Sabtu, 30 April 2022

KERAMAHAN YANG MENGGEMBALAKAN

Minggu Paskah III

KERAMAHAN YANG MENGGEMBALAKAN

 Yohanes 21:1-19

Ibu Bapak saudara yang terkasih, pernahkah kita memberi seseorang kesempatan untuk berubah (menjadi lebih baik)? Kita memberinya pengampunan yang membutuhkan pergumulan yang sangat berat. Kita meredam ego dan segala kemarahan, dan kita akhirnya dengan tulus mau mengampuni. Kita mengampuni, dan memeberinya saru lagi kesempatan untuk berubah. Namun naas, pada kenyataannya ia kembali melakukan hal yang sama. Apakah anda akan marah, atau tetap mengampuni dan bersikap ramah? Mungkin, ada di antara kita yang bahkan bisa mati rasa atau sudh tidak peduli lagi. Namun, bagaimana Firman Tuhan kali ini hendak mengajar kita? Kita renungkan bersama-sama.

Minggu ini, kita sudah memasuki minggu Paskah III. Seperti yang kita tahu, sebelum Yesus naik ke sorga, Ia berulang kali menampakkan diri kepada murid-muridNya selama 40 hari. Tentu, Yesus bertujuan untuk menguatkan dan mempersiapkan mereka. Sebagaimana yang sudah kita pahami, murid-murid ini begitu takut, kalut dan kebingungan ketika Yesus mati. Dan, teks bacaan kita saat ini merupakan salah satu peristiwa perjumpaan Yesus bersama para murid di tepi danau.

Bacaan kita, Yohanes 21:-1-19 berkisah tentang Yesus menjumpai mereka yang sedang mencari ikan bersama-sama. Yohanes 21:3 Kata Simon Petrus kepada mereka: "Aku pergi menangkap ikan." Kata mereka kepadanya: "Kami pergi juga dengan engkau.“ Apakah ibu bapak saudara menemukan keanehan dalam peristiwa ini? Ini adalah peristiwa aneh. Bukankah mereka sudah tahu kalau Yesus bangkit? Mengapa mereka tak bergegas melanjutkan tugas mereka? Ya, mungkin mereka sedang kebingungan dengan apa yang mereka alami. Namun, kita harus mengingat, Yesus sudah mengubah identitas mereka. Yesus pernah berkata kepada Petrus dalam Lukas 5:10, “Jangan takut, mulai dari sekarang engkau akan menjadi penjala manusia”. Sang penjala manusia itu malah kembali menjadi penjala ikan. Bukankah hal ini aneh? Yesus sudah ditangkap, disiksa, menderita sampai mati, hingga akhirnya bangkit, namun mereka tidak berubah akan itu?

Ibu bapak suadara yang terkasih. Saya mengajak kita untuk membayangkan perasaan Tuhan Yesus. Ia sudah memberikan segalanya. Ia berikan nyawaNya, namun murid-muridNya kembali pada kehidupan mereka yang lama. Jujur saja, kalau saya tentu akan sangat kecewa. Kekecewaan itu bahkan bisa terlahir dalam sebuah ekspresi kemarahan. Namun, di sini kita melihat suatu hal yang indah. Yesus tetap menjadi Yesus. Iya. Yesus tetaplah Yesus. Ia adalah Sang Gembala yang setia dan ramah pada domba-dombaNya. Apakah ia kecewa? Kita tak tahu. Apakah sebenarnya Ia ingin marah? Menurut saya, itu wajar. Namun,  ia mengasihi mereka dan menyapa jiwa-jiwa mereka. Yesus adalah Allah yang selalu memberi kesempatan kepada anak-anakNya.

Ketika saya di awal bertanya mengenai kesempatan yang anda berikan bagi mereka yang sudah mengecewakan, apa jawab saudara? Namun, melalui peristiwa Yesus yang tetap mengasihi murid-muridNya, kita kembali diingatkan tentang bagaimana kita harus memberi kesempatan sekali lagi, dan sekali lagi, bagi siapapun untuk berubah menjadi lebih baik. Kenyataannya memang menyakitkan, namun Yesus adalah teladan yang membuat kita bisa melakukannya. Mengapa demikian? Mari kita renungkan, berapa kesempatan yang Tuhan Yesus berikan bagi kita untuk berubah menjadi peribadi yang lebih baik? Kalau saja Yesus sedikit saja tidak sabar, habis sudah kita! Tapi tidak. Iam yang memberi kesempatan bagi murid-muridNya, juga memberi kesempatan kepada kita. Untuk itu, maafkanlah. Ampunilah. Karena kita sudah diampuni olehNya. Reinhold Niebuhr pernah berkata, pengampunan adalah bentuk final dari cinta. Iya, ampunilah.

Kisah kedua, adalah mengenai percakapan yang intim antara Yesus dan Simon. Seperti yang kita tahu, perjumpaan Yesus dan Simon banyak dicatat secara khusus dalam Injil. Yesus sebagai Gembala dna Guru, sedangkan Simon menjadi murid yang reaktif. Ya. Perbincangan di sini dalam. Namun, marilah kita soroti bagaimana respon Yesus setiap Simon menjawab cintaNya kepada Yesus. Yesus katakan, “gembalaknlah domba-dombaKu” . Sederhana sekali. Namun,  inilah yang memang sudah menjadu sebuah keniscayaan ketika kita benar-benar mengasihi Yesus. Bila kita mengasihi Yesus, kita juga akan hadir selayaknya Yesus, yakni menjadi penggembala yang ramah. Penggembala yang mau mengampuni. Penggembala yang mau mencari dan menyembuhkan. Bunda Theresa pernah berkata, cinta tidak pernah bermakna bagi dirinya sendiri. Cinta harus diwujudkan dalam tidakan, dna itu adalah kasih. Iya, kita bisa berkata bahwa kita mengasihi Allah sampai bibir dan lidah kita kelelahan, namun bila tak mengasihi yang lain, apa arti ucapan itu?

Selamat menjadi penggembala yang ramah. Ampunilah. Kaishilah. Layanilah. Tuhan memberkati.

Sabtu, 23 April 2022

Kebangkitan Kristus yang Memulihkan

Yohanes 20:19-31 | Kisah Para Rasul 5:27-32

Adakah diantara Ibu, Bapak, Saudara yang memiliki trauma dalam hidup? Saya sendiri punya. Saat belajar berenang di masa kanak-kanak, saya hampir tenggelam. Nampaknya ini begitu membekas alias traumatis buat saya. Karena ada tingkah laku pasca trauma yang saya miliki, yaitu menghindar kalau diajak berenang/ bermain di taman bermain air/ waterboom. Begitulah sikap orang yang pernah mengalami kejadian traumatis, ia akan menghindari hal-hal yang dapat mengingatkannya pada kejadian traumatis dalam hidupnya.

Mengapa saya berbicara tentang trauma? Ini dikarenakan para murid Yesus pasca penyaliban adalah murid-murid yang memiliki trauma. Hal ini ditandai oleh keterangan dari Yoh 20:19 “Ketika hari sudah malam pada hari pertama minggu itu berkumpullah murid-murid Yesus di suatu tempat dengan pintu-pintu yang terkunci karena mereka takut kepada orang-orang Yahudi.” Tindakan berkumpul dalam sebuah tempat yang terkunci adalah tindakan pasca trauma sebagai tanda mereka lari dari ketakutan, menutup diri dan membangun perlindungan diri.

Apa trauma mereka? Disebutkan bahwa mereka bersembunyi dan menghindari orang-orang Yahudi. Mereka trauma pada sekumpulan orang yang meneriakkan penyaliban Yesus Kristus. Bagaimana tidak? Mereka tentu menyaksikan, baik dari jarak dekat atau jauh, bagaimana Yesus Kristus dianiaya, disalibkan dan mati. Nampaknya bukan hanya itu, mungkin saja mereka ini menjadi mengurung diri karena diliputi kebingungan. Mereka bingung, mengapa Yesus yang melakukan berbagai peristiwa Ajaib, misalnya menyembuhkan orang-orang sakit, membangkitkan orang mati dan meneduhkan badai di Danau Genesaret, dieksekusi oleh Romawi di atas salib.

Trauma ini nampaknya memang diharapkan oleh Romawi agar para pengikut Yesus tidak melanjutkan karya Yesus yang kritis terhadap ketidakadilan penjajag dan menjadi takut serta tunduk pada kekuasaan Romawi.

Terhadap mereka yang bergumul dalam trauma ini Kristus bertindak.

  •  Kristus yang bangkit membawa damai sejahtera

Yesus paham betul dengan keadaan dan mentalitas murid-murid-Nya. Mungkin Ia menyimpan kekecewaan, tetapi kasih-Nya mengutamakan terjadinya pemulihan daripada pemisahan. Oleh karena itu Yesus tidak menghardik tapi membagikan damai sejahtera.

Tindakan Yesus ini ibarat seorang guru yang menjumpai murid-murid yang memecahkan kaca sebuah ruangan di sekolah. Lalu guru ini menanyakan: nak, apa kalian baik-baik saja? Yuk, kita temukan solusinya bersama.

Hal ini nampaknya susah kita mengerti karena dunia sekitar kita seringkali bersikap sebaliknya. Dimana kekecewaaan diutamakan dan disampaikan dengan kemarahan yang meledak-ledak. Karena lelah meledak-ledak, akhirnya malah mengabaikan masalah yang sebenarnya harus diselesaikan.

  • Kristus yang bangkit berbagi luka dan trauma

Bukan hanya hadir menenangkan, Kristus yang bangkit menunjukkan tangan dan lambung-Nya untuk berbagi luka dan trauma-Nya. Selain Yesus mau menujukkan fakta bahwa Ia sungguh bangkit dengan tubuh jasmani. Kristus mau murid-murid-Nya mengetahui bahwa Kristus tidak meninggalkan mereka namun turut menderita. Lebih jauh lagi, gerak Yesus menunjukkan luka dan trauma membuat para murid-Nya belajar berani menerima kenyataan bahwa hidup ini juga berisi derita selain sukacita. Dari sini kita melihat bahwa Kristus yang bangkit bukan mau kita selalu optimis sampai abai pada realita derita dan permasalahan. Masalah itu ada, luka dan trauma itu ada, ayo dihadapi bersama jangan lari/ mutung.

Kristus memiliki alasan yang sama untuk bersembunyi / lari seperti para murid. Tapi Kristus memberikan alasan yang lebih kuat bagi para murid untuk menghadapi orang-orang Yahudi dan Romawi yang menyebabkan trauma. Alasannya adalah untuk memulihkan jiwa-jiwa yang terluka dan mengalami trauma. Ayo temui mereka yang mungkin sedang rapuh, sedang lari dari persoalan, dan menutup diri. Katakanlah bahwa mereka tak sendiri menjalani hidup dalam perjuangan.

  • Kristus yang bangkit membagikan daya pemulihan

Kristus yang bangkit itu tahu bahwa murid-murid-Nya suka kasi alasan; wah tapi realita terlalu berat. Maka dihembusilah mereka dengan Roh Tuhan sebagai daya yang menopang. Sekaligus otoritas untuk menyatakan ada pengampunan dan keselamatan dari Tuhan Allah bagi orang berdosa yang mengakui kesalahannya. Hal ini penting untuk dimiliki para murid, sebab kuasa pengampunan Kristus itulah yang membuat manusia tak lagi kerasan hidup dalam dosanya dan ingin terus hidup dalam indahnya kebenaran.


Tindakan Yesus ini berhasil memulihkan murid-murid-Nya.

  • Lihatlah dalam Yohanes 20:28, cerita tentang Tomas sebagai bagian dari murid yang traumatis, susah percaya dan menutup diri menjadi murid yang mengakui bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Allahku!
  • Lihatlah pula Kisah Para Rasul 5:27-32, cerita tentang para murid yang semula takut pada orang-orang Yahudi menjadi berani memberi kesaksian di depan Sanhedrin (Mahkamah Agama Yahudi). Mereka menyikapi Imam Besar yang (dalam Kis 5:28) menegur "Dengan keras kami melarang kamu mengajar dalam Nama itu. Namun ternyata, kamu telah memenuhi Yerusalem dengan ajaranmu dan kamu hendak menanggungkan darah Orang itu kepada kami." Petrus mewakili para murid menjawab "Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia.” Mereka sanggup menjadi pemberani karena mereka berpegang pada kebenaran tentang fakta kebangkitan Yesus Kristus yang memulihkan.

Dengan demikian, sebagai murid-murid-Nya yang sudah menerima damai sejahtera dan dipulihkan ada kesempatan yang dianugerahkan bagi kita. Kita punya kesempatan untuk hadir membawa damai sejahtera bagi sesama. Kita perlu berani terbuka membagikan luka dan trauma demi memberi daya bagi mereka yang sedang bergumul dalam trauma. Agar semua orang memiliki keberanian untuk pulih meski harus melewati pergumulan.

ypp

Kamis, 14 April 2022

Kemenangan Untuk Kehidupan

MINGGU PASKAH



Yesaya 65:17-25 │ Mazmur 118:1-2, 14-24 │ Kisah Para Rasul 10:34-43│ Lukas 24:1-12

 

Sejak 2016 DPR berinisiatif mengusulkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau RUU TPKS dengan nama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Dalam prosesnya, RUU ini sempat tersendat dan menghadapi pro-kontra. Namun, pada 6 April 2022, Badan Legislatif DPR menyetujui RUU TPKS disahkan sebagai UU TPKS. Tak sampai sepekan, DPR menggelar rapat paripurna dengan agenda Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan atas RUU TPKS. Selasa, 12 April 2022 Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual resmi disahkan Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini menjadi momentum bagi negara untuk hadir bagi para korban kekerasan seksual. Memang perjalanan untuk memperjuangkan penghapusan kekerasan seksual masih panjang. Oleh karenanya, dibutuhkan komitmen semua pihak untuk mengimplementasikan undang-undang tersebut sangat penting. (disadur dari https://www.kompas.id/baca/dikbud/2022/04/12/uu-tpks-disahkan-perjuangan-untuk-korban-masih-panjang, terakhir diakses pada 13 April 2022)

Berita ini penting! Sebab jiwa dari UU TPKS adalah melindungi dan memenangkan kehidupan. UU TPKS adalah harapan bagi kita yang hidup bersama dengan banyaknya kasus kekerasan seksual yang menghadirkan dampak negatif bagi korban serta lingkungan. Semoga angin segar ini bisa menghasilkan kehidupan yang makin bermartabat, sesuai dengan martabat yang ditetapkan Allah bagi setiap manusia.

Disahkannya UU TPKS ini sejiwa dengan berita kebangkitan Tuhan Yesus Kristus. Kebangkitan Yesus Kristus adalah semangat bagi kehidupan yang bermartabat. Bermartabat di sini khususnya mengenai terhapusnya segregasi antara non-Yahudi dan Yahudi dan antara laki-laki dan perempuan. Bagaimana benang merahnya? Mari kita baca kembali kisah Paskah dalam Injil Lukas 24:1-12.

Injil Lukas mencatat kehadiran para perempuan dalam peristiwa kebangkitan (Lukas 24:10). Catatan ini penting, sebab dicatat dalam sebuah masyarakat patriarki (dikuasai oleh/ lebih berorientasi pada laki-laki). Sebuah masyarakat yang memandang perempuan lebih rendah martabatnya dari laki-laki. Sebagai salah satu contohnya, dalam pencatatan sensus maupun dalam percakapan sehari-hari, masyarakat saat itu cenderung menyebutkan jumlah anak laki-lakinya saja. Selain itu, perempuan juga dianggap tak layak dipercaya sebab perempuanlah yang menyebabkan masuknya dosa dalam kehidupan (bdk. 1 Timotius 2:14). Perempuan juga tidak boleh memberi kesaksian dalam pengadilan, karena dianggap tak memiliki nilai kebenaran. Maka tak lazim seorang perempuan dicatat sebagai saksi dari sebuah peristiwa bernilai dan penting. Catatan tentang para perempuan dalam peristiwa kebangkitan kita dapat melihat bahwa Allah tetap memandang perempuan sebagai sosok bernilai dan penting. Perempuan layak dipercaya dan perkataannya adalah kebenaran.

Sebagian murid tidak sanggup melihat hal ini. Hanya Petrus yang bereaksi atas kesaksian para perempuan yang sudah menyaksikan tanda kebangkitan Yesus. Atas reaksi Petrus yang membuktikan kebenaran ucapan para perempuan – Petrus, para murid, dan kita – saat ini menjadi tahu bahwa para perempuan itu adalah saksi kebenaran. Kebenaran tentang suatu hal yang bernilai dan penting, yaitu kebangkitan Yesus Kristus.

Kebangkitan Yesus sungguh adalah kemenangan untuk kehidupan. Ia mengalahkan maut. Ia mengalahkan pula hal-hal yang berjiwa maut (mematikan kehidupan) seperti segregasi gender dan kesukuan. Melalui kebangkitan-Nya semangat untuk menghargai sesama manusia menjadi nyata. Hal ini terus hidup dalam sejarah perkembangan umat percaya. Lihat saja Kisah Para Rasul 10:1 dan 34-43, saat Kornelius – orang Italia/ orang asing nan kafir – mengalami pengalaman spiritual dengan Yesus Kristus. Semula Petrus tak berkenan dengan Kornelius, namun Ia disadarkan melalui mimpi bahwa “Allah tidak membedakan orang” (Kis.10:34).

Kedua hal di atas adalah jiwa berita Paskah. Paskah adalah kemenangan untuk kehidupan! Saat kita meyakini bahwa Paskah adalah permulaan hidup penuh damai sejahtera / syalom. Maka sesungguhnyalah damai sejahtera itu juga berupa semangat hidup memanusiakan sesama manusia sesuai dengan harkat-martabat yang telah ditentukan Allah. Bahkan damai sejahtera itu juga menyapa seluruh ciptaan. Kemenangan Paskah memberi semangat agar manusia menghargai martabat seluruh ciptaan sebagaimana Allah mencipta semesta ini.

Bila saat ini kita merayakan Paskah dengan penuh kegembiraan atas anugerah kemenangan untuk kehidupan. Mari kita juga melihat kehidupan kita kembali. Seberapa jauh kita yang sudah diberi kemenangan dalam hidup ini memperjuangkan kemenangan untuk kehidupan sesama? Seberapa sering kita membebaskan diri dan sesama dari perilaku yang menindas? Seberapa sering kita membuat orang yang mengalami penindasan (emosional, spiritual, finansial, dan seksual) terbebaskan oleh sikap hidup kita? Apakah ketika pasangan, orang tua, keluarga dan sahabat sedang bersama-sama dengan kita merasa damai atau justru merasa ingin melarikan diri?

Allah di dalam Yesus Kristus sudah membebaskan kita dari kuasa maut. Allah memenangkan kita karena Ia mau kita menjadi bagian dari kemenangan bukan bagian dari permasalahan dan penindasan. Dengan begitu Allah menunjukkan bahwa hidup ini bukan hanya milik kita. Hidup ini adalah untuk dijalani dan dimenangkan bersama. Allah ingin kita saling bergandengan tangan menanggung beban.

Saat pandemi ini berjalan menuju endemi, marilah kita ambil kesempatan ini untuk pulih bersama, bangkit bersama dan menang bersama. Amin.

ypp

Rabu, 13 April 2022

RAJA YANG DITOLAK

Jumat Agung

Yesaya 52:13-53:12 | Mazmur 22 | Ibrani 10:16-25 | Yohanes 18:1-19:42


Kira-kira sebulan lalu, para teolog Gereja Ortodoks membuat sebuah deklarasi pernyataan sikap terkait pengajaran Dunia Rusia (Russkii Mir), untuk menanggapi invasi Rusia ke Ukraina (tautan: https://bit.ly/3KF49nP). Para teolog Ortodoks ini menyayangkan peperangan yang terjadi antara Rusia dan Ukraina, yang notabene adalah negara-negara Kristen Ortodoks. Poin keberatan mereka adalah soal ideologi Dunia Rusia yang didukung oleh pemimpin Gereja Ortodoks Rusia, Patriark Kirill. Ideologi Dunia Rusia yang dijadikan pembenaran untuk invasi ini menyatakan bahwa ada lingkungan atau peradaban transnasional Rusia, yang disebut Holy Russia atau Rusia Suci, yang meliputi Rusia, Ukraina, dan Belarusia serta etnis Rusia dan orang-orang berbahasa Rusia di seluruh dunia. Ideologi ini menyatakan bahwa "Dunia Rusia" ini memiliki pusat politik bersama (Moskow), pusat spiritual bersama (Kyiv sebagai "ibu dari semua Rus''), bahasa bersama (Rusia), gereja bersama (Gereja Ortodoks Rusia), dan seorang patriark bersama (Patriark Moskow).

Dukungan Patriark Moskow atas ideologi Dunia Rusia dianggap menodai konsep Kerajaan Allah yang dibawa oleh Yesus Kristus. Dukungan atas ideologi Dunia Rusia seolah-olah mau menyatakan bahwa Gereja Ortodoks Rusia mendukung penegasan kerajaan ala dunia dengan pendekatan kekuasaan dan kekerasan. Ini berlawanan dengan Kristus yang menegaskan bahwa Kerajaan-Nya bukan dari dunia ini, bukan dengan kekuasaan dan jalan kekerasan. Dengan mengutip perkataan Yesus dalam Yohanes 18:36, para teolog Ortodoks ini menolak ideologi Dunia Rusia dan keterlibatan Patriark Moskow di dalamnya, yang mengancam kehidupan dan memecah belah gereja.

Percakapan Yesus dengan Pilatus dalam Yohanes 18 menunjukkan kerajaan seperti apa yang diperkanalkan oleh Yesus sebenarnya. Pada masa Yesus, kerajaan identik dengan kekerasan untuk mendapatkan kekuasan, kekuasaan yang menekan dan menindas. Praktik kekuasaan inilah yang ditunjukkan oleh Romawi dengan perwakilannya, Pilatus, di Yerusalem. Ini terlihat dalam pertanyaan Pilatus kepada Yesus. Pilatus bingung, jika Yesus adalah raja, mengapa bangsa-Nya sendiri yang menyerahkan Dia. Apakah Yesus tidak punya kuasa.  Tetapi, jawaban Yesus menangkal pemikiran itu. Konsep kerajaan bagi Yesus bukan soal kekuasaan dan kekerasan. Yesus berkata bahwa Kerajaan-Nya bukan dari dunia ini. Sebab jika dari dunia ini, Ia sudah pakai kekerasan dan kekuasaan; Para pengikutnya akan melawan. Konsep kerajaan menurut Roma adalah soal kekuasan, tetapi bagi Yesus, kerajaan adalah soal menghadirkan rahmat ilahi kepada orang lain. Bukan seperti Romawi yang menggunakan kekerasan dan unjuk kekuasaan untuk mencapai tujuannya, nilai-nilai kerajaan yang diusung Yesus adalah cinta kasih, keadilan, perdamaian, dan keutuhan. Bahkan, Yesus sendiri melawan kekerasan dan unjuk kekuasaan itu dengan menjalani salib. Ia menegaskan kerajaan-Nya dengan merengkuh penolakan, penderitaan, salib dan kematian. Ia adalah Raja yang menderita.

Ada sebuah legenda, tentang seorang Romawi yang bernama Fidus. Ia datang ke rumah Yusuf, ayah Yesus, untuk belajar memahat kayu. Fidus kemudian tinggal beberapa waktu di rumah Yusuf untuk belajar soal pertukangan kayu. Suatu kali, saat Fidus sedang belajar dari Yusuf, anak Yusuf yang masih remaja bercerita tentang seorang Raja Agung yang akan menduduki tahkta agung dan menguasai seluruh semesta. Remaja itu adalah Yesus. Fidus lalu berkata, "Aku ingin membangun takhta yang agung untuk raja itu." Tahun demi tahun berlalu, Fidus kembali ke kampung halamannya dan menjadi tukang kayu yang akhirnya sukses dan tersohor. Belasan tahun kemudian ia datang ke Yerusalem. Ketika Ia melewati istana Pilatus, seorang prajurit mengenalinya dan berkata, “Tuan Fidus, kami membutuhkan bantuan anda. Ada tiga orang penjahat akan disalib. Kami hanya menyiapkan dua buah salib. Orang ketiga baru saja diputuskan hukumannya. Maukah anda membuatkan salib yang ketiga?” Fidus menyanggupinya dan mulai bekerja hingga akhirnya selesailah sebuah salib yang dipandanginya dengan bangga. Kemudian, Fidus mengikuti kerumunan orang di pinggir kota, yang menyaksikan arak-arakkan penjahat yang akan disalib. Ia mengikuti terus sekalipun tidak dapat melihat wajah para penjahat itu. Sesampainya di atas bukit tempat ketiga penjahat itu disalib, salah seorang dari antara mereka berbicara lemah. Fidus begitu mengenali suara itu. Suara remaja yang dulu pernah ditemuinya di rumah Yusuf. Suara itu muncul dari “tahkta agung” yang dibuat Fidus.

Kisah ini memang adalah sebuah legenda, tetapi ia mau mengaskan Yesus sebagai raja, bukanlah raja yang diagungkan dengan segala kemuliaan dan kekuasaan. Takhta bagi Sang Raja Semesta bukanlah emas atau permata, melainkan sebuah kayu salib. Ia adalah Raja yang menderita, Raja yang ditolak, Raja yang memilih salib sebagai jalan kematian yang membawa kehidupan. Hari ini, ketika kita memandang salib, takhta Sang Raja Semesta, kita diingatkan bahwa Allah menegaskan kemuliaan-Nya melalui salib dan derita. Jika saat ini kita mengalami duka dan derita, kehilangan dan kekecewaan, sakit penyakit dan beban pikiran, janganlah berpikir bahwa Kristus telah meninggalkan kita. Ingatlah bahwa Allah yang menyatakan kemuliaan-Nya dalam derita itu sedang bekerja menopang kita, ia hadir dan merangkul derita itu bersama kita. Saat ini, ketika kita memandang salib Kristus, takhta Sang Raja Semesta, kita diajak untuk mengakui Kristus sebagai Raja dengan segenap hati dan menjadi warga Kerajaan-Nya; Untuk merengkuh derita dan penolakan seperti Kristus, Raja kita, dan menemukan cinta Allah dalam derita; Untuk menyatakan Kerajaan-Nya yang diladaskan pada nilai-nilai kasih, keadilan, perdamaian, dan kepeduliaan, bukan dengan dengan kekerasan dan unjuk kekuasaan; Untuk membangun kebersamaan dan memperjuangkan kehidupan, bukan memecah-belah keutuhan dan mengancam kehidupan. Kiranya Kristus, Sang Raja Semesta, memampukan kita. Amin. (thn)

Selasa, 12 April 2022

HIDUP YANG MENGASIHI DAN MELAYANI

Kamis Putih 

Keluaran 12 : 1 – 14; Mazmur 116 : 1 – 2, 12 – 19; 1 Korintus 11 : 23 – 26; Yohanes 13 : 1 – 17, 31 – 35



Mengasihi bukan sebatas kata tapi juga aksi. Bukan hanya wacana tapi upaya untuk direalisasi. Bukan hanya oleh kita tapi juga oleh Rabuni (Guru). Hal inilah yang terlihat dalam bacaan Injil hari ini dalam Yohanes 13. Yang merekam bagaimana Yesus bukan hanya mengajar tentang kasih tapi juga mengaksikannya. Bagaimana Ia menunjukkan kasihNya? Bacaan mengungkapkan, ketika sedang makan bersama para muridNya, Yesus yang tahu bahwa saatNya sudah tiba (ay. 1). Ia pun bangun dan menanggalkan jubahNya, mengambil kain lenan dan mengikatkannya pada pinggangNya (ay. 4).

Perlu kita ketahui bahwa di masa itu jubah yang digunakan seringkali menjadi lambang kehormatan. Oleh karena itu, memakai jubah bukan hanya bermakna memakai pakaian tetapi juga menunjukkan kehormatan seseorang. Namun di tengah-tengah banyaknya orang yang mempertahankan jubah atau kehormatan, Yesus justru menanggalkan jubahNya yang menjadi sebuah simbol aksi bahwa Yesus berani melepaskan kehormatan, tidak memegang erat kehormatan sebagai sesuatu yang dipertahankan dengan erat dan tidak mengikatkan diri pada hal-hal duniawi.

Bukan hanya itu, Yesus juga mengambil sehelai kain lelan dan mengikatkannya pada pinggangNya. Kain lenan bukanlah kain biasa. Sebab di masa itu, kain lenan adalah sebuah jenis kain yang paling penting bagi orang Israel yang biasa digunakan untuk membuat tenda, tabir, dan tirai untuk pintu Kemah Suci orang Ibrani dan juga sebagai bahan dasar membuat pakaian yang dipakai oleh para imam. Untuk itu, kain ini bukanlah sebatas kain biasa karena diperuntukkan untuk hal-hal penting.

(ay. 5) Kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi (pinggan besar; wadah yang bentuknya menyerupai buah semangka, terbuat dari tanah liat, mempunyai tutup dan pegangan[1]), dan mulai membasuh (mencuci, membilas[2]) kaki murid-muridNya dan menyekanya dengan kain lelan yang terikat pada pinggangNya itu. Apa yang Yesus lakukan bukanlah hal yang wajar karena biasanya yang melakukan basuh kaki adalah murid, hamba atau budak kepada guru atau tuan. Namun Yesus yang dipandang sebagai Pemimpin, Guru melakukan tindakan ini untuk para murid. Untuk apa?

Karena Yesus bukan hanya mau mengasihi dengan kata tapi juga menunjukkan kasihNya dengan aksi melalui kesediaanNya melayani para muridNya. Yesus mengajar bahwa Ia bukan hanya jago khotbah, jago ngomong, berani suruh orang untuk melakukan kasih. Yesus juga menunjukkan Ia berani menyuarakan, Ia juga berani melakukan. Tapi apa yang membuat Yesus bisa berkata dan menunjukkan aksi kasihNya melalui tindakan melayani? 1) Kesediaan 2) berani melepas apa yang melekat (dalam bacaan jubah yang digunakan sebagai lambang kehormatan) 3) menganggap orang lain penting (di mata Yesus bukan kain yang penting tapi yang penting adalah manusia - para muridNya).

Saudaraku, tindakan mengasihi dan melayani yang Yesus tunjukkan bukan hanya dimulai dan berhenti di Yesus. Karena Yesus juga mau hidup yang mengasihi dan melayani juga dilakukan para muridNya. Hal ini terlihat dalam pesan Yesus di ayat 13 – 15:

“Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu.”  

 Artinya, Yesus bukan hanya mengajar atau jadi contoh tapi Yesus juga mengajak para murid untuk mengasihi dan melayani dalam aksi. Mulainya di antara mereka dulu. Melalui tindakan para murid pun, akan jadi contoh dan inspirasi untuk orang lain untuk hidup mengasihi dan melayani, seperti apa yang dilakukan oleh Trevor dalam film berjudul “Pay It Forward” (2000) Di film itu, Trevor seorang anak berumur 7 tahun membuat sebuah program bernama “pay it forward” di mana ia melakukan kebaikan untuk orang lain dan orang yang menerima kebaikan itu akan melanjutkan kepada orang lain dan seterusnya. Hingga dunia dipenuhi banyak orang baik. Mungkin Yesus juga mau dengan para murid meneruskan apa yang Ia ajarkan, supaya dunia dipenuhi dengan banyak kasih dan aksi melayani. Bukan hanya untuk Tuhan tapi juga sesama di sekitar kita.

Saudaraku, di Kebaktian Kamis Putih ini kita sama-sama bukan hanya diajar tapi juga diajak untuk terus hidup mengasihi dan melayani. Bagaimana caranya? Yesus mengajar kita untuk

1)   Punya kesediaan untuk mengasihi dan melayani

2)   Berani melepas apa yang melekat, entah itu ego, kehormatan, kesombongan yang seringkali jadi alasan bagi kita untuk antikasih atau berhenti mengasihi dan melayani.  

3)   Menganggap orang lain penting. Kadang kita sulit mengasihi dan melayani orang lain karena kita menganggap mereka tidak penting dalam hidup kita atau kadang kita merasa kitalah orang yang penting karena berjabatan entah di gereja atau di kantor atau di sekolah.

 

Jika kita semua ada dalam dunia ini karena bagi Yesus kita semua penting, untuk itu mari kita juga menganggap orang lain penting dan belajar mengasihi dan melayani mereka.”  

 Saudara, tentu apa yang Yesus ajarkan terdengar mudah namun belum tentu mudah untuk dilakukan. Apalagi jika dalam relasi kita dengan orang lain di sekitar kita ada toxic people. Apa yang harus kita lakukan? Dalam bacaan, kita juga diperlihatkan bahwa dalam murid-murid Yesus juga ada yang menjadi toxic people, yaitu Yudas. Sekalipun Yesus tahu dia seorang yang berbahaya, beracun karena akan menjual dan menyerahkan Yesus. Namun Yesus tidak membuangnya tetapi Ia juga mengasihi dan melayani Yudas.

Apa yang Yesus lakukan lagi-lagi menunjukkan kesediaan, berani melepas yang melekat (pikiran untuk enggan melayani Yudas) dan menganggap Yudas juga orang yang penting. Tidak mudah memang untuk mengasihi dan melayani orang yang kita tahu menyakiti kita, tapi jika Yesus bisa maka Ia juga mau kita bisa melakukannya (ay. 14) karena itu juga perintah yang Yesus berikan untuk kita, “yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi (ay. 34).”  Tuhan menolong kita semua. Amin. (mc)

 

(khotbah juga dapat diakhiri dengan mengajak umat menyanyikan “Melayani, melayani lebih sungguh” lalu ditutup dengan doa sebagai bentuk rekomitmen dengan Allah dan sesama)