Minggu I dalam Masa Prapaska
Kejadian 2:15-17; 3:1-7 | Mazmur 32 | Roma 5:12-19 | Matius 4:1-11
Setiap orang memiliki
identitas. Sering kali kita menentukan identitas berdasarkan relasi kita dengan
orang lain. Misalnya, seseorang disebut kakek karena ia memiliki cucu.
Seseorang menjadi ayah karena ia memiliki anak. Begitu pun sebaliknya,
seseorang tidak dapat disebut ayah jika ia tidak memiliki anak atau tidak dapat
disebut kakak jika ia tidak memiliki adik. Namun demikian semua orang pasti
memiliki identitas berdasarkan relasi dengan sesamanya. Ini kita sebut sebagai
identitas relasional.
Teks leksionari hari ini,
khususnya Kejadian dan Matius, juga berbicara soal identitas relasional. Ini
terkait dengan pencobaan yang dialami baik oleh Adam dan Hawa maupun oleh Yesus.
Pencobaan yang ada dalam kedua teks ini seringkali dikaitkan dengan pencobaan
atas iman seseorang. Bagaimana Adam dan
Hawa dicobai sehingga mereka berada pada persimpangan di mana mereka harus
memilih untuk taat kepada Allah atau mengikuti perkataan si ular. Atau tentang
Yesus yang dicobai imannya ketika ia berpuasa selama 40 hari di padang gurun.
Pencobaan terhadap Yesus serta Adam dan Hawa tidak hanya berbicara soal
bagaimana mereka harus memilih di antara dua pilihan atau berada pada
persimpangan, melainkan soal identitas relasional mereka dengan Allah. Karena
itu sekalipun tema yang diberikan adalah “Iman di Persimpangan Jalan”, yang
menjadi fokus dalam khotbah ini justru adalah soal identitas relasional.
Dalam Kejadian dikisahkan
tentang Adam dan Hawa yang setelah mereka diperintahkan oleh Allah untuk tidak
memakan buah pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat, digoda oleh ular untuk
memakan buah pohon tersebut. Sebenarnya si ular menggoda Adam dan Hawa dengan
perkataan yang tidak sepenuhnya salah. Ia berkata, “Sekali-kali kamu tidak akan
mati … pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi
seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.” Mengapa tidak sepenuhnya
salah? Secara fisik memang Adam dan Hawa tidak mati setelah memakan buah itu,
namun relasi mereka dengan Allah menjadi rusak. Mereka terpisah dari Allah,
Sang Sumber Kehidupan. Selain itu, mereka pun menjadi sama seperti Allah, namun
hanya dalam hal pengetahuan akan yang baik dan yang jahat. Di sinilah kelemahan
Adam dan Hawa, yang membuat mereka jatuh. Mereka ditawarkan oleh si ular sebuah
identitas yang baru yang membuat mereka ingin lebih dari apa yang seharusnya.
Alih-alih menjadi ciptaan Allah mereka ditawarkan untuk menjadi sama seperti
Allah, atau bahkan menjadi Allah sendiri. Di sini terlihat bahwa pencobaan ular
kepada Adam dan Hawa terkait soal identitas mereka, yakni soal identitas
relasional mereka dengan Allah. Dengan memilih untuk memakan buah itu mereka
seolah-olah mau menunjukkan bahwa mereka tidak membutuhkan Allah dan mereka
ingin menjadi Allah.
Di lain pihak, Yesus
dicobai bukan dengan cara ditawari sebuah identitas baru melainkan dengan
dipertanyakan identitas-Nya. Pada waktu
Yesus berpuasa selama 40 hari di padang gurun, Iblis mencobai-Nya dengan
menantang Dia untuk mengubah batu menjadi roti, menjatuhkan diri-Nya dari
bubungan Bait Allah, serta diberikan
seluruh kerajaan dunia jika Ia menyembah iblis. Kembali lagi, ini bukanlah soal
bagaimana iman Yesus diuji di persimpangan antara pilihan taat kepada Allah
atau taat kepada iblis; Bukan juga pencobaan soal kekuasaan, kekayaan, atau
kejayaan, melainkan soal identitas. Jika kita perhatikan, setiap pencobaan yang
diberikan oleh si iblis diawali dengan perkataan “Jika engkau Anak Allah.”
Dengan begini sebenarnya si iblis sedang mempertanyakan identitas Yesus sebagai
Anak Allah. Ia pun memengaruhi Yesus untuk meragukan identitas-Nya sebagai Anak
Allah.
Berbeda dengan Adam dan
Hawa yang justru tergoda untuk meragukan identitas mereka dan menginginkan
identitas yang lain, Yesus tidak terpengaruh dengan apa yang ditawarkan iblis.
Yesus pun tidak melawan perkataan iblis itu dengan tindakan yang frontal,
melainkan dengan tetap menunjukkan identitas-Nya sebagai Anak Allah yang tak
perlu dipertanyakan. Jika kita melihat teks yang mendahului perikop ini, kita
akan menemukan alasan Yesus tidak mudah dipengaruhi oleh iblis. Ketika Yesus
dibaptis, ada suara yang berkata, “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah
Aku berkenan.” Proklamasi Allah terhadap Yesus sebagai Anak Allah inilah yang
menguatkan Yesus untuk terus berada pada sebuah identitas relasional dengan
Allah. Jawaban-jawaban Yesus dengan demikian menunjukkan kebergantungan yang
utuh kepada Allah. Ketika ditantang untuk mengubah batu menjadi roti, Yesus
menyatakan bahwa manusia hidup juga dari firman Allah. Ketika ditantang untuk
menjatuhkan diri dari bubungan bait Allah, Yesus menjawab bahwa tidak pantas ia
mencobai Allah. Ketika dijanjikan kekuasaan dengan syarat menyembah iblis,
Yesus menyatakan bahwa hanya Allah saja yang patut disembah. Tanpa perlu
pembuktian dengan melakukan tantangan si iblis, Yesus sebenarnya sedang
menyatakan dengan tindakan dan perkataan-Nya bahwa Ia adalah Anak Allah yang
diperkenan. Ia tidak terpengaruh untuk membuktikan identitas-Nya atau meragukan
identitas-Nya sebagai Anak Allah.
Kita pun mungkin sering
mengalami pencobaan-pencobaan yang mempertanyakan identitas kita. Ada banyak
tawaran yang mengajak kita untuk memiliki identitas lain yang bukan diri kita
atau tawaran-tawaran untuk meragukan keberadaan diri kita. Pencobaan-pencobaan
itu datang bukan dari si iblis atau dari si ular, melainkan dari hal-hal yang
ada di sekitar kita. Setiap hari kita diperhadapkan dengan iklan yang berusaha
untuk membuat kita merasa kurang, merasa tidak aman, atau merasa tidak
berharga, yang membuat kita meragukan indentitas pemberian Allah kepada kita.
Contohnya iklan-iklan peninggi badan, pelangsing tubuh, pemutih kulit, pelurus
rambut, dan hal-hal lain yang membuat kita merasa diri tidak berharga. Atau
dengan tawaran-tawaran untuk memiliki mobil baru dengan rumah yang besar dan
mewah atau jabatan dan kekuasaan yang membuat kita ingin mendapatkan identitas
yang tidak kita miliki, sama seperti Adam dan Hawa yang ingin menjadi seperti
Allah. Iklan-iklan di sekeliling kita membuat kita meragukan identitas kita
dengan berkata bahawa kita kurang tinggi, kurang tampan/cantik, kurang pintar,
kurang terkenal, atau kurang kaya.
Meskipun demikian, kita
berlajar dari Yesus untuk memagang teguh identitas yang diberikan Bapa-Nya,
Anak Allah yang kekasih, sehingga ia tidak perlu lagi mempertanyakan dan
meragukan keberadaan diri-Nya. Dengan ini kita diajak untuk bersyukur dengan
keberadaan diri kita dan mengimani bahwa Allah mengasihi kita. Dalam pembaptisan-Nya,
Yesus diteguhkan sebagai Anak Allah yang kekasih, maka kita pun yang
dipersatukan dengan Kristus dalam kematian dan kebangkitan-Nya dirangkul
menjadi anak-anak Allah yang dikasihi-Nya. Inilah juga yang dikatakan Rasul
Paulus dalam surat Roma, “…jauh lebih besar lagi kasih karunia Allah dan
karunia-Nya, yang dilimpahkan-Nya atas semua orang karena satu orang, yaitu
Yesus Kristus.”
Jika identitas kita adalah
anak-anak Allah yang dikasihi dan diselamatkan, maka segala tawaran dan
pencobaan dunia ini tidak perlu memengaruhi siapa diri kita. Oleh karena itu,
kita diajak untuk bersyukur dengan keberadaan kita yang merupakan pemberian
Allah ini. Kita juga belajar untuk beriman pada kasih Allah yang merangkul kita
menjadi anak-anak-Nya. Dengan demikian, kita dapat menerima diri kita dengan
segala kelebihan, kekurangan, dan komplesitasnya, berdamai dengan diri sendiri
serta memberi dampak positif bagi lingkungan kita. (ThN)