Selasa, 30 Juni 2020

JANGAN TERUS MENENTANG




MINGGU BIASA


Matius 11:16-19, 25-30

Ada yang pernah berkata, bahwa yang paling menyakitkan bukan yang berasal dari luar diri kita, namun dari dalam diri, yaitu harapan. Harapan yang begitu berlebihan yang muncul dari dalam diri, bisa membuat seseorang terjatuh dalam kekecewaan dan depresi. Misalkan saja, seseorang yang akan berulang tahun Dia berharap akan mendapat surprise beserta kado-kado yang banyak, dan sudah membayangkan betapa bahagianya mendapat kado. Naas, tidak ada kejutan, tidak ada hadiah apapun. Kecewa pasti akan menyiksa batin. Harapan itu akan melukai orang itu, dan merusak hari bahagia itu sendiri. Seringkali, kita juga hidup dalam lautan harapan. Kita mengapung dan begitu menikmatinya. Tanpa sadar, kita bisa tenggelam ke dalamnya. Saking besarnya harapan, kita juga bisa menolak realita yang ada.

Harapan itu ada banyak, salah satunya harapan akan adanya penyelesaian atas sebuah masalah. Sebagai orang yang bergumul, kita menantikan sebuah solusi, dan seringkali solusi itu sudah terancang dengan begitu sempurna. Rancang bangun solusi itulah yang menjadi harapan. Haleluya Pujilah Khalik Semesta bila itu semua menjadi nyata, namun bagaimana jika semuanya meleset? Tentu akan sangat mengecewakan. Otomatis kita akan menentang kenyataan yang tidak sesuai keinginan kita.

Ketika kita sedang bergumul dalam permasalahan, tentu kita mengharapkan ada sebuah hiburan yang melegakan. Itulah sebabnya, salah satu ayat bacaan kita menjadi ayat favorit, yakni Matius 11:28 "Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu." Ayat ini begitu populer karena Yesus menjanjikan adanya sebuah kelegaan kepada setiap orang yang letih lesu dan berbeban berat. Ayat ini sering dibaca bahwa Yesus akan menyelesaikan segala permasalahan yang ada dan kita hanya tinggal ongkang-ongkang kaki. Apakah salah? Tidak sepenuhnya salah, namun ada yang harus ditinjau ulang. Kebiasaan mencintai sebuah ayat tanpa melihat keterkaitan dengan ayat lain akan membuat kita salah persepsi akan maksud Tuhan. Apakah Yesus akan memberi kelegaan? Iya, namun bukan berhenti di situ. Perhatikan ayat 29, ayat yang sering terlupakan, Matius 11:29 "Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan." Itulah lanjutan dari ayat 28 yang seringkali jadi ayat favorit. Kelegaan itu diberikan Yesus ketika kita bersedia memikul Kuk yang dipasang olehNya. ‘Kuk’ berasal dari kata ζυγός zugos {dzoo-gos'}, yang berarti (KBBI) kayu lengkung yang dipasang di tengkuk kerbau (lembu) untuk menarik bajak (pedati dan sebagainya). Banyak penafsir setuju, bahwa kuk yang dimaksud Yesus adalah kuk sepasang, yang berarti akan ada dua pihak yang menarik sesuatu secara bersamaan. Jika memang demikian, berarti Yesuslah yang mengenakan kuk yang satu, dan kita diajak mengenakan kuk lainnya, lalu menariknya secara bersamaan. Ternyata, inilah kelegaan yang dimaksudkan oleh Yesus di ayat 28. Bukankah memang demikian, kelegaan sejati bagi umat Allah adalah kesatuan dengan Sang Pencipta untuk menjalani segala sesuatu bersama-sama? Yesus menunjukkan kepribadian Ilahi yang siap menemani umatNya berjalan bersama, menarik sesuatu bersama, mengupayakan segala sesuatu bersama anak-anakNya. Ada dua hal yang bisa kita pelajari. Pertama, Yesus tidak ingin membiarkan kita bergumul sendirian. Kita tidak boleh berpikir bahwa segala sesuatu akan bisa kita lakukan sendiri. Bagaimanapun, Kristus adalah wujud dari kehadiran Allah dalam hidup kita. Kedua, sebaliknya, Yesus tidak ingin menyelesaikan masalah kita sendirian. Apakah karena Ia tidak baik kepada kita? Tidak, namun Yesus tidak ingin menjadikan kita murid-muridNya yang manja. Alfred Adler, seorang pakar psikologi dari Austria mengatakan bahwa “setiap anak yang dimanja akan menjadi anak yang penuh kebencian. Tidak ada kejahatan yang lebih besar dari memanjakan anak-anak”. Tentu Yesus menginginkan kita menjadi murid yang memiliki mentalitas pejuang yang penuh kesadaran bahwa Dia senantiasa beserta kita.

Jika kita memiliki gaya beriman seperti yang diharapkan Yesus, kita tidak akan terjebak pada harapan-harapan kita. Kita juga tidak akan menentang apa yang menjadi kehendak Tuhan dalam kehidupan kita. Jika kuk itu dipakai bersamaan, berarti ada kesehatian, keselarasan dalam berjalan. Dia memperbolehkan kita meminta sesuatu dalam doa (lih. Matius 7:7-8), namun di sisi lain, Ia juga mengajarkan kita untuk selalu berserah pada kehendak Bapa (lih. Luk 22:42).

Dalam perikop sebelumnya, saking geramnya Yesus sampai bertanya dalam Matius 11:16 “dengan apakah akan kuumpakan angkatan ini?” Orang-orang pada saat itu menentang kehadiran Allah dalam diri Yohanes dan Yesus. Yohanes dengan gayanya sebagai pertapa yang eksentrik, disebut oleh mereka sebagai orang yang kerasukan setan. Yesus yang ikut makan dan minum seperti orang pada umumnya disebut pelahap dan peminum. Yesus menegur mereka tentang segala ekspektasi mereka akan kehadiran Allah. Sekali lagi, kita diajak untuk berhati-hati pada harapan kita akan hidup ini. Pertolongan Allah bisa jadi kita tolak mentah-mentah karena tak sesuai harapan kita. Kita cenderung menjadi orang yang terus menentang kenyataan yang terjadi.  Pertolongan Allah bisa muncul dalam cara apapun. Bisa saja Allah menolong dengan cara yang nampak kasar (seperti kepribadian Yohanes Pembaptis), atau nampak begitu ramah (seperti gaya Yesus). Kita diajak untuk peka terhadap pergumulan kehidupan ini. Kita tidak berjuang sendiri, atau Yesus melakukan semua sendiri, kita ada dalam kuk yang sama dengan Yesus. Kesadaran akan hal ini haruslah kita pelihara dalam hidup beriman kita.

Apakah kita mengingat, sebuah sajak terkenal, yang berjudul FOOTPRINTS? Sajak itu berkisah tentang mimpi seseorang yang berjalan di tepi pantai bersama Tuhan yang meninggalkan dua pasang jejak kaki di atas pasir pantai. Setelah beberapa saat, orang itu sadar, bahwa jejak kaki itu tak lagi dua pasang, namun hanya sepasang. Dia berdoa dalam hati, mengapa Tuhan meninggalkannya. Dan Tuhan menjawab, bahwa jejak kaki itu adalah jejak kaki Tuhan. Tuhan tidak meninggalkannya, namun justru menggendongnya. Sekilas, hal itu nampak romantis, namun bukan itu maksud Tuhan. Tuhan tidak ingin menggendong kita, dan kita bermalas-malasan. Bukan itu kelegaan yang diberikannya. Ia sediakan kuk untuk kita pakai, dimana Ia sudah lebih dulu memakai yang satunya. Untuk itulah Yesus katakana pada kita semua, Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan.

Selamat berjalan bersama Yesus, dengan kuk yang enak dariNya. Tuhan memberkati.
ftp

Selasa, 23 Juni 2020

“Upah” di dalam Tuhan

Minggu Biasa, 28 Juni 2020

Yeremia 28:5-9 Mazmur 89:2-5, 16-19 │ Roma 6:12-23 │ Matius 10:40-42

Konon, orang yang hidup dalam generasi setelah Perang Dunia II memandang pekerjaan – jenis apapun – sebagai sesuatu yang harus disyukuri keberadaannya sebab pekerjaan menolong ia dan keluarganya bertahan hidup. Tetapi orang yang hidup dewasa ini berpendapat bahwa pekerjaannya harus memuaskan, harus sesuai dengan talenta dan impian mereka, bahkan harus menghasilkan sesuatu yang mengagumkan bagi dunia. Nampaklah bahwa bagi generasi terdahulu upah adalah untuk bertahan hidup, sementara bagi generasi kemudian upah adalah untuk menghasilkan sesuatu yang mengagumkan. Namun dari perbedaan ini ada kesamaan, seorang yang telah bekerja tentu menantikan upahnya.

Demikian pula halnya kehidupan kita di dalam Tuhan. Yesus menyadari benar bahwa murid-murid-Nya menantikan penjelasan mengenai upah yang akan diterima mereka setelah mereka mengikut dan diutus Yesus. Lantas, apakah upah di dalam Tuhan? Bacaan Injil hari ini, memuat jaminan dan janji Tuhan kepada para murid. Keduanya menjadi upah yang diberikan Allah bagi manusia yang berbuat baik seturut kehendak-Nya. Bila merujuk pada Matius 10:32, maka “upah”-nya adalah: “Aku akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di surga” dan di dalam Matius 10:40-42 ini “upah”-nya adalah: kehidupan yang dipelihara dan dijaga Tuhan, sebagaimana yang dialami para nabi, orang benar, dan para murid.

Pada umumnya, upah ada setelah pekerjaan diselesaikan. Namun kita sudah diberitahu jaminan alias upah sebelum bekerja. Maka upah di dalam Tuhan justru membebaskan kita dari keinginan untuk mendapatkan upah serta membebaskan kita untuk terus bekerja.

Marilah kita melihat dari Matius 10:40-42. Bagian ini menunjukkan bahwa penulis Injil Matius bukan hanya berbicara mengenai bagaimana seorang harus pergi bekerja memperdengarkan ataupun mendengarkan Injil melainkan tentang menyambut dan menerima para pembawa Injil. Menyambut di sini memiliki keluasan makna dari pada soal “menerima tamu” saja, sebab dalam kata “menyambut” terdapat unsur kesiapsediaan untuk menaati pesan yang yang dibawa oleh para utusan. Sehingga dapat dikatakan hal yang harus dilakukan adalah membawa pesan Injil dengan kesetiaan dan kesediaan untuk menyambut pesan Injil.

Kedua hal ini yang harusnya terus dipelihara oleh komunitas pengikut Kristus. Setiap orang di dalamnya harus bersiap melakoni tugas perutusan sekaligus siap untuk menyambut baik para nabi, orang benar, maupun orang kecil. Mungkin kita akan bertanya mengapa dituliskan penerimaan terhadap orang kecil. Di sini nampaknya penulis Matius ingin secara spesifik berbicara mengenai realita bahwa di setiap komunitas terdapat mereka yang sering dianggap kecil/sederhana/terabaikan, mereka yang mungkin tidak berbuat lain dari pada “percaya saja”. Namun mereka juga harus disambut dengan sepenuh hati karena ia murid Yesus. Pesan Matius ini memang khas, kita pun juga akan menjumpai pesan serupa di Matius 25:40 dan 45 ketika berbicara mengenai hari penghakiman. Di sana dituliskan bahwa kita semua harus mempertanggungjawabkan hidup kita di hadapan Tuhan, Tuhan akan menyatakan bahwa segala sesuatu yang kita lakukan untuk setiap saudara, yang paling hina, berarti kita telah melakukannya untuk Tuhan. Dan segala sesuatu yang tidak kita lakukan kepada salah seorang saudara kita yang paling hina, berarti kita tidak melakukannya untuk Tuhan.

Pesan ini kiranya menyadarkan kita bahwa setiap kita, apapun kedudukan kita, ketika kita percaya maka kita mendapatkan pemeliharaan Tuhan dan perutusan dari-Nya. Kesadaran ini mesti kita miliki, sebab Roma 6:12-23 juga menuliskan bahwa sebagai umat Tuhan kita adalah umat yang telah dimerdekakan dari dosa dan karena itu hidup berdasarkan kasih karunia (ayat 14). Sebagai orang-orang yang hidup dalam kasih karunia maka ada panggilan untuk menyerahkan diri sebagai hamba kebenaran. Seorang hamba kebenaran, hidupnya tak lagi dikuasai oleh keinginan akan upah apalagi kerakusan, melainkan selalu memerjuangkan agar kasih dan kehidupan dapat dirasakan oleh siapa saja termasuk mereka yang kecil, lemah, dan terabaikan.

Sebagaimana sebuah kisah yang dituliskan oleh Anthony de Mello dalam Doa Sang Katak 1 berikut ini:
Seorang ayah berjanji mau membayar upah pada putrinya yang berumur duabelas tahun, kalau ia memotong rumput di halaman. Putri itu mengerjakan tugasnya dengan amat rajin dan pada suatu sore hari seluruh halaman sudah dipotong bersih – ya setiap sudut kecuali ada gundukan tanah cukup besar berumput yang tidak dipotong. Ketika ayahnya berkata, bahwa ia tidak bisa membayarkan upah yang telah dijanjikan, karena tidak seluruh halaman nyata sudah dipotong rumputnya, gadis kecil berkata bahwa ia mau merelakan uang, tetapi ia tidak mau memotong rumput di gundukan itu.

Ingin tahu apa sebabnya, sang ayah memeriksa gundukan yang tak dipotong. Di sana, di tengah-tengah gundukan itu ada katak besar. Gadis itu begitu merasa sayang untuk menerjang rumput dengan mesinnya.

Di mana ada cinta, ada ketidak-teraturan. Keteraturan sempurna membuat dunia menjadi seperti pemakaman. – Anthony de Mello, Doa Sang Katak 1, h. 237

Amin.

ypp


Selasa, 16 Juni 2020

TETAPLAH NYATAKAN KEBENARAN KRISTUS


Minggu Biasa II
Yeremia 20:7-13 | Mazmur 69:7-10, 16-18 | Roma 6:1-11 | Matius 10:24-39


Dalam dunia perdagangan, para pedagang biasanya menawarkan dagangan segala 
kelebihan dan keunggulannya. Kecap manis asli, terbuat dari kedelai hitam pilihan, yang ditanam dan dirawat dengan sepenuh hati. Tentu saja dengan promosi-promosi yang menarik bagi pelanggan. Hampir tidak ada pedagang yang menyatakan kelemahan dari dagangannya, misalnya dapat menyebabkan diabetes atau asam urat serta mudah basi. Pelanggan pun pasti tidak tertarik dengan produk yang mudah rusak atau yang berbahaya dan lain-lain. Dalam dunia pekerjaan pun demikian. Ketika kita hendak melamar pekerjaan, pasti kita akan mencari pekerjaan yang menjamin kesejahteraan, misalnya gaji yang tinggi, tunjungan-tunjangan yang besar, fasilitas kantor yang memadai, hingga jaminan kesehatan. Para pemberi kerja pun sering menggunakan kelebihan dari pekerjaannya untuk menarik para pencari kerja.

Jika kita perhatikan, gereja pun sering menjadi seperti pemberi kerja atau pedagang yang mempromosikan yang baik-baik dan menyenangkan dengan janji-janji berkat atau surga untuk menarik banyak anggota jemaat. Gereja sering lupa bahwa mengikut Yesus bukanlah soal hidup yang berlimpah berkat, melainkan menjalani hidup sehari-hari dengan segala pegumulan dan tantangannya. Jika membaca teks Injil Minggu ini, kita melihat Yesus memanggil murid-murid-Nya tanpa iming-iming atau janji-janji surga dan berkat yang memikat. Ia bahkan menjelaskan di bagian awal bahwa pekerjaan para murid ini penuh dengan bahaya. Mereka seperti domba-domba yang diutus ke tengah-tengah serigala. Mereka akan dibenci dan dianiaya karena Yesus, bahkan oleh keluarganya sendiri.

Pada ayat 34 Yesus bahkan mengatakan sesuatu yang berlainan dari yang kita percayai. “Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang.” Bagaimana mungkin Yesus yang selama ini kita yakini sebagai pembawa damai, mengklaim diri-Nya datang bukan untuk membawa damai melaikan pedang. Tentu kita menolak pertanyaan ini. Tapi jika kita perhatikan lebih lanjut, ayat 35 dan 36 berkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa mengikut Yesus itu penuh dengan tantangan yang berat, bahkan penolakan dari keluarga sendiri. Yesus mengatakan bahwa Ia membawa pedang karena mengikut Dia dapat membuat pertentangan dalam keluarga karena Yesus. Orang tua membenci dan menolak anak-anaknya yang mengikut Yesus. Kalangan yang mempertahankan status quo akan menolak dan membenci Yesus yang revolusioner dan orang-orang yang mendukung serta mengikuti-Nya. Dengan demikian, mengikut Yesus bukanlah jalan yang mudah dan enak. Karena itu Yesus bilang, jika seseorang mau mengikuti Dia, ia harus mau memikul salibnya. Mengikut Yesus adalah memilih jalan salib.

Masalah yang sering terjadi adalah banyak orang Kristen yang mau mengikut Yesus tapi tidak mau susah. Pdt. Eka Darmaputera menyebutnya sebagai Orang Kristen Plus Minus. Orang-orang ini mau mengikut Yesus tapi ada plus atau minusnya. Ada orang Kristen plus, yakni orang-orang yang mau mengikut Yesus tapi plus berkat yang berlimpah, plus kekayaan dan jabatan, plus sehat tidak pernah sakit, plus usaha yang berhasil. Ada juga orang Kristen minus, yakni orang-orang yang mau mengikut Yesus dan melayani tapi minus penderitaan dan penganiayaan, minus penyakit, minus sakit hati, minus yang susah-susah. Kita sering menjadi orang Kristen yang plus minus. Mengikut Yesus hanya inign yang baik-baik, tapi tidak ingin yang susah-susah. Yang lebih parahnya, ada gereja yang menggunakan plus minus juga untuk mengajak orang ke gereja. “Kalau mengikut Yesus, kita dilimpahi berkat, jadi kaya, lepas dari segala penyakit, usaha selalu berhasil, dilepaskan dari kutuk dan hukuman.” Dan semua janji-janjil berkat lain, tapi lupa menjelaskan segala penderitaan dan kesakitan yang pasti kita alami dalam hidup ini.

Oleh karena itu, saat ini saya mau katakan: Mengikut Yesus itu berat. Bekerja dan melayani bagi Kristus itu susah dan penuh tantangan. Kita mungkin akan ditolak, bahkan oleh keluarga sendiri. Kita harus berusaha melakukan yang benar dan bertindak jujur, sekalipun dunia di sekeliling kita penuh dengan kepalsuan. Tetap menyuarakan kebenaran dan keadilan, membela yang yang tertindas dan melawan penindasan, meskipun kita dipersekusi. Ada orang yang berusaha jujur dalam pekerjaannya, tapi selalu dihambat atasnnya. Ada orang-orang yang membela kesetaraan dan menolak diskriminasi, tapi dipersekusi dan dikriminalisasi. Ada orang yang niatnya mencegah penularan covid dengan menghindari ibadah di rumah ibadah, malah dibilang tidak beriman atau menghambat orang ibadah, lalu dipersekusi. Ada banyak juga kasus lain di mana seseorang yang menyurakan kebenaran harus berhadapan dengan kesulitan, tantangan, bahkan penganiayaan. Percaya kepada Yesus dan melakukan pekerjaan-pekerjaan-Nya adalah sesuatu yang sangat berisiko, bahkan bisa membuat nyawa kita terancam.

Dalam segala risiko itu, saat ini kita diajak untuk "tetaplah nyatakan kebenaran Kristus." Gereja harus memutuskan untuk menyuarakan kebenaran Injil dengan segala konsekuensinya. Injil yang membawa kedamaian sejati kepada mereka yang menderita, kepada mereka yang membutuhkan pemulihan, bagi mereka yang terpinggirkan, kepada mereka yang tertindas. Gereja tidak boleh hanya berkutat dengan diriiya sendiri dan diam saja ketika ada ketidakadilan atau ketika banyak orang sakit dan menderita. Gereja tidak boleh menjadi tidak berdampak karena takut pada ancaman. Gereja yang sejati adalah gereja yang menyuarakan kebenaran meskipun sulit. Gereja yang mengatakan bahwa mengikut Yesus itu sulit sekalipun akan ditinggalkan banyak orang. Gereja yang tidak memberi iming-iming dan janji surga tapi setia pada pengutusan Yesus.

Mungkin ada yang bertanya, “Bagaimana kita bertahan jika mengikut Yesus sesulit itu?” Saudara, Yesus memang tidak menjanjikan bahwa mengikut Dia akan selalu senang. Ia bahkan mengatakan bahwa mengikut Dia penuh dengan kesulitan dan ancaman yang menimbulkan ketakutan. Tapi Ia juga mengatakan “Janganlah kamu takut.” Yesus tidak menyuruh kita untuk nekat lalu menantang bahaya. Yesus tahu, murid-murid-Nya juga kita semua pasti takut ketika kita harus berkarya di tengah ancaman. Tapi, di tengah ketakutan itu, percayalah pada penyertaan Allah. Allah begitu memperhatikan umat-Nya, bahkan burung pipit pun Ia perhatikan. Karena itu, di tengah ketakutan kita karena tantangan, ancaman, dan bahaya, serahkanlah diri kita pada penyertaan Allah. Ia yang memampukan kita sebagai gereja untuk tetap menyuarakan kebenaran sekalipun sulit, untuk terus berkarya membawa kebaikan sekalipun di tengah penderitaan. Gereja harus terus menyuarakan kebenaran karena Allah setia memelihara dan menyertai kehidupan kita. Amin.

(thn)

Selasa, 09 Juni 2020

DIUTUS MENGHADIRKAN TANDA KERAJAAN ALLAH

(Minggu Biasa)
Keluaran 19 : 2 – 8; Mazmur 100; Roma 5 : 1 – 8; Matius 9 : 35 – 10 : 8


Saudaraku yang dikasihi oleh Tuhan Yesus Kristus,
Tema hari ini adalah “Diutus menghadirkan tanda Kerajaan Allah.”

Dari tema ini kita mau diingatkan kembali akan:  
1) Kita semua tanpa terkecuali, diutus. Apa artinya diutus? Diutus dari kata utus, artinya disuruh pergi atau menjadi penghubung atau menjadi wakil untuk menyampaikan atau melakukan sesuatu. Kita tahu bahwa kita diutus Allah. Oleh karena itu kita menjadi wakil Allah untuk menjadi penghubung untuk menyampaikan dan melakukan apa yang dikehendaki Allah, :
2) Menghadirkan – membuat ada, membuat orang melihat, merasa dan mengalami
3) Tanda kerajaan Allah. Tanda kerajaan Allah itu apa dan bagaimana menghadirkannya? Mari kita sama-sama belajar dari apa yang Yesus lakukan yang dituliskan dalam Injil Matius. 

Saudaraku, dalam bacaan menceritakan, Yesus yang hadir di tengah-tengah dunia memiliki misi Allah, yaitu memberitakan. Tetapi juga menghadirkan Kerajaan Allah melalui kehadiran, pengajaran, dan karya-karyaNya. Oleh karena itu, yang Yesus ajarkan soal kerajaan Allah bukan tentang sesuatu yang mengawang-awang, bahasa sorgawi yang tidak dipahami, bukan juga soal nanti atau suatu tempat. Tapi yang Yesus ajarkan dan hadirkan adalah kerajaan Allah yang (ay. 7) mencatat sudah dekat alias sudah datang melalui kehadiran dan karya-karya Yesus.

Tanda kerajaan Allah yang seperti apa yang Yesus hadirkan melalui karya-karyaNya? Dalam buku Gereja dan MisiNya tulisan Pdt. Em. Widi Artanto menyebutkan bahwa Injil Kerajaan Allah yang menjadi misi Yesus di dunia mencakup empat tema besar, yaitu keutuhan ciptaan, pembebasan, kehambaan dan perdamaian. Empat tema itu jika diungkapkan lewat satu kata, yaitu Syalom, damai sejahtera. Itulah tanda kerajaan Allah yang Yesus hadirkan melalui karya-karyaNya. (Dian Penuntun, 2020 : 10)

Lihat saja Matius mencatat karya apa saja yang Yesus lakukan dalam bacaan. Dituliskan Yesus begitu aktif, Ia berkeliling ke semua kota dan desa, Ia mengajar dan memberitakan Injil Kerajaan Allah di rumah-rumah ibadat dan juga menyembuhkan orang-orang sakit maupun yang dalam kelemahan.

Yesus melakukan itu semua karena Ia melihat orang banyak itu lelah dan terlantar. Artinya, pada masa itu banyak orang tidak diperdulikan, diabaikan, diasingkan, tidak dimanusiakan, dan miskin belas kasihan. Karena banyak orang lelah dan terlantar. Di tengah-tengah kondisi inilah Yesus hadir di tengah mereka. Ia memberitakan Injil Kerajaan Allah sekaligus menghadirkanNya di tengah-tengah mereka. Sehingga semua orang bisa melihat, merasakan dan mengalami syalom (damai sejahtera)!

Apa yang Yesus lakukan?
Tergerak hatiNya oleh belas kasihan (Yun. Esplankhnisthe dari kata splankhan) yang artinya pusat emosi manusia. Dan kata Yunani ini diterjemahkan lagi dengan kata compassion : menanggung (sesuatu) bersama orang lain; menempatkan diri kita dalam posisi orang lain, untuk merasakan penderitaannya seolah-oleh adalah penderitaan kita sendiri, dan secara murah hati masuk ke dalam sudut pandangnya) (Dian Penuntun, 2020: 11), Ia merangkul yang terlantar, Ia menyembuhkan yang sakit, Ia menguatkan yang lelah dan lemah, dan Ia juga memanggil, melengkapi dan mengutus 12 murid untuk bersama-sama denganNya menghadirkan Kerajaan Allah di tengah dunia. Menghadirkan syalom (damai sejahtera) bagi lebih banyak orang. Ini karya-karya Yesus menghadirkan syalom, tanda KA

Saudaraku, dari kisah akan karya Yesus mewartakan dan menghadirkan kerajaan Allah di tengah dunia. Kita mau diingatkan bersama:
1) Kita semua ada dalam dunia ini karena kita diutus oleh Allah. 
    Dalam buku The Purpose Driven Life karya Rick Warren, dia mengatakan “Jika anda ingin tahu mengapa anda ditempatkan di planet bumi ini, anda harus memulainya dengan Tuhan. Anda dilahirkan oleh tujuanNya dan untuk tujuan itu.”(Warren, 2002: 3)

Maka, kita ada dalam dunia ini bukan karena kebetulan lahir dalam dunia ini. Kita ada karena kita diutus oleh Allah. Kita jadi penghubung dan wakil Allah. Dan menjadi orang-orang yang diutus bukan berarti kita hanya sebatas jadi murid yang belajar, atau jadi pengikut, apalagi penggemar akan karya Allah semata. Karena kita juga diberi misi Allah, yaitu menyampaikan dan menghadirkan tanda kerajaan Allah syalom - damai sejahtera di dalam keseharian hidup kita.

2) Hadirkanlah tanda Kerajaan Allah dalam kehidupan sehari-hari.
Di jaman sekarang saya rasa ini jadi tantangan terbesar kita bersama, yaitu menghadirkan damai sejahtera Allah. Mengapa saya katakan tantangan? Karena banyak orang sebenarnya udah tahu. Tapi tidak mau atau belum mau menghadirkan damai sejahtera Allah. Maunya menghadirkan damai sehahtera diri saja.

Mengapa? Pada beberapa waktu yang lalu, sempat viral sebuah tulisan #Indonesiaterserah. Tulisan itu muncul karena banyak masyarakat Indonesia berkerumun di sejumlah tempat dan mengabaikan protokol kesehatan, baik di mal, pasar, di jalan, di bandara dan beberapa tempat lainnya. Lalu kritikan pun muncul di media sosial baik terhadap orang-orang yang abai dengan protokol kesehatan maupun kritik terhadap pemerintah dengan tulisan #indonesiaterserah.

Bahkan ketika berita ini viral, ada seorang bapak yang memakai pakaian APD lengkap dan membawa cairan disinfektan berteriak-teriak di jalan raya, kami capek, kami capek, kami capek! Beliau mewakili para tim medis yang capek di garda terdepan – dengan resiko besar tidak pulang, tidak bisa bertemu keluarga, rindu keluarga, mereka berjuang dalam rasa takut, harus tahan pipis dan puasa ketika pake APD selama ­+ 10 jam, distigma dan mereka juga adalah orang-orang yang sangat beresiko tertular covid 19 dan mati.

Tapi apa yang terjadi? Banyak orang dengan alasan bosan padahal semua orang juga bosan termasuk para medis, banyak orang itu lebih mengutamakan damai sendiri, tidak peduli dengan orang lain yang sudah berjuang (para medis) seperti di konteks Yesus banyak yang melantarkan orang lain – tidak memanusiakan orang lain.

Oleh karena itu, di masa ini yuk sama-sama hadirkan syalom buat orang lain (para medis dan orang sekitar). Para medis merawat diri mereka dan yang sakit, sementara kita juga menghadirkan syalom dengan menjaga diri kita dengan baik. Menurut tulisan harian Kompas, garda terdepan adakah kita dan para medis justru adalah garda terbelakang. Lewat dari para medis, abislah kita. Maka di rumah aja. Kalau ngga penting-penting amat, selain karena harus bekerja atau pelayanan. #yukdirumahaja #indonesiabukanterserah #indonesiaberkaryadenganbelaskasihan

Hadirkanlah damai bukan petaka. Hadirkanlah sukacita bukan derita.
Hadirkanlah kabar baik, bukan kabar hoax.
Hadirkanlah berita yang memberi pengharapan
bukan kabar yang menularkan kebencian.
Hadirkanlah belas kasihan bukan abai dan melantarkan.
Hadirkanlah penyembuhan bukan membuat luka
Hadirkanlah pengampunan bukan perselisihan
Hadirkanlah semua itu sebagai wujud kita menghadirkan damai sejahtera Allah.

Sulit melakukannya? Pasti. Tapi bukan berarti tidak bisa. Mari dan semangat berjuang menghadirkan tanda kerajaan Allah – damai sejahtera Allah di dalam kehidupan ini. Amin.
(mc)



Selasa, 02 Juni 2020

HIDUP DALAM PENYERTAAN BAPA, ANAK, DAN ROH KUDUS


MINGGU TRINITAS
Matius 28:16-20

Ibu Bapak saudara semua yang terkasih dalam Tuhan, bagaimana kabarnya? Kita senantiasa perlu menaikkan syukur kita atas pemeliharaan Allah dalam kehidupan. Di tengah segala keterbatasan, kita tetap menguapayakan yang terbaik untuk terus beribadah kepada Tuhan. Menurut kalender gerejawi, minggu ini kita memasuki Minggu Trinitas, yakni satu minggu setelah Hari Pentakosta. Sesungguhnya, Trinitas adalah pondasi utama dalam kekristenan, namun tak banyak orang mengeluhkan konsep Trinitas itu sendiri, yang dirasa terlalu ruwet, filsafati, bahkan susah dinalar. Saya sendiri ingat, kelas katekisasi yang diikuti belasan tahun silam. Kala itu, pengajar katekisasi juga terkesan kebingungan dalam menganalogikan, dan saya pun merasa tak puas akan diskusi di kelas. Bahkan sampai detik ini, membincang perihal Trinitas bersama jemaat juga tak pernah menemui titik happy ending, karena melihat mimik muka jemaat yang terkesan tidak lega. Namun, timbul pertanyaan, apakah memang arah memahami Allah Trinitas adalah kepuasan diskusi dan perbincangan?

Teks kita minggu ini ada dalam balutan perikop terakhir Injil Matius. Teks ini seringkali disebut sebagai Amanat Agung, seakan-akan amanat Yesus yang lain bukan amanat yang agung. Saya rasa, kurang pas jika kita hanya menitikberatkan keagungan amanat pada satu saja perintah Yesus. Ya, bisa jadi karena amanat ini adalah amanat terakhir yang diucapkan Yesus sebelum Ia naik ke Sorga. Jika memang demikian, ucapan Yesus ini seakan menjadi ‘pesan-pesan terakhir’ yang dirasa begitu penting. Namun, jika kita terlalu mengistimewakan amanat ini disanding amanat lain, kita akan terjebak pada model Pekabaran Injil klasik, dimana kristenisasi menjadi goal utama dan terutama. Mengapa?

Yesus menyuruh para murid untuk menjadikan semua bangsa menjadi muridNya. Pemahaman ini mudah sekali ditafsirkan sebagai sebuah keharusan untuk melakukan kegiatan Kristenisasi. Padahal, jika kita berpijak pada teks-teks Injil, kita akan menemukan kenyataan yang lain. Misalkan saja Yohanes 13:33-34, Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi. Dari perkataan Yesus, kita tahu bahwa menjadi murid Kristus adalah ketika seseorang mau mempraktikkan kasih dalam hidupnya. Berarti, tujuan Yesus agar para murid melakukan pemuridan adalah tersebarnya kasih di atas bumi. Bayangkan saja, ucapan Yesus 2000 tahun yang lalu, masih harus kita lakukan sampai detik ini. Dunia seakan-akan teralihkan perhatiannya dari pandemic covid-19, menuju kepada kasus rasisme di Amerika, dimana seseorang bernama George Floyd, warga Amerika berkulit hitam mendapat perlakuan yang tidak semestinya. Saya membaca status Facebook salah seorang pendeta GKI, Pdt. Nanang, kira-kira berucap begini, “apakah kita harus membangunkan Martin Luther King kembali?” Ya, perjuangan MLK ternyata belum selesai. Kasih itu seakan-akan padam oleh kepentingan politik. Untuk itulah, proses pemuridan harus dilakukan. Bukan bertujuan memperbanyak orang Kristen, namun bagaimana kasih Allah itu tumbuh mekar dengan indah di dunia yang gersang ini.

Jemaat terkasih, hal ini mungkin berkenaan pada pertanyaan yang seringkali ditujukan pada GKI, bahwa GKI adalah gereja yang anti Pekabaran Injil (PI). Jika kita melihat tujuan Yesus yakni kasih, GKI adalah gereja yang sangat PI, bahkan PI yang radikal. Kenapa radikal? Injil yang dikabarkan GKI adalah Injil yang berangkat dari akar (radis), yakni kasih Allah yang merahmati seluruh ciptaan. Bukankah ini lebih sulit, dibandingkan melakukan Kristenisasi dengan rayuan Sorga dan keselamatan? Untuk itulah, gereja haruslah tetap setia melakukan pemuridan, dengan cara pertama, menjadi murid yang baik. Kita tahu, sebagai murid, selalu ada kemungkinan untuk menjadi bandel. Gereja yang bandel adalah gereja yang tidak mau mengerjakan PR-nya, yakni pemuridan dalam rangka menyebar kasih dalam pelayanan di dunia. Ingat ya, kita punya PR bersama, apakah kita masih rajin sebagai murid?

Lalu bagaimana dengan “Baptislah mereka dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus”? Ini adalah sebuah keharusan bagi gereja untuk melayani siapapun yang menerima Kristus sebagai Tuhan dan juruselamatnya. Membaptis dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus tidak bisa juga kita membacanya secara harafiah sebagai ukuran keberhasilan gereja melakukan kristenisasi. Ada tafsiran yang mengatakan bahwa teks ini dibuat dengan latar belakang sebuah keadaan sosial yang mengharuskan syarat kuantitas, yakni banyaknya jumlah penganut kepercayaan. Namun kita perlu ingat, Yesus sendiri dalam segala ajaranNya tidak pernah berbicara mengenai kuantitas, namun kualitas. Sehingga, kita tidak akan membaca teks itu dengan tujuan kuantitas.

Jemaat terkasih, kita perlu ingat, Allah Trinitas adalah Allah yang berkarya secara terus menerus. Kurang pas apabila kita terlalu menghayati Allah Tritunggal dengan gaya modalisme (Bapa sebagai pencipta, Anak Menyelamatkan, Roh Kudus memelihara). Namun, sulit disangkal bahwa gaya beriman itulah yang ada dalam wajah kekristenan pada umumnya. Allah Trinitas mewujudkan karyaNya secara dinamis dan harmonis. Bapa, Anak, dan Roh Kudus senantiasa melakukan karya bersama, baik itu penciptaan, penyelamatan, pemeliharaan. Hal itu bisa kita jumpai secara jelas dalam pembukaan Kejadian 1:1-3, Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air. Berfirmanlah Allah: "Jadilah terang." Lalu terang itu jadi. Dalam teks itu kita menemukan ada Allah di sana, ada Sang Anak, dan Roh. Mungkin, Bapa bisa kita temui dengan mudah ketika membaca ‘Allah’, begitu pula Roh Kudus, yakni ‘Roh Allah’. “Lha, Sang Anak di mana?” Mungkin pertanyaan itu ada. Bukankah Sang Anak pada mulanya adalah Firman (bdk. Yoh 1:1). Ya, ketiganya berkarya dalam kesatuan yang harmonis. Lalu, apa kaitannya dengan membaptis dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus? Hal itu bisa kita baca sebagai ajakan Yesus untuk setiap para pengikutnya agar menyadari bahwa siapapun pada akhirnya akan dihisab masuk dalam persekutuanNya untuk melakukan perkara yang baik. Ketika Allah Tritunggal itu berkarya bersama, kita sebagai murid-murid Yesus diajak untuk menyadari bahwa kita juga masuk dalam persekutuanNya dan berkarya. Proses KESADARAN inilah yang harus selalu ditekankan dalam hidup bergereja. Hal ini menjawab pertanyaan di awal, apakah membincang Trinitas itu hanya berbuah kepuasan diskusi? Saya rasa tidak. Membincang (baca: merenungkan) Allah Trinitas tidak boleh didasarkan pada motivasi INGIN MENGERTI SECARA NALAR, terlebih BISA MENJAWAB DEBAT ORANG LAIN. Keinginan Yesus bukanlah seperti itu. Menyadari bahwa kita hidup dalam penyertaan Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus, sesuai tema, adalah sesuatu yang harus kita yakini dan hidupi.

GKI sudah menelurkan Pengakuan Iman (credo) secara pribadi pada tahun 2014, dan perlu kita tahu, credo itu diawali dengan sebuah kesaksian yang berbunyi Dalam persekutuan kasih yang akrab serta anugerah penciptaan, pemeliharaan, penyelamatan, dan pembaruan oleh Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus, kami sebagai Gereja Kristen Indonesia hidup dan berkarya di tengah kekayaan dan kepelbagaian warisan sejarah, budaya, dan lingkungan alam Indonesia. Kita sebagai GKI mengakui adanya persekutuan kasih yang akrab dalam Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Pembuka konfesi ini menjadi jantung dalam GKI mendaku imannya. Tidak berhenti di situ, credo GKI dipungkasi dengan pernyataan bahwa Kemuliaan bagi Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus, yang tidak pernah memisahkan kami dari kasih-Nya sekarang dan selama-lamanya. Amin. Bukankah ini menandakan bahwa kita mengaku, kita tidak pernah terpisah dari kasih Allah Tritunggal? Itulah yang diyakini oleh Rasul Paulus dalam Roma 8:38-39 Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.

Dalam Minggu Trinitas ini, kita diajak untuk kembali menyadari bahwa kita senantiasa hidup dalam rangkulan kasih Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Meski kita tahu, Allah Trinitas senantiasa memiliki sisi misteri. Bukan tujuan kita untuk membedah misteri itu. Misteri bukanlah masalah yang harus diselesaikan, namun kesediaan kita mengaku kemisteriusanNya, dan keberanian untuk menghidupi panggilan di dalamnya. Selain harus memuridkan, kita juga adalah murid. Murid yang selalu belajar mengejawantahkan kasih dalam laku konkret sehari-hari. Oleh sebab itu, sebaik-baiknya cara untuk mensyukuri hidup dalam penyertaan Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus adalah memastikan bahwa kita tidak lelah dan bosan melakukan kebaikan, yakni kasih Allah yang merahmati semesta.

ftp