Sabtu, 13 Mei 2023

KETAATAN KARENA KASIH

Minggu Paska VI

Kis 17:22-31 | Mazmur 66:8-20 | 1 Ptr 3:13-22 | Yoh 14:15-21

Pada Minggu Paska VI, kita sudah sampai pada sebuah pemeberhentian refleksi atas perayaan keselamatan yang Tuhan Yesus beri. Yesus yang selama 40 hari setelah kebangkitan-Nya terus menerus menampakkan diri kepada para murid, sebentar lagi Ia hendak naik ke Sorga dalam kemuliaan-Nya. Minggu Paska VI selalu menjadi perayaan yang penting, karena titik inilah, adalah masa-masa terakhir dimana Yesus hendak memberi pesan kuat kepada murid-murid-Nya, serta kepada kita sekalian. Untuk itu, mari kita merenungkan bersama-sama.

Yohanes 14:15-21 menjadi bacaan Injil kita pada Minggu ini. Perikop ini mengisahkan bagaiman Yesus menjanjikan datangnya Penghibur yang akan menolong para murid untuk melanjutkan karya bersama. Yesus membuka pesan-Nya di ayat 15, "Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku.” Jika kita membaca sekilas pesan Yesus di awal perikop ini, kita akan memiliki banyak sekali penafsiran akan kalimat itu. Pertama, Yesus memberi indikator pembuktian cinta kepada para murid, bahwa bukti jikalau mereka mengasihi-Nya, mereka akan menuruti segala perintah-Nya. Namun, apa benar Yesus menuntut bukti? Yang kedua, bahwa Yesus menuntut murid-murid-Nya untuk mau menuruti perintah-Nya. Jadi, ada sebuah tuntutan yang diberikan Yesus untuk menguji cinta para murid kepada diri-Nya. Namun, benarkah Yesus menuntut serta menguji cinta? Kata ‘perintah’ memang memiliki dimensi ketaatan pada yang berkuasa memberi perintah, sehingga mau tidak mau setiap orang di bawah kuasanya akan melakukan perintah itu. Namun, coba kita rasakan, adakah cinta yang memerintahkan dan memaksa seseorang yang dicintai untuk menuruti keinginannya?

Saudaraku yang terkasih, ijinkan saya bertanya; apakah berat menuruti perintah Tuhan Yesus? Tidak perlu terburu-buru menjawab. Coba dirasakan dulu. Saya mengajak kita mengingat kembali beberapa perintah Tuhan; mengasihi musuh, mau melayani dan menjadi yang terkecil, membagi diri, rendah hati, menderita karena kebenaran, dan banyak hal lain. Bagaimana? ringan atau berat? Jujur saja, mengingat itu semua, rasanya berat. Justru di situlah kita perlu mengingat, bahwa Yesus mendasarkan kemauan para murid untuk mau melakukan segala perintah-Nya atas perasaan cinta kepada-Nya. Apa maksudnya? Jika memang ada cinta dalam hati mereka, mereka akan dengan mudah melakukannya. Segala perintah itu tidak akan dipandang sebagai jobdesc yang sedemikian banyak dan ruwet untuk dilakukan satu per satu. Ya, jikalau ada cinta dalam hati, hal berat menurut orang lain akan dirasa sangat ringan oleh orang yang sedang kasmaran. Ada kata-kata klise yang sering diucapkan bapack-bapack zaman dulu ketika ia memperjuangkan cintanya; luasnya laut kan ‘ku seberangi. Gunung tinggi kan ‘ku daki asal bisa bersama dirimu. “Preeetttt”, mungkin itulah respon kita atas rayuan gombal itu. Namun, memang begitulah cinta. Yesus bermaksud mengingatkan mereka, jikalau ajaran-Nya selama ini akan mampu mereka lakukan dengan ringan, asal mereka mengasihi-Nya dengan tulus. Yesus tidak sedang menuntut bukti atau menguji cinta mereka, namun Yesus justru menguatkan mereka dengan mengajak mereka menengok ke dalam batin terdalam mereka; adakah cinta untuk-Ku dalam hatimu? Kalau iya, kamu akan melakukannya dengan mudah. Begitulah kira-kira kita bisa memahami maksud kalimat Yesus.

Dalam cerita pewayangan Jawa, tiap tokoh sangat mudah dikenali karakternya. Entah itu seorang tokoh berwatak ksatria, penipu, bengis, setia, pengkhianat, atau penuh kasih mesra. Namun, ada satu tokoh yang dikenal lugu, jujur, sekaligus bucin. Bucin? Ya, bucin! Dia adalah Petruk Kanthong Bolong, atau yang kerap disapa Petruk. Anak dari Ki Lurah Semar ini memiliki kisah asmara yang mengharukan. Dalam sebuah kisah, Prabu Kresna pernah menjanjikan Petruk bahwa suatu saat nanti Petruk boleh memperistri putrinya, yaitu Dewi Prantawati. Suatu ketika, Petruk datang kepada Prabu Kresna untuk menagih janji, yakni ingin mempersunting Dewi Prantawati. Namun naas, Dewi Prantawati dilamar oleh Raden Lesmana, Putra Prabu Duryudana. Prabu Kresna kemudian hendak menikahkan putrinya dengan Raden Lesmana. Petruk kaget bukan kepalang. Ia merasa terkhianati akan rencana pernikahan perempuan yang dicintainya dengan putra mahkota Hastinapura itu. Namun, ia tidak tinggal diam. Ia nekat memperjuangkan cintanya. Hal itu diketahui oleh bala Kurawa, yang seratus jumlahnya. Petruk dianggap melawan kehendak para raja karena akan menggagalkan besanan antar dua kerajaan, Hastina dan Dwarawati. Untuk itulah Petruk diancam oleh Kurawa. Bagong dan Gareng yang adalah saudaranya, melarang Petruk untuk maju. Mereka yakin, Petruk akan mati dalam perjuangannya. Namun dengan gigih, Petruk kanthong Bolong tetap ingin maju. Dalam cerita pewayangan Jawa, majunya Petruk menghadapi Kurawa ini tidak pernah dibumbui dengan rasa kuatir atau takut. Ia berangkat dengan kebulatan tekat dan sukacita. Ia maju atas nama cinta. Sebagaimana kita tebak, Petruk tetap kalah dan dihajar habis-habisan oleh bala Kurawa. Namun, apakah Petruk maju memperjuangkan Dewi Prantawati dengan takut dan ragu? Tidak. Ringan sekali langkahnya. Mengapa? Sederhana saja; ada cinta dalam hatinya. Rasa cinta itu lebih besar dari segala perasaan yang ada. Cinta itulah yang membuatnya berani dan dengan ringan menghadapi kengerian ancaman Kurawa. Cerita berakhir manis untuk Petruk. Dewi Prantawati tetap memilih Petruk menjadi kekasihnya. Cinta. Ya, ia akan selalu memenangkan dunia.

Saudaraku yang terkasih, harus kita akui, mengikut Yesus bukan perkara mudah. Banyak sekali bukti, tokoh-tokoh dunia mengalami penderitaan, bahkan kematian ketika ia tetap setia berjalan dalam nama Kristus. Marthin Luther King Jr., akhirnya mati dalam perjuangannya. Para misionaris yang pergi mewartakan Injil di penjuru dunia, banyak yang mengalami kematian tragis. Kalau dipikir-pikir, kenapa mereka mau setia meski besar dan berat tantangannya? Karena ada cinta dalam diri mereka. Yesus tidak ingin, relasi yang terjadi antara diri-Nya dan kita menjadi relasi yang kaku dan otoriter. Ia rindu, kita mengasihi-Nya, sehingga perintah-Nya untuk bisa mengasihi akan kita lakukan dengan ringan bahkan otomatis. Mengapa? Karena Ia tidak membutuhkan ketaatan kita demi memenuhi kebutuhan-Nya. Ia bukan bos yang mempekerjakan kita agar segala keuntungan mengarah pada-Nya. Itulah yang dikatakan Rasul Paulus di depan warga Atena yang dicatat dalam Kisah Para Rasul 17:24; Allah yang telah menjadikan bumi dan segala isinya, Ia, yang adalah Tuhan atas langit dan bumi, tidak diam dalam kuil-kuil buatan tangan manusia, dan juga tidak dilayani oleh tangan manusia, seolah-olah Ia kekurangan apa-apa, karena Dialah yang memberikan hidup dan nafas dan segala sesuatu kepada semua orang. Petrus menegaskan bahwa Allah yang ia sembah, bukan menginginkan disembah dan dimuliakan, bahkan dilayani. Ia adalah Allah yang memiliki segalanya. Segala sesuatu diciptakan dan ada di bawah kuasa-Nya. Paulus ingin mereka tau, bahwa percaya kepada Yesus itu muncul dari hati yang mengasihi. Dengan mengasihi-Nya, kita akan menaati perintah-Nya, karena dalam perintah-Nya ada damai dan sukacita. Sekali lagi, taat kepada Allah bukan karena Ia membutuhkan pelayanan dan keuntungan dari kita, namun karena kita mengasihi-Nya, kita tau apa yang akan membuat-Nya berkenan, yaitu taat karena kasih. Saudaraku yang terkasih, bolehkah saya meminta tolong kepada saudara, untuk mengurusi hidup saya. Pagi, anda bangun, memasak untuk saya, menyiapkan perlengkapan saya. Sewaktu saya pergi, anda membersihkan rumah, dan menyiapkan makan siang untuk saya. Begitu terus sampai malam tiba. Dan itu semua, anda lakukan dalam satu minggu saja? Mau? Ya tentu anda menolak. “emang siapa elu?”, begitu kira-kira batin saudara kepada saya. Lalu, mengapa seorang Ibu bisa melakukan itu setiap hari sampai belasan bahkan puluhan tahun untuk anak-anaknya? Karena ibu itu memandang aktivitasnya bukan sebagai rentetan tugas yang memberatkan dan menjemukan. Seorang ibu melakukan itu semua berbekal cinta dalam hatinya. Itulah maksud Yesus, jikalau kita mengasihi-Nya, kita akan menuruti segala perintah-Nya.

Dalam perikop Injil kita Minggu ini, Yesus menjanjikan datangnya Penghibur. Kita tau, Yesus merujuk pada peristiwa Pentakosta, yaitu Roh Kudus yang akan mereka terima. Namun uniknya, Roh Kudus disebut sebagai Roh Kebenaran hanya terdapat dalam Injil Yohanes, persisnya hanya sebanyak tiga kali. Tentu, Injil Yohanes memiliki tujuan tertentu. Lalu, apa maksudnya? Dalam Yohanes 15:26 Yesus mengatakan, “Jikalau Penghibur yang akan Kuutus dari Bapa datang, yaitu Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa, Ia akan bersaksi tentang Aku.” Dari perkataan Yesus itu kita jadi tahu, bahwa Roh Kebenaran itulah yang akan menolong para murid untuk mengenali Yesus setiap saat. Yesus sadar benar, bahwa mereka belum cukup mengenal-Nya, apalagi Ia akan segera naik ke Sorga, dan raga-Nya tak lagi bersama mereka. “Tak kenal, maka tak sayang”, demikian kata pepatah. Seorang suami, perlu waktu seumur hidup untuk mengenal istrinya, demikian pula istri kepada suaminya. Proses pengenalan itulah yang menggiring seseorang untuk bisa mencintai dengan tulus dan alami. Yesus menjanjikan Roh Kebenaran, supaya kita setiap hari mengenal-Nya dengan benar. Seperti suami dan istri, selalu dianjurkan oleh para pakar pasutri, agar tiap pasangan punya quality time meski sudah sibuk bekerja dan mengurus anak. Keterkejutan akan pengenalan bisa membuat jatuh cinta berulang-ulang pada pasangannya, dan itu penting untuk keberlanjutan sebuah hubungan. Demikian pula dengan pengenalan akan Yesus, Roh Kebenaran akan menuntun kita untuk bisa lebih mengenal-Nya setiap hari. Menemukan Yesus dalam setiap peristiwa, akan membuat kita berdecak kagum akan kasih-Nya. Pengalaman pahit dan manis, akan selalu berujung pada iman yang mengasihi-Nya, sehingga kita secara otomatis akan menaati segala perintah-Nya. Itulah yang dipersaksikan sang pemazmur dalam Mazmur 66:20, Terpujilah Allah, yang tidak menolak doaku dan tidak menjauhkan kasih setia-Nya dari padaku.

ftp

Sabtu, 06 Mei 2023

HIDUP SEBAGAI ANAK TUHAN

 Minggu Paska V

Kis 7:55-60 | Mzm 31:2-6,16-17 | 1 Pet 2:2-10 | Yoh 14:1-14

 

Pada Minggu Paska V ini, Injil Tuhan berkisah tentang percakapan Yesus dengan para murid, terkhusus dengan Tomas dan Filipus. Perikop bacaan Injil kali ini, memuat salah satu ayat hafalan, yakni Yohanes 14:6, yang seringkali dihayati sebagai ‘ayat emas’ bagi orang Kristen. Namun, mari kita menyimaknya, bersamaan dengan bacaan leksionari lainnya.

Pada saat itu, Yesus tiba-tiba berbicara mengenai ‘kegelisahan’. Hal itu Ia sampaikan, karena Ia tahu benar, bahwa waktu kematian-Nya sudah hampir tiba dan tentu akan membuat mereka gelisah, bahkan hilang arah. Lantas, Yesus mengatakan tentang kepergian-Nya ke Rumah Bapa, untuk menyediakan tempat tinggal. Dari pembukaan percakapan mereka, kita melihat bahwa Yesus ingin menenangkan mereka jika sesuatu yang berat itu akan terjadi. Nah, justru di sinilah terjadi kebingungan dalam diri Tomas dan Filipus. Tomas, dengan kepribadiannya, dengan polos ia berkata; "Tuhan, kami tidak tahu ke mana Engkau pergi; jadi bagaimana kami tahu jalan ke situ?" (Yoh 14:5). Yesus menjawab Tomas; "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku. Sekiranya kamu mengenal Aku, pasti kamu juga mengenal Bapa-Ku. Sekarang ini kamu mengenal Dia dan kamu telah melihat Dia.” (Yoh 14:5-6). Setelah Yesus selesai menjawab Tomas, Filipus menanggapi perkataan-Nya dengan berkata; "Tuhan, tunjukkanlah Bapa itu kepada kami, itu sudah cukup bagi kami." (Yoh 14:7) Dalam ayat 7 itu, seakan-akan Filipus menanggapi perkataan Yesus dengan sebuah kesimpulan yang bijak, yakni dengan mengatakan ‘itu sudah cukup bagi kami’. Justru di sinilah, kita bisa merasakan aroma kesedihan dalam diri Yesus yang berkata; "Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku? Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa; bagaimana engkau berkata: Tunjukkanlah Bapa itu kepada kami.” (Yoh 14:8). Jika boleh saya ekspresikan kalimat terakhir Yesus, seakan Ia ingin berkata : KOK ISOOOOOO??? Ya, mungkin saya berlebihan, namun itulah dimensi perasaan yang ada dalam tanggapan Yesus atas permintaan Filipus.

Saudara yang terkasih, Tomas menanyakan tempat kemana Yesus pergi, sedangkan Filipus meminta kepada Yesus untuk menunjukkan Bapa kepada mereka. Pertanyaan Tomas dan permintaan Filipus adalah tanda bahwa mereka lupa akan sosok Yesus di hadapan mereka saat itu. Mereka lupa, bahwa hidup bersama Yesus adalah ‘jalan’ itu sendiri. Itulah mengapa, Yesus menjelaskan pada Tomas bahwa Ia adalah jalan, dan kebenaran, dan hidup. Bagi orang Yahudi, jalan, kebenaran, dan hidup adalah hal terpenting untuk dihidupi. Ternyata, Tomas melupakan bagaimana perjalanannya bersama Yesus, kebenaran apa yang dipancarkan Yesus, serta makna kehidupan yang dihayati dan diemban oleh Yesus. Tomas seakan menanyakan sebuah ‘alamat’ yang hendak dituju, sedangkan Ia lupa bahwa Yesuslah tujuan itu sendiri. Yesus adalah jalan yang harus setia ditapaki, kebenaran sejati yang tidak terbantahkan, serta pemberi kehidupan abadi itu sendiri.

Berbeda dengan Tomas, Filipus justru mengalami galfok, atau gagal fokus. Ia lebih menyoroti kalimat Yesus; Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku (Yoh 14:6b). Ketika Yesus mengungkapkan itu, Filipus merasa bahwa Yesus adalah media atau penunjuk jalan untuk sampai kepada Bapa. Yesus sangat menyayangkan hal itu (lih. Yoh 14:9). Ternyata, Filipus lupa siapa Yesus yang sehahekat dengan Sang Bapa. Hal ini sering kita jumpai dalam PA atau katekisasi, yakni sebuah gambar salib yang menghubungkan dua tebing yang terpisahkan jurang (dosa). Jika demikian, untuk bisa sampai kepada tebing seberang (Bapa), yang harus dilakukan manusia adalah melewati jembatan (salib), dan akhirnya meninggalkannya. Ironis, bukan?

Kesalahpahaman Tomas dan Filipus adalah kegagalan manusia untuk mengimani siapa Yesus dalam hidupnya. Kegagalan mereka, juga bisa merefleksikan kegagalan kita juga, yang seringkali mendaku sebagai pengikut Yesus, namun kita justru kebingungan dalam menjalani kehidupan. Namun ada satu hal yang tidak boleh kita lupakan dalam membaca makna perkataan Yesus tentang ‘jalan’ itu. Kita harus ingat, Yesus mengatakan itu semua dalam rangka mengingatkan mereka tentang kematian-Nya, yakni saat raga-Nya tidak lagi bersama dengan mereka. Yesus ingin agar saat raga-Nya tak bersama dengan mereka, mereka tetap setia berjalan dalam iman bahwa Yesus tetap ada bersama dengan mereka. Ini hal penting yang ingin Yesus sampaikan. Mungkin menarik bila membaca teks ini dengan sepenggal sajak dari Eyang Sapardi Djoko Damono; ‘yang fana adalah waktu. Kita abadi’. Mungkin ada waktu dimana raga Yesus tak lagi bersama mereka, namun kesatuan hati Yesus dan para murid, itulah yang abadi. Yesus ingin agar mereka tetap setia sampai akhir. Demikianlah yang juga dilakukan Stefanus yang dituliskan dalam Kis 7:55-60. Stefanus berkata; Ya Tuhan Yesus, terimalah rohku” (Kis 7:59). Stefanus tetap setia sampai akhir hidupnya, dan ia meyakini bahwa sampai selamanya, ia akan terus bersatu dengan Kristus.

Tema Ibadah Minggu paska V ini adalah ‘Hidup Sebagai Anak Tuhan’. Ungkapan ‘anak Tuhan’, adalah ungkapan yang seringkali kita dengar, juga ucapkan. Namun ada sebuah pertanyaan menarik bagi kita; ungkapan ‘anak Tuhan’ itu kebanggan atau tugas? Memang benar, kita merayakan keselamatan dari Kristus melalui kematian-Nya di atas kayu salib. Namun, jika sebatas perayaan, kita akan mudah jatuh pada kesombongan diri atas privilege yang Tuhan berikan. Sebaliknya, apabila kita memaknai ungkapan ‘anak Tuhan’ sebagai tugas, kita akan langsung bertanya pada diri kita; bila aku seorang anak, apakah aku sudah taat dan setia kepada Bapa? Ya, itulah pertanyaan yang harus membuntuti pernyataan bahwa kita adalah anak Tuhan.

Ungkapan ‘anak Tuhan’ harus membangkitkan dua kesadaran. Yang pertama, kesadaran status kita sebagai anak dari Bapa yang harus selalu taat dan setia, sebagaimana Stefanus lakukan. Ada seorang kawan yang mengatakan, bahwa ‘Doa Bapa Kami’ diawali dengan sebuah tantangan besar. Bila kita berani memanggil-Nya ‘Bapa’, berarti kita siap untuk hidup sebagai ‘anak’ yang bertanggung jawab. Di media sosial, beberapa waktu terakhir, berita-berita diisi dengan para bapak yang kelimpungan menanggung ulah si anak. Orang Jawa bilang, anak polah bapa kepradah, yang artinya ketika si anak bikin ulah, Bapaknya menanggung akibatnya. Namun ada satu hal menarik. Si anak yang berinisial DS, di rumah dikenal sebagai anak yang manis dan penurut, bahkan makan saja harus ditunggui oleh sang Ibu. Namun kelakuannya di luar rumah, sungguh membagongkan! Ia bisa menganiaya seseorang hingga dirawat karena tidak sadarkan diri dalam waktu yang lama. Sungguh ironi. Hal ini membuktikan, bahwa seorang manusia harus setia menjadi baik, dalam segala kondisi. Inilah maksud Yesus, apabila kita mengimani-Nya sebagai jalan dan kebenaran dan hidup, kita akan setia dan taat dimanapun dan kapanpun. Baiknya, kita mengingat formulasi pengutusan GKI; arahkanlah hatimu kepada Tuhan – kami mengarahkan hati kami kepada Tuhan. Formulasi itu diletakkan di akhir, bukan di depan atau tengah, seakan ingin menyadarkan kita, bahwa keharusan kita mengarahkan hidup kita kepada Tuhan bukan hanya saat ibadah, namun saat keluar dari ruang ibadah. Ya, apakah kita tetap setia dan taat sebagai anak di luar sana? Yang kedua, ungkapan ‘anak Tuhan’ harus membangkitkan kesadaran tugas dan tanggung jawab. Dalam 1 Petrus 2:9 dituliskan; Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib: Ayat ini seringkali dikutip untuk membesarkan hati umat yang mendengarkannya. Namun, spotlight ayat ini biasanya berhenti pada kata ‘sendiri’. Coba perhatikan, bila ayat ini berhenti pada kata ‘sendiri’, yang terjadi adalah sebuah kesombongan. “ya, aku adalah anak Tuhan yang dipilih, imamat yang Rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri”. Begitulah kira-kira. Namun, ayat itu tidak berhenti di situ saja. Kelanjutan ayat itu adalah; supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib. Ternyata, ada tugas dan tanggung jawab besar yang mengikuti pernyataan di awal ayat itu. Bila Petrus menulis ini dan menegaskan bahwa kita harus bisa memberitakan perbuatan-perbuatan besar Yesus, Yesus sendiri justru malah meyakinkan kita bahwa kita bisa melakukan perbuatan-perbuatan besar itu sendiri; Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pada itu (Yoh 14:12). Ya, ternyata, tugas seorang ‘anak Tuhan’ adalah mau setia dan taat melakukan apa yang dikerjakan oleh Yesus sendiri.

Saudaraku yang terkasih, ini semua dikatakan bukan untuk menakut-nakuti kita untuk mengaku diri sebagai ‘anak Tuhan’. Justru, kita harus dengan bangga mengatakan dan mengakuinya. Kita harus merayakan diri sebagai ‘anak Tuhan’, sebab itulah yang dipersaksikan dalam Galatia 3:26 Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus. Karena Kristus, kita diperbolehkan memanggil Allah dengan sebutan Bapa. Bukankah ini menjadi sebuah kemesraan tersendiri dalam hidup beriman? Namun, di sisi yang sama, kita tetap harus sadar akan tugas dan tanggung jawab kita. Kita diajak untuk terus menyadari, bagaimana kita hidup bersama Yesus senantiasa, kapanpun dan dimanapun. Yesus adalah jalan dan kebenaran dan hidup itu sendiri, yang harus kita hayati sebagai anak-anak Tuhan. Rayakanlah dengan kesadaran!

 

ftp