Jumat, 28 Februari 2020

IMAN DI PERSIMPANGAN JALAN


Minggu I dalam Masa Prapaska

Kejadian 2:15-17; 3:1-7 | Mazmur 32 | Roma 5:12-19 | Matius 4:1-11


Setiap orang memiliki identitas. Sering kali kita menentukan identitas berdasarkan relasi kita dengan orang lain. Misalnya, seseorang disebut kakek karena ia memiliki cucu. Seseorang menjadi ayah karena ia memiliki anak. Begitu pun sebaliknya, seseorang tidak dapat disebut ayah jika ia tidak memiliki anak atau tidak dapat disebut kakak jika ia tidak memiliki adik. Namun demikian semua orang pasti memiliki identitas berdasarkan relasi dengan sesamanya. Ini kita sebut sebagai identitas relasional.

Teks leksionari hari ini, khususnya Kejadian dan Matius, juga berbicara soal identitas relasional. Ini terkait dengan pencobaan yang dialami baik oleh Adam dan Hawa maupun oleh Yesus. Pencobaan yang ada dalam kedua teks ini seringkali dikaitkan dengan pencobaan atas iman seseorang.  Bagaimana Adam dan Hawa dicobai sehingga mereka berada pada persimpangan di mana mereka harus memilih untuk taat kepada Allah atau mengikuti perkataan si ular. Atau tentang Yesus yang dicobai imannya ketika ia berpuasa selama 40 hari di padang gurun. Pencobaan terhadap Yesus serta Adam dan Hawa tidak hanya berbicara soal bagaimana mereka harus memilih di antara dua pilihan atau berada pada persimpangan, melainkan soal identitas relasional mereka dengan Allah. Karena itu sekalipun tema yang diberikan adalah “Iman di Persimpangan Jalan”, yang menjadi fokus dalam khotbah ini justru adalah soal identitas relasional.

Dalam Kejadian dikisahkan tentang Adam dan Hawa yang setelah mereka diperintahkan oleh Allah untuk tidak memakan buah pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat, digoda oleh ular untuk memakan buah pohon tersebut. Sebenarnya si ular menggoda Adam dan Hawa dengan perkataan yang tidak sepenuhnya salah. Ia berkata, “Sekali-kali kamu tidak akan mati … pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.” Mengapa tidak sepenuhnya salah? Secara fisik memang Adam dan Hawa tidak mati setelah memakan buah itu, namun relasi mereka dengan Allah menjadi rusak. Mereka terpisah dari Allah, Sang Sumber Kehidupan. Selain itu, mereka pun menjadi sama seperti Allah, namun hanya dalam hal pengetahuan akan yang baik dan yang jahat. Di sinilah kelemahan Adam dan Hawa, yang membuat mereka jatuh. Mereka ditawarkan oleh si ular sebuah identitas yang baru yang membuat mereka ingin lebih dari apa yang seharusnya. Alih-alih menjadi ciptaan Allah mereka ditawarkan untuk menjadi sama seperti Allah, atau bahkan menjadi Allah sendiri. Di sini terlihat bahwa pencobaan ular kepada Adam dan Hawa terkait soal identitas mereka, yakni soal identitas relasional mereka dengan Allah. Dengan memilih untuk memakan buah itu mereka seolah-olah mau menunjukkan bahwa mereka tidak membutuhkan Allah dan mereka ingin menjadi Allah.

Di lain pihak, Yesus dicobai bukan dengan cara ditawari sebuah identitas baru melainkan dengan dipertanyakan identitas-Nya.  Pada waktu Yesus berpuasa selama 40 hari di padang gurun, Iblis mencobai-Nya dengan menantang Dia untuk mengubah batu menjadi roti, menjatuhkan diri-Nya dari bubungan Bait Allah,  serta diberikan seluruh kerajaan dunia jika Ia menyembah iblis. Kembali lagi, ini bukanlah soal bagaimana iman Yesus diuji di persimpangan antara pilihan taat kepada Allah atau taat kepada iblis; Bukan juga pencobaan soal kekuasaan, kekayaan, atau kejayaan, melainkan soal identitas. Jika kita perhatikan, setiap pencobaan yang diberikan oleh si iblis diawali dengan perkataan “Jika engkau Anak Allah.” Dengan begini sebenarnya si iblis sedang mempertanyakan identitas Yesus sebagai Anak Allah. Ia pun memengaruhi Yesus untuk meragukan identitas-Nya sebagai Anak Allah.

Berbeda dengan Adam dan Hawa yang justru tergoda untuk meragukan identitas mereka dan menginginkan identitas yang lain, Yesus tidak terpengaruh dengan apa yang ditawarkan iblis. Yesus pun tidak melawan perkataan iblis itu dengan tindakan yang frontal, melainkan dengan tetap menunjukkan identitas-Nya sebagai Anak Allah yang tak perlu dipertanyakan. Jika kita melihat teks yang mendahului perikop ini, kita akan menemukan alasan Yesus tidak mudah dipengaruhi oleh iblis. Ketika Yesus dibaptis, ada suara yang berkata, “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.” Proklamasi Allah terhadap Yesus sebagai Anak Allah inilah yang menguatkan Yesus untuk terus berada pada sebuah identitas relasional dengan Allah. Jawaban-jawaban Yesus dengan demikian menunjukkan kebergantungan yang utuh kepada Allah. Ketika ditantang untuk mengubah batu menjadi roti, Yesus menyatakan bahwa manusia hidup juga dari firman Allah. Ketika ditantang untuk menjatuhkan diri dari bubungan bait Allah, Yesus menjawab bahwa tidak pantas ia mencobai Allah. Ketika dijanjikan kekuasaan dengan syarat menyembah iblis, Yesus menyatakan bahwa hanya Allah saja yang patut disembah. Tanpa perlu pembuktian dengan melakukan tantangan si iblis, Yesus sebenarnya sedang menyatakan dengan tindakan dan perkataan-Nya bahwa Ia adalah Anak Allah yang diperkenan. Ia tidak terpengaruh untuk membuktikan identitas-Nya atau meragukan identitas-Nya sebagai Anak Allah.

Kita pun mungkin sering mengalami pencobaan-pencobaan yang mempertanyakan identitas kita. Ada banyak tawaran yang mengajak kita untuk memiliki identitas lain yang bukan diri kita atau tawaran-tawaran untuk meragukan keberadaan diri kita. Pencobaan-pencobaan itu datang bukan dari si iblis atau dari si ular, melainkan dari hal-hal yang ada di sekitar kita. Setiap hari kita diperhadapkan dengan iklan yang berusaha untuk membuat kita merasa kurang, merasa tidak aman, atau merasa tidak berharga, yang membuat kita meragukan indentitas pemberian Allah kepada kita. Contohnya iklan-iklan peninggi badan, pelangsing tubuh, pemutih kulit, pelurus rambut, dan hal-hal lain yang membuat kita merasa diri tidak berharga. Atau dengan tawaran-tawaran untuk memiliki mobil baru dengan rumah yang besar dan mewah atau jabatan dan kekuasaan yang membuat kita ingin mendapatkan identitas yang tidak kita miliki, sama seperti Adam dan Hawa yang ingin menjadi seperti Allah. Iklan-iklan di sekeliling kita membuat kita meragukan identitas kita dengan berkata bahawa kita kurang tinggi, kurang tampan/cantik, kurang pintar, kurang terkenal, atau kurang kaya.

Meskipun demikian, kita berlajar dari Yesus untuk memagang teguh identitas yang diberikan Bapa-Nya, Anak Allah yang kekasih, sehingga ia tidak perlu lagi mempertanyakan dan meragukan keberadaan diri-Nya. Dengan ini kita diajak untuk bersyukur dengan keberadaan diri kita dan mengimani bahwa Allah mengasihi kita. Dalam pembaptisan-Nya, Yesus diteguhkan sebagai Anak Allah yang kekasih, maka kita pun yang dipersatukan dengan Kristus dalam kematian dan kebangkitan-Nya dirangkul menjadi anak-anak Allah yang dikasihi-Nya. Inilah juga yang dikatakan Rasul Paulus dalam surat Roma, “…jauh lebih besar lagi kasih karunia Allah dan karunia-Nya, yang dilimpahkan-Nya atas semua orang karena satu orang, yaitu Yesus Kristus.”

Jika identitas kita adalah anak-anak Allah yang dikasihi dan diselamatkan, maka segala tawaran dan pencobaan dunia ini tidak perlu memengaruhi siapa diri kita. Oleh karena itu, kita diajak untuk bersyukur dengan keberadaan kita yang merupakan pemberian Allah ini. Kita juga belajar untuk beriman pada kasih Allah yang merangkul kita menjadi anak-anak-Nya. Dengan demikian, kita dapat menerima diri kita dengan segala kelebihan, kekurangan, dan komplesitasnya, berdamai dengan diri sendiri serta memberi dampak positif bagi lingkungan kita. (ThN)

Jumat, 21 Februari 2020

TRANSFIGURASI DAN TRANSFORMASI

Minggu Transfigurasi

Keluaran 24:12-18 Mazmur 2 2 Petrus 1:16-21 Matius 17:1-9

Beberapa hari yang lalu rekan-rekan media bertanya kepada Menkes, dr.Terawan, “Apakah belum ditemukannya virus corona yang menginfeksi masyarakat Indonesia benar terjadi karena doa?” sebagaimana yang disampaikan Terawan sebelumnya.[1] Pertanyaan ini, tentu menjadi pertanyaan yang tak mudah untuk dijawab. Namun Menkes menjawab dengan tenang, Terawan mengatakan, "Kita ini negara yang berketuhanan Yang Maha Esa, apapun agamanya selama kita berpegang teguh pada Pancasila, doa itu menjadi hal yang harus utama. Maka namanya ora et labora (berdoa dan berusaha). Saya kira itu tetap ada bekerja sambil berdoa. Dan itu sebuah hal yang sangat mulia. Negara lain boleh protes biarin aja. Ini hak negara kita bahwa kita mengandalkan Yang Maha kuasa," Terawan kemudian menjelaskan langkah pemerintah terus menjaga 135 pintu masuk arus penumpang yang berasal dari sejumlah negara yang terdapat kasus virus corona. Baginya ada dua poin yang ingin ditegaskannya. “Satu, efisiensi harus dilakukan berdasarkan rasional ilmu kesehatan pada standar WHO. Yang kedua, yo berdoa. Nek (kalau) endak berdoa jangan coba-coba andalkan kekuatan sendiri," lanjutnya.

Dari pernyataan-pernyataan Menkes RI ini kita tahu bahwa ia beraksi bukan hanya karena ia harus melakukan aksi, tapi ia melakukan aksi sebagai seorang yang berketuhanan, seorang beriman yang tahu tujuan dari orang beriman adalah hidup berbagi berkat bagi sesama dengan tetap bergantung pada sang sumber berkat, yakni Tuhan sendiri. Sebagai seorang beriman ia melakukan tugasnya sebagai seorang ahli kesehatan, yang sadar tak bisa hanya mengandalkan diri sendiri. Sebab segala sesuatu yang ada dalam hidup ini berasal dari Allah, kita mampu melakukan ini-itu karena Allah, dan kita segala sesuatu bagi Allah. Kesadaran dr.Terawan ini adalah sebuah komitmen dari seorang umat Allah yang menghidupi imannya. Tak setiap orang mampu melakukan komitmen ini jika berada di posisi yang sama dengan dr.Terawan sebagai pejabat publik.

Ketika kita membaca bacaan Injil hari ini, kita menemukan kisah tentang Yesus dalam peristiwa transfigurasi. Peristiwa ini terjadi ketika Yesus sedang ada dalam perjalanan menuju Yerusalem. Di Yerusalem Yesus akan menderita, mati, disalibkan, dan bangkit untuk mentransformasi (membarui) dan menyelamatkan ciptaan. Karenanya, pergi ke Yerusalem adalah sebuah langkah yang tak mudah. Di tengah perjalanan itulah kisah transfigurasi terjadi. Dalam kisah transfigurasi ini tergambarkan Yesus, Musa dan Elia berdiskusi tentang tujuan pergi ke Yerusalem (bdk. Mat. 17:3, Luk. 9:31). Sebenarnya sangat mungkin diskusi ini menjadi berlarut-larut, agar tak segera masuk ke Yerusalem, agar Yesus tak segera menjalani penderitaan. Terlebih saat itu, Petrus, murid-Nya, menyampaikan “betapa bahagianya kami berada di tempat ini” (BIMK, enak sekali kita di sini) dan siap mendirikan kemah untuk cangkrukan / berdiskusi berlama-lama.

Petrus begitu menikmati suasana hangat dari peristiwa transfigurasi tersebut. Petrus ingin menikmati lebih lama, sebab ia merasa nyaman, bahagia, bangga dengan pengalamannya itu sehingga ia ingin mengabadikan momen itu lebih lama, tidak ingin pergi kemana-mana, bahkan mungkin membangun monumen transfigurasi, sehingga kelak ia ataupun orang lain dapat berlama-lama bernostalgia atau beromantika dengan kisah mempesona tersebut namun tak merubah/membarui/mentrasformasi apapun serta siapapun.

Petrus nampak lebih fokus mempertahankan kenyamanan itu dikala Yesus Kristus sedang sangat fokus pada tujuan utama-Nya hadir ke dunia, yakni menggenapi Karya Penyelamatan Allah, sebuah Visi besar yang harus Ia tuntaskan. Yesus memiliki kesadaran utuh bahwa Ia akan memasuki Yerusalem bukan hanya karena sebuah kewajiban, bukan hanya karena “..ya sudah seharusnya begitu..” ketika melakukan aksi masuk ke Yerusalem mengalami penderitaan dan kematian. Semua dilakukan-Nya demi sebuah visi besar menebus dan menyelamatkan dunia. Agar dunia, seluruh ciptaan, mengalami transformasi (pembaruan) hidup.

Ini ditegaskan oleh Suara Allah, yang di satu sisi mengkoreksi Petrus yang lebih suka mempertahankan zona nyamannya agar ia fokus ke Yerusalem. Setelah ini keadaan akan berubah, gurumu akan ditangkap, disiksa, dan mati. Namun, jangan goyah, sebab Ia adalah sungguh Anak Allah yang diutus Allah sejak semula. Agar kau (Petrus) tak menjadi goyah, “dengarkanlah Dia!” Jadikan suara dan laku Yesus sebagai kompas hidupmu. Ikutilah Ia yang senantiasa fokus pada Visi besar.

Tindakan Petrus dan teguran Allah ini hendaknya membawa kita untuk merenungkan kehidupan kita sebagai gereja, pribadi maupun komunal. Sejauh mana diri kita fokus pada kehendak Allah? Sejauh mana kita sudah melakukan panggilan Allah? Sejauh mana gereja dan diri kita melakukan aktivitas/aksi yang berangkat dari semangat mewujudkan visi kerajaan Allah? Ataukah selama ini kita masih sibuk menjadi aktivis diatas treadmill (mesin lari statis) dengan aktivitas / program yang banyak, menggunakan dana yang banyak, membuat kegiatan yang mempesona, namun tidak menghadirkan pembaruan hidup/ transformasi diri.

Kiranya langkah tegas Yesus untuk memasuki Yerusalem setelah peristiwa mempesona di atas gunung membuat kita: murid-murid-Nya, kita: gereja-Nya siap memulai karya-karya yang berjuang untuk membarui diri, membarui kelompok, membarui masyarakat, dan membarui dunia tempat tinggal kita. Bila pergumulan datang, kondisi di sekitar kita menjadi tak aman, ketika beban terasa menekan kuat, “dengarkanlah Dia!”, berdoalah pada-Nya, agar tiap usaha yang kita lakukan menghadapi hidup ini adalah perwujudan dari doa itu sendiri dan bukan sedang mengandalkan diri sendiri.

ypp


[1] Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Soal Doa Bantu Tangkal Virus Corona, Menkes: Negara Lain Protes, Biarin Aja", https://nasional.kompas.com/read/2020/02/17/14171691/soal-doa-bantu-tangkal-virus-corona-menkes-negara-lain-protes-biarin-aja.

Jumat, 14 Februari 2020

MELAMPAUI KATA, MENEMUKAN MAKNA

Minggu VI sesudah Epifani

Ulangan 30: 15-20 | Mazmur 119:1-8 | 1 Korintus 3:1-9 | Matius 5:21-37


Suatu pagi, seorang istri meminta suaminya untuk mengantarkannya ke pasar. Karena masih mengantuk, sang suami menolak. Sang istri tidak bisa menerima sehingga terjadi pertengkaran di antara mereka.
I   :   Nggak diantar nggak apa-apa, tapi awas ya kalau nanti minta jajanan dari pasar.
S  :   Ya nggak apa-apa. Orang ngantuk kok disuruh bangun. Ya pengertian sedikit lah.
Lalu pergilah si istri ke pasar naik becak. Di pasar, ia membeli pisang gorang kesukaannya dan suaminya. Sampai di rumah, sang istri sengaja lewat di depan suaminya sambil mengibas-ngibaskan pisang goreng hangat yang baru dibelinya. Suaminya yang mencium aroma lezat pisang goreng itu meminta untuk diberi sedikit. Si istri lalu menjawab:
I   :   Jangan mengingini milik sesamamu! (Ul. 5:21)
S  :   Ya. Tapi Tuhan juga berfirman: Mintalah maka akan diberikan kepadamu (Mat. 7:7)
I   :   Jika seseorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan (2Tes. 3:10)
S  :   Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu (Mat. 5:44)
Si istri yang mendengar itu menjadi luluh hatinya, kemudian memberikan pisang goreng itu kepada suaminya sambil berkata: Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi (Yoh. 8:11).

Ada ungakapan berkata: “Untuk segala sesuatu ada ayatnya.” Cerita di atas menunjukkan batapa ayat Kitab Suci digunakan untuk kepentingan sehingga terjadilah perang ayat. Terlihat juga ayat Kitab Suci digunakan dengan dilepaskan dari konteksnya dan dimaknai secara harfiah agar dapat mendukung apa yang ingin seseorang sampaikan, walaupun tidak sesuai dengan maksud dari ayat tersebut. Tanpa sadar, orang mulai terjebak pada literalisme, yakni memahami Kitab Suci secara literal atau harfiah. Literalisme yang seperti ini juga kemudian kemudian membawa kepada legalisme. Legalisme adalah menempatkan diri pada posisi teologis yang berpusat pada dogma, aturan, dan regulasi yang ketat, sehingga agama menjadi hukum yang mengatur boleh atau tidak boleh. Kitab Suci dibaca dan dimaknai secara harfiah sehingga apa yang tertulis dalam Kitab Suci harus diikuti sebagaimana ia tertulis.

Pada bagian Khotbah di Bukit yang menjadi bacaan Injil Minggu ini, Yesus menunjukkan perlawanan terhadap cara beragama dengan literalisme dan legalisme. Dalam tradisi agama Yahudi, Taurat yang seharusnya menjadi pengajaran dan pegangan hidup umat sebagai sebuah bangsa yang baru lepas dari penindasan dan baru membentuk identitasnya, lama-kelamaan ditambahkan dengan banyak peraturan mengenai hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh umat beragama. Peraturan-peraturan itu kemudian menjadi semakin banyak, mencapai ratusan aturan pokok dan ribuan aturan rinci. Yang kita lihat dalam Taurat di Perjanjian Lama masih belum seberapa. Lalu bagaimana Yesus bersikap terhadap Hukum Taurat? Sekilas Yesus seolah menentang dan tidak menaati Hukum Taurat. Akan tetapi, Yesus bukan menaati hukumnya secara harfiah, melainkan Ia menaati jiwanya. Bukan bunyinya, melainkan intinya. Ia menemukan makna melampaui kata-kata yang tertulis.

Dalam bacaan Injil kita, Yesus mengkritik pemahaman soal hukum tentang pembunuhan dengan berkata, “Kamu telah mendengar firman …: Jangan membunuh … Tetapi aku berkata kepadamu: setiap orang yang merah terhadap sauadaranya harus dihukum …” (Mat. 5:21-22). Para pemuka agama Yahudi menekankan untuk menaati hukum sebagaimana ia tertulis. Mereka tidak boleh membunuh orang. Akan tetapi inti dari hukum itu jauh lebih dalam. Tidak ada gunanya jika seseorang tidak pernah membunuh, namun hatinya penuh dengan amarah dan kebencian terhadap sesamanya. Yesus menarik hukum itu jauh ke inti masalahnya. Seseorang yang menyimpan amarah dan kebencian, apalagi itu kemudian bertumbuh subur, akan berbuah pada kekerasan dan pembunuhan. Bagi Yesus, membenci sama jahatnya dengan membunuh.

Soal perzinahan pun Yesus berkata “Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya” (Mat. 5:27-28). Bagi orang Yahudi, berzinah adalah berhubungan seks dengan istri atau suami orang lain. Namun, sekalipun orang-orang Yahudi menahan diri untuk tidak berhubungan seks dengan orang lain yang bukan pasangannya, beberapa selalu memendam hawa nafsu terhadap orang lain di dalam pikirannya. Pikiran yang dipenuhi nafsu dan terus disimpan membuat seseorang tidak mampu menahan diri dan menjadikan orang lain sebagai objek pemuas nafsu birahi. Pemerkosaan banyak terjadi bukan karena korban yang menggoda atau mengundang, tetapi karena pelakunaya berpikiran kotor dan tidak bisa menahan nafsu birahinya.

Yesus mengajak pendengar Khotbah di Bukit dan kita sekarang ini untuk dapat memahami teks melampaui kata-kata yang tertulis dan menemukan maknanya. Yesus memberi pemahaman agar terhindar dari literalisme dan legalisme. Sayangnya sekarang ini banyak orang Kristen yang menjadikan kata-kata Yesus ini sebagai hukum yang dimaknai secara literal dan legalistik. Misalnya Ada seorang lelaki yang dari jendela kamar kostnya dapat melihat tetangganya perempuan mandi dari celah yang terbuka. Dia sering dengan sengaja melihat keluar jendela untuk mengintap tetangganya itu mandi. Suatu saat ia membaca Alkitab pada bagian Matius 5:29, “… jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu …” Karena merasa berdosa ia lalu mencungkil matanya, sehingga harus dilarikan ke rumah sakit karena pendarahan hebat. Padahal Yesus berkata demikian dalam rangka memberi pemahaman bahwa perzinahan muncul dari pikiran kotor dan hawa nafsu.

Soal perceraian pun demikian. Apa yang Yesus bicarakan dalam Matius 5:31-32 adalah untuk menempatkan perempuan dalam kedudukan yang setara dengan laki-laki dalam kehidupan pernikahan. Pasalnya, perceraian saat itu dapat dilakukan dengan mudah, suami dapat menyatakan tidak lagi menjadi suami dengan alasan sederhana, misalnya karena tidak mempunyai anak. Surat cerai yang diperintahkan Musa, yang seharusnya membatasi tindakan sewenang-wenang suami terhadap istri, justru dijadikan alat untuk mengesahkan perceraian yang sewenang-wenang. Perkataan Yesus “kecuali karena zinah” bertujuan untuk menempatkan pernikahan sebagai hubungan setara, bukan untuk menjadikan pasangan sebagai objek pemuas nasfu. Namun demikian, sering kali orang Kristen menghakimi mereka yang bercerai dengan mengatakan mereka berzinah dan melanggar perintah Tuhan, tanpa memahami latar belakang dan pergumulan orang yang bercerai. Mereka tidak peduli bahwa si istri dipukuli sampai hampir mati oleh suaminya yang senang main perempuan dan tidak bertanggung jawab terhadap keluarga. Pengajaran Yesus untuk tidak bercerai dipahami secara literal dan legalistik, sehingga berujung pada penghakiman.

Yesus mengajak kita untuk menemukan makna yang melampaui kata-kata, menemukan jiwa di balik aturan dan pengajaran. Mari melihat kehidupan beragama kita saat ini. Bagimana kita memaknai Firman Allah dalam kehidupan sehari-hari? Apakah kita menjadikannya sebagai hukum tertulis yang baku dan kaku, sehingga kita menggunakannya untuk kepentingan dan penghakiman terhadap sesama? Atau kita mengejar esensi dari Firman Allah, yakni cinta kepada Allah dan cinta kepada sesama? Jangan sampai kita begitu menekankan apa yang tertulis dalam Kitab Suci secara harfiah dan sempit, sehingga kita kehilangan esensinya, namun carilah apa yang menjadi maksud kata-kata tersebut yang menjadi jiwa yang menginspirasinya, yakni cinta kasih kepada Allah dan sesama. (ThN)

Jumat, 07 Februari 2020

BERAGAMA DENGAN AKAL SEHAT


Yesaya 58 : 1 – 9; Mazmur 112 : 1 – 10; 1 Korintus 2 : 1 – 12; Matius 5 : 13 – 20
         
          Setiap manusia dianugerahkan akal oleh Tuhan untuk berpikir. Bahkan seorang filsuf Perancis bernama René Descartes mengatakan “Cogito ergo sum, yang artinya aku berpikir maka aku ada. Menurut Descartes, manusia wajib untuk berpikir karena hal itu membuktikan eksistensinya di dunia. Akal yang dianugerahkan Allah tentu bukan hanya digunakan untuk menghitung rumus matematika atau menghitung harga cabe yang seringkali turun naik, maupun memikirkan persoalan yang muncul sehari-hari. Akal juga dipakai ketika manusia beragama, yaitu untuk mengerti dan memahami ajaran agama yang dipercayai dan dianut. Namun tak selamanya manusia yang beragama dan berakal itu, bertindak dengan akal sehat - menurut kehendak Tuhan.
Yesaya 58 memperlihatkan, orang-orang Israel yang seringkali mencari Tuhan, berupaya mengenal jalan Tuhan, belajar akan hukum-hukum Tuhan dan suka sekali dekat pada Tuhan. Apa yang mereka lakukan ini tentu menambah pengetahuan akan Tuhan dan ajaran-Nya dalam kehidupan mereka. Tetapi, mereka yang berakal dan intensitas mereka mencari Tuhan tidak diragukan lagi ternyata dalam keseharian bukan hanya alim (berilmu, saleh) tetapi juga lalim (bertindak kejam, bengis, tidak menaruh kasihan dan tidak adil).
Karena sekalipun mereka berpuasa mereka saling berbantah, berkelahi, punya relasi yang timpang dengan sesama (bc. ay. 4). Bahkan mereka memberi kuk (beban berat) kepada sesama manusia, sehingga orang lain bukan menjadi manusia merdeka tapi manusia yang teraniaya (baik orang lapar, miskin, tidak punya rumah dan telanjang). Itu sebabnya, Tuhan tidak memperhatikan orang Israel sekalipun mereka alim, karena beragama bukan hanya berakal tetapi juga berakal sehat. Artinya, menghasilkan tindakan-tindakan yang sehat juga untuk sesama (bc. ay. 6 – 7).
Demikian juga dengan Mazmur 112, yang juga mengingatkan bahwa takut Tuhan dan suka pada perintah Tuhan itu baik. Supaya manusia punya hati yang teguh dan terus percaya dalam situasi hidup yang sulit. Tapi beragama tak hanya soal relasi saya/kita dengan Tuhan. Sama dengan kitab yesaya, pemazmur juga sepakat bahwa berelasi dengan Tuhan juga harus diwujudnyatakan dengan berelasi dengan sesama, yakni dengan membagi-bagikan kebajikan (sesuatu yang mendatangkan kebaikan, keselamatan, dsb) kepada orang miskin tanpa batasan waktu/selamanya.
Dalam Perjanjian Baru (PB) – Matius 5 : 13 - …, Yesus juga memberi pengajaran kepada para murid dan orang banyak pada masa itu. Yesus mengatakan “kamu adalah garam dunia.” Yesus tidak mengatakan “jadilah garam dunia.” Demikian juga “kamu adalah terang dunia.”  Jadi penekanan ajaran Yesus dalam khotbah di bukit adalah mengingatkan para pendengar (konteks masa lalu) dan pembaca (konteks masa kini) akan identitas kita. Setelah memahami siapa saya, maka tentu yang Yesus harapkan bukan hanya berakal (berilmu) tetapi juga mengaplikasikannya dalam keseharian.  
Garam memiliki rasa asin dan berfungsi untuk memberi rasa dan mengawetkan. Sementara terang, berfungsi untuk memperlihatkan sesuatu (cahaya, harapan, keselamatan) di tengah kegelapan. Jika kedua unsur dan identitas ini tidak dilakukan, maka garam dan terang (bc. kita)  tidak berfungsi dan tidak bermakna.  Untuk itulah penekanan Yesus bukan hanya tahu tapi juga mau melakukan firman-Nya.
          Kesediaan melakukan firman-Nya pun bukan didasari karena kebisaan, kehebatan dan kesanggupan kita sebagai manusia. Paulus dalam 1 Korintus 2 : 3 menyampaikan, ia (mewakili manusia) adalah manusia yang lemah, takut dan tidak berdaya. Untuk itu, dasar seseorang beragama dengan akal sehat adalah membiarkan Roh Allah yang bekerja dalam diri manusia. Bukan roh halus atau pun ego manusia. Karena jika bukan Allah yang menjadi dasar, maka hidup beragama akan kacau/tanpa arah/ambyar, dsb. Tapi jangan juga mengatasnamakan Allah untuk akal dan tindakan manusia yang keji. Karena Allah sudah memberi identitas baik untuk hidup umat-Nya dan berharap umat-Nya berani dan berupaya jadi garam dan terang Tuhan di tengah dunia.  Dari keseluruhan bacaan hari ini, setiap kita mau dinasehati akan 3 (tiga) hal:
1)   Teruslah memiliki relasi yang penuh rindu dan intim dengan Tuhan
2)   Ingatlah, bahwa beragama bukan hanya soal saya/kita dan Tuhan. Tetapi juga saya/kita dengan sesama. Karena kita hadir di dunia ini untuk jadi garam dan terang Tuhan bagi dunia yang membutuhkan
3)   Ingatlah bahwa beragama bukan hanya soal berakal (berilmu, memahami, berpikir) tetapi juga soal bagaimana kita mengaplikasikannya dalam keseharian.

Roh Kudus menolong kita semua. Amin
-mc-