Jumat, 14 Agustus 2020

GKI yang Terus Membarui Diri

(HUT ke 32 GKI)

Matius 16:13-20 dan Roma 12:1-8

Saat ini kita banyak membeli produk melalui toko online, kita mengenal istilah testimoni. Testimoni merupakan kesan dari pembeli setelah ia menggunakan/mengonsumsi sebuah produk. Bila banyak orang yang memberi testimoni yang baik terhadap produk yang hendak kita beli, maka kita akan yakin membeli barang/makanan tersebut. Tak berhenti di situ, setelah kita membelinya serta menggunakan/mengonsumsi produk tersebut muncul keinginan untuk membagikan testimoni bagi orang lain bahkan juga perubahan-perubahan tertentu yang mungkin dialami.  Bila produk itu baik, maka kita ingin pengalaman baik ini bisa dialami oleh orang lain. Sebaliknya, bila produk itu tidak baik, maka kita berharap orang lain tidak mengalami hal yang sama.

Hal ini menegaskan bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Sebab pengalaman memberi pengetahuan dan pemahaman yang melibatkan indera kita secara lebih utuh. Dalam kehidupan beriman, pengalaman hidup kita bersama dengan Tuhan dan sesama menolong kita untuk bisa memahami bahkan juga membuat kita dapat menyatakan iman percaya dalam laku hidup kita. Itulah hal yang sedang dialami Petrus dan murid-murid dalam Bacaan Injil kita hari ini. Setelah mereka memiliki pengalaman menjalani keseharian bersama Yesus, Yesus bertanya pada mereka tentang pengenalan mereka terhadap Sang Anak Manusia, diri Yesus.

Semula para murid menyampaikan pengetahuan, mereka menjawab Yesus: “ada yang mengatakan Yohanes Pembaptis, Elia, Yeremia, atau salah seorang Nabi.” Namun Yesus mengharap testimoni pribadi mereka atas pengalaman hidup bersama dengan Yesus. Karena itu Ia kembali bertanya: “tetapi apa katamu?” Barulah kemudian Petrus menyampaikan testimoninya: Maka jawab Simon Petrus: “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!”

Sampai di sini kita belajar bahwa Yesus ingin kita memiliki iman percaya kepada-Nya yang didasari oleh pengalaman hidup pribadi kita bersama dengan Dia dan sesama. Dalam diskusi dengan seorang rekan, kami menyadari bahwa testimoni orang lain memang dapat memberi kita kekayaan pemahaman tentang Tuhan yang kita percaya. Namun, iman percaya kita tidak bisa didasari dari tesitimoni orang lain, “katanya si A Tuhan itu baik”, “katanya si B Tuhan itu tak adil”, tidak bisa.

Sebab kita mesti ingat bahwa kisah Petrus berlanjut. Setelah ia menyatakan pengakuannya secara pribadi tentang siapa Yesus. Ia mendapat peneguhan dan kepercayaan dari Yesus. "Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga.  Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya.  Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga." (Mat. 16:17-19)

Demikian juga dengan kita, setelah kita mengaku iman percaya, kita mendapat kepercayaan dan tanggung jawab untuk hidup sebagai mitra Allah yang berkarya nyata bagi dunia. Hal ini tidak bisa kita pungkiri justru harus kita rayakan sebaik-baiknya dan sebijak-bijaknya.

Saat iman kita bersumber pada pengalaman bersama dengan Tuhan, maka yakinlah secara alamiah hidup kita secara menyeluruh akan mengalami pembaruan sebagai mitra Allah di duni. Roma 12:2 mengatakan “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”

Ayat ini menyadarkan keberadaan diri kita yang tidak serupa dengan dunia ini agar kita berani memperjuangkan kehidupan yang berbeda dengan apa yang dihidupi oleh dunia. Sebagai pribadi maupun gereja, jika di dalam dunia terjadi ketidakadilan, maka kita harus memperjuangkan keadilan. Jika di dalam dunia orang sibuk berselisih maka perjuangkan persatuan dan damai berlandas kasih, jika di dalam dunia terdapat penindasan maka perjuangkan pembebasan, jika di dalam dunia ketidaksetiaan menggoda perjuangkan kesetiaan. Roma 12 mengingatkan bahwa Tuhan ingin kita mensyukuri anugerah yang diberikan olehnya dengan memberikan bentuk terbaik dari diri kita/gereja kita.

Mengenai menjadi versi diri yang terbaik kita dapat belajar dari tokoh sepakbola hari ini bernama Cristiano Ronaldo. Ronaldo sering memenangkan gelar juara bersama dengan timnya maupun gelar individu sebagai pemain terbaik di Eropa dan dunia. Ketika belum mencapai prestasinya hari ini ia berusaha sebaik-baiknya untuk mencapai prestasi. Setelah menggapai prestasi-prestasinya ternyata kita tetap dapat melihat ia melatih diri sebaik-baiknya. Bahkan seringkali ia berlatih lebih keras dari rekan-rekan setimnya. Itu dilakukannya bukan semata-mata agar ia tetap menjadi yang terbaik, namun ia ingin terus memperbaiki rekor-rekor pribadinya sebab ia selalu ingin menjadi versi terbaik dari dirinya.

Bila Cristiano Ronaldo sebagai pribadi dan bersama timnya bisa melakukan dan merasakan pengalaman-pengalaman terbaik, mengapa kita tidak. Yakin dan percayalah ketika gereja senantiasa bersedia terus membarui diri menjadi versi terbaik bagi Tuhan dan dunia maka Tuhan pasti akan memberikan hikmat bagi kita untuk menemukan kreativitas dalam merawat persekutuan di tengah kebaruan dan keterbatasan hari ini.

Dan, ketika saudara dan saya sungguh ingin mempersembahakan yang berkenan dan yang terbaik, maka kita juga akan siap mengoreksi diri jika kemudian Tuhan bertanya “hei mengapa kamu sedang tidak menjadi versi terbaik? Mengapa keluargamu ambyar karena pelayanan/pekerjaanmu? Mengapa rekan kerjamu pergi saat kamu menolongnya mencapai target?” Bila itu yang terjadi, Gereja yang terus membarui diri akan memiliki keberanian untuk memilih merenung sejenak bahkan mungkin rehat dari aktivitas tertentu, bukan mutung tapi agar dapat kembali membagikan inspirasi yang mencerahkan, tenaga dan visi yang lebih murni, memberi hidup yang membawa sukacita dan damai bagi keluarga, rekan sepelayanan, rekan bisnis/kerja, dan dunia.

 

Selamat merayakan ulang tahun ke-32 persatuan Gereja Kristen Indonesia!

Selamat menjadi gereja yang terus menerus membarui diri di tengah kebaruan dan keterbatasan. Amin.

ypp

Selasa, 11 Agustus 2020

KASIH LINTAS BATAS

Minggu Biasa

Yesaya 56:1, 6-8 | Mazmur 67 | Roma 11:1-2, 29-32 | Matius 15:21-28


Hari Senin, tanggal 17 Agustus nanti, kita merayakan HUT ke-75 kemerdekaan Republik Indonesia. Negara kita ini dibangun di atas tanah yang terdiri dari beragam suku bangsa, budaya, bahasa, agama. Ada lebih dari 700 bahasa dan lebih dari 1000 suku bangsa yang mendiami Indonesia. Orang Indonesia tidak seragam; ada banyak kekhasan fisik, warna kulit, budaya, dan cara berpikir. Dalam konteks yang sangat beragam ini, jika kita hanya memikirkan kepentingan salah satu suku bangsa dan budaya, serta tidak mau membuka diri terhadap yang lain, maka kita akan menjadi orang-orang yang eksklusif. Indonesia bisa menjadi bangsa yang besar jika setiap kelompok masyarakat dari suku, budaya, bahasa dan agama yang berbeda itu dapat saling menerima dan menjalin relasi yang harmonis.

Sayangnya yang sering terjadi adalah justru di tengah kehidupan di negara yang penuh dengan perbedaan ini, kita justru menutup diri. Kita lebih senang berelasi dengan yang sesuku, seagama, atau dengan orang yang kita anggap bolo, lalu membatasi diri dengan orang lain di luar kelompok. Kita seringkali membangun sekat, mendirikan tembok, dan membuat batas dengan mereka yang berbeda. Wajar memang manusia membangun sekat jika ia merasa tidak aman, tidak nyaman, atau merasa terancam dengan yang di sekitarnya. Tetapi, kita perlu sadari juga bahwa sekat itu berpotensi membatasi ruang gerak kita. Sekat itu menujukkan bahwa kita hanya memikirkan diri sendiri, keamanan dan kenyamanan sendiri dan menyingkirkan orang lain. Tembok itu menjadi simbol bahwa kita melihat orang lain sebagai ancaman dan bukan sebagai kawan. Pembatas itu menjadi simbol kita menolak yang lain dan tidak mau berelasi dengan yang lain. Sekat, tembok, dan batas itu justru membuat kita semakin terasing dari sesama kita.

Dari bacaan Injil Minggu ini, kita bisa melihat bahwa Allah meruntuhkan sekat dan tembok yang memisahkan orang Yahudi dan non-Yahudi melalui tindakan Yesus kepada seorang Perempuan Kanaan. Saat itu Yesus sedang menyingkir ke daerah Tirus dan Sidon, daerah bangsa lain yang didiskriminasi oleh orang Yahudi. Di situ dia bertemu seorang perempuan Kanaan. Dalam Injil Markus disebut Perempuan Siro-Fenesia. Perempuan itu tidak disebutkan namanya, hanya Perempuan Kanaan. Ini menunjukkan bahwa ia mengalami diskriminasi ganda. Ia seorang perempuan –bukan laki-laki– dan seorang Kanaan –bukan Yahudi. Dalam masyarakat Yahudi, perempuan dianggap warga kelas dua yang lebih rendah daripada laki-laki, bahkan disamakan dengan barang. Selain itu, orang Yahudi juga menganggap bangsa lain di luar mereka najis dan kafir, sehingga bersikap diskriminatif.

Itulah yang membuat murid-murid Yesus mengusir perempuan itu ketika ia berteriak meminta tolong kepada Yesus. Setidaknya ada tiga alasan murid-murid mengusirnya. Pertama, mereka merasa terganggu dengan perempuan Kanaan yang berteriak-teriak seperti orang gila. Kedua, ia perempuan dan tidak pantas seroang perempuan berbicara di depan umum dengan laki-laki yang bukan keluarganya. Ketiga, ia bukan orang Yahudi. Yesus lalu berkata, “Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel.” Melihat Yesus merespons setelah murid-murid memintanya mengusir perempuan itu, tentulah ini merupakan jawaban Yesus kepada murid-murid-Nya. Melalui jawaban ini Yesus hendak menyindir dan mendidik murid-murid-Nya. Bagaimana caranya?

Setelah Yesus berkata demikian, perempuan itu mendekat dan menyembah Yesus sambil berkata, “Tuhan, tolonglah aku.” Yesus kemudian menjawab dengan jawaban kasar menggunakan terminologi yang sering dipakai orang Yahudi untuk menyebut bangsa lain, anjing. Perempuan ini menyadari keberadaannya bagi orang Yahudi, tetapi dia merasa bahwa Allah pasti menerima dia, karena itu ia menjawab dengan terminologi sama dengan yang Yesus gunakan. Dari sini terlihat bahwa Yesus mau menunjukkan bahwa Allah memang mengikat perjanjian dengan orang Yahudi, karena itu Yesus datang bagi orang Yahudi. Namun demikian, rahmat Allah melampaui batas Yahudi-nonYahudi. Yesus memosisikan diri sebagai orang Yahudi yang eksklusif yang kemudian belajar dari perempuan Kanaan itu untuk menyadari bahwa kasih Allah melampaui batas-batas bangsa, sehingga membuka hati-Nya untuk menolong perempuan itu. Tindakan Yesus ini menjadi sindiran sekaligus pelajaran kepada para murid. Yesus mau murid-murid pun belajar untuk menyadari bahwa Allah mengasihi semua orang, serta mau meninggalkan sikap eksklusif dan diskriminatif gaya Yahudi. Yesus mau agar murid-murid-Nya tidak membangun tembok yang memisahkan, tetapi membangun jembatan yang menghubungkan untuk menghadirkan kebaikan.

Saudara, di tengah konteks Indonesia yang penuh dengan keberagaman suku, budaya, bahasa, dan agama, kita pun perlu belajar. Mungkin selama ini kita membangun sekat yang memisahkan kita dengan orang lain. Kita tidak mau berelasi dengan masyarakat sekitar kita yang berbeda agama. Kita tidak mau berteman dengan orang yang berbeda suku. Kita mengeksklusifkan diri dan menolak orang lain yang bukan golongan kita. Mungkin juga kita sering pakai alasan bahwa kita menjadi korban yang didiskriminasi dan ditolak dalam masyarakat, lalu kita membangun tembok yang tinggi. Tapi ingatlah, bahwa Yesus menunjukkan kasih Allah yang tidak membeda-bedakan. Yesus mengajarkan untuk membangun jembatan, bukan membangun sekat. Yesus pun menerima perempuan Kanaan yang berbeda dengan-Nya, yang ditolak oleh murid-murid-Nya, dan disingkirkan oleh masyarakat-Nya.

Saudara, dalam suasana menjelang HUT Kemerdekaan RI, kita perlu menyadari bahwa kita hidup di negeri yang penuh warna, di tanah yang bhinneka. Jika kita hanya memikirkan diri sendiri, lalu membuat batas dan sekat, kita hanya akan semakin ditolak dan tersingkir dari masyarakat. Kita juga tidak bisa berdampak bagi sesama. Kita menjadi orang-orang eksklusif yang berpikiran sempit dan egois. Karena itu, sudah saatnya kita belajar meneladani Kristus yang menyatakan kasih Allah kepada semua, melintasi batas dan melampaui sekat. Kasih yang mau belajar untuk membuka diri dan berelasi dalam keharmonisan, terutama di tengah ke-bhinneka-an negara kita. Amin.

(ThN)

Selasa, 04 Agustus 2020

PERCAYALAH



(Minggu Biasa) 
1 Raja-raja 19 : 9 – 18; Mazmur 85 : 9 – 14; Roma 10 : 5 – 15; Matius 14 : 22 – 33

1 Raja-raja 19 berkisah tentang bagaimana Elia, seorang nabi Allah sedang bersembunyi di sebuah gua. Mengapa ia bersembunyi? Karena (ay. 1) Elia sudah membunuh semua nabi-nabi Izebel, ratu Yehuda yang percaya pada baal. Namun sesudah membunuh semua nabi-nabi Izebel yang menyesatkan bangsa Israel, Elia justru lari dan bersembunyi. Mengapa Elia harus lari dan bersembunyi padahal ia berhasil membunuh semua nabi-nabi Izebel yang menyesatkan bangsa Israel? Karena setelah Izebel mengetahui bahwa nabi-nabinya dibunuh, Izebel akan membuat nyawa Elia sama seperti nyawa salah seorang dari mereka (ay. 2). Itu artinya, Elia saat itu sedang berstatus “wanted” dicari, buronan untuk dibunuh. Itu sebabnya ia lari dan bersembunyi.
Dalam persembunyiannya, Tuhan bertanya tentang apa yang Elia lakukan? Dengan bangga atas apa yang telah ia lakukan, namun dalam rasa takut karena sedang bersembunyi, Elia katakan (ay. 10) “Aku bekerja segiat-giatnya bagi TUHAN, Allah semesta alam, karena orang Israel meninggalkan perjanjian-Mu, meruntuhkan mezbah-mezbah-Mu dan membunuh nabi-nabi-Mu dengan pedang; hanya aku seorang dirilah yang masih hidup dan mereka ingin mencabut nyawaku." Di tengah perasaan yang berkecamuk yang dialami oleh Elia, Allah justru katakan (ay. 11) “Keluarlah dan berdiri di atas gunung itu di hadapan TUHAN!" Maka TUHAN lalu!
Wah jika kita jadi Elia saat itu, percayakah kita? apakah kita akan melakukan apa yang Allah katakan? bisa jadi, kita ngga yakin. Bisa jadi, kita ngga percaya. Bisa jadi, kita ngga akan ke mana-mana dan memilih untuk tetap bersembunyi. Nampaknya demikian juga dengan Elia. Sekalipun ia adalah abdi Allah namun ia pun masih hanya berani sampai di luar gua alias berdiri di pintu gua, belum seperti yang dikatakan Allah, di atas gunung. (ay. 13). Namun sekalipun Elia tidak mengikuti kata Tuhan, tidak percaya pada kata-kata Tuhan, Tuhan tidak marah. Tuhan memahami ketakutan Elia dan keraguan Elia pada Tuhan. Namun Tuhan juga tidak tinggal diam. Ia punya beragam cara untuk meyakinkan Elia dan membuat Elia percaya pada penyertaanNya.
Salah satunya adalah Tuhan masih berfirman kepada Elia di ay. 15 – 17, “Pergilah, kembalilah ke jalanmu, melalui padang gurun ke Damsyik, dan setelah engkau sampai, engkau harus mengurapi Hazael menjadi raja atas Aram. Juga Yehu, cucu Nimsi, haruslah kauurapi menjadi raja atas Israel, dan Elisa bin Safat, dari Abel-Mehola, harus kauurapi menjadi nabi menggantikan engkau. Maka siapa yang terluput dari pedang Hazael akan dibunuh oleh Yehu; dan siapa yang terluput dari pedang Yehu akan dibunuh oleh Elisa.”
Ternyata ay. 15 – 17 ini menjadi cara Tuhan untuk mengingatkan Elia, supaya ia terus percaya pada Tuhan sekalipun dalam kondisi sulit. Mengapa? Karena Tuhan masih percaya pada Elia. Terbukti Tuhan masih mempercayakan tugas kenabian padanya. Bahwa ia akan mengurapi raja Israel yang baru menggantikan Ahab dan mengurapi Elisa sebagai nabi yang akan menggantikannya. Oleh karena Allah masih mempercayai tugas kenabian ini untuknya, maka seharusnya ia juga tetap percaya pada Allah dan penyertaanNya.
Bukan hanya Elia yang ketika dalam kondisi tertekan menjadi tidak percaya pada Tuhan. Dalam bacaan Injil, Matius 14 juga menceritakan bagaimana para murid yang menghadapi angin sakal dan diombang-ambingkan gelombang (ay. 24) juga menjadi sukar untuk percaya pada Yesus yang berjalan di atas air. Sekalipun mereka tahu kemahakuasaan Yesus dan sudah lihat Yesus berjalan di atas air (ay. 26). Namun mereka tetap teriak “Itu hantu!” lalu berteriak-teriak karena takut. Memang ada penafsir yang menafsirkan bahwa para murid sekalipun sudah melihat Yesus tapi malah berteriak hantu, karena ketakutan mereka yang berlebihan sehingga membuat mereka tidak percaya bahwa Yesus hadir dan datang di tengah badai malam itu.
Dari dua bacaan ini kita belajar bahwa percaya itu bukan karena kedekatan relasi saja. Percaya itu bukan hanya sekali atau dua kali saja, tetapi percaya itu harus dilatih, terus-menerus melalui berbagai pergumulan dan pengalaman hidup sehari-hari. Tanpa pergumulan dan pengalaman, kita jadi sukar untuk melatih percaya kita kepada Tuhan. Maka bersyukurlah jika ada pergumulan yang nantinya menjadi pengalaman lagi untuk melihat karya Tuhan dan percaya kepadaNya. 
Selain itu, kita juga belajar dari dua bacaan ini bahwa Tuhan itu amat sangat baik. Karena sekalipun Elia dan para murid sudah berkali-kali melihat dan mengalami kuasaNya namun dalam tekanan mereka bisa jadi ragu dan tidak percaya. Tetapi Tuhan tidak meninggalkan mereka. Ia malah selalu punya cara untuk membuat umatNya percaya pada penyertaanNya. Oleh karena itu, percayalah! Amin.
-mc-