itu, kesempatan dan waktu yang tepat, saat Yesus memanggil mereka.
Jujur, jika kita diminta untuk meninggalkan pekerjaan kita atau meninggalkan keluarga kita untuk mengikut Yesus, pasti kita akan merasa berat. Namun, apakah dengan demikian, lalu kita kurang beriman, atau kurang kristiani? Atau paling tidak kita ini kurang beriman daripada Petrus, Andreas, Yakobus, dan Yohanes, meskipun mereka juga tidak sesempurna yang kita bayangkan. Saat ini tentu mengikut Yesus tidak lagi seperti para murid dulu yang mengikut Yesus secara fisik. Yesus hadir bersama mereka secara fisik. Jadi jika mengikut Dia pergi ke mana-mana, mau tidak mau mereka harus meninggalkan pekerjaan dan keluarga mereka. Namun, kondisi kita sekarang ini berbeda. Yesus tidak lagi hadir secara fisik bersama kita. Lalu bagaimana mengikut Yesus dalam konteks kita, tanpa meninggalkan pekerjaan dan keluarga kita? Penginjil Markus menunjukkan paling tidak dua hal terkait respons para murid.
Pertama, para murid ini mengikut Yesus dengan melepaskan. Ya, mereka menangkap momentum dengan melepaskan; Melepaskan pekerjaan sebagai penjala ikan dan menjadi penjala manusia; Melepaskan nilai-nilai yang lama, dan merangkul nilai-nilai baru, yakni nilai-nilai Kerajaan Allah; Melepaskan kehidupan lama yang nyaman bagi mereka, dan menyambt kehidupan baru bersama Yesus. Dengan demikian, mengikut Yesus bukan berarti berhenti bekerja, tetapi bekerja dengan nilai-nilai Kerajaan Allah, melakukan pekerjaan kita sebaik mingkin, dan menjadi berkat bagi keluarga. Misalnya dengan tidak bermalas-masalan dan terima gaji buta; Meninggalkan cara kerja yang curang tapi menguntungkan, dan bekerja dengan jujur; Meninggalkan kenyamanan dan bekerja keras untuk menghidupi keluarga; Melepaskan atau merelakan harta kita untuk membantu korban bencana alam atau kelaparan. Ada kenyamanan yang klita lepaskan, tetapi ada nilai-nilai Kerajaan Allah, yakni kasih, keadilan, perdamaian, yang kita rangkul. Mengikut Yesus berarti menerapkan nilai-nilai Kerajaan Allah dalam hidup kita, apa pun yang kita lakukan.
Kedua, mereka mengikut Yesus segera. Mereka tidak menunda-nunda. Tidak tunggu beberapa hari, atau beberapa jam, tetapi segera. Momentum Yesus memanggil mereka itu mereka tangkap dan gunakan dengan bijaksana. Di sini kita belajar bahwa panggilan mengikut Yesus dan menerapkan nilai-nilai Kerajaan Allah itu perlu kita respons segera. Saat ini juga, selama momentumnya masih ada. Momentum ini adalah saat ini. Artinya dalam hidup sehari-hari, setiap hari, saat ini, di mana pun kita berada, apa pun yang kita kerjaan. Jangan tunggu nanti. Nanti saja kalau saya sudah sukses, saya mau bantu orang. Nanti, kalau saya lulus kuliah, saya mau melayani di gereja. Nanti kalau saya diterima bekerja, saya mau jadi pengurus komisi, atau kalau pekerjaan saya sudah stabil saya mau jadi penatua. Nanti dulu deh, saya masih belum layak untuk menjadi penatua. Jika seperti ini, sampai kapan pun waktunya tidak akan tepat. Akan selalu ada nanti-nanti yang lain. Ini artinya kita sedang menyia-nyaikan momentum yang entah akan sampai kapan. Tuhan mau kita menjawab panggilan-Nya segera, bukan menunda-nunda. Menangkap momentum saat ini.
Bacaan pertama juga menujukkan bagaimana masyarakat Niniwe menangkap momentum. Yunus yang ditugasi Allah untuk mewartakan pertobatan bagi Niniwe, ditanggapi dengan positif oleh mereka. Saat itu juga, seluruh kota itu mengadakan perkabungan dan pertobatan. Allah yang penuh rahmat dan pengampunan itu memberi mereka kesempatan, momentum untuk bertobat, dan mereka menangkap momentum itu dengan segera dan dengan bijaksana. Tanpa menunda, mereka meningggalkan cara hidup lama mereka dan berbalik kepada Allah.
Saudara-saudari, benar apa kata nyantian viral itu, hidup ini adalah kesempatan. Kesempatan untuk melepaskan dan menangkap. Hari ini dan setiap hari Tuhan memanggil kita untuk meninggalkan kenyamanan kita, cara hidup kita yang lama yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Kerajaan-Nya, untuk bekerja mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah, pengampunan dan pertobatan, cinta kasih dan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan. Apakah jawab kita? Maukah kita melepaskan kenyamanan hidup dan menangkap momentum itu? Maukah kita mengambil risiko melepaskan kenikmatan untuk mewujudkan Kerajaan Allah? Maukah kita melakukannya segera, tidak menunda-nunda dan menunggu nanti? Carpe diem. Petiklah hari, tangkaplah momentum, pakailah kesempatan yang Tuhan berikan, agar hidup kita tidak sia-sia. Kiranya Tuhan memampukan kita untuk menjawab panggilan-Nya. Amin. (thn)
Minggu, 14 Januari 2024
HIDUP BUKAN MILIK KITA SENDIRI
(Minggu II Sesudah Epifani)
1 Samuel 3 : 1 – 20; Mazmur 139 : 1 – 6, 13 – 18; 1
Korintus 6 : 12 – 20; Yohanes 1 : 43 – 51
Hidup
bukan milik kita sendiri yang menjadi tema hari ini seperti membentuk sebuah kontradiktif.
Karena bagaimana mungkin hidup yang kita miliki bukan menjadi milik kita
sendiri? Lantas menjadi milik siapa? Jika kita memperhatikan seluruh kumpulan
bacaan hari ini, kita akan menemukan jawabannya.
Saudara,
seluruh bacaan masing-masing menceritakan tentang seorang tokoh. Dan
masing-masing tokoh mengajarkan kita tentang bagaimana mereka menemukan bahwa hidup bukan milik mereka sendiri saja. Bacaan
pertama dari 1 Samuel 3 : 1 – 20 menceritakan bagaimana Samuel, anak Hana yang
sejak kecil diserahkan Hana kepada Tuhan sudah bertumbuh menjadi seorang pria muda
dan menjadi pelayan Tuhan di bawah pengawasaan imam Eli.
Kala
itu Samuel yang masih muda sedang tidur di dalam rumah Tuhan, tempat Tabut
Tuhan. Ketika ia sedang tidur, ia mendengar suara yang memanggil dirinya namun dia
mengira bahwa yang memanggilnya adalah imam Eli. Makanya dia bangun dan berlari
menemui imam Eli. Hal itu dilakukan bisa jadi karena imam Eli sudah dalam
kondisi lanjut usia, sehingga Samuel yang mendengar seseorang memanggilnya
berpikir bahwa pastilah yang memanggilnya imam Eli karena membutuhkan pertolongannya.
Namun ternyata, bukan imam Eli yang memanggilnya. Melainkan Tuhan.
Hal
ini disadari oleh imam Eli, bukan Samuel karena sudah tiga kali Tuhan
memanggilnya tetapi ia tidak menyadarinya. Tapi bagaimana mungkin hal ini
terjadi? Bukankah Samuel tinggal di rumah Tuhan? Sudah jadi pelayan Tuhan? dan
secara ekslusif di bawah pengawasan imam Eli pulak. Bagaimana bisa Samuel tidak
mengenal Allah?
Beberapa
tafsiran pun mengungkapkan hal itu. Yang pertama, karena sekalipun
Samuel tinggal di rumah Tuhan, jadi pelayan Tuhan, diawasi imam Eli tidak
menjamin Samuel mengenal Tuhan. Hal ini diungkapkan di dalam bacaan di ay. 7a
(TB2) “Samuel belum begitu mengenal TUHAN. Maksud dari tidak mengenal Tuhan
bukan apa yang dilakukannya selama ini tidak sungguh-sungguh ia lakukan.
Tapi
apa yang ia lakukan hanya sebatas pengenalan dalam ranah pengetahuan bukan
pengalaman. Sehingga secara pribadi, proses perjumpaan itu belum ia rasakan dan
alami. Yang kedua, Samuel tidak mengenal Tuhan karena ay. 7b (TB2) “firman
Tuhan belum dinyatakan kepadanya” makna dari kalimat ini ditafsirkan oleh
beberapa penafsir salah 1nya oleh William Barclay adalah karena di masa Perjanjian
Lama, proses mengenal Tuhan selalu dimulai dari Tuhan. Sehingga ketika firman
Tuhan belum dinyatakan kepada Samuel, seberapa keraspun Samuel berusaha
mengenal Tuhan hal itu akan tetap sukar dilakukan.
Pada
akhirnya, imam Eli pun menyadari bahwa yang memanggil Samuel adalah Tuhan,
sehingga ia berkata kepada Samuel, “Pergilah tidur. Jika Ia memanggilmu,
jawablah: Berfirmanlah, ya TUHAN, sebab hambaMu ini mendengar.” Dan kalimat
inilah yang diungkapkan oleh Samuel ketika ia kembali dipanggil Tuhan. Sehingga
panggilan dari Tuhan, perjumpaan dengan Tuhan dan firman yang disampaikan Tuhan
pun menjadi momen penegasan bahwa hidup Samuel bukan lagi miliknya sendiri
tetapi sesungguhnya milik Allah karena Ia dipanggil Allah, berjumpa dengan
Allah dan firman Tuhan telah dinyatakan kepadaNya.
Sementara
itu dalam kitab nyanyian Mazmur 139, Daud sebagai pemazmur pun merefleksikan
bahwa hidupnya bukan hanya milik dirinya sendiri dan dijalani oleh dirinya
sendiri, tetapi hidupnya pun adalah milik Tuhan dan dijalani bersama Tuhan. Sebab
Tuhan begitu menyelidiki, mengetahui, mengerti, mengamati, memagari bahkan
menenunnya[1]
sejak dalam kandungan ibu.
Menyadari
bahwa hidup ini bukan hanya milik diri sendiri tetapi juga milik Tuhan
melahirkan sukacita dan syukur yang amat dalam oleh pemazmur, sebab Daud katakan
(ay. 14) “Aku bersyukur kepadaMu sebab aku dijadikan dengan dahsyat dan ajaib.
Betapa ajaib[2]
apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya.”
Saudaraku
yang terkasih, selanjutnya dalam 1 Korintus 6 Paulus pun mengingatkan bahwa
jemaat di Korintus pada masa lampau yang hidupnya dalam konteks yang sedang
brutal karena banyak ajaran sesat, percabulan, penyembahan berhala, perzinahan,
dan banyak kejahatan lainnnya (bc. 1 Kor. 6 : 9 – 10). Dalam konteks itu, sangat
mungkin banyak jemaat pun terpengaruh dengan gaya hidup dan lingkungan yang
ada. Di kondisi inilah, Paulus ingatkan mereka bahwa tubuh yang mereka gunakan bukan
hanya milik mereka sendiri. Sehingga mereka tidak boleh jatuh pada percabulan
dan hal-hal yang pada masa itu dianggap lumrah.
Paulus
nyatakan bahwa tubuh mereka (hidup mereka) bukan milik mereka sendiri tetapi
milik Allah. Paulus tegaskan (ay. 19 - 20), “atau tidak tahukah kamu bahwa
tubuh kamu semua adalah bait Roh Kudus yang tinggal di dalam kamu, Roh yang
kamu peroleh dari Allah – dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab, kamu
telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: karena itu muliakanlah Allah
dengan tubuhmu!”
Kalimat
yang disampaikan oleh Paulus merupakan penegasan bahwa tubuh kita bukan milik
kita sendiri dan tubuh kita tempat tinggal Roh Kudus, yang bukan berarti tubuh
kita seperti lampu jin untuk Roh Kudus tetapi sebuah ungkapan bahwa Allah dekat
dan di dalam manusia juga, maka hendaknya jemaat di Korintus tidak sembarangan
dengan tubuh dan tidak menyia-nyiakan hidup. Karena menyia-nyiakan tubuh dengan
kejahatan = menyia-nyiakan Allah yang hidup di dalam kita.
Selanjutnya
dalam bacaan Injil, Yohanes 1 : 43 – 51 memperlihatkan bagaimana Yesus
memanggil murid-muridNya, yaitu Filipus. Dan bagaimana respon Filipus? Di
bacaan memang nampaknya tidak langsung ikut Yesus karena Filipus menjumpai
Natanael dulu untuk mewartakan kabar ini. Tapi pada akhirnya kita tahu bahwa
Filipus pun menjadi salah 1 murid Yesus.
Apa
yang membuat Filipus bersedia ikut Yesus dan meninggalkan apa yang ia miliki
selama ini (zona nyaman)? Karena ia tahu, hidupnya bukan miliknya sendiri
melainkan milik Allah. Sehingga apapun yang dikehendaki Allah, apapun panggilan
Allah, apapun yang Allah beri semua baik adanya.
Makanya
ketika ia menyampaikan kepada Natanael bahwa telah menemukan Yesus yang disebut
Musa dalam Taurat dan nabi-nabi, yaitu Yesus anak Yusuf dari Nazaret, Natanael
sempat skeptis, mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret? Dengan antusias,
percaya diri dan iman – Filipus berkata “mari dan lihatlah” (ay. 46)
Saudaraku
yang terkasih, dari seluruh bacaan hari ini kita belajar dari semua para tokoh Alkitab
bahwa hidup setiap orang, termasuk kita bukan hanya milik kita sendiri tetapi
milik Allah. Hal ini perlu terus kita ingat dan menjadi kesadaran bagi kita supaya
kita tidak asal-asalan dengan hidup. Tidak gampang terlena dengan tawaran lingkungan
yang membuat kita merusak tubuh (hidup). Tetapi hidup ini kita jaga – syukuri –
dan muliakan Tuhan dengan hidup kita. Sehingga seperti Filipus yang memperkenalkan
Yesus kepada Natanael, kita pun dapat memperkenalkan Yesus melalui kehidupan kita
setiap hari. Tuhan memberkati kita semua. Amin
(mc)
Sabtu, 06 Januari 2024
DIKASIHI DAN BERKENAN KEPADA ALLAH
Minggu Pembaptisan Yesus
Kejadian 1:1-5 | Mazmur 29 | Kis 19:1-7 | Mrk 1:4-11
Beberapa
waktu lalu, kota Kupang dihebohkan dengan adanya KKR yang berujung pada
pelaksanaan baptis ulang secara masal. Tak heran, kejadian ini mengundang berbagai macam respon, baik yang
menentang atau mendukung dengan tegas. Harus diakui, perkara baptisan memang
menjadi isu klasik yang selali asyik untuk diperdebatkan, entah secara
metodologis, teologis, tradisi, atau sesepele masalah like and dislike. Tak
jarang, kita mendengar kesaksian orang-orang Kristen sepulang dari Yerusalem
dan dengan bangga menceritakan keikutsertaannya pada baptisan di Sungai Yordan.
“Mirip sama Tuhan Yesus..”, kata mereka lugu. Tentu hal ini musti
mendapat respon yang rendah hati dari gereja, bahwa kerap kali gereja
menyuarakan keadilan dan cinta kasih Allah dari mimbar, namun jarang sekali
mengajarkan perkara doktrinal. Mungkin gereja berpikir sudah sangat membekali
calon jemaat saat katekisasi. Ya, mungkin saja.
Minggu ini,
kita berhenti pada bacaan Injil mengenai pembaptisan Yesus. Ada beberapa poin
yang bisa kita renungkan bersama mengenai kisah ini. Perenungan kita berangkat
dari sebuah pertanyaan; mengapa Yesus dibaptis?
Pertama, bila
kita membaca kisah ini secara sekilas, wajar bila kita merasa ada yang aneh.
Kita tau, bahwa Yohanes Pembaptis melakukan pembaptisan dengan seruan pertobatan
(Mat 3:2, Mrk 1:4). Lantas, berdosakah Yesus? Yesus adalah Yang Maha Kudus yang
keluar dan datang dari Sang Bapa (lih. Yoh 8:42) yang sudah pasti bersih
dari salah dan dosa. Lalu untuk apa?
Ada alasan menarik
bila kita melihat pada kekhasan Markus dalam menempatkan kisah pembaptisan
Yesus pada perikop pertama dalam keseluruhan Injil. Kita mengetahui, keempat Injil
Sinoptik memiliki karakteristik dan kekhasan masing-masing. Hanya Injil Matius
dan Lukas yang menceritakan dengan indah mengenai kisah kelahiran Sang Raja
Semesta di atas dunia. Peristiwa inkarnasi dalam drama Natal menuturkan
kesudian Yang Maha Tidak Terbatas lahir ke dunia dalam wujud manusia yang dipenuhi
segala keterbatasan. Lahirnya Yesus ke dunia menjadi tanda bahwa Ia adalah Allah
yang berbelarasa kepada umat-Nya yang menderita sengsara dalam segala
pergumulan hidup. Ya, Matius dan Lukas menarasikan belarasa itu dengan baik.
Lantas, apakah Markus menganggap belarasa Allah itu tidak penting? Tentu,
Markus sebagai Injil tertua memiliki caranya sendiri untuk mengungkapkan
belarasa Allah. Baptisan, dalam tradisi Perjanjian Lama adalah ritus yang
digunakan untuk pembersihan diri dan dikhususkan untuk kaum proselit, yakni
orang bukan Yahudi yang mau percaya kepada Allah YHWH dan mengikuti cara hidup
sebagai orang Yahudi (lihat kisah Naaman). Berarti, baptisan memang
diperuntukkan bagi orang-orang berdosa. Tak heran, Yohanes pembaptis menyerukan
pertobatan dalam pembaptisannya. Yesus sebagai orang Yahudi tentu mengenal
konsep ini dengan baik, tetapi Ia dengan sengaja memberi diri-Nya dibaptis
sebagai bentuk belarasa kepada manusia yang berdosa meski ia tidak pernah
berbuat dosa (lih. 2 Kor 5:21). Injil Markus memang tidak mencatat
proses inkarnasi Yesus dalam kelahiran-Nya, namun Injil Markus menempatkan kisah
pembaptisan Yesus sebagai pembuka Injil yang berrarti bahwa Yesus adalah Allah
yang mau menjadi sama dengan manusia yang berdosa.
Kisah
pembaptisan Yesus dalam Markus ini menggemakan kasih Allah yang berbelarasa
kepada umat-Nya. Ia melakukan itu, dengan sadar bahwa Ia merendahkan diri-Nya dan
menjadi setara dengan manusia berdosa. Belarasa dan empati inilah yang menjadi
keagungan cinta-Nya. Hal yang tidak mudah bahkan sulit ditemui pada zaman
modern. Manusia semakin ingin dimengerti namun tidak ingin dimengerti. Kita
mengenal istilah ‘walking on other shoes’ namun tidak mau melakukannya.
Orangtua yang sering memarahi anaknya karena anaknya dianggap nakal dan kurang
ajar. Orangtua itu lupa, bahwa pola piker dan kematangan mental si anak sedang
bertumbuh. Bukannya memahami mereka, yang terjadi justru memaksakan anak untuk bisa
berpikir dan bersikap seperti orang dewasa. Yesus mengajarkan itu melalui pembaptisannya.
Orang di seluruh Yudea dan Yerusalem datang pada saat itu (Mrk 1:5) dan Yesus
mendemonstrasikan kerendahan hati itu kepada mereka.
Kedua, ada alasan
lain mengapa Yesus memberi diri dibaptis oleh Yohanes Pembaptis. Bila meminjam
narasi dari Injil Matius, kita akan menemukan beragam emosi ketika Yohanes berhadapan
dengan Yesus yang memintanya untuk membaptiskan-Nya. Matius 3:14-15; Tetapi
Yohanes mencegah Dia, katanya: "Akulah yang perlu dibaptis oleh-Mu, dan
Engkau yang datang kepadaku?" Lalu Yesus menjawab, kata-Nya kepadanya:
"Biarlah hal itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan
seluruh kehendak Allah." Dan Yohanes pun menuruti-Nya. Ada rasa
sungkan, takut, tidak layak, bahagia, dan segala rasa yang bercampur dalam satu
adegan itu. Tentu hal itu dikarenakan Yohanes pembaptis tau siapa yang sedang berada
di hadapannya. Namun yang perlu kita perhatikan adalah respon Yesus, "Biarlah
hal itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh
kehendak Allah.". Yesus meyakinkan Yohanes Pembaptis bahwa pembaptisan
itu harus dilakukan dalam rangka penggenapan seluruh kehendak Allah. Kata ‘Kehendak
Allah’ ini bisa kita pahami sekilas sebagai ketaatan dari satu pihak kepada pemilik
otoritas yang lebih tinggi—dalam hal ini Anak kepada Bapa. Namun, kita tidak
bisa melihatnya demikian. Kisah pembaptisan ini ditutup dengan peristiwa
teofani yang membagongkan, yang memerlihatkan panggung teatrikal ilahi,
dimana Allah Trinitas hadir bersama-sama dalam ruang dan waktu yang sama serta
bisa ditangkap oleh indrawi manusia. Sehingga ‘Kehendak Allah’ ini bukanlah
sebuah perintah atasan kepada bawahan, namun sebuah ungkapan cinta dari Bapa, Anak,
dan Roh Kudus yang selalu rindu untuk bersama dan tak terpisahkan oleh ruang
dan waktu. Kehadiran Roh Kudus dalam wujud burung merpati yang hinggap ke atas
Yesus dan suara Allah yang datang dari langit ini bukan menunjukkan awal
kebersamaan atas ketiga-Nya. Bacaan Pertama Minggu ini dalam Kejadian 1:1-5 pada
narasi penciptaan sudah menceritakan bagaimana Bapa, Anak, dan Roh Kudus sudah
ada dan tidak pernah terpisahkan. Hal ini dipertegas dalam kisah pembaptisan Yesus
yang begitu indah nan romantis. Kehendak Allah yakni kerinduan itu juga
diiyakan oleh Yesus yang meyakinkan Yohanes Pembaptis, bahwa peristiwa itu
harus terjadi. Kita tidak boleh lupa, bahwa pembaptisan Yesus adalah langkah start
bagi Yesus untuk memulai karya penyelamatan-Nya. Sejak memulai karya-Nya di
dunia, hingga detik-detik kematian-Nya, Ia selalu rindu untuk ada Bersama dengan
Sang Bapa dan Roh Kudus. Erangan Yesus yang dicatat dalam Alkitab; Eli Eli
Lama Sabakhtani menjadi isyarat bahwa Kehendak Allah Trinitas adalah selalu
ada dan bersama dalam segala ruang dan waktu.
Yesus
memberikan teladan bahwa dalam segala karya, Ia menyadari bahwa Ia ada dalam persekutuan
cinta Bersama Sang Bapa dan Roh Kudus. Ia berani menjalani karya pelayanan di
dunia bukan sebagai cara melaksanakan perintah, namun karena kehendak bersama dalam
Ketiganya untuk mewujudkan cinta dalam misi penebusan dosa. Misi yang berujung
pada derita bahkan kematian itu dimulai dengan sadar karena ada cinta dalam
diri-Nya dari Sang Bapa yang mengasihi dan berkenan kepada-Nya. Bila demikian,
kita pun sudah semestinya berani menjalani kehidupan yang sulit dan penuh
misteri dengan keyakinan iman bahwa kita tidak pernah berjalan sendirian.
Minggu ini adalah kebaktian Minggu pertama di tahun 2024. Kita selalu ada dalam
sebuah kepastian bahwa kita tidak tau pasti apa yang akan terjadi di sepanjang
tahun ini, namun biarlah keyakinan bahwa kita dihisab dalam persekutuan Allah Trinitas,
dan tidak ada satupun kuasa di dunia yang sanggup memisahkan kita dari kasih-Nya
(Roma 8:38-39).
Tema ibadah
kita adalah ‘Dikasihi dan Berkenan kepada Allah’. Kita bisa saja berpikir bahwa
agar kita dikasihi Tuhan dan berkenan di hadapan-Nya, kita harus hidup dengan berbelarasa
dan berempati pada yang lain serta melakukan segala kebaikan dalam hidup. Bila
demikian standar yang dipasang, adakah di antara kita yang berani mengangkat
tangan dan mengaku bahwa kita sudah hidup baik, berbelarasa, berempati pada sesama,
sehingga kita layak dikasihi dan berkenan kepada Allah? Jujurly, saya
sendiri akan berpikir belasan kali untuk meyakini hal itu. Namun, bukankah kita
mengenal Allah yang senantiasa berbelarasa kepada umat-Nya? Ia mengasihi kita
dengan segala kondisi kita. Yesus mau dibaptis adalah tanda bahwa Ia memahami
dan mengerti segala kondisi kita. Ketika Ia mau memebri diri dibaptis, itu
adalah tanda bahwa memang kita dalam segala keberdosaan kita tetaplah dicintai
dan berkenan di hadapan-Nya! Lantas, bagaimana? Saya punya sebuah cerita.
Ada seorang
anak yang lapar sepulang sekolah. Ia sangat ingin makan. Untuk itu, dia menyapu
dan mengepel seisi rumah dengan sungguh-sungguh. Ia melakukannya agar ibunya
segera iba dan mememberikan ia makan siang. Apakah akhirnya ibunya memberikan
ia makan? Pasti! Namun, apa yang akan terjadi bila ia tak menyapu dan mengepel?
Apakah ia akan tetap mendapat makanan? Pasti! Meski ia tidak menyapu dan mengepel,
ibunya akan selalu memberinya makan seperti biasa karena ibunya sangat
mencintai anaknya. Lantas, dengan makanan, kasih sayang, perawatan kala sakit, dan
jutaan cinta yang diterima oleh si anak, bukankah sudah seyogyanya anak itu
hidup berbakti kepada ibunya? Dengan syukur dan rasa terima kasih, ia akan membantu
ibunya melakukan pekerjaan rumah. Bukan atas dasar rayuan, tapi karena ia
merasa dicintai selalu dan selalu oleh ibunya.
Yesus memulai
karya-Nya yang berujung pada kematian karena Ia dicinta oleh Sang Bapa dan Roh
Kudus. Sang Bapa mencintai dan berkenan kepada-Nya, dan karena itulah Ia
mengambil jalan penderitaan bahkan kematian. Sang Bapa, juga berkenan dan
mengasihi kita senantiasa apapun kondisi dan keberadaan kita. Jadi, bagaimana?
FTP