Minggu, 23 Juni 2019

Menjangkau yang tak Terjangkau


Minggu Biasa 1

Yesaya 65 : 1-9 ǀ Mazmur 22 : 20-29 ǀ Galatia 3 : 23-29 ǀ Lukas 8 : 26-39


Beberapa tahun yang lalu, sebuah penelitian di bidang pendidikan diadakan secara rahasia di sebuah sekolah di Inggris. Sekolah itu memiliki dua kelas untuk setiap kelompok anak-anak berusia sepantar. Pada akhir tahun ajaran diadakanlah sebuah ujian dalam rangka memilih anak-anak untuk pembagian kelas pada tahun berikutnya. Akan tetapi, hasil ujian itu tak pernah diumumkan. Dalam kerahasiaan, hanya kepala sekolah dan para pakar psikologi saja yang mengetahui kenyataannya, anak-anak yang mendapat peringkat satu di tempatkan di kelas yang sama dengan anak-anak yang mendapat peringkat empat dan lima, delapan dan Sembilan, dua belas dan tiga belas, dan selanjutnya. Sementara anak-anak yang mendapat peringkat dua dan tiga pada ujian tersebut ditempatkan pada kelas yang sama dengan anak-anak yang mendapat peringkat enam dan tujuh, sepuluh dan sebelas, dan selanjutnya. Dengan kata lain, berdasarkan kinerja selama ujian, anak-anak dibagi rata menjadi dua kelas. Para guru pun diseleksi berdasar kesetaraan kemampuan. Bahkan setiap ruang kelas diberi fasilitas yang sama. Segala sesuatunya dibuat sesetara mungkin kecuali untuk satu hal: satu disebut “kelas A” dan yang lain disebut “kelas B.”

Tetapi dibenak setiap orang, anak-anak dari kelas A dianggap sebagai anak-anak yang cerdas, sedangkan anak-anak dari kelas B dianggap tak begitu pandai. Beberapa orang tua dari anak-anak kelas A mendapat kejutan yang menyenangkan karena anak-anaknya telah lulus dengan baik dan menghadiahi mereka dengan bingkisan dan pujian. Sementara beberapa orang tua dari anak-anak kelas B mengomeli dan menghukum anak-anaknya karena mereka dianggao tak berusaha cukup keras selama ujian. Bahkan para guru pun mengajar anak-anak kelas  B dengan sikap yang berbeda; dengan tidak berharap banyak dari mereka. Sepanjang tahun ajaran, ilusi tersebut terus terpelihara dan berujung pada hasil ujian pada tahun berikutnya. Anak-anak kelas A menunjukkan prestasi yang lebih baik daripada anak-anak kelas B. Hal ini menunjukkan, seperti apa mereka diajar, seperti apa mereka diperlakukan, seperti apa mereka dipercaya, demikianlah jadinya mereka. Melalui kisah ini pula, sejatinya ada ajakan agar kita tidak terbiasa membuat perbedaan sebagai batasan bahkan membentuk tembok yang memisahkan dan membuat satu dengan yang lain terasing, tak saling peduli dan menjadi tak terjangkau.

Terlebih bagi kita hari ini yang memiliki teladan kasih dari Allah yang tak membeda-bedakan manusia dari bentuk tubuhnya, latar belakang suku dan budayanya, status sosialnya, maupun tingkat kemampuan akademisnya. Allah berkarya menyeberang dan melampaui batasan yang dibuat manusia. Dari Yesaya 65:1-9 kita mendapati bahwa Allah menjawab seruan dari Yesaya, hamba-Nya, agar memulihkan keadaan umat-Nya dengan adil. Allah menaruh perhatian terhadap umat-Nya yang saat itu sedang tidak peduli pada Tuhan, terbukti tidak pernah mereka memanggil nama-Nya, mereka memberontak dan menyakiti hati Allah dengan mempersembahkan korban kepada allah lain (menjadi sinkretis), mereka menajiskan diri dengan cara hidup yang menyimpang dari Taurat (ay.1-4). Terhadap mereka Allah siap menakar upah untuk perbuatan-perbuatan mereka (ay. 6-7). Namun Allah juga siap mengaruniakan kelepasan bagi umat-Nya yang penurut dan setia pada-Nya hingga pada saatnya kondisi mereka pulih kembali. Siapa saja mereka? Orang saleh! Sejak ayat 1 kita mendapati bahwa bukan hanya orang Israel saleh yang mendapat penyertaan dan pemulihan, namun Allah pun berkenan ditemui (dijangkau) oleh mereka bangsa non-Israel selama mereka menuruti kehendak-Nya. Dengan kata lain, Allah bersedia menjangkau mereka yang semula nampak tak terjangkau karena kebangsaan mereka.

Pesan ini sejalan dengan surat penggembalaan Paulus kepada jemaat di Galatia yang sedang kebingungan. Pernyataan penggembalaan Paulus berbicara mengenai penerima janji Allah. Siapa yang berhak mendapatkan janji Allah? Orang-orang Yahudi menganggap bahwa hanya keturunan Yahudi yang berhak mendapatkan janji Allah, sebab mereka keturunan langsung Abraham dan melakukan Taurat. Keturunan Yunani, sekalipun telah hidup dalam iman Kristen tetap dianggap tak berhak mendapatkan janji Allah.

Terhadap pandangan ini, Paulus mengatakan bahwa hukum Taurat tidak ada kaitannya dengan janji keselamatan Allah. Janji keselamatan telah ada sebelum hukum Taurat ada. “…tidak seorangpun dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam Kristus Yesus” (2:16). Orang dibenarkan dan diselamatkkan hanya oleh karena iman, mereka yang hidup dari iman, mereka itulah anak-anak Abraham (ay.7). Setiap orang yang mengikut Kristus, walaupun bukan keturunan Yahudi, berhak menerima janji keselamatan (Galatia 3:28-29).

Selain itu, Allah juga melampaui pembatasan-pembatasan yang lain. Saat kebanyakan orang menjadi abai, menjauhi, atau tak sanggup menjangkau mereka yang sedang dalam keadaan yang “kurang waras” (bandingkan dengan istilah pada Lukas 8:35). Yesus bersedia dijumpai dan menjangkau seorang yang sedang “kurang waras” sebab dirasuk oleh setan dalam jumlah yang sangat banyak (istilah yang digunakan “legion”, satu legion = pasukan yang terdiri atas tiga ribu sampai enam ribu orang). Sebab bagi Yesus, setiap orang berharga. Yesus mau menyadarkan betapa bernilainya hidup kita manusia. Untuk seorang yang “kurang waras” saja, Yesus rela mengorbankan dua ribu ekor babi, apalagi bagi orang yang waras. Pertolongan Yesus memiliki makna bahwa Ia ingin mengentaskan orang dari ketidaklayakannya dan membebaskan orang dari jurang maut. Yesus pun menjangkau kita, menyelamatkan, dan membebaskan kita agar kita kembali menjalani hidup dengan bermakna.

Lalu apa respon yang harusnya dimiliki oleh setiap orang yang telah menerima pertolongan-Nya? Saat melihat kembali kejadian setelah orang Gerasa itu pulih, Yesus menyuruhnya pulang ke rumah menceritakan segala sesuatu yang telah diperbuat Allah kepadanya. Kalau diawal tadi kita sepakat, bahwa seperti apa mereka diajar, seperti apa mereka diperlakukan, seperti apa mereka dipercaya, demikianlah jadinya mereka. Maka seperti kita telah dijangkau oleh-Nya, Yesus pun memanggil setiap kita, untuk bercerita dan meneladan segala kehendak dan pekerjaan baik-Nya, menjangkau yang tak terjangkau sekalipun. Sebagaimana kisah berikut ini :
Suatu hari ketika sedang menunggang kuda, Fransiskus berpapasan dengan seorang kusta. Biasanya ia sangat jijik dengan orang kusta, bahkan jika mungkin dia akan berbalik menghindar. Tetapi hari itu, ia melakuka hal yang luar biasa. Daya kekuatan Ilahi telah menuntunnya. Ia mendekati orang kusta itu, kemudian ia turun dari kuda dan memeluk serta mencium si kusta.
           
Beberapa tahun kemudian, dalam keadaan sekarat, Fransiskus mengingat kembali peristiwa yang sangat mengubahkan hidupnya itu. “ketika aku dalam dosa, aku merasa amat muak melihat orang kusta. Akan tetapi Tuhan sendiri menghantar aku ke tengah mereka dan aku merawat mereka penuh kasihan. Setelah aku meninggalkan mereka, apa yang tadinya terasa memuakkan berubah bagiku menajdi kemanisan jiwa dan badan; dan sesudahnya aku sebentar menetap, lalu aku meninggal dunia.”


Sumber:
Ajahn Brahm, Anak-anak Kelas B, dalam “Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya”, 2010

ypp.


Sabtu, 15 Juni 2019

Bersahabat dan Partisipatif dalam Cinta Kasih

| Minggu Trinitas |

|Amsal 8:1-4, 22-31| Mazmur 8 | Roma 5:1-5 | Yohanes 16:12-15 |


Setelah melalui rangkaian Masa Raya Paska hingga Pentakosta, saat ini kita mengawali masa biasa dengan merayakan Minggu Trinitas. Gereja menempatkan salah satu Minggu dalam tahun gerejawi untuk merayakan dan menegaskan dasar iman kita, Allah Trinitas, fokus dan sumber segala kehidupan. Trinitas adalah doktrin Kristen yang paling mendasar namun juga paling dihindari. Banyak orang Kristen yang merasa belum mampu memahami Trinitas secara utuh, apalagi menjelaskannya. Walaupun demikian, Catherine LaCugna, seorang teolog feminis Katolik, menyatakan yang berlainan dengan ini, yakni bahwa doktrin Trinitas adalah doktrin yang paling praktis dalam kekristenan. Semua hal bisa didekati dan ditelaah dari sudut pandang trinitarian. Trinitas di sini menjadi lensa iman, yang melaluinya seluruh dimensi kehidupan dapat dipandang dan dipahami secara lebih jernih.

Banyak teolog yang menggunakan pendekatan trinitarian untuk mengkaji bidang yang mereka tekuni, misalnya John Zizioulas dan Miroslav Volf yang menggunakan pendekatan trinitas untuk studi eklesiologi, Jürgen Moltmann untuk eskatologi, Leonardo Boff untuk teologi pembebasan, serta Elizabeth Johnson dan LaCugna sendiri dalam teologi feminis. Tak ketinggalan teolog Indonesia, Joas Adiprasetya, pun menggunakan pendekatan trinitarian untuk menelaah teologi agama-agama. Konfesi GKI 2014 pun disusun berdasarkan pendekatan trinitarian. Butir pertama Konfesi GKI menyatakan “GKI menyadari bahwa keberadaannya di dunia dalam konteks Indonesia tidak lepas dari Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus dalam persekutuan kasih-Nya yang akrab dan dalam karya penciptaan-Nya, pemeliharaan-Nya, penyelamatan-Nya, dan pembaruan-Nya.” GKI menyadari dirinya sebagai sebuah persekutuan yang hadir di tengah dunia tidak lepas dari persekutuan kasih yang akrab Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus.

Trinitas sering dijelaskan dengan konsep perikhoresis, yakni sebuah konsep yang digunakan bapa-bapa gereja abad ke-2 sampai ke-4 untuk menjelaskan Kristus, dan  kemudian juga untuk menjelaskan Allah. Perikhoresis adalah persekutuan cinta kasih tiga pribadi (person) ilahi yang sangat akrab sedemikian hingga ketiganya saling masuk, saling rangkul dan saling memberi ruang. Ketiga pribadi itu sekaligus sama-sama ada dan sama-sama kekal, tidak terpisah dan saling terkait. Ketiga pribadi ini dalam diri-Nya dan sejak kekekalan terikat satu sama lain, selalu ada bersama, dan tidak pernah ada secara terpisah. Tidak ada pribadi yang ada pada dirinya sendiri tanpa relasi dengan yang lain; setiap pribadi terkait pada yang lain, ada dari yang lain, serta mengandung yang lain; ada kesalingterkaitan antara pribadi-pribadi dalam persekutuan.

Oleh karena itulah, perikhoresis juga sering digambarkan sebagai tarian ilahi, dari kata peri (mengelilingi, menyekitari, berputar) dan khorein (mengisi, memberi ruang); khora (ruang, rahim) atau khoreuo (tarian). Sebenarnya memang tidak ada ilustrasi yang dapat menjelaskan Trinitas secara utuh. Namun dengan konsep perikhoresis, saya seringkali menjelaskannya menggunakan mainan anak-anak, fidget spinner. Spiner memiliki tiga sisi yang ketiganya harus berputar besama-sama untuk bekerja. Ketiganya berputar sebagai satu kesatuan, sehingga kita tidak melihatnya sebagai tiga spinner, melainkan satu spinner. Allah pun demikian, Ia terur berputar dan menari sebagai kesatuan yang tidak terpisahkan. Ilustrasi-ilutrasi yang sering digunakan biasanya gagal menjelaskan Trinitas. Misalnya seorang bapak dengan tiga fungsi sebagai bapak, guru, dan ketua RT; atau matahari dengan benda, cahaya, panasnya. Ilustrasi-ilustrasi itu justru tidak memperlihatkan relasi cinta kasih Bapa, Anak, dan Roh Kudus.



Relasi cinta kasih Allah Trinitas ini terlihat juga dalam teks Injil hari ini Yohanes 16:15, “segala sesuatu yang Bapa punya, adalah Aku punya; sebab itu Aku berkata: Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterimanya dari pada-Ku."  Memang tidak secara eksplisit terlihat relasi itu, namun jika kita cermati frasa “segala sesuatu yang Bapa punya, adalah Aku punya” tentu kita melihat bahwa ketiga Pribadi itu menyatu sedemikian rupa dalam ikatan dan karya-Nya. Pada ayat 12 Yesus juga mengatakan “sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diri-Nya sendiri.” Ini menunjukkan bahwa Roh Kudus tidak berkarya sendiri, melainkan bersama-sama Bapa dan Anak. Dengan relasi itu, kita dapat melihat Bapa dinyatakan dalam karya Kristus, dan Bapa serta Anak dinyatakan dalam karya Roh Kudus. Dalam konteks pembicaraan Yesus tentang Sang Penghibur, di sini menjadi jelas bahwa melalui Roh Kudus, para murid-Nya mampu mengalami Kristus dan Bapa.

Allah Trinitas adalah Allah yang satu dalam keberagaman. Ia bukan satu Allah (monoteis), bukan juga tiga Allah (triteis) tetapi Allah yang tiga pribadi dalam satu hakikat (trinitas). Tiga pribadi Bapa, Anak, dan Roh Kudus merupakan pribadi-pribadi dengan karakteristik partikular-Nya. Sang Bapa adalah sumber dengan karakteristik yang “memperanakan,” Sang Anak “diperanakan,” dan Sang Roh Kudus “keluar dari.” Ketiga pribadi ini berbeda dalam karakteristik partikular tetapi berada dalam satu hakikat, yakni Allah. Meskipun berbeda, tidak ada satu pribadi yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada pribadi lain, ketiganya setara, tidak bercampur, tetapi juga tidak terpecah-pecah dan tidak terpisah-pisah. Perbedaan karakteristik partikular ini bukan berarti bahwa ketiganya berkarya secara terpisah-pisah. Seperti yang dikatakan Yesus sendiri, Roh Kudus mengatakan apa yang dikatakan Yesus dan Bapa, Yesus pun melakukan apa yang menjadi kehendak Bapa. Karya Kristus ke dalam dunia merupakan karya Allah Trinitas, begitu pula Roh Kudus berkarya sebagai karya Allah Trinitas.

Dalam karya-Nya ke dalam dunia, Allah Trinitas membuka ruang bagi seluruh ciptaan untuk berpartisipasi dalam persekutuan ilahi, dalam gerak Allah. Dalam Roma 5:1-5 dikatakan bahwa di dalam Kristus manusia dapat masuk dalam kasih karunia Allah dan kasih karunia Allah itu dicurahkan dalam hati manusia oleh Roh Kudus. Dari sini kita dapat memahami tarian cinta kasih Allah yang melibatkan manusia. Allah mengundang manusia melalui kasih karunia-Nya untuk masuk dalam tarian agung itu. Kasih karunia Allah dalam Kristus yang kita terima melalui karya Roh Kudus menarik kita ke dalam persekutuan cinta kasih Allah itu untuk turut berpartisipasi dalam karya cinta kasih Allah ke dalam dunia.

Dari pemaparan yang sangat singkat mengenai Trinitas di atas, ada beberapa prinsip yang dapat kita tarik dalam kehidupan kita sebagai gereja. Pertama, Allah Trinitas adalah persekutuan cinta kasih kekal Bapa, Anak, dan Roh Kudus yang relasional. Allah berkarya ke dalam dunia sebagai kesatuan utuh yang tidak terpisah-pisah. Kedua, tidak ada pribadi yang lebih baik atau lebih tinggi daripada yang lain, setiap pribadi adalah setara dalam persekutuan cinta kasih. Ketiga, tiga pribadi ilahi memiliki karakteristik partikular yang berbeda-beda, namun selalu berkarya dalam kesatuan yang tidak terpisak-pisah. Tidak ada satu pribadi yang berkarya tanpa yang lain. Keempat, persekutuan Bapa, Anak, dan Roh Kudus menarik dan melibatkan kita untuk turut menjalankan karya cinta kasih Allah ke dunia.

Dari prinsip-prinsip itu kita dapat memandang gereja sebagai persekutuan para sahabat dengan relasi cinta kasih dalam kesetaraan yang berpartisipasi dalam Allah Trinitas. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah di dalam persekutuan itu, semuanya setara. Gereja pun berisi berbagi manca manusia dengan segala karakteristik dan identitas yang berbeda-beda. Namun dalam kepelbagaian itu, gereja sebagai persekutuan terus berkarya sebagai partisipasi dalam karya Allah. Partisipasi ini dilakukan dengan melakukan misi Allah ke dalam dunia, bukan misi pribadi atau kelompok. Misi dan karya Allah adalah merangkul seluruh ciptaan ke dalam persekutuan dengan Allah. Gereja turut berpartisipasi di dalamnya dengan bersama-sama memberdayakan yang lemah, membebaskan yang tertindas, memulihkan yang terluka, mendamaikan yang terpecah, menyatukan seluruh ciptaan, dan menyatukan seluruh ciptaan dengan Allah. (ThN)

Sabtu, 08 Juni 2019

ROH KUDUS MEMBERI HIDUP BARU KEPADA BUMI

Minggu Pentakosta
Kis. 2 : 1 – 21; Mzm. 104 : 24 – 35; Rm. 8 : 14 – 17; Yoh. 14 : 8 – 17, 25 – 27



Ketika hari Pentakosta (Yun. Pentekonta: ke-50), semua orang percaya berkumpul di satu tempat, yaitu di Yerusalem (Kis. 2 : 5). Untuk apa orang percaya berkumpul  di Yerusalem, sementara Roh Kudus belum turun? Rupanya Pentakosta yang mereka rayakan adalah pentakosta  yang tercatat dalam Perjanjian Lama (PL). Pentakosta ini adalah salah 1 hari raya yang ditetapkan Tuhan untuk terus diingat, dicatat dalam tarikh (kalender Yahudi) dan dirayakan orang Israel (bdk. Kel. 34 : 22; Im. 23 : 15 – 22; Bil. 28 : 26 – 31; Ul. 16: 9 – 17).
          Sehingga, Pentakosta yang dirayakan oleh orang-orang percaya itu untuk mengingat pesan Tuhan dalam PL, yaitu sebagai momen mengucap syukur atas kebaikan Tuhan melalui hasil bumi, pemberian persembahan syukur korban sajian maupun hasil panen (bumi) kepada Tuhan, dan sebagai pesan yang terus dilakukan selamanya turun-temurun.
          Namun demikian, dalam Kis. 2 menceritakan adanya makna baru hari Pentakosta. Di 1 sisi Pentakosta sebagai perayaan syukur dan persembahan hasil bumi seperti perintah Tuhan dalam PL. Di sisi lain, sebagai hari turunnya Roh Kudus. Apa dampak turunnya Roh Kudus?
1)  Yesus bukan PHP (pemberi harapan palsu tapi pemberi harapan pasti). Yesus pernah berjanji dalam bacaan Injil Yoh. 14 : 16 – 17

“Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertaikamu selama-lamanya, yaitu Roh Kebenaran. Dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia. Tetapi kamu mengenal Dia, sebab Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu.”

Dan hari Pentakosta ini menjadi bukti penyertaan Tuhan, bahwa momen Kenaikan Ia ke Sorga bukan berarti Allah meninggalkan umatNya dan masa bodo dengan kehidupan orang percaya. Tetapi justru Ia tetap dan setia menyertai umatNya.

2)   Roh Kudus juga memberi kemampuan kepada para murid untuk berani bersaksi. Padahal kita tahu bagaimana latar belakang pekerjaan, pendidikan dan karakter para murid Yesus. Rata-rata mereka adalah nelayan, buta huruf karena kurang berpendidikan, bahasa yang mereka tahu mungkin hanya bahasa alam (angin laut, badai, dll).

Sementara karakter mereka, rata-rata penakut. Lihat saja waktu Yesus ditangkap di Taman Getsemani, mereka lari kocar-kacir. Waktu Yesus menampakan diri ketika Ia bangkit, Ia mendapati para muridNya berada di suatu tempat dengan pintu yang terkunci rapat karena takut. Tetapi, sekalipun mereka bukanlah orang berpendidikan, tidak bisa berbicara dengan baik, dan penakut.

Dengan Roh Kudus hinggap (Yun. Ekathise: bukan menghanguskan tapi nyala api yang lembut) ke atas mereka, mereka dapat berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain (Yun. Xenolalia: bahasa asing) yang dimengeti para pendengar (Kis. 2 : 4, 7 – 8). Bahkan Petrus berani berdiri dan berkhotbah kepada semua orang di Yerusalem sehingga pada hari itu juga jumlah mereka bertambah kira-kira 3.000 jiwa (Kis. 2 : 41).
  
3)   Banyak orang menjadi percaya. Ketika para murid dapat berkata-kata, Petrus dapat berkhotbah dan banyak orang mengerti apa yang dikatakan para murid dan menjadi percaya. Tentu itu semua bukan karena kehebatan para murid. Tetapi karena Roh Kudus. Sehingga, orang Yahudi dan sekitarnya yang tadinya mungkin ke Yerusalem, hanya untuk mengingat perintah Tuhan dalam PL justru mendengarkan apa yang dikatakan para murid (termasuk Petrus), akhirnya memberi diri mereka percaya, bertobat dan dibaptis.

Di hari Pentakosta ini, bagaimana gereja-gereja kekinian khususnya GKI merayakan hari Pentakosta? Ada yang mungkin mendekorasi gereja dengan gambar lidah-lidah seperti nyala api. Ada pula yang mungkin mendekorasi dengan unduh-unduh (unduh/ngunduh: memetik/memanen hasil bumi). Bahkan ada juga yang bertanya, masih perlukah mendekorasi dengan unduh-unduh? Karena tidak terlalu kontekstual lagi.
          Semua dekorasi itu hanya sekadar simbol yang mengingatkan kita akan peristiwa Pentakosta. Namun, memaknai Pentakosta tentu bukan hanya sebatas dekorasi atau proses mengingat kembali peristiwa itu. Tetapi kita, anak-anak Allah juga hendak memaknainya dengan menjadi saksi.
          Apa yang bisa kita saksikan (lihat dan aksikan)? Melalui tema “Roh Kudus memberi hidup baru kepada bumi. Maka di hari Pentakosta ini, sekaligus tanggal 5 Juni yang lalu kita memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Maka kita pun hendak menjadi saksi Tuhan bagi bumi. Mengapa bagi bumi? Karena bumi dicipta dan dipelihara Tuhan, tetapi manusia seringkali merusak bumi.
Lihatlah, sudah banyak kampanye #saveearth #gogreen #nostrawmovement #noplastic, dll berkumandang. Di Denpasar saja sejak tanggal 1 Januari 2019 telah ditetapkan dalam Peraturan Walikota Denpasar no. 36 tahun 2018 tentang pengurangan penggunaan kantong plastik. Karena menurut Mentri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti menyebutkan Indonesia merupakan penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia (kompas, 19/8/18). Dampaknya banyak biota laut mati karena plastik.
          Mari kita semangat menjadi saksi Tuhan dengan mengurangi penggunaan sedotan plastik, membawa tas dari kain untuk berbelanja dan membawa botol air minum sehingga penggunaan plastik berkurang dan kita pun menjadi saksi Tuhan bagi bumi. Roh Kudus yang memberi hidup kepada bumi, menolong kita semua. Amin.

Sabtu, 01 Juni 2019

Kesatuan Yang Sempurna


Minggu Paskah VII
| Kis 16:16-34 | Mazmur 97 | Wah 22:12-21 | Yoh 20-26 |
Minggu ini ada di antara dua hari besar umat Kristiani, yakni Kenaikan Yesus Kristus dan Pentakosta. Pada bacaan Injil yang lalu (Luk 24:44-53), Yesus memerintah para murid untuk tetap tinggal di Yerusalem, Tetapi kamu harus tinggal di dalam kota ini sampai kamu diperlengkapi dengan kekuasaan dari tempat tinggi. Dan benar, Injil Lukas mencatat bahwa mereka tetap bersama dalam Bait Allah dan memuliakan Dia.
Ya, mereka bersama-sama untuk menantikan datangnya penolong yang dijanjikan Yesus bagi mereka. Namun yang unik adalah bacaan Injil pada Minggu ini, yang berisi tentang doa Yesus. Yohanes 17 merupakan doa panjang yang disampaikan Yesus kepada Bapa di Sorga. Jika dalam Matius dan Lukas terdapat Doa Bapa Kami, itu tidak ada dalam Injil Yohanes. Doa Yesus dalam Yohanes 17 ini menjadi semacam pengganti. Doa ini sendiri dibagi menjadi 3 bagian, yakni mengenai (i) kemuliaan, (ii) doa bagi para murid, (iii) dan doa bagi orang percaya karena pemberitaan para murid. Fokus bacaan Injil minggu ini ada pada bagian yang ke-3;  doa bagi orang percaya karena pemberitaan para murid. Ada yang menarik. Apabila para murid sedang menunggu dalam penantian akan datangnya Sang Penolong, bukankah bagian doa yang ke-2 lebih tepat? Memang bacaab Injil ini ada sebelum masa penantian antara Kenaikan dan Pentakosta, akan tetapi doa Yesus dalam rangkaian bacaan leksionari ini tentu mengindikasikan sesuatu yang bermakna. Yesus tidak hanya berpikir tentang bagaimana murid-murid akan menghadapi keadaan, akan tetapi Yesus melihat lebih jauh dari itu, yakni keberhasilan misi yang murid-murid emban; BERSAKSI!. Kita tentu ingat, sebelum Yesus pulang ke Sorga (Kis 1:1-11), Ia memberikan ‘PR’ bagi para murid untuk menjadi SAKSI Kristus sampai ke ujung bumi. Yesus tahu tentang keberagaman dan segala perbedaan di antara murid-muridNya, namun akan lebih kompleks adanya perbedaan dan keragaman orang percaya yang menerima Injil. Inilah mengapa bacaan Injil kita difokuskan pada bagian doa yang ke-3.
Yesus ingin bahwa pada akhirnya setiap orang percaya bisa hidup bersatu. Keragaman mereka tak terpungkiri, namun jutsru dalam keberagaman itu mereka disatukan dalam kebenaran dan kebaikan. Adalah Dra. Hj. Shinta Nuriyah Abdurahman Wahid, M. Hum, sosok perempuan yang sudah lebih dari 20 tahun secara konsisten melakukan sebuah acara sederhana, yakni sahur bersama. Dari kota ke kota, dia melakukan itu dan menyuarakan persahabatan dan cinta antar umat manusia. Istri dari Presiden ke-4 Indonesia atau yang akrab kita kenal dengan nama Gus Dur ini, justru menjangkau orang-orang yang terpinggirkan dan tak jarang di tempat yang mblusuk. Bu Shinta merasa, bahwa orang-orang yang begiru ragam latar belakangnya inilah yang harus disentuh untuk menyebarkan virus-virus cinta. Inilah maksud Doa Yesus pada bagian yang ke-3, menyatukan orang-orang percaya di dalam cinta kepada Tuhan.
Demikian apa yang ada dalam perjalanan Paulus, Silas dan Timotius di Filipi (Kis 16:16-34). Ketika penjaga penjara hampir bunuh diri, Paulus menghentikannya. Penjaga itu lantas tersungkur di depan Paulus dan Silas, dan bertanya "Tuan-tuan, apakah yang harus aku perbuat, supaya aku selamat?”. Paulus menjawabnya dengan sederhana, “Percayalah kepada Tuhan Yesus Kristus”. Percaya memang sering kita dengar, tapi dalam praktiknya, percaya itu tidak terimplikasikan dengan baik.
Percaya kepada Yesus, adalah percaya kepada Yesus yang berdoa bagi kesatuan umat dan Tuhan. Percaya kepada Tuhan yang menginginkan kesatuan sesame manusia. Tanggal 1 Juni, kita merayakan Hari Lahir Pancasila, karena memang pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno untuk pertama kalinya memperkenalkan konsep Pancasila dalam pidatonya. Bung Karno menerangkan, bahwa Indonesia ini memang ditakdirkan hidup bersama meskipun berbeda. Kesatuan yang diusungnya bukanlah keseragaman karena memang pada dasarnya kita berbeda. Tapi dalam perbedaan itulah kita disatukan dalam butiran-butiran Pancasila sebagai dasar bernegara.
Jika Yesus menginginkan adanya kesatuan, masihkah kita hidup dalam kurungan rasa curiga dan kebencian?
ftp