Minggu Biasa 1
Yesaya 65 : 1-9 ǀ Mazmur
22 : 20-29 ǀ Galatia 3 : 23-29 ǀ Lukas 8 : 26-39
Beberapa tahun yang lalu, sebuah penelitian di
bidang pendidikan diadakan secara rahasia di sebuah sekolah di Inggris. Sekolah
itu memiliki dua kelas untuk setiap kelompok anak-anak berusia sepantar. Pada
akhir tahun ajaran diadakanlah sebuah ujian dalam rangka memilih anak-anak
untuk pembagian kelas pada tahun berikutnya. Akan tetapi, hasil ujian itu tak
pernah diumumkan. Dalam kerahasiaan, hanya kepala sekolah dan para pakar
psikologi saja yang mengetahui kenyataannya, anak-anak yang mendapat peringkat satu
di tempatkan di kelas yang sama dengan anak-anak yang mendapat peringkat empat
dan lima, delapan dan Sembilan, dua belas dan tiga belas, dan selanjutnya.
Sementara anak-anak yang mendapat peringkat dua dan tiga pada ujian tersebut
ditempatkan pada kelas yang sama dengan anak-anak yang mendapat peringkat enam
dan tujuh, sepuluh dan sebelas, dan selanjutnya. Dengan kata lain, berdasarkan
kinerja selama ujian, anak-anak dibagi rata menjadi dua kelas. Para guru pun
diseleksi berdasar kesetaraan kemampuan. Bahkan setiap ruang kelas diberi
fasilitas yang sama. Segala sesuatunya dibuat sesetara mungkin kecuali untuk
satu hal: satu disebut “kelas A” dan yang lain disebut “kelas B.”
Tetapi dibenak setiap orang, anak-anak dari
kelas A dianggap sebagai anak-anak yang cerdas, sedangkan anak-anak dari kelas
B dianggap tak begitu pandai. Beberapa orang tua dari anak-anak kelas A
mendapat kejutan yang menyenangkan karena anak-anaknya telah lulus dengan baik
dan menghadiahi mereka dengan bingkisan dan pujian. Sementara beberapa orang
tua dari anak-anak kelas B mengomeli dan menghukum anak-anaknya karena mereka
dianggao tak berusaha cukup keras selama ujian. Bahkan para guru pun mengajar
anak-anak kelas B dengan sikap yang
berbeda; dengan tidak berharap banyak dari mereka. Sepanjang tahun ajaran,
ilusi tersebut terus terpelihara dan berujung pada hasil ujian pada tahun
berikutnya. Anak-anak kelas A menunjukkan prestasi yang lebih baik daripada
anak-anak kelas B. Hal ini menunjukkan, seperti apa mereka diajar, seperti apa
mereka diperlakukan, seperti apa mereka dipercaya, demikianlah jadinya mereka. Melalui
kisah ini pula, sejatinya ada ajakan agar kita tidak terbiasa membuat perbedaan
sebagai batasan bahkan membentuk tembok yang memisahkan dan membuat satu dengan
yang lain terasing, tak saling peduli dan menjadi tak terjangkau.
Terlebih bagi kita hari ini yang memiliki
teladan kasih dari Allah yang tak membeda-bedakan manusia dari bentuk tubuhnya,
latar belakang suku dan budayanya, status sosialnya, maupun tingkat kemampuan
akademisnya. Allah berkarya menyeberang dan melampaui batasan yang dibuat
manusia. Dari Yesaya 65:1-9 kita
mendapati bahwa Allah menjawab seruan dari Yesaya, hamba-Nya, agar memulihkan
keadaan umat-Nya dengan adil. Allah menaruh perhatian terhadap umat-Nya yang
saat itu sedang tidak peduli pada Tuhan, terbukti tidak pernah mereka memanggil
nama-Nya, mereka memberontak dan menyakiti hati Allah dengan mempersembahkan
korban kepada allah lain (menjadi sinkretis), mereka menajiskan diri dengan
cara hidup yang menyimpang dari Taurat (ay.1-4). Terhadap mereka Allah siap
menakar upah untuk perbuatan-perbuatan mereka (ay. 6-7). Namun Allah juga siap
mengaruniakan kelepasan bagi umat-Nya yang penurut dan setia pada-Nya hingga
pada saatnya kondisi mereka pulih kembali. Siapa saja mereka? Orang saleh!
Sejak ayat 1 kita mendapati bahwa bukan hanya orang Israel saleh yang mendapat
penyertaan dan pemulihan, namun Allah pun berkenan ditemui (dijangkau) oleh
mereka bangsa non-Israel selama mereka menuruti kehendak-Nya. Dengan kata lain,
Allah bersedia menjangkau mereka yang semula nampak tak terjangkau karena
kebangsaan mereka.
Pesan ini sejalan dengan surat penggembalaan
Paulus kepada jemaat di Galatia yang sedang kebingungan. Pernyataan
penggembalaan Paulus berbicara mengenai penerima janji Allah. Siapa yang berhak
mendapatkan janji Allah? Orang-orang Yahudi menganggap bahwa hanya keturunan
Yahudi yang berhak mendapatkan janji Allah, sebab mereka keturunan langsung
Abraham dan melakukan Taurat. Keturunan Yunani, sekalipun telah hidup dalam
iman Kristen tetap dianggap tak berhak mendapatkan janji Allah.
Terhadap pandangan ini, Paulus mengatakan
bahwa hukum Taurat tidak ada kaitannya dengan janji keselamatan Allah. Janji
keselamatan telah ada sebelum hukum Taurat ada. “…tidak seorangpun dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat, tetapi
hanya oleh karena iman dalam Kristus Yesus” (2:16). Orang dibenarkan dan
diselamatkkan hanya oleh karena iman, mereka yang hidup dari iman, mereka
itulah anak-anak Abraham (ay.7). Setiap orang yang mengikut Kristus, walaupun
bukan keturunan Yahudi, berhak menerima janji keselamatan (Galatia 3:28-29).
Selain itu, Allah juga melampaui
pembatasan-pembatasan yang lain. Saat kebanyakan orang menjadi abai, menjauhi, atau
tak sanggup menjangkau mereka yang sedang dalam keadaan yang “kurang waras”
(bandingkan dengan istilah pada Lukas 8:35). Yesus bersedia dijumpai dan
menjangkau seorang yang sedang “kurang waras” sebab dirasuk oleh setan dalam
jumlah yang sangat banyak (istilah yang digunakan “legion”, satu legion =
pasukan yang terdiri atas tiga ribu sampai enam ribu orang). Sebab bagi Yesus,
setiap orang berharga. Yesus mau menyadarkan betapa bernilainya hidup kita
manusia. Untuk seorang yang “kurang waras” saja, Yesus rela mengorbankan dua ribu
ekor babi, apalagi bagi orang yang waras. Pertolongan Yesus memiliki makna
bahwa Ia ingin mengentaskan orang dari ketidaklayakannya dan membebaskan orang
dari jurang maut. Yesus pun menjangkau kita, menyelamatkan, dan membebaskan
kita agar kita kembali menjalani hidup dengan bermakna.
Lalu apa respon yang harusnya dimiliki oleh
setiap orang yang telah menerima pertolongan-Nya? Saat melihat kembali kejadian
setelah orang Gerasa itu pulih, Yesus menyuruhnya pulang ke rumah menceritakan
segala sesuatu yang telah diperbuat Allah kepadanya. Kalau diawal tadi kita
sepakat, bahwa seperti apa mereka diajar, seperti apa mereka diperlakukan,
seperti apa mereka dipercaya, demikianlah jadinya mereka. Maka seperti kita
telah dijangkau oleh-Nya, Yesus pun memanggil setiap kita, untuk bercerita dan
meneladan segala kehendak dan pekerjaan baik-Nya, menjangkau yang tak
terjangkau sekalipun. Sebagaimana kisah berikut ini :
Suatu hari ketika
sedang menunggang kuda, Fransiskus berpapasan dengan seorang kusta. Biasanya ia
sangat jijik dengan orang kusta, bahkan jika mungkin dia akan berbalik
menghindar. Tetapi hari itu, ia melakuka hal yang luar biasa. Daya kekuatan
Ilahi telah menuntunnya. Ia mendekati orang kusta itu, kemudian ia turun dari
kuda dan memeluk serta mencium si kusta.
Beberapa tahun
kemudian, dalam keadaan sekarat, Fransiskus mengingat kembali peristiwa yang
sangat mengubahkan hidupnya itu. “ketika aku dalam dosa, aku merasa amat muak
melihat orang kusta. Akan tetapi Tuhan sendiri menghantar aku ke tengah mereka
dan aku merawat mereka penuh kasihan. Setelah aku meninggalkan mereka, apa yang
tadinya terasa memuakkan berubah bagiku menajdi kemanisan jiwa dan badan; dan
sesudahnya aku sebentar menetap, lalu aku meninggal dunia.”
Sumber:
Ajahn
Brahm, Anak-anak Kelas B, dalam “Si
Cacing dan Kotoran Kesayangannya”, 2010
ypp.