Jumat, 31 Desember 2021

Yesus, Allah yang Menghiraukan

1 Januari 2022


Wahyu 21:1-8 dan Matius 25:31-46


Tak terasa kita sudah melewati Natal 2021 dan kita sudah memasuki tahun baru 2022. Bagaimana perasaan Saudari/a saat ini?

Apakah ada yang membuat resolusi di tahun ini? Apa resolusinya?

Mungkin akan ada yang menjawab resolusi tahun ini saya mau menambah perhatian untuk keluarga dengan memiliki waktu khusus yang rutin bersama keluarga. Mungkin juga ada yang menjawab bahwa di masa yang berat ini sulit berkomitmen apalagi melakukan hal-hal baru yang kreatif dan inovatif.

Bagi yang merasa sulit, mari menoleh sejenak pada keadaan sulit di masa lalu khususnya di sekitar Perang Dunia II (PD II). Pada masa PD II jelas keadaannya sulit. Menariknya, dalam situasi sulit itu lahir kreasi dan inovasi baru seperti lahirnya teknologi bom atom-nuklir, radar, antibiotik-penisilin, bedah plastik, pendeteksi cuaca, microwave, dan cikal bakal komputer. Oleh sebab itu agaknya kita mesti mengoreksi diri bila merasa semua serba sulit dan menghambat.

Saya mengajak demikian karena bacaan kedua kita, Wahyu 21:1-6, khususnya ayat ke-5, menyebut bahwa Tuhan kita Yesus Kristus, sebagai Sang Alfa dan Omega akan menjadikan segala sesuatu baru. Kata baru yang digunakan di sini bukan baru – neos, yang berarti ada yang lama lalu digantikan dengan yang baru (sepatu baru, rumah baru, mall baru, virus baru). Tapi kainos, yang berarti sama sekali baru, belum pernah ada yang seperti itu sebelumnya. Ayat ini memberi pengharapan!

Sebagai Sang Awal dan Sang Akhir, Kristus adalah sumber dari segala sesuatu berasal dan tujuan dari segala sesuatu akan mengarah yang tentu mampu menghadirkan yang sama sekali baru.

Kapan itu terjadi? Nanti! Suatu saat. Lalu sekarang bagaimana?

Marilah kita melanjutkan perhatian ke ayat 7. Setelah menyebutkan tentang siapa dan apa yang akan dilakukan Tuhan, penilis Wahyu berbicara tentang “barangsiapa menang…” Bicara soal kemenangan, maka kita tahu memang tidak semua orang menang. Siapa? Orang yang bisa menang adalah orang-orang yang mau bertanding! Dengan demikian, pahamilah bahwa penulis Wahyu ingin pengikut Kristus adalah orang-orang yang siap bertanding, melakukan perjuangan menghadapi berbagai macam tantangan dan bahkan para lawan. Orang Kristen semestinya adalah pejuang hidup yang tangguh ketika harus menghadapi godaan, pencobaan, dan penganiayaan dari penentang-penentang Allah dalam hidup sesehari.

Oleh karena itu, wahai segenap murid Kristus bersiaplah untuk berjuang. Miliki daya juang dan daya tahan dalam melakukan kebenaran. Bertahanlah saat ada godaan untuk tidak lagi jadi anak Tuhan yang jujur. Berjuanglah ketika penderitaan datang meski ada orang-orang jahat yang ingin menjegal kita. Nyatakan bahwa kita ini adalah anak-anak Tuhan dengan kasih. Buktikanlah bahwa kasih Tuhan itu melembutkan kita namun tidak membuat kita lembek. Sebagaimana Kristus dengan kekuatan kasih-Nya tahan menderita, taat sampai mati, tuk menebus dosa kita.

Bila kita sendiri yang berjuang memang mungkin kita tak mampu. Tapi sungguh rasakanlah kuasa Tuhan dalam dirimu. Jangan biarkan dirimu jadi orang-orang penakut, orang-orang yang tidak percaya padahal sudah tahu, orang-orang keji, orang-orang pembunuh, orang-orang sundal, tukang-tukang sihir, penyembah-penyembah berhala dan pendusta, yang akan mendapat bagian di dalam lautan yang menyala-nyala oleh api dan belerang. Biarlah kuasa Kristus menggerakkanmu melakukan semua yang baik dan semua yang benar dalam hidup keseharianmu kepada mereka yang lapar, haus, orang asing, yang membutuhkan pakaian, yang sakit dan yang dipenjara. Sebagaimana yang diminta oleh Yesus sendiri dalam Matius 25:35-36 (TB) “Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan;

ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku.”

Lakukan semuanya sampai semua aktivitas baik itu menjadi sebuah kebudayaan dari diri maupun lingkungan, sampai tak menyadari bahwa kita telah melayani Kristus Sang Raja.

Sadarilah bahwa kita melakukan yang baik dan benar itu bukan supaya kita bisa menjumpai dan diberkati Allah, tapi karena Yesus – Allah yang menghiraukan ciptaan-Nya SUDAH mendatangi/ menjumpai dan selalu bersama dengan kita! Amin.

ypp

Kamis, 30 Desember 2021

Kasih Karunia Yang Selalu Baru

Minggu, 2 Januari 2022

Minggu Kedua Sesudah Natal


Tahun 2021 telah kita lalui bersama-sama. Setidaknya, pandemi covid-19 masih mendominasi torehan warna di atas kanvas lukisan tahun lalu. Dinamika naik turun, baik Varian Delta yang meledak di pertengahan tahun, atau berita Varian Omicron yang merangsek ke negeri ini di akhir tahun lalu. Bukan hanya itu, mungkin ada di antara kita yang harus basah pipinya, karena kerabat atau keluarga kita sendiri ada yang terpapar, bahkan berpulang. Selain itu, gejolak alam silih berganti mewarnai tahun 2021. Namun selain itu, tentu banyak hal juga yang membuat kita berbahagia. Kelulusan, naik pangkat, promosi, kelahiran, pernikahan, ulang tahun, atau apapun hal lain yang membuat kita tersenyum hingga tertawa. Pada akhirnya, bukankah kembali pada kita, hendak kita beri makna apa tahun kemarin?

Bacaan Injil pada Minggu ini merupakan lanjutan dari bacaan pada Ibadah Natal tanggal 25 Desember 2021 yang lalu, yakni Yohanes 1:10-18. Injil Yohanes dalam permulaan tulisannya, memaparkan identitas keilahian Yesus yang tersaji dalam penjelasan akan doktrin Inkarnasi. Sang Firman yang menjadi manusia (lih. Yoh 1:14) menjadi sebuah penegasan ilahi bahwa Yang Maha Tak Terbatas, merengkuh manusia ketika Ia menjadi yang terbatas dalam diri Yesus. Peristiwa Natal menjadi sebuah peringatan bahwa Allah sudi merapuhkan diri dalam daging (baca: tubuh). Tentu, hal itu merupakan kasih karunia yang tercurah atas kasih Allah kepada segenap ciptaan.

Bukan hanya itu saja, secara spesifik penulis Injil Yohanes menuliskannya di ayat 16; Karena dari kepenuhan-Nya kita semua telah menerima kasih karunia demi kasih karunia;. Peristiwa Inkarnasi ternyata memiliki makna bahwa karya Allah tidak berhenti pada momen kelahiran, namun juga memuncak pada peristiwa salib, bahkan dalam pengharapan akan kedatangan-Nya yang kedua. Berarti, ‘kasih karunia demi kasih karunia’ menegaskan, bahwa penyertaan dan karya Allah itu berlangsung secara terus menerus dalam kehidupan semesta. Ada sebuah keberlangsungan ‘kasih karunia’ yang tidak pernah berhenti dalam hidup ini. Belajar dari itu, kita bisa memetik makna bahwa segala hal yang terselenggara di bawah kolong langit, adalah karya Allah yang menjadi ‘kasih karunia’ yang tiada hentinya (providentia Dei).

Dalam kehidupan kita, peristiwa silih berganti. Senang-susah, sehat-sakit, mendung-hujan, badai-angin sepoi-sepoi, bergantian mewarnai seluruh sendi kehidupan. Secara khusus, marilah kita melihat kehidupan kita. Begitu rupa permasalahan silih berganti. Ada yang menguras air mata, tapia da juga yang membuat senyum dan tawa tak bisa dibendung. Namun, ‘kasih karunia demi kasih karunia’ mengajarkan kita bahwa itu semua adalah cara Allah menyertai dan memelihara kita yang begitu dikasihi-Nya. Pertanyaannya, apakah kita berani memaknai semua peristiwa sebagai pemeliharaan Allah? Kita terbiasa menganggap sesuatu sebagai anugerah jika hal itu mebuat kita gembira. Padahal, tidak ada manusia yang sepenuhnya gembira. Firman Tuhan dalam ibadah Minggu ini menantang kita untuk berani memaknai semua peristiwa kehidupan kita sebagai  cara Allah memelihara.

Seorang neurolog Austria sekaligus penyintas holocaust, Victor Frankl, pernah menulis kalimat dalam bukunya ‘Man Search for Meaning’, kira-kira begini; "Everything can be taken from a man but one thing: the last of human freedoms - to choose one's attitude in any given set of circumstances, to choose one's own way." Menurut Frankl, kita punya kemerdekaan untuk menentukan sikap atas apapun yang melanda kehidupan kita. Sikap ini bukan untuk membebaskan dari segala emosi yang bisa singgah kapan saja, akan tetapi sebuah kesadaran bahwa Allah yang berperkara dalam setiap kehidupan kita, sebagaimana yang tertulis dalam Yohanes 1:16. Sebenarnya, bukan hanya perkara yang menyedihkan, termasuk yang mebahagiakan. Potensi untuk lupa akan Tuhan sebagai penyelenggara akan pudar oleh euphoria dalam pesta dan segala perayaannya. Jika setiap kita memiliki kesadaran ini, meski ada kesedihan dan kebahagiaan datang silih berganti, kita tidak akan lepas kendali.

Tahun 2022 sudah kita jalani dua hari. Praktis, masih ada 364 hari untuk kita jalani. Adakah di antara kita yang bisa menebak apa yang terjadi sepanjang tahun ini? Saya kira kita akan sepakat bahwa esok pun kita tak tahu, apalagi lusa, minggu depan, dan seterusnya. Keterbatasan kita sebagai manusia bisa merayu kita untuk menjadi lesu dan penuh kuatir dalam menjalani hidup ini. Namun, justru keterbatasan kita itulah yang semestinya mengembalikan kita pada kesadaran bahwa Allah berkarya dalam segala sesuatu. Ia yang menjamin seluruh kehidupan kita.

Inkarnasi Yesus adalah peristiwa dimana Allah secara ekstrem terjun bebas dalam kerapuhan manusia. Yohanes 1:14 mencatat, Firman itu telah menjadi manusia. Dalam bahasa aslinya, kata firman berasal dari ‘logos’, sedangkan manusia berasal dari ‘sarx’ yang berarti harafiah ‘daging’. Kita tahu, bahwa daging adalah simbol kerapuhan dan keterbatasan dalam kehidupan orang Yahudi (bdk. Matius 26:41). Namun, kesengajaan Allah yang menjadi daging ini bisa kita baca maknai bahwa Yesus ingin menunjukkan, bahwa dalam keterbatasan-Nya sebagai manusia, Ia tetap berkarya dan taat pada kehendak Allah. Natal mebuat kita tidak boleh menyerah akan kerapuhan kita. Natal memberi kita kepercayaan diri bahwa kita bisa menjalani kehidupan dengan optimis, bahwa semua yang akan terjadi adalah kasih karunia Allah sendiri. Yesus menjadi semacam ‘manual book’ untuk kita tetap percaya pada rencana Allah. Jadi, apapun yang akan kita temui dalam peziarahan kita di tahun 2022, kita akan tegar menghadapinya, karena semua adalah kasih karunia yang selalu baru, karena Allah yang menjamin dan memelihara kehidupan kita. Selamat menjalani tahun ini.

ftp

Kamis, 12 Agustus 2021

MAKANAN DAN MINUMAN SEJATI

Minggu Biasa XX

Amsal 9:1-6 | Mazmur 34:10-15 | Efesus 5:15-20 | Yohanes 6:51-58


Apa yang kita bayangkan ketika Yesus berkata, “… jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu”; atau ”Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal …”? Sebagai gereja, orang Kristen, kita pasti akan langsung menghubungkannya dengan Sakramen Perjamuan Kudus. Setiap Perjamuan Kudus kita memakan roti dan anggur yang melambangkan tubuh dan darah Kristus. Sebagai orang Kristen, kita sudah tidak asing dengan “makan tubuh (daging) dan minum darah Kristus”. Namun, bagaimana dengan orang-orang Yahudi yang hadir di Kapernaum, yang mendengar Yesus berkata soal makan daging dan minum darah-Nya? Mereka tidak mengenal konsep dan simbol tubuh dan darah Yesus dalam Perjamuan Kudus. Apa yang mereka pikirkan?

Minggu ini, teks Injil masih bersambung dari Minggu lalu, soal Roti Hidup. Jika Minggu lalu Yesus membuat pernyataan bahwa diri-Nya adalah Roti dari surga yang membuat banyak sulit percaya karena mereka mengenal asal usul Yesus, Minggu ini, ketika Yesus bicara soal makan daging dan minum darah-Nya, timbul pertengkaran di antara mereka tentang bagaimana Yesus bisa memberikan daging-Nya untuk mereka makan atau darah-Nya untuk mereka minum. Dalam tradisi Yahudi, darah tidak hanya melambangkan kehidupan tetapi juga mengandung nyawa makhluk hidup. Karena itu orang Yahudi dilarang keras untuk memakan darah hewan. Apalagi ini darah manusia, memakan dagingnya pula. Dalam setiap kebudayaan, memakan daging manusia atau kanibalisme dianggap menyimpang secara moral. Makanya, orang-orang Yahudi itu pasti bingung ketika Yesus menawarkan daging dan darah-Nya untuk mereka makan dan minum.

Namun, jika semua orang yang hadir memahaminya demikian, tentu tidak akan terjadi pertengkaran. Mereka semua pasti akan memusuhi Yesus. Lalu mengapa timbul pertengkaran di antara mereka? Orang Yahudi mengenal ungkapan “daging dan darah” yang menunjukkan hakikat manusiawi. “Daging dan darah” menunjukkan kemanusiaan seutuhnya, hati, pikiran, roh dan jiwa, perasaan, harapan, angan-angan, ketakutan, kekhawatiran, semuanya. Inilah yang Yesus maksudkan. Ini masih terkait dengan teks Minggu lalu soal Roti yang turun dari surga, Allah yang menjadi manusia seutuhnya, menjadi sama dengan manusia. Di dalam Yesus, Allah menjumpai kita untuk mencintai, menebus, dan menopang seluruh diri kita. Minum darah dan makan daging Yesus berarti menerima Yesus, seluruh Yesus, hati, pikiran, perasaan, seluruhnya. Dengan demikian hidup-Nya melekat pada keseluruhan hidup kita. Artinya, mengisi diri dan kehidupan kita seutuhnya dengan hati, pikiran, perasaan, semangat, angan-angan Kristus. Dalam kekristenan, kita menyimbolkannya dalam Perjamuan Kudus. Menerima roti dan anggur yang adalah tubuh dan darah Kristus, kita menerima keseluruhan Kristus, Ia tinggal di dalam kita dan kita di dalam Dia. Kita dipersatukan di dalam Kristus.

Orang Yahudi yang hadir di Kapernaum saat itu pun, sama seperti kita, memahami ini. Makan daging dan minum darah Yesus berarti menerima Yesus hadir yang mengisi seluruh keberadaan kita dengan hidup-Nya, ajaran-Nya dan tindakan-Nya. Akan tetapi, persoalannya bukan pada memahami atau mengerti, melainkan soal mengalami kehidupan yang diisi dengan kehidupan Yesus Kristus, kehidupan yang diisi seutuhnya dengan pikiran dan perkataan Kristus, perasaan dan angan-angan Kristus. Apakah kehidupan kita diisi dengan teladan Kristus dalam perkataan dan tindakan-Nya? Apakah kita sudah peduli dan mengasihi seperti Kristus, rela berkorban dan berbagi seperti Kristus, membela yang tertindas dan menolong yang lemah seperti Kristus? Kiranya ini menjadi perenungan kita bersama. Allah menyertai kita. Amin. (thn) 

Kamis, 05 Agustus 2021

ROTI YANG MENGHIDUPKAN

1 Raja-raja 19 : 4 – 8; Mazmur 34 : 2 – 9: Efesus 4 : 25 – 5 : 2; Yohanes 6 : 35, 41 – 45

 

          Saudara yang dikasihi Tuhan, bacaan Injil hari ini masih melanjutkan bacaan minggu lalu. Tentang orang banyak yang mengikuti Yesus dan sedang diajarkan Yesus. Dalam bacaan yang masih bersambung ini, Yesus sekali lagi mengajarkan sekaligus menawarkan roti yang lebih dari apa yang diminta orang banyak itu. Karena jika orang banyak itu sekadar meminta roti yang adalah makanan pokok masa itu dan akan habis dalam sekali makan, Yesus justru menawarkan roti yang tidak pernah habis dan justru memberi kehidupan dan rasa kenyang bagi mereka yang mau menerimanya. Hal ini tertulis di ayat 35, “Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepadaKu, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepadaKu, ia tidak akan haus lagi.”

          Apa yang Yesus tawarkan ini supaya orang banyak yang mengikuti Yesus pada masa itu, bukan hanya sekadar ikut Yesus atau sekadar mau menerima mujizat Yesus atau sekadar butuh pembuktian karya Yesus semata. Tetapi supaya mereka yang mengikuti Yesus saat itu, sungguh-sungguh datang dan percaya kepada Yesus. Apakah mereka menerima tawaran dan ajaran Yesus ini? Alih-alih menerima, mereka justru bersungut-sungut tentang Yesus dan tetap tidak percaya.

hal ini terlihat di ayat 41 – 42, “Maka bersungut-sungutlah orang Yahudi tentang Dia, karena Ia telah mengatakan: "Akulah roti yang telah turun dari sorga." Kata mereka: "Bukankah Ia ini Yesus, anak Yusuf, yang ibu bapa-Nya kita kenal? Bagaimana Ia dapat berkata: Aku telah turun dari sorga?"

Membaca dua ayat ini, saya membayangkan jika menjadi Yesus saat itu mungkin saya akan sedih dan kecewa. Mengapa? Karena sudah banyak bukti yang dilakukan Yesus, bahwa Ia bukan sebatas manusia, tetapi Anak Allah (Allah itu sendiri). Sebab Ia punya kuasa Allah. Tapi, kenapa mereka tetap tidak percaya? Butuh berapa banyak bukti lagi supaya mereka bisa percaya? Mengapa mereka tetap tidak percaya bahwa Yesus Anak Allah dan hanya percaya bahwa Yesus sebatas anak Yusuf? Sesulit itukah untuk membuat mereka percaya?

          Namun ada satu hal yang membuat saya terinspirasi dengan sikap Yesus. Sekalipun Ia ditolak karena tidak dipercaya, namun Ia tetap punya hati untuk mereka dan tetap menawarkan roti yang menghidupkan itu kepada mereka supaya mereka mengubah ketidakpercayaan itu menjadi percaya. Supaya mereka pun hidup di dalam Dia.

          Di bagian akhir, Yesus juga sampaikan di ayat 44, “tidak ada seorang pun yang dapat datang kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku, dan ia akan Kubangkitkan pada akhir zaman.” Apa yang Yesus sampaikan ini hendak menjelaskan bahwa apa yang Ia lakukan, bukan semata dilakukan oleh Yesus tetapi juga dikerjakan oleh Bapa. Sehingga upaya melalui pengajaran supaya mereka percaya, juga adalah upaya Allah untuk menarik orang lain kepada Allah yang hidup.

          Saudara yang dikasihi Tuhan, dari firman Tuhan hari ini kita hendak belajar dari Yesus, bahwa sekalipun sudah berkali-kali Ia buktikan diriNya melalui karya-karyaNya namun hal itu tetap membuat orang lain enggan percaya padaNya. Namun hal itu tidak membuatNya berhenti dan menyerah, melainkan terus melakukan panggilanNya dengan mengajarkan dan menawarkan roti yang menghidupkan = keselamatan kepada orang banyak.

Saudara, dalam hidup kita yang semakin sulit ini karena PPKM level 4, kita juga mau diajarkan oleh firman Tuhan hari ini untuk jangan cepat menyerah seperti Yesus. Tetap lakukan panggilan kita di masa yang tidak mudah ini karena kita sudah menerima keselamatan (bc. roti hidup) dari Allah. Oleh karena itu, PPKM (Percayalah Pada Kristus yang Menghidupkan). Amin. (mc) 

Kamis, 08 Juli 2021

PANDAI MENDENGAR DAN BERKATA-KATA YANG BENAR

 (Minggu Biasa)

AMOS 7 : 7 – 15; MAZMUR 85 : 9 – 14; EFESUS 1 : 3 – 14; MARKUS 6 : 14 – 29


Hati-hati gunakan mulutmu 2x
Kar’na Bapa di sorga melihat ke bawah
Hati-hati gunakan mulutmu


Saudaraku, pasti kita mengenal lagu Sekolah Minggu di atas. Lagu yang mengajarkan kita sejak kecil untuk hati-hati menggunakan mulut, karena apa? Karena kata-kata yang terucap lewat mulut tidak pernah bisa kita tarik lagi. Itu sebabnya perlu hati-hati dalam berkata-kata sebab jika salah berkata-kata, kita bisa menyakiti orang lain, menyebarkan hoax (berita bohong) atau malah mencemarkan nama baik diri sendiri.

Dalam Injil Markus, kita melihat betapa berbahayanya berkata-kata tanpa mendengarkan dengan pandai. Diceritakan dalam perayaan ulang tahun (perjamuan) Herodes. Herodes hendak memberikan hadiah kepada putri Herodias karena ia menari dengan baik dan menyukakan hati Herodes dan tamu-tamunya. Bahkan Herodes bersumpah akan memberi apa saja yang diminta oleh putri Herodias.

Putri Herodias pun pergi menanyakan kepada ibunya apa yang harus ia minta. Herodias yang punya dendam pada Yohanes pun memakai kesempatan ini untuk balas dendam. Sekalipun sudah ditawarkan setengah dari kerajaan Herodes, Herodias lebih tertarik untuk balas dendam kepada Yohanes pembaptis dengan meminta kepala Yohanes Pembaptis. Mengapa Herodias menyia-nyiakan kesempatan untuk mendapat setengah dari kerajaan Herodes? karena buatnya saat itu, harta bukanlah sesuatu yang penting. Ia sudah menjadi istri Herodes dan otomatis harta Herodes juga bisa dia nikmati sehari-hari.

Herodias juga tahu, Herodes pasti akan mengabulkan permintaan putrinya saat itu karena ia sudah bersumpah. Sekalipun Yohanes di hadapan Herodes adalah orang yang benar dan suci tapi integritas Herodes sebagai seorang pemimpin dipertaruhkan di hadapan para tamu jika ia melanggar sumpahnya. Oleh karena itu, akhirnya Yohanes Pembaptis mati dipenggal.

Dari kisah ini kita mau menyoroti putri Herodias karena apa yang ia lakukan nampak sederhana tapi mencabut nyawa seseorang. Oleh karena itu, jika ia mendengar dengan pandai ia pasti tahu apa yang diminta oleh ibunya adalah sesuatu yang jahat – nyawa orang lain. Ia juga bisa bertanya mengapa harus kepala Yohanes Pembaptis? Mengapa harus minta kematian orang lain padahal bisa minta hadiah lain yang lebih menyenangkan dan membahagiakan? dan ia juga bisa mencegah Yohanes Pembaptis mati pada saat itu.

Namun, karena ia sekadar mendengar tapi tidak pandai mendengar dan langsung berkata-kata sesuai dengan apa yang ibunya minta tanpa disaring terlebih dahulu maka malam itu menjadi peristiwa yang nahas sekali untuk Yohanes maupun para muridnya. Untuk itu betapa sederhana sekaligus berbahayanya mendengar tapi tidak pandai dan lebih berbahaya lagi jika berkata dengan tidak benar karena akan merugikan orang sekitar.

Saudaraku, pandai mendengar dan berkata-kata yang benar bukan hanya diperlukan di konteks di Alkitab tetapi juga sangat diperlukan di konteks masa kini. Ketika sekarang kita sangat mudah mendengar atau membaca berita di media sosial yang seringkali juga bercampur hoax. Serta banyaknya pesan yang diteruskan dan masuk di gadget kita. Justru di masa inilah kita dituntut untuk pandai mendengar dengan menyaring sebelum sharing atau mencoba cek lagi apakah berita yang kita dengar atau baca benar atau hoax. Jangan sampai sudah salah mendengar kita malah meneruskan kata-kata yang tidak benar. Akhirnya kita menjadi batu sandungan buat orang lain.

Maka dari itu, pandailah mendengar dan jangan sekadar mendengar. Serta berkata-katalah yang benar karena apa yang kita katakan bukan karena dilihat Bapa di sorga seperti lagu di awal tetapi karena apa yang kita katakan juga menyuarakan suara Tuhan bagi sekitar kita. Tuhan memampukan kita semua. Amin

(mc)

 

 

 

Sabtu, 03 Juli 2021

SIAP UNTUK DITOLAK

Minggu Biasa XIV

Yehezkiel 2:1-5 | Mazmur 123 | 2 Korintus 12:2-10 | Markus 6:1-13


Minggu ini, kita diajak untuk menggumuli tentang penolakan terhadap diri Yesus, yang tercatat dalam kesaksian Injil Markus 6:1-13. Yesus dalam perjalanan-Nya, sampai ke Nazaret, yakni kampung halaman-Nya sendiri. Tentu, hal ini menjadi menarik untuk direnungkan bersama.

Ada sebuah lompatan ekstrem dari sikap orang-orang yang mendengar khotbah Yesus. Pertama, mereka merasa takjub (ay. 2), namun dengan segera mereka menolak-Nya (ay.3). Yesus seakan-akan sangat memaklumi respons mereka. Yesus katakan di ayat 4, “Seorang nabi dihormati di mana-mana kecuali di tempat asalnya sendiri, di antara kaum keluarganya dan di rumahnya.”.Namun, tetap saja, penolakan ini picik sekali. Satu, Yesus ditolak karena Ia adalah tukang kayu (ay. 3). Penyebutan Yesus sebagai kayu tentu ingin mempertanyakan keabsahan kerabian Yesus untuk mengajar. Mungkin Yesus belum ‘ditahbiskan’ secara resmi dan melalui ‘bina kader’ atau ‘percakapan gerejawi’, heuheu. Dua, Yesus ditolak dengan menyebut-Nya sebagai ‘anak Maria’ (ay. 3). Penyebutan seseorang pada zaman Yesus dan pra-Yesus, lazimnya menggunakan patron keturunan dari Ayah. Misal, Yakub anak Ishak, Ishak anak Abraham. Penyebutan Yesus sebagai ‘anak Maria’ merupakan cara memandang Yesus dengan sebelah mata. Tepatnya, mereka meremehkan segala latar belakang Yesus.

Kita tahu, bahwa penolakan semacam ini tak jarang kita temui. Seseorang yang ketika dewasa menjadi sosok yang baik, sukses, tentu akan disangkutpautkan dengan masa kecilnya atau latar belakang keluarganya. “masakan ia sekarang baik, padahal dulu ia nakalnya minta ampun.” Atau bisa juga begini, “anak seorang penipu, tentu akan tumbuh menjadi seorang penipu.” Miris. Namun seringkali kita temui. Labelling yang jahat ada dalam tradisi gibah atau hobi me-review orang berdasarkan latar belakang yang tidak bijak.

Kali ini, kita diajak menggumuli sebuah tema, yakni, "Siap Untuk Ditolak". Sebuah ajakan untuk mempersiapkan diri kita, sebagai pribadi, keluarga, atau gereja, jika kita menemui penolakan-penolakan. Untuk itulah, Yesus tidak meladeni apa kata mereka tentang diri-Nya, namun Ia tetap setia mengabarkan kabar baik itu. Lalu, apa hanya itu?

Setelah itu, Yesus mengutus kedua belas murid-Nya untuk pergi ke tempat-tempat lain, yakni untuk mengabarkan kabar sukacita. Ada pesan yang Yesus tandaskan pada pemikiran dan hati mereka; "Kalau di suatu tempat kamu sudah diterima dalam suatu rumah, tinggallah di situ sampai kamu berangkat dari tempat itu. Dan kalau ada suatu tempat yang tidak mau menerima kamu dan kalau mereka tidak mau mendengarkan kamu, keluarlah dari situ dan kebaskanlah debu yang di kakimu sebagai peringatan bagi mereka." Melalui pesan Yesus ini, saya mengusulkan dua hal untuk modal kita menghadapi penolakan kala kita menyampaikan sebuah kebenaran.

Pertama, jangan memaksakan sesuatu. Yesus katakan, jika kita ditolak, pergilan dari tempat itu. Kita tidak diajak untuk terus memaksakan kebenaran yang kita usung. Kita justru diajak untuk pergi. Pergi di sini bukan berarti kita melarikan diri, namun lebih kepada menarik diri. Kita mengenal sebuah kegiatan gereja: retret. Dalam KBBI, retret berarti khalwat dengan memisahkan diri dari dunia ramai untuk mencari ketenangan batin. Tujuan pergi dari tempat (bisa juga dibaca orang, situasi, organisasi) adalah untuk melihat ke dalam batin kita. Tepatnya, kita melakukan introspeksi diri. Kita diajak melihat cara, metode, sikap, dan hal-hal lain ketika kita menyampaikan nasihat atau sebuah kebenaran.

Sesuatu yang baik, disampaikan dengan cara tidak baik, tentu tidak akan diterima dengan baik. Misalkan, menyampaikan dengan aroma kebencian, dengan amarah, dengan keegoisan, nada tinggi, gestur yang meremehkan. Yesus pernah mengatakan dalam Matius 18:15 "Apabila saudaramu berbuat dosa , tegorlah  dia di bawah empat mata.” Menegor empat mata adalah dengan kasih dan kelembutan. Sebaliknya, sesuatu yang baik, disampaikan dengan baik, belum tentu diterima dengan baik. Mungkin kita pernah melakukan hal ini. Mencoba dengan begitu lembut, menata kata, menata hati, menyampaikan dengan kasih sayang, tapi gak direken blas! Ya sudah, tetap, jangan memaksakan. Kita tahu, segala sesuatu yang dipaksakan hasilnya kerap nihil. Lalu, ap akita mundur begitu saja? No. Ada yang harus dilakukan.

Poin kedua yakni lanjutan dari imbauan pertama untuk pergi adalah mengebaskan debu yang menempel’ “…keluarlah dari situ dan kebaskanlah debu yang di kakimu sebagai peringatan bagi mereka.” Apa makna mengebaskan debu? Yesaya 52:1-2, Terjagalah, terjagalah! Kenakanlah kekuatanmu seperti pakaian, hai Sion! Kenakanlah pakaian kehormatanmu, hai Yerusalem, kota yang kudus! Sebab tidak seorangpun yang tak bersunat atau yang najis akan masuk lagi ke dalammu. Kebaskanlah debu dari padamu, bangunlah, hai Yerusalem yang tertawan! Tanggalkanlah ikatan-ikatan dari lehermu, hai puteri Sion yang tertawan! Mengebaskan debu berarti tanda bahwa masih banyak ‘hal kotor’ yang menempel dan perlu dibersihkan. Berarti, Yesus menyuruh murid-murid-Nya untuk memberi  tahu kepada orang-orang yang menolak mereka bahwa banyak debu dalam diri mereka, dan itu perlu dibersihkan. Sekali lagi, cara kita memberi tahu harus dengan lembut dan bijak. Misalkan saja, “mari kita tetap berdoa agar Tuhan mengaruniakan kerendahan kepada kita untuk terus mengupayakan perbaikan diri.”. Intinya, kita diajak untuk mendoakan orang yang sedang kita perhatikan.

Kedua hal itu mengingatkan kita untuk menjadi penyuara kebenaran yang baik. Tidak memaksakan, tetap rendah hati, namun tetap setia mendoakan. Jelas, itulah yang diteladankan dan dikehendaki oleh Tuhan Yesus. Namun, ada satu hal yang perlu kita waspadai dalam merenungkan tema kita; Siap Untuk Ditolak.

Setiap kita tentu tak mau ditolak, meski mungkin sesekali pernah mengalaminya. Kita harus bisa membedakan, mana penolakan yang memang terjadi sebagai jalan kita menyuarakan kebenaran atau terjadi karena kesalahan-kesalahan kita sendiri. Jangan sampai kita berkata bahwa “aku ditolak, aku tetap maju. Ini adalah jalan Tuhan”, padahal jelas-jelas kita menyakiti orang dengan sikap dan lisan kita. Di sinilah kita perlu hikmat Allah untuk menuntun dan memberi kita kecermatan untuk membedakan keduanya. Seperti kasus sebuah gereja yang sudah berbelas-belas tahun lamanya. Ah, entahlah. Kyrie Eleison.

ftp

Kamis, 15 April 2021

PERTOBATAN DAN PENGAMPUNAN: BUKAN CUMA WACANA

 Minggu Paska III

Kisah Para Rasul 3:12-19 | Mazmur 4 | 1 Yohanes 3:1-7 | Lukas 24:36-48


Kita tentu sudah sangat ingin beribadah kembali di gedung gereja. Sudah setahun lamanya kita tidak bertemu, bersekutu, dan beribadah di gedung gereja secara ragawi akibat pandemi Covid-19. Persekutuan kita hanya melalui media daring atau virtual. Media virtual memang penting, terutama pada masa pandemi ini, namun itu tidak dapat menggantikan ibadah secara ragawi, karena dalam ibadah daring ada aspek-aspek ragawi yang hilang. Memang kita bisa saling menatap, tetapi terbatas pada layar. Kita dapat mendengar suara, tetapi ada delay yang membuat kita tidak bisa bernyanyi bersama misalnya. Kita juga tidak dapat saling menyentuh. Bagi para pengkhotbah pun berbicara di depan kamera berbeda dengan berbicara langsung di hadapan umat. Kita merindukan pertemuan ragawi, sentuhan, dan kehadiran yang nyata. Tapi apa boleh buat, saat ini kita hanya bisa beribadah secara daring. Meskipun demikian, kita percaya bahwa kita pun bersekutu dalam roh.

Yesus, ketika Ia menampakkan diri-Nya kepada para murid, menghadirkaan diri-Nya secara ragawi (Luk. 24:36-48). Memang para murid sudah mendengar berita tentang kebangkitan Yesus. Menurut kesaksian Injil Lukas, kesaksian akan kebangkitan Yesus telah disampaikan oleh para perempuan yang mengunjungi kubur Yesus serta oleh dua orang yang berjalan ke Emaus (Luk. 24:1-35). Akan tetapi, ketika Yesus menampakkan diri kepada mereka saat sedang bercakap-cakap, mereka terkejut dan takut, bahkan mengira bahwa mereka melihat hantu. Pada momen ini, Yesus menunjukkan bahwa Ia hadir secara ragawi, bukan hanya roh, apalagi hantu. Ia menunjukkan tangan dan kaki-Nya dan meminta para murid merabanya untuk memastikan bahwa Yesus benar-benar hadir secara ragawi. Yesus pun meminta makanan dan kemudian memakan ikan gorang untuk menyatakan kehadiran-Nya yang utuh, yang bisa diraba dan disentuh; kehadiran secara ragawi yang meyakinkan para murid. Para murid pun diyakinkan, mereka percaya dan punya pengharapan.

Pada kesempatan ini kemudian Yesus mengutus mereka, “… dalam nama-Nya berita tentang pertobatan dan pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa, mulai dari Yerusalem. Kamu adalah saksi dari semuanya ini” (ay.46-47). Kamu adalah saksi. Artinya bukan akan menjadi saksi atau baru mau menjadi saksi, melainkan mereka memang adalah saksi. Dan karena mereka adalah saksi, mereka harus mempersaksikan pertobatan dan pengampunan kepada segala bangsa. Kesaksian mereka pun bukan hanya kata-kata melainkan teladan hidup. Karena itulah Yesus menjanjikan Roh Kudus untuk memperlengkapi mereka ketika mereka bergumul dan berjuang di dalam dunia. Yesus sudah menyatakan diri-Nya dan kehadiran-Nya secara ragawi, Ia pun mengutus murid-murid-Nya untuk hadir dan memberi diri mereka bagi banyak orang, untuk melayani dan menyatakan pengampunan Allah melalui perbuatan mereka. Menjadi saksi bukan sekadar wacana, tetapi tindakan untuk membawa damai sejahtera bagi semesta.

Kita pun adalah saksi. Yesus Kristus juga menginginkan kita untuk tidak hanya berwacana soal cinta kasih, keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan. Kita adalah saksi dan tugas kita adalah menghidupinya dan membagikannya kepada semesta. Saat ini, saudara-saudara kita di NTT sedang bergumul pasca-bencana Siklon Seroja. Awal-awal bencana banyak orang yang mem-posting gambar, tulisan, dan lain-lain, “Pray for NTT”, “Peduli NTT”, dan sebagainya. Kepedulian itu baik. Tapi kepedulian yang hanya wacana di media sosial, tidak ada gunanya. Mereka tidak butuh posting-an kita. Mereka butuh uluran tangan dan tindakan nyata kita. Sebagaimana Yesus menyatakan diri-Nya secara ragawi dan menyentuh murid-murid-Nya secara personal, Ia juga meminta kita untuk menyatakan kehadiran kita, tindakan kita, uluran tangan kita yang dapat dirasakan oleh rekan-rekan kita, bukan hanya kata-kata motivasi yang indah tapi tak berdampak apa-apa. Pada situasi pandemi seperti ini memang sentuhan dan kehadiran ragawi harus kita batasi, tetapi ada banyak cara untuk kita bertindak menyatakan kepedulian yang lebih dari sekadar kata-kata. Karena itu, marilah menjadi saksi yang tidak hanya berwacana, tetapi bertindak. Amin. (thn)

Jumat, 09 April 2021

PENERIMA DAMAI SEJAHTERA


(Minggu Paska II)

Kisah Para Rasul 4 : 32 – 35; Mazmur 133; 1 Yohanes 1 : 1 – 2 : 2; Yohanes 20 : 19 – 31


        Setiap orang dari segala usia pasti punya rasa takut. Misalnya, anak kecil seringkali takut sama gelap atau petir. Remaja takut tidak diterima oleh yang lain. Pemuda takut IP jelek. Orang yang sudah lulus kuliah takut tidak dapat pekerjaan. Pekerja takut tidak punya jodoh. Orang yang menikah takut pengeluaran sangat besar. Pasutri yang punya anak takut biaya makin membengkak. Lansia pun takut kesepian dan tidak bisa buat apa-apa. Ya, setiap orang punya rasa takut.

          Rasa takut terkadang ada baiknya, karena tanpa rasa takut seorang manusia akan bertindak tanpa kehati-hatian. Makanya rasa takut bisa buat kita lebih awas. Tapi rasa takut yang berlebihan bisa berbahaya, karena bisa jadi membuat kita jadi staknan, tidak bergerak ke mana-mana sebab takut untuk mencoba dan melangkah. Rasa takut yang berlebihan pun dapat menghilangkan damai sejahtera.

          Hal inilah yang dialami oleh para murid yang dikisahkan dalam Yohanes 20 : 19 sampai seterusnya. Mereka sedang dalam kondisi sangat takut karena Sang Guru, yakni Yesus yang selama ini mereka ikuti dan andalkan telah mati dan dikubur. Para murid juga takut kepada orang-orang Yahudi, sebab mereka tahu orang Yahudi, dalam hal ini para pemuka agama sangat membenci Yesus dan membenci Yesus pun sama dengan membenci para murid Yesus.

Itu sebabnya para murid berkumpul di suatu tempat dengan pintu-pintu yang terkunci karena dengan berkumpul bersama membuat mereka setidaknya memiliki rasa aman, bisa saling menjaga. Para murid pun bersembunyi karena bisa dikatakan, mereka adalah orang-orang yang masuk dalam kelompok “wanted” dicari orang Yahudi untuk bisa jadi dihabisi seperti Yesus, Guru mereka.

          Dalam keadaan penuh ketakutan, perjumpaan dengan Yesus yang sudah bangkit memberi damai sejahtera bagi mereka. Sebab kebangkitan, kehadiran dan perkataan Yesus memberi para murid apa yang mereka butuhkan saat itu, yaitu damai sejahtera. Itulah perkataan Yesus ketika Ia datang dan berdiri di tengah-tengah mereka.

Yesus mengatakan bukan hanya sekali tetapi dua kali. Mengapa harus dua kali? Karena mungkin saja yang pertama belum begitu disadari, apalagi para murid tahunya Yesus sudah mati dan dikuburkan. Yesus katakan kedua kali sambil menunjukkan lambung dan tanganNya yang terluka kepada mereka, tentu supaya mereka semakin percaya dan yang tadinya takut menjadi damai sejahtera.

Untuk itu dari kisah Yesus menampakkan diri kepada para muridNya memberi penegasan bahwa damai sejahtera yang mereka butuhkan bukan dari harta, tempat yang aman untuk mereka berdiam, status sebagai para murid, bisa berkumpul seperti cara hidup jemaat yang dituliskan dalam Kisah Para Rasul 4 : 32 – 35, maupun diam bersama-sama dengan rukun seperti yang dituliskan pemazmur dalam Mazmur 133 saja. Tetapi damai sejahtera itu semata-mata karena Yesus dan dari Yesus.

Saudara, dari bacaan hari ini kita sama-sama belajar bahwa rasa takut itu sesuatu yang wajar karena para murid Yesus - yang dekat Yesus saja punya rasa takut. Tetapi jangan sampai rasa takut merenggut damai sejahtera dalam diri kita. Karena jadinya membuat kita terkunci, staknan seperti para murid Yesus. Ketika damai itu hilang, ingatlah kita juga penerima damai sejahtera karena Yesus yang hadir di hadapan para murid juga hadir dalam hidup kita dan berkata “Damai sejahtera bagi kamu!”

(mc)

 

 

Jumat, 19 Maret 2021

DITARIK OLEH ANUGERAH-NYA

 Minggu V Prapaska

Yeremia 31:31-34 | Mazmur 51:2-13 | Ibrani 5:5-10 | Yohanes 12:20-33


Apa yang membuat kita tertarik? Biasanya sesuatu itu menarik karena kita menemukan kesenangan di dalam hal itu. Misalnya Ada yang menganggap musik klasik menarik karena ia menemukan kesenangan dalam musik klasik. Ada juga yang tertarik akan sesuatu karena penasaran. Contohnya seseorang yang penasaran bagaimana rasanya berada di puncak gunung, maka baginya naik gunung itu menarik. Rasa tertarik karena penasaran juga ditunjukkan oleh orang-orang Yunani yang pergi kepada Filipus dan meminta untuk bertemu dengan Yesus. Mereka pasti sudah mendengar tentang Yesus, karya-karya yang dilakukan-Nya. Namun mereka penasaran seperti apa Yesus sebenarnya. Karena itulah mereka tertarik untuk bertemu dengan Yesus. Namun demikian, biasanya orang-orang, terutama orang Yahudi, merasa bahwa Yesus menarik sebelum mereka mengenalnya lebih jauh. Kebanyakan yang tertarik dengan Yesus hanya melihat mukjizat-mukjizat yang dilakukan-Nya dan menurut mereka itulah yang membuat Yesus menarik. Mereka menganggap bahwa mengikut Yesus itu menyenangkan, bisa menjadi saksi karya dan kuasa-Nya, sehingga mereka tertarik untuk berjumpa dengan Yesus.

Sampai di sini kita tidak tahu motivasi utama orang-orang Yunani itu menjumpai Yesus. Hanya saja, jika kita melihat tanggapan Yesus, kemungkinana motivasi mereka juga sama dengan orang-orang Yahudi. Jujur, kita pun menganggap sesuatu menarik jika kita yakin bahwa hal itu menyenangkan. Biasanya kita tertarik karena karena menyenangkan, bukan menyusahkan atau meaah merugikan. Yesus memahami bahwa orang-orang yang tertarik bertemu Dia pasti selain merasa penasaran mereka juga menyangka bahwa mengikut Yesus itu menyenagkan. Tentu ini terjadi karena yang mereka lihat di permukaan selama ini Yesus menyembuhkan orang, memberi makan banyak orang, mengajar dengan kata-kata hikmat, tetapi mereka mungkin tidak memikirkan bahwa jalan yang ditempuh Yesus adalah jalan penderitaan.

Itulah sebabnya, ketika Andreas dan Filipus menyampaikan perihal orang-orang Yunani yang mau bertemu dengan-Nya, Yesus menjawab dengan kata-kata soal kematian-Nya. Menariknya, Yesus menyebutnya dengan “dimuliakan”. Dimuliakan bagi Yesus bukanlah menerima kehormatan, kekayaan, atau kekuasaan, melainkan seperti biji gandum yang harus jatuh ke tanah dan mati, baru dia menghasilkan banyak buah. Kemuliaan Yesus adalah dengan mederita dan mati. Jalan Yesus adalah jalan salib dan penderitaan. Karena itu jika orang hanya ingin mencari selamat sendiri, mereka justru akan gagal. Tetapi mereka yang tahu bahwa jalan yang ditempuh adalah penderitaan dan bersedia menderita, maka ia akan masuk dalam kehidupan abadi di dalam Allah. Yesus menyatakan bahwa setiap oang yang mau melayani-Nya, menjadi pengikut-Nya, juga harus mengikuti jalan-Nya. Di mana Yesus berada, di situ ia berada. Artinya, jika kita mau mengikut Yesus dan melayani Yesus, kita juga harus menempuh jalan yang Yesus tempuh; jalan salib dan penderitaan.

Lalu jika demikian apakah mengikut Yesus masih menarik? Bagi banyak orang yang hanya mencari kenikmatan, tentu mengikut Yesus menjadi tidak menarik. Tetapi justru dalam kehinaan, penderitaan, dan kematian-Nya, Yesus menarik semua orang kepada-Nya. Dalam kematian-Nya, Ia ditinggikan dan dimuliakan, dan melaluinya Ia menarik kita datang kepada-Nya. Jadi, jika kita mengaku percaya dan mau mengikut Kristus, kita juga harus melalui jalan yang Yesus ambil, menaladani-Nya dan merangkul derita dan masuk dalam kemuliaan-Nya. Amin.


Jumat, 12 Maret 2021

Dipulihkan Dari Pagutan Dosa

 Minggu Prapaska IV

Bilangan 21 : 4 – 9; Mazmur 107 : 1 – 3, 17 – 22; Efesus 2 : 1 – 10; Yohanes 3 : 14 – 21

 

            Apa yang diharapkan oleh seorang yang setelah melakukan rapid atau swab dan hasilnya reaktif atau positif covid? pastinya yang diharapkan adalah segera pulih. Mengapa? karena pemulihan memberikan rasa aman dan nyaman, juga rasa syukur yang mendalam atas pemulihan yang diterima. Pulih juga bukan hanya dibutuhkan ketika kita sakit, tetapi juga karena kita berdosa. Dari keseluruhan bacaan hari ini, kita melihat bagaimana manusia yang adalah ciptaan Allah yang mulia adalah umat yang berdosa dan melawan Allah.

Mari lihat dalam bacaan pertama dari kitab Bilangan 21 yang mengisahkan perjalanan panjang bangsa Israel setelah dari tanah Mesir. Namun dalam perjalanan kebebasan itu, bukannya diisi dengan rasa syukur mereka malah mengeluh dan melawan Allah dan Musa sebab tidak ada roti dan tidak air. Lalu Tuhan menyuruh ular tedung, salah satu ular berbisa memagut mereka dan membuat banyak orang Israel mati. Nampaknya kok Tuhan jahat sekali menghukum atau mematikan umatNya sendiri?

Sesungguhnya mereka mati bukan karena Tuhan, tetapi karena bangsa Israel dipagut oleh dosanya sendiri (bdk. Roma 6 : 23a). Itu sebabnya mereka tidak menyalahkan Tuhan tetapi sadar bahwa apa yang mereka alami karena dosa mereka sendiri. Hal itu nampak ketika (ay. 7) mereka datang kepada Musa dan menyadari bahwa mereka telah melawan Tuhan dan meminta selamat.

            Benar saja setelah mereka menyadari dosa mereka dan meminta pertolongan Tuhan, Tuhan memberi mereka tetap hidup (ay. 9). Bukan hanya hidup yang diberikan Allah, tetapi Allah juga telah mengaruniakan AnakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia  (Yohanes 3 : 16 - 17).

Karena pertolongan dan hidup yang Allah berikan, maka seperti kata pemazmur dalam Mazmur 107 : 1 – 3 untuk “Bersyukurlah kepada TUHAN, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya. Biarlah itu dikatakan orang-orang yang ditebus TUHAN, yang ditebus-Nya dari kuasa yang menyesakkan, yang dikumpulkan-Nya dari negeri-negeri, dari timur dan dari barat, dari utara dan dari selatan.”

Dari bacaan firman Tuhan hari ini kita belajar bahwa manusia seringkali dipagut oleh dosa melalui tindakan dan kehidupan. Namun hanya karena kasih, pertolongan dan hidup dari Tuhan yang memulihkan manusia yang bercela. Maka seperti kata pemazmur, mari kita bermazmur sebab Tuhan itu Mahabaik dan kasih setiaNya untuk selama-lamanya bagi kita yang dipagut dosa.

 (mc)

 

Selasa, 16 Februari 2021

KASIH SETIA ALLAH KEPADA CIPTAAN-NYA

Minggu I dalam Masa Prapaska

Kejadian 9:8-17 |  Mazmur 25:1-10 | 1 Petrus 3:18-22 | Markus 1:9-15


Bagi saya, pelangi sehabis hujan itu indah. Karena pelangi yang muncul setelah hujan reda karena yang paling dinantikan dari hujan akhirnya tiba, yakni redanya. Apalagi kalau hujannya sangat deras, kita pasti bertanya-tanya kapan hujannya akan reda atau berhenti. Karena kalau hujan tidak berhenti, akan terjadi bencana banjir. Karena itu, ketika pelangi sudah muncul, yang menandakan hujan sudah reda, maka kita punya pengharapan. Sebagai orang Kristen, ketika kita membicarakan pelangi, kita tentu akan mengingat perjanjian Allah dengan Nuh. Jika kita melihat pelangi, kita punya pengharapan bahwa selalu ada awal yang baru. Pelangi sehabis hujuan membawa pengharapan akan kehidupan.

Pelangi menjadi tanda pembaruan perjanjian Allah dengan manusia. Mengapa pembaruan perjanjian. Perjanjian yang pertama adalah perjanjian Allah dengan dengan manusia pertama ketika Ia berkata, “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilan bumi dan taklukanlah itu…” (Kej 1:28). Dengan Nuh, perjanjian itu diperbarui dengan sedikit revisi. “Beranakcuculah dan bertambah banyaklah serta penuhilah bumi” (Kej. 9:1). Frasa “taklukanlah itu (bumi)” dihilangkan dari perjanjian yang kedua ini. Mengapa demikian? Karena penaklukan manusia atas bumilah yang menjadi penyebab utama Allah mendatangkan air bah. Allah menyesal karena mencipatakan manusia yang berbuat jahat, yang dengan segala cara bertindak untuk menguasai sesamanya, bahkan melakukan kejahatan. Allah melihat bumi itu rusak akibat manusia yang menjalankan hidup yang rusak di bumi (Kej. 6:12). Allah menghukum bumi, justru karena kesalahan manusia (Kej. 8:21).

Tapi, karena Allah adalah kasih, Ia tidak bisa tidak mengasihi. Bahkan dalam murka-Nya, Ia masih memberi ruang belas kasihan. Karena itulah ia menyelamatkan Nuh beserta keluarganya, juga hewan-hewan untuk diselamatkan. Mereka yang diselamatkan ini tujuannya untuk memulai kehidupan baru di bumi. Mengapa Allah bertindak demikian? Karena sekalipun Allah keecewa terhadap manusia, Ia sangat mengasihi dunia ini. Karena kasih-Nya akan dunia, Ia masih tetap mempertahankan kehidupan di bumi. Lalu apa peran Nuh di sini? Nuh adalah pribadi yang berkenan dalam rencana kasih setia Allah. Ia masuk dalam ruang belas kasih Allah bagi seluruh ciptaan. Itulah mengapa dalam perjanjian-Nya setelah air bah, fokusnya bukan pada manusia,tetapi pada ciptaan. Kita bisa lihat dalam kata-kata Allah, “Aku mengadakan perjanjian-Ku dengan kamu dan keturunanmu, dan dengan segala makhluk hidup…” (Kej 9:9-10), “Inilah tanda perjanjian yang Kuadakan antara Aku dan kamu serta segala makhluk hidup…” (Kej. 9:12), juga yang terakhir, “… supaya itu menjadi tanda perjanjian antara Aku dan bumi” (Kej. 9:13). Perjanjian Allah adalah dengan bumi, untuk tidak menghukum bumi karena kesalahan salah satu ciptaan-Nya, manusia.

Jadi, Allah yang mencintai dunia ini konsisten untuk tidak memusnahkan dunia ini. Karena itu dia mengikat perjanjian dengan seluruh ciptaan, bukan hanya dengan manusia. Manusia terikat dalam perjanjian itu karena manusia merupakan bagian dari ciptaan. Manusia diselamatkan karena manusia adalah bagian dari alam semesta yang dikasihi Allah ini. Teolog Lingkungan, Annette Mosher, mengatakan bahwa adalah demi kebaikan bumi Allah tidak menghancurkan ciptaan-Nya yang lain; Karena kasih Allah akan bumi, maka Ia menyelamatkan manusia. Karena itu, jadi manusia jangan belagu. Jangan merasa kita ini ciptaan yang paling mulia, lebih utama daripada ciptaan lain, lalu kita bertindak semena-mena terhadap alam. Justru karena manusialah Allah kecewa dan menyesal. Manusia yang diberi kuasa untuk menaklukkan, malah merusak bumi. Karena itulah dalam perjanjiaan dengan Nuh, Allah telah membatasi kuasa manusia. Manusia memang bisa menaklukkan, tetapi itu bukan lagi menjadi mandat Allah. 

Perjanjiaan Allah dengan Nuh ini menjadi pengingat bagi kita untuk hidup ramah dengan alam, sebab kita ini adalah bagian dari alam semesta yang dikasihi Tuhan. Allah mengasihi dunia, alam semesta ciptaan-Nya ini, termasuk kita. Karena itu marilah mengasihi bumi ini juga. Pandemi covid yang sudah setahun ini memperingatkan kita, bahwa manusia ini rapuh. Dan alam bisa terus bergerak tanpa manusia, bahkan memperbaruni dirinya. Karena itu, marilah mulai hidup selaras dengan alam, sebagai bagian dari ciptaan Allah. Jika Allah begitu mengasihi seluruh ciptaan-Nya, marilah kita menjadi rekan sekerja Allah yang berkarya demi kebaikan seluruh ciptaan-Nya. Amin. (ThN)


KESALEHAN PALSU

Rabu Abu

Yoel 2:1-2, 12-17 | Mazmur 51:1-17 | 2 Korintus 5:20-6:10 | Matius 6:1-6, 16-21

Yesus mengkritik orang Farisi karena ibadah yang mereka lakukan ditujukan semata-mata untuk memamerkan kesalehan di depan orang lain. Kesalehan yang mereka tunjukkan adalam kesalehan palsu. Mereka berdoa, berpuasa, dan memberi sedekah sesuai ajaran agama. Tapi mereka tidak peduli dengan orang miskin, mereka merampas hak para janda, mereka suka menghakimi orang-orang yang mereka anggap tidak saleh. Ibadah ritual mereka jalankan dengan ketat, tetapi mereka tidak punya kepedulian sosial terhadap sesamanya. Dalam teks Injil, Yesus mengkritik mereka atas tiga ritual yang sering dijalankan, yakni memberi sedekah, berdoa, dan berpuasa.

Memberi sedekah bagi orang Yahudi adalah sebuah ritual yang mendatangkan pahala, karena itu orang-orang Farisi senang memberi sedekah kepada orang miskin seupaya dapat pahala. Selain pahala, mereka juga suka dilihat orang supaya dianggap sebagai orang-orang yang dermawan. Mereka punya kebiasaan mengumpulkan orang-orang miskin di jalan-jalan atau di tempat ibadat dan kemudian membagi-bagikan sedekah kepada mereka di hadapan banyak orang. Ini yang dikecam oleh Yesus, dengan berkata “janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu." Yang penting bukan sedekahnya, tetapi niat untuk memberi dan berbagi. Bukan untuk pamer, tetapi kerena kepedulian.

Berikutnya berdoa. Doa merupakan ritual rutin orang Yahudi. Biasanya ada jam-jam doa setiap 3 jam, dan biasanya dilakukan oleh orang-orang Farisi di rumah-rumah ibadat dengan suara nyaring supaya didengar dan dilihat orang. Tapi jika saat jam doa mereka jauh dari rumah ibadah, mereka sengaja berdoa di pinggir jalan, terutama di perempatan jalan, supaya banyak orang merlihat dan berkata mereka orang saleh. Doa menjadi kebanggan yang mereka pamerkan di depan orang karena dianggap saleh. Ini juga dikecam oleh yesus dengan berkata, "masuklah ke kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapa di tempat tersembunyi." Doa adalah komunikasi dengan Allah, jadi tidak perlu dipamerkan diucapkan dengan suara nyaring dan bertele-tele supaya didengar orang. Bukan masalah kita berdoa di ruang ibadah, atau di tempat umum, misalnya kantor, sekolah, rumah sakit. Yang masalah adalah jika doa dilakukan untuk cari muka, supaya dianggap saleh.

Kemudian ritual puasa. Puasa adalah wajib bagi orang Yahudi. Biasanya dilakukan setiap Senin dan Kamis. Orang Farisi juga suka menunjukkan kalau mereka sedang puasa, dengan membuat diri mereka terlihat sangat mederita atau terlihat lemas dan loyo. Matanya dibuat hitam seperti orang kelaparan. Apa lagi tujuannya kalau bukan supaya orang tahu bahwa mereka sedang berpuasa. Yesus juga mengecam ini dengan berkata, "cucilah mukamu, minyakilah kepalamu." Puasa sih puasa, tapi wajah harus tetap segar. Jangan dipamerkan bahwa kita sedang puasa. Bukan berarti tidak boleh puasa. Tatapi jangan dengan motivasi pamer kesalehan.

Saudara-saudari, saat ini kita mengawali masa Prapaska. Masa Prapaska adalah masa kita merenungkan sengsara Kristus, menyatukan penderitaan kita dengan penderitaan Kristus. Masa Prapaska merupakan persiapan orang percaya, melalui doa, penyesalan, pertobatan, dan penyangkalan diri. Prapaska juga adalah masa khusus bagi umat percaya untuk berpuasa dan berpantang selama 40 hari. Bagi orang Kristen, puasa dan pantang adalah latihan rohani untuk menahan diri, menyangkal diri, dan bertobat serta mempersatukan pengorbanan kita dengan pengorbanan Yesus di kayu salib demi keselamatan dunia. Dalam puasa, kita berkorban dengan melepaskan hal-hal yang kita senangi. Maka, kita diajak untuk mengambil bagian dalam karya keselamatan ini dengan bertobat, berdoa dan melakukan perbuatan kasih. 

Mungkin ada di antara kita yang bertanya-tanya bagaimana puasa dan pantang dilakukan. Jika ingin berpuasa, kita disarankan untuk makan kenyang hanya sekali sehari dan makan ringan dua kali. Berpantang biasanya dilakukan dengan menghindari makan daging, kecuali daging ikan. Pantang juga dilakukan dengan cara menghindari makanan atau minuman (dan lain-lain) yang kita sukai. Misalnya pantang coklat bagi yang suka coklat, pantang sambal bagi yang suka sambal, pantang kopi bagi yang suka minum kopi, dan pantang ngemil bagi yang suka ngemil. Jika orang yang tidak suka ngemil pantang ngemil, maka pantangnya itu tidak ada artinya. Puasa dan pantang makanan dan minuman sebenarnya hanyalah sebagian kecil dari puasa dan pantang. Puasa dan pantang yang lain pun dapat kita lakukan dengan menghindari hal-hal yang paling menggoda dan paling mengikat dalam hidup kita, misalnya nonton Netflix berjam-jam, shopping, bergunjing, main gim sampai lupa waktu, dan lain-lain. Puasa dan pantang bukanlah sekadar menahan diri, melainkan juga mengurangi jatah makan atau berlanja kita sehingga ada yang dapat kita bagikan dengan sesama. Karena itu, puasa selalu berkaitan dengan memberi sedekah, membantu orang lain yang membutuhkan perbuatan baik kita. Selama masa Prapaska ini, kita juga diajak untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik bagi sesama kita.

Selain itu, kita mengembagkan spiritualitas juga dengan doa. Doa bukan hanya soal berkomunikasi dengan Allah, tetapi juga relasi dengan sesama. Ada yang bilang bahwa doa itu bukan hanya menutup mata dan melipat tangan, tetapi juga membuka mata dan mengulurkan tangan. Artinya, membuka mata untuk melihat realitas di sekitar kita serta mengulurkan tangan untuk menolong sesama kita. Doa juga berkaitan dengan memberi sedekah, yakni kepedulian untuk membantu orang lain. Kita mungkin sering mendoakan orang lain. Mendokan korban banjir di Kalimanatan atau gempa bumi di Sulawesi. Tapi apakah kita juga mengulurkan tangan kita untuk menyalurkan bantuan bagi para pengungsi? Kita juga mungkin mendoakan Bu Joko atau Pak Satria yang sakit, tetapi apakah kita juga sudah mengunjungi, paling tidak menelepon mereka untuk menghibur dan membesarkan hati mereka? Atau kita mendoakan Pak Sule yang di-PHK karena pandemi supaya dapat pekerjaan lagi, tetapi apakah kita juga terpikirkan untuk membatunya mencari pekerjaan, setidaknya dengan memberikan rekomendasi atau lowongan pekerjaan yang kita tahu. Kita berdoa supaya pandemi berakhir, tapi apakah kita juga sudah menerpkan protokol kesehatan untuk menekan penyebaran Covid?

Inilah makna Prapaska. Ibadah yang bukan hanya ritual, tetapi juga sosial. Artinya, ibadah tidak hanya mengembangkan spiritualitas pribadi, relasi dengan Tuhan, tetapi juga membangun relasi antara kita dengan sesama. Rabu Abu selalu mengandung simbol Abu. Abu mengingatkan kita bahwa kita ini bukan siapa-siapa. Mengajak kita untuk bertobat dari segala kesombongan kita, kenagkuhan kita, dan kehendak untuk memamerkan kesalehan palsu. Marilah memasuki Prapaska dengan penyangkalan diri, dengan ibadah kita yang tidak hanya ritual semata, tetapi ibadah yang meyeluruh dalam hidup kita sehari-hari. Amin. (ThN)

Selasa, 09 Februari 2021

TRANSFIGURASI: ANTARA PENDERITAAN DAN KEMULIAAN

 

(Minggu Transfigurasi)

2 Raja-raja 2 : 1 – 12; Mazmur 50 : 1 – 6; 2 Korintus 4 : 3 – 6; Markus 9 : 2 – 9


Tanggal 14 Februari selalu dirayakan sebagai valentine day, hari kasih sayang. Dalam turut merayakan hari kasih sayang, tepat di minggu ini dalam kalender gerejawi, kita memasuki minggu transfigurasi. Secara harafiah, transfigurasi berasal dari dua kata, trans yang berarti perubahan dan figure yang berarti wajah atau rupa. Transfigurasi ini dialami oleh Yesus yang dikisahkan dalam Injil Markus 9 : 2 – 9.

Kisah ini juga dicatat dalam Injil Matius dan Lukas, yang hendak memberi penegasan bahwa peristiwa transfigurasi yang dialami oleh Yesus adalah sebuah peristiwa yang penting. Ketika proses transfigurasi Yesus terjadi di sebuah gunung yang tinggi, Yesus mengajak Petrus, Yakobus dan Yohanes. Mengapa Yesus tidak mengajak murid-murid yang lain? Bisa jadi karena ketiga murid inilah yang cukup dekat dengan Yesus.

Mereka juga adalah orang-orang yang cukup kuat untuk naik gunung yang tinggi. Karena naik gunung butuh stamina yang baik. Selain itu, hanya mereka bertiga yang diajak Yesus untuk naik gunung karena Yesus tidak ingin banyak orang tahu peristiwa ini karena itu Yesus berpesan supaya mereka jangan menceritakan apa yang telah mereka lihat kepada orang lain (bc. ay. 9) .

Melalui transfigurasiNya, Yesus hendak memberi pesan bahwa Ia dimuliakan Allah. Proses dimuliakan Allah itu dilihat dengan mata kepala para murid sendiri, melalui perubahan rupa yang dialami Yesus dan pakaianNya sangat putih berkilauan. Bahkan apa yang dialami Yesus membuat Petrus merasa bahagia (ay. 5) karena ada perubahan rupa yang dialami Yesus. Petrus bahagia bisa jadi karena 6 hari sebelum Yesus membawa mereka naik gunung, Petrus sempat mengaku bahwa Yesus adalah Mesias (Mrk. 8 : 29).

Melalui apa yang ia lihat di atas gunung itu, kini jadi bukti bahwa pengakuan Petrus benar. Selain itu, sesudah Petrus mengakui Yesus adalah Mesias, Yesus sempat memberitahukan penderitaan yang akan Yesus alami kepada para muridNya (Mrk. 8 : 31). Hal itu sempat membuat Petrus menegor Yesus (Mrk. 8 : 32). Dengan melihat peristiwa Yesus begitu dimuliakan, berkilau, penuh kuasa, maka mungkin saja Petrus menganggap bahwa apa yang Yesus sampaikan sebelumnya pastinya tidak akan terjadi. Ditambah lagi, sebuah suara yang mereka dengar “Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia.” (ay. 7) yang menjadi

Namun demikian, apa yang dilihat dan dipikirkan oleh Petrus ternyata berbanding terbalik dengan apa yang akan terjadi pada Yesus. Memang peristiwa transfigurasi itu menjadi momen bahwa Yesus dimuliakan, tetapi peristiwa itu juga menjadi momen di mana Yesus akan mengalami penderitaan seperti yang Ia katakan sebelumnya (Mrk. 8 : 31).

            Saudara, ketika di minggu ini kita merayakan Minggu Transfigurasi. Kiranya melalui perubahan rupa Allah yang dikisahkan dalam bacaan yang menjadi wujud Yesus dimuliakan, membuat kita juga kagum pada Allah yang penuh kuasa. Namun di saat yang sama, kita juga menyadari bahwa Allah yang dimuliakan itu, juga dengan cintaNya merengkuh penderitaan untuk kita, umatNya yang berdosa.

Biarlah ini menjadi pengingat akan kasih sayang dari Allah untuk kita dan menjadi penyemangat di kala kita mungkin saat ini menderita. Bahwa Allah merengkuh penderitaan dan kemuliaan sebagai wujud cintaNya untuk kita. Amin. (mc)

 

 

Selasa, 02 Februari 2021

Beritakanlah Kabar Baik

Yesaya 40:21 -31; Mazmur 147:1-11,20; 1 Korintus 9:16-23; Markus 1:29-39

Yesus melanjutkan perjalanannya setelah berkhotbah di rumah Ibadah di Kapernaum. Teks Injil minggu ini masih merupakan lanjutan dari minggu-minggu sebelumnya. Setelah menyampaikan khotbahm Yesus mendapati kabar bahwa Ibu mertua Simon sakit demam. Mari kita segera membayangkan; Apakah sakit yang diderita ibu mertua simon adalah demam biasa?

1.      Kesaksian dalam teks lain, missal Lukas 4:38, ibu mertua Petrus menderita demam keras; Kemudian Ia meninggalkan rumah ibadat itu dan pergi ke rumah Simon. Adapun ibu mertua Simon demam keras dan mereka meminta kepada Yesus supaya menolong dia. Di sini, kita tidak membayangkan ‘masuk angin’ pada umumnya, atua sekedar gejala flu. Mungkin panas tubuh yang tinggi disertai gejala-gejala lain.

2.      Demam merupakan salah satu kutuk Allah. Pada kitab Ulangan pasal 28, Allah berbicara tentang dua hal, yakni berkat dan kutukan. Khusus di ayat 22 dikatakan; TUHAN akan menghajar engkau dengan batuk kering, demam, demam kepialu, sakit radang, kekeringan, hama dan penyakit gandum; semuanya itu akan memburu engkau sampai engkau binasa. Sehingga, orang yang demam (keras) pada saat itu bisa diasosiasikan dengan dosa besar sehingga Allah menghukum mereka.

Misal, ada mitos di Jawa, mata belekan (bintitan) itu karena mengintip perempuan yang mandi. Sehingga, orang belekan akan dianggap orang mesum.

Di sini kita melihat ada derita yang dialami oleh ibu mertua Simon. Ada sakit secara fisik yang dirasa, namun sebuah stigma dari masyarakat yang menghukumnya. Jangan-jangan, sakit yang diderita ibu mertua Simon menjadi makin parah karena gosip orang-orang. Itulah mengapa, di ayat 30 dituliskan; Ibu mertua Simon terbaring karena sakit demam. Mereka segera memberitahukan keadaannya kepada Yesus. Kata ‘segera’ ini memiliki unsur urgensi, yakni musti segera ditindak lanjuti. Seakan-akan bisa saja terjadi pemahaman dalam masyarakat, makin lama sakit, makin lama dikutuk Tuhan. Sehingga, bisa saja kutuk itu dikaitkan dengan dosa-dosa masa lalu; pantas aja, kan dulu dia melakukan ini dan itu.

Di sini kita bisa belajar dua hal. Pertama; apa yang keluar dari mulut kita? Berkat atau Kutuk? Mengapa demikian? Kita bisa bayangkan kondisi hidup pada zaman itu; tradisi lisan menjadi sesuatu yang sangat kuat. Dalam dunia ekonomi khususnya marketing ada istilah work of mouth atau gethok tular dalam tradisi Jawa, yakni kekuatan mulut yang bisa menyebar berita dan mempersuasi orang dengan begitu luar biasa. Bayangkan, jika gosip itu menjadi sangat masif dan menyakiti perasaan seorang manusia. Seseorang yang sakit demam, tapi anggapannya begitu menyakitkan. Bahkan, kesalahan-kesalahan lama pun bisa dinaikkan ke permukaan agar makin ‘gurih’ gosipnya. Apakah dalam hidup kita tidak ada model seperti itu? Lho, jangan salah. Justru gereja bisa jadi lahan gembur untuk gosip-gosip macam itu. Niat hati awalnya hanya ingin tahu, namun terseret dalam penghakiman.

Namun marilah kita melihat apa yang dilakukan oleh Yesus. Ada sebuah gestur mesra yang diperlihatkan oleh Yesus. Di ayat 31 dituliskan, Ia pergi ke tempat perempuan itu, dan sambil memegang tangannya Ia membangunkan dia, lalu lenyaplah demamnya. Kemudian perempuan itu melayani mereka. Ketika orang-orang bermanuver tentang dosa dan salah, Yesus hadir sebagai sosok yang mau datang, memegang, dan memulihkan. Beda dengan orang-orang yang bisa saja datang gosipnya, memegang hoax, dan menghancurkan perasaan. Kata ‘memegang’ di ayat 31 berasal dari kata κρατήσας dari kata ‘krateo’, yang bisa berarti memegang, menangkap, juga untuk menguatkan. Kita bisa melihat Yesus memegang itu dan memberikan penguatan kepada ibu mertua Simon.

Mungkin, bagi kita yang pernah mengunjungi orang yang sakit, lalu memegang tangan mereka untuk menguatkan, orang yang sakit itu benar-benar merasa dikuatkan dengan kedatangan kita. Itulah yang dilakukan Yesus.

Di masa pandemi seperti ini, kita makin lincah dan canggih dengan gawai kita masing-masing. Intensitas pemakaian gawai menjadi makin melonjak. Nah, di tengah-tengah kondisi seperti ini, bagaimana kita menggunakan gawai kita? Apakah bijak dan mendatangkan berkat yang menguatkan, apa malah justru membawa kehancuran perasaan seseorang? Tema ibadah kita adalah Beritakanlah Kabar Baik. Itu adalah tema dan juga apa yang dilakukan Yesus dalam segala karyaNya. Jika sekarang gawai menjadi kawan karib kita, apakah kita bisa berperan di dunia digital ini? Seorang sahabat pernah bercerita bahwa saudaranya pernah mengucapkan banyak terima kasih kepadanya karena sebuah unggahan di media sosial tentang sebuah kutipan motivasi hidup. Bukankah itu luar biasa?

Ada yang bertanya, apakah kita sebagai orang-orang Kristen boleh main sosial media? Saya katakan kepadanya ‘boleh’. Yang tidak boleh adalah kita tahu sahabat kita kelaparan tapi kita mengunggah foto makan-makanan mewah. Be wise!

Yang kedua, siapa Yesus yang kau ceritakan. Alam pikir tentang segala kutukan berasal dari Allah, bisa membuat pemahaman akan siapa Allah menjadi begitu mengerikan. Ada ungkapan you are what you think, yakni kita adalah apa yang kita pikirkan. Bayangkan, jika kita memiliki paham tentang Allah yang maha mengutuk dan menghukum? Tidak heran jika gaya pikirannya diisi tentang salah, hukum, dosa, kutuk dan segala hal konstruktif lainnya.

Namun dalam teks ini kita diajak melihat siapa Allah dalam diri Yesus yang begitu berbeda. Yesus memegang dalam kuasa Ilahi, memebri kekuatan dan pemulihan. Jika itu adalah penyakit, Yesus adalah Allah yang memulihkan. Jika itu adalah dosa, Yesus adalah Allah yang begitu mengampuni kesalahan-kesalahan umatNya. Bukankah memahami Allah yang hangat akan membawa jiwa dan spiritualitas kita menjadi hangat?

Thomas A. Dorsey adalah musisi jazz yang begitu terkenal pada masanya, yakni sekitar tahun 1930an. Di tahun 1932, ia tepat berusia 32 tahun, dan menjadi solois utama dalam kegiatan kebangunan rohani yang besar. Ia ingin mengajak Istrinya, Nettie, untuk ikut bersamanya, namun saat itu Nettie hamil tua, hamil anak pertama mereka. Dorsey memutuskan untuk segera pergi k eke St. Louis. Ia berangkat dari apartemennya di selatan Chicago dengan mobil, namun di tengah jalan ia sadar bahawa peralatan musiknya tertinggal di rumah. Ia Kembali, dan mendapati istrinya sedang tertidur pulas. Tak tega ia membangunkan, ia mengalbil alat music dan segera melanjutkan perjalanan. Singkat cerita, kegiatan kebangunan rohani itu begitu semarak. Dorsey sudah membawakan beberapa pujian. Suasana begitu luar biasa. Namun, di sela-sela lagu, seorang kru menghampirinya dan memberitahunya, bahwa istrinya meniggal dunia. Ia segera pulang. Pikirannya berkecamuk. Ia mendapat kabar, istrinya melahirkan anak laki-laki, dan malamnya juga meninggal. Ia begitu terpukul dan menganggap bahwa Allah tidak adil dalam hidupnya. Ia menjadi pemurung dan menutup diri. Sampai suatu ketika, sahabatnya mengajaknya untuk bermain musik. Dorsey menolak. Namun, ketika ia sendirian, ia menghampiri sebuah piano, dan memainkan beberapa nada-nada baru. Ia merasakan perasaan hangat yang memulihkan dirinya. Ia merasa bahwa Tuhan sedang memegang tangannya. Ia merasa mendapatkan kekuatan dan semangat untuk Kembali bangkit. Saat itu, ia menulis lirik dan membubuhinya dengan nada indah. Begini liriknya;

Precious Lord, take my hand, lead me on, let me stand!
I am tired, I am weak, I am worn,
Through the storm, through the night lead me on to the light,
Take my hand, precious Lord, lead me home.

Dorsey memiliki gaya piker yang berubah tentang siapa Allah. Allah yang tadinya begitu Nampak tidak adil, kini Allah mendatanginya dan memulihkannya, serta memberinya kekuatan yang baru. Ia merasakan genggaman kasih Tuhan. Untuk itulah, ia berhasil pulih dan mengabarkan kabar baik. Mana kabar baiknya? Kita bisa menjumpainya dalam terjemahan lagu Precious Lord, take my hand yang sudah diterjemahkan oleh K. P. Nugroho, yakni di NKB 131, TUHANKU, PIMPINLAH.

Marilah kita merasakan genggaman tangan Tuhan di tengah situasi yang tidak mudah ini. Sebagaimana ibu mertua Simon, setelah merasakan genggaman tangan Yesus, ia bangkit dan melayaniNya. Beritakanlah kabar baik. Bagikan kebahagiaanmu. Tuhan memberkati.

ftp