Kamis, 29 Agustus 2019

TUHAN MENINGGIKAN ORANG YANG RENDAH HATI



Minggu Biasa 11
Amsal 25:6-7 | Mazmur 112 | Ibrani 13:1-8, 15-16 | Lukas 14:1, 7-14

Dalam sebuah lakon wayang, “Gareng Dadi Ratu”, ada kisah yang menarik. Gareng sebagai salah satu dari Panakawan, abdi kerajaan Amarta, punya sebuah keinginan. Ia ingin menjadi seorang Raja yang bertahta meski hanya sekejap mata. Keinginan itu tak lain karena iri hatinya, karena dua adiknya, Petruk dan Bagong pernah menjadi Raja. Ia ingin meminjam tahta Kerajaan Amarta dan menyampaikan keinginan itu pada Arjuna. Arjuna sebagai adik dari Puntadewa atau Yudhistira, yakni Raja Amarta, merasa tersinggung dan tidak terima. Arjuna merasa Gareng telah melecehkan Kerajaan Amarta. Lantas, Arjuna marah dan memukul Gareng, lalu mengusirnya pergi. Gareng telah bersikap tak sopan dan sangat kurang ajar kepada keagungan tahta Amarta.

Apa yang dilakukan Gareng memang tidak masuk akal. Namun, siapa yang tidak ingin berada dalam tahta yang tinggi? Mungkin memang bukan duduk di tahta raja, namun perasaan ingin selalu dihormati. Itulah yang juga terjadi ketika Yesus datang di acara perjamuan salah seorang pemimpin orang-orang Farisi dalam teks Lukas 14:1, 7-14. Banyak tamu berusaha menduduki tempat kehormatan. Tempat VIP itu biasanya dekat dengan tuan rumah, sehingga siapapun yang duduk di situ merasa lebih terhormat dari undangan yang lain. Tempat duduk VIP ini jadi rebutan. Namanya juga VIP (Very Important Person), setiap orang maunya dianggap important. Tradisi perjamuan memang akrab di kalangan orang Yahudi pada masa itu. Jadi, Yesus juga tau tentang kebiasaan rebutan bangku VIP itu. Yesus tidak memarahi mereka. Yesus justru menggunakan kesempatan itu untuk mengajar pada orang-orang di zaman itu. Alangkah malunya, jika seseorang dipaksa berdiri dan minggir oleh tuan rumah karena mengambil tempat yang bukan disediakan bagi mereka. Itulah mengapa, Yesus mengajarkan supaya mereka mengambil tempat yang paling rendah, supaya kalau tuan rumah mempersilahkannya duduk di tempat VIP itu, tamu-tamu lain akan menaruh hormat secara otomatis padanya. Apa yang dikatakan Yesus, selaras dengan Amsal 25:6-7, Jangan berlagak di hadapan raja, atau berdiri di tempat para pembesar. Karena lebih baik orang berkata kepadamu: "Naiklah ke mari,  dari pada engkau direndahkan di hadapan orang mulia. Sederhana saja, Yesus hanya ingin mengatakan biarlah hormat itu datang dari orang lain, bukan dari dalam diri. Manusia pada umumnya sibuk berusaha mendapatkan kehormatan dan pengakuan. Padahal, usaha ini akan berujung pada kecongkakan. Orang seperti ini biasanya akan mudah merasa gagal apabila tidak mendapatkan hormat. Maksud Yesus juga bukan berarti kita harus melakukan itu supaya dihormati, akan tetapi supaya kita memiliki sikap yang rendah hati. Orang yang rendah hati tidak akan gusar jika ada orang tak menghargainya.

Perumpamaan bangku VIP itu ditujukan Yesus bagi orang banyak. Yesus menginginkan mereka memiliki sikap yang rendah hati. Yesus mengakhirinya dengan pernyataan, “Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” (Luk 14:11). Lalu, ajaran Yesus tidak berhenti di situ saja. Apabila perumpamaan tadi ditujukan bagi banyak orang, Yesus kali ini berkata kepada khusus kepada tuan rumah. Yesus memberi ajaran bahwa semestinya mengundang orang-orang yang terpinggirkan, bukan yang kaya. Ketika orang kaya yang diundang, mereka akan membalasnya. Minimal, balik mengundang ketika punya hajat. Namun, ketika mengundang orang miskin, mereka tak mampu membalasnya. Justru di situlah, akan ada balasan ketika hari kebangkitan orang-orang benar. Bukankah begitu pula kebiasaan manusia zaman sekarang. Ketika punya hajat, menomorsatukan orang-orang terhormat. Dengan begitu, para tamu akan kagum jika acaranya dihadiri orang besar. Hal ini kembali pada poin perumpamaan di atas, bagaimana kita diajak untuk tidak memiliki sikap tinggi hati. Bukankah hajatan adalah berbagi kasih dan sukacita? Dalam Ibrani 1:1-2 dikatakan, Peliharalah kasih persaudaraan (Philadelphia)!  Jangan kamu lupa memberi tumpangan kepada orang (philoxenian),  sebab dengan berbuat demikian beberapa orang dengan tidak diketahuinya telah menjamu malaikat-malaikat. Memperlakukan sesama ternyata diartikan menjamu malaikat. Memperlakukan siapa yang kita anggap saudara, atau yang mungkin asing bagi kita. Tidak boleh ada perbedaan. Kedua hal itu merupakan tanda bagaimana kita memiliki kasih yang tulus dan konsisten. Konsep ini sama ketika Yesus mengandaikan dirinya sebagai orang asing (bdk. Mat 25:31-46). Tentu sikap ini bisa dilakukan apabila kita mempunyai kerendahan hati, dan tidak membeda-bedakan sesama manusia.

Ajaran Yesus memang sangat berlawanan dengan kebiasaan orang pada zaman itu, pun juga zaman sekarang. Popularitas adalah sesuatu yang dikejar tanpa henti. Rasa ingin dihormati, dihargai, dan diperlakukan istimewa. Kalau Yesus saja yang sebenarnya adalah Raja, mau memperlakukan kita dengan istimewa, bagaimana dengan kita?
ftp

Jumat, 23 Agustus 2019

Tuhan, Pulihkan Kami


Minggu Biasa 10 – HUT ke-31 GKI


Yesaya 58:9-14 ǀ Mazmur 103:1-8 ǀ Ibrani 12:18-29 ǀ Lukas 13:10-17

Carl Honore, adalah seorang koresponden The Economist dan pelbagai surat kabar. Ia mengejar berita dari kota ke kota, masuk keluar bandara dan pesawat, terus menerus menelepon editor dan sumber-sumber berita, sehingga ia tak sempat bercerita panjang untuk mengantar tidur anak-anaknya.

Pada suat saat, ketika ia sedang antre di sebuah bandara, terbaca olehnya sebuah tulisan,”The One-Minute Bedtime Story”. Eureka! Ia bergembira: akhirnya orang bisa membuat dongeng yang cuma satu menit panjangnya. Ia perlu kemudahan seperti itu, sebab ia tak bisa melayani permintaan anak-anaknya untuk membawakan cerita yang asyik. Hampir tiap malam ia harus menulis, mengirim artikelnya, menjawab surel, membaca kabar, dan berdiskusi.

Tapi bagaimana membawakan dongeng Hans Christian Andersen dalam 60 detik?

Suatu ketika Honore menyadari bahwa hidup Si Thumbelina (dan berbagai karya Hans Christian Andersen) hanya dapat disusuri dengan gerak yang pelan. Hingga ia menulis buku In Praise of Slowness. Ada hubungan gerak yang tak terburu-buru dengan karunia kesunyian, keheningan dan kebebasan – sesuatu yang telah rusak karena zaman berubah dan manusia resah untuk sekadar bekerja, bekerja dan bekerja.

Goenawan Mohamad mensinyalir dewasa ini orang makin kehilangan kemampuan menghayati waktu sebagai ketakjuban yang selalu baru. Orang terus berbicara soal “kurang waktu”, bersaing cepat, berlomba menarik perhatian, bersaing mau diakui, berlomba teriak. Aku menggebrak, maka aku ada!

Pada ulang tahun ke-31 ini GKI perlu sejenak menoleh, bergembira mensyukuri anugrah Allah atas setiap peziarahan yang sudah dialami, sekaligus tanpa terburu-buru menggunakan waktu untuk memeriksa diri atas kegagalan dan kekurangan yang masih perlu untuk dibenahi bersama. Itulah jiwa dari tema “Tuhan, Pulihkan kami”. Tema ini mengajak kita, GKI, untuk senantiasa merindukan pemulihan dari Tuhan Sang Kepala Gereja sehingga kita dimampukan untuk tak sekadar menggebrak namun terus berdaya guna bagi Tuhan dan sesama.

Yesus sendiri adalah sosok pekerja. Dalam bacaan Injil hari ini kita melihat Ia mengajar dan menyembuhkan. Untuk itu mari kita cermati pesan Yesus melalui karya-Nya tersebut.

  • Yesus mengajar dan menyembuhkan untuk memulihkan

Di salah satu sinagoge pada hari Sabat, Yesus mengajar untuk mengarahkan, memeringatkan dan menegur murid-murid-Nya bila sedang melakukan hal yang tidak benar. Sebagai murid-Nya, gereja seharusnya sadar bahwa dalam menjalani hidup ini diperlukan arahan dan pengajaran dari Tuhan sendiri. Dengan kesadaran akan keterbatasan itu seorang murid akan memiliki kerinduan untuk mencari serta menerima pengajaran Yesus walaupun terkadang pengajaran Yesus menegur keras laku hidup secara personal maupun komunal. Sebab tanpa kesadaran dan kerinduan untuk diajar, gereja bisa saja menjadi “sekarat” karena kehilangan dayanya untuk melanjutkan karya secara optimal dan otentik (murni).

Sebab bukan tidak mungkin sebagai pribadi maupun institusi, para murid terkena roh jahat sebagaimana dialami oleh perempuan yang telah 18 tahun sakit bungkuk. Roh jahat yang dimaksud di sini adalah kuasa yang melemahkan dan mendatangkan penyakit yang menyebabkan penderita tidak bisa hidup berdaya guna secara optimal. Perempuan itu sudah dikuasai oleh kuasa tersebut, ia menjadi bungkuk punggungnya dan tentu menghambat dirinya dalam karya sehari-harinya. Perempuan ini menyadari kelemahannya itu maka ia rindu untuk dipulihkan, menjadi sembuh dan mampu berkarya dengan lebih optimal.

Kerinduan itu berjumpa dengan Yesus. Maka setelah Yesus melepaskan dan membebaskan perempuan itu dari sakitnya, sang perempuan itu kembali berdaya. Ia menggunakan dayanya untuk berdiri memuliakan Allah.

Yesus tidak pernah membiarkan murid-murid-Nya tersesat, maka Ia mengarahkan; Yesus tidak membiarkan pula murid-murid-Nya dikuasai spirit yang melemahkan maka Ia memutuskan ikatan yang melemahkan dan memulihkan dengan daya yang baru. Maka gereja pun perlu menyadari dan mengakui keberadaan dirinya yang terkadang berada dalam kungkungan spirit yang melemahkan bahkan saling melemahkan dengan menjaga ketat segala ritual formal dan hukum gerejawi. Hal ini bukan suatu yang mengerikan namun perlu dipulihkan Yesus.

  • Dipulihkan agar ritual formal tercermin melalui kesalehan sosial.

Saat Yesus memulihkan si perempuan bungkuk itu, Ia menerima kecaman dari mereka yang sibuk dengan ritual formal menjaga hari Sabat. Mereka bersikukuh dengan menjaga hari Sabat namun dengan kemunafikan. Sebab, ada banyak pemakluman untuk kepentingan mereka sendiri. Misalnya saja, mereka nyatanya sering melakukan pekerjaan di hari Sabat dengan melepaskan lembu dan membawanya ke tempat minum.

Untuk itu, penyembuhan yang Yesus lakukan sebenarnya bukan hanya bagi perempuan yang bungkuk punggungnya namun juga bagi mereka yang bungkuk hati dan pikirannya. Yesus ingin setiap orang terbebas dari kebungkukan mereka atas hukum/ritual formal demi kenyamanan diri. Yesus ingin setiap orang menjadi pulih dan dengan optimal melakukan ritual formalnya demi memuliakan Tuhan. Yesus ingin ritual formal menjadi jalan bagi umat untuk memelihara spiritualitas dan religiositasnya sehingga kemudian mampu mencapai tujuan sejati berkarya nyata bagi Tuhan dan sesama dalam berbagai bentuk kesalehan sosial.

Yesus tak ingin para murid-Nya terjebak bekerja-bekerja-bekerja di lingkup ritual formal melulu. Terlebih bila ritual formal itu diberlakukan demi kesenangan diri, mencari keuntungan bagi diri dengan melakukan urusan pribadi belaka, tanpa peduli pada Tuhan dan sesama. Sehingga muncul ribuan alasan “kurang waktu” untuk agenda Allah menjadi umat/menjadi gereja yang berdaya guna bersama sesama memuliakan nama-Nya.

Jemaat Tuhan, di tengah-tengah perayaan kita akan penyertaan Tuhan atas GKI, mari kita merendahkan hati dan keseluruhan diri kita di hadapan Tuhan. Marilah menyadari keterbatasan kita sebagai umat Allah, sebagai gereja-Nya. Memang kita harus bersegera bekerja menghadapi berbagai percepatan di sekitar kita. Kecepatan dan kekuatan bisa efektif seperti peluru. Akan tetapi peluru tak menumbuhkan sasarannya. Apalagi bila sekadar terburu-buru, itu tentu tak akan menjamin roh yang melemahkan itu pergi menjauh. Malah mungkin dengan keterburu-buruan roh melemahkan itu hadir dalam wujud jemaat atau penatua atau pendeta yang bersaing cepat, berlomba menarik perhatian, bersaing mau diakui, berlomba teriak. Aku menggebrak, maka aku ada!

Karena itu periksalah diri, sadarilah keterbatasan diri, akuilah di hadapan Tuhan, mohonlah “Tuhan, pulihkan kami”. Sehingga kita dimampukan membangun gereja yang berdiri tegak berlandas Cinta Kasih Kristus, mendorong gerakan pelayanan nyata di tengah Indonesia sesuai kehendak-Nya dengan kegembiraan Illahi.

Selamat Ulang Tahun GKI!
ypp

Kamis, 15 Agustus 2019

BERITA INJIL: INFORMASI ATAU TRANSFORMASI?

Minggu Biasa IX
Yeremia 23:23-29 | Mazmur 82 | Ibrani 11:29-12:2 | Lukas 12:49-56


Tujuh puluh empat tahun sudah negara kita, Indonesia, merdeka dari penjajahan bangsa lain. Namun, ternyata Indonesia belum merdeka dan bebas seutuhnya. Masyarakat kita masih terbelenggu oleh kecurigaan, kebencian, dan konflik. Beberapa tahun belakangan ini, konflik dan kecurigaan dalam masyarakat semakin meruncing, masyarakat membentuk kubu-kubu karena perbedaan pandangan politik. Selain itu, kepentingan para elit politik yang dibumbui sentimen agama semakin memperkuat konflik dan perpecahan. Agama alih-alih menjadi urusan privat untuk mengatur kehidupan moral masyarakat, menjadi alat politik sementara pihak untuk mencapai kekuasaan. Alih-alih membawa damai, agama justru menimbulkan perpecahan karena kepentingan-kepentingan politik.

Banyak orang yang mengaku beragama di Indonesia ini, bahkan Indonesia bisa dikatakan sebagai salah satu negara paling beragama di dunia. Tetapi, bukan berarti karena beragama lalu Indonesia terhindar dari kebencian, kecurigaan, dan konflik. Masyarakat yang beragama ternyata sekadar memahami ajaran agama, tanpa menghidupinya. Agama dan ajaran-ajaran keagamaan hanya menjadi informasi, tetapi tidak mentransformasi kehidupan. Mungkin kita akan berkata, “Yang seperti itu kan kebanyakan dari agama tetangga.” Ya, karena memang jumlah penganut agamanya jauh lebih banyak. Tetapi bukan berarti bahwa orang-orang Kristen tidak ada yang seperti itu. Ternyata banyak juga orang Kristen yang kehidupannya tidak sesuai dengan status keberagamaannya. Ternyata banyak juga orang Kristen yang terjerat kasus korupsi, suap, penipuan, dan lain-lain. Ada juga orang-orang Kristen yang membenci orang lain yang berbeda agama. Bahkan ada juga orang-orang Kristen yang menggunakan teks-teks Alkitab untuk melegitimasi tindakan korup, kebencian dan kecurigaan, juga kepentingan politik kekuasaan.

Penginjil asal Amerika Serikat, Dwight L. Moody (1837-1899) pernah mengatakan, “The Bible was not given for our information, but for our transformation.” Kitab suci seharusnya tidak hanya dibaca atau dipelajari, tetapi dihidupi. Atau lebih dari itu, Kitab Suci mentransformasi kehidupan kita. Pembacaan dan pemahaman akan Kitab Suci seharusnya membawa orang kepada hidup yang lebih baik. Begitu juga dengan segala ajaran agama yang ada, seharusnya mentransformasi kehidupan kita, bukan malah menjadi alat legitimasi kekuasaan dan menanamkan kebencian. Tidak ada gunanya Kitab Suci dan ajaran agama jika hanya diketahui tanpa berusaha untuk dihidupi.

Ternyata kecenderungan politisasi agama telah terjadi sejak zaman Nabi Yeremia. Yeremia 23 menggambarkan bagaimana nama Tuhan dipakai oleh nabi-nabi dan para imam untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Dikatakan bahwa janji-janji para nabi palsu yang mengatasnamakan Tuhan ini seperti jerami, sementara firman Tuhan sendiri ibarat api (ay. 29). Mereka mengetahui tentang firman Tuhan namun kehidupan mereka jauh dari firman Tuhan. Ini juga yang menjadi kritik Yesus kepada orang-orang Yahudi. Mereka mengetahui dan memahami banyak hal, namun mereka tidak dapat melakukan hal yang benar (Luk. 12:54-57). Karena itu, sebelumnya Yesus pun menegaskan bahwa kedatangan-Nya adalah untuk melemparkan api dan membawa pertentangan (Luk. 12:49-51). Apa maksudnya ini? Bukankah yang kita ketahui selama ini bahwa Yesus datang dengan kasih untuk membawa damai? Lalu bagaimana mungkin Yesus membawa pertentangan?

Ada beberapa tafsiran mengenai perkataan Yesus yang kontroversial ini, namun jika melihat bagaimana Nabi Yeremia mengumpamakan Firman Tuhan sebagai api, maka kita dapat membacanya dengan pemahaman bahwa Yesus Kristus adalah Sang Firman, yang memberitakan Injil Kerajaan Allah. Ia hadir bagaikan api yang memurnikan, memisahkan yang murni dari yang tidak murni. Api yang memberikan dampak berbeda kepada materi yang berbeda, logam dimurnikan tetapi kayu dihanguskan. Berita Injil yang dibawa oleh Kristus juga punya dampak yang berbeda bagi banyak orang. Kedatangan Yesus dengan Injil Kerajaan Allah yang mentransformasi kehidupan beragama dan berpolitik membuat banyak orang tertarik dan mengikut Dia, namun di lain pihak ada juga orang-orang yang merasa terganggu dengan kehadiran Yesus. Mereka adalah orang-orang yang nyaman dengan kehidupan beragama dan berpolitik status quo, sehingga kehadiran Yesus dianggap  sebagai ancaman. Demikinlah berita Injil Kerajaan Allah yang dibawa Kristus itu membawa pertentangan dalam masyarakat. Pertentangan ini juga kemudian terjadi dalam keluarga (Luk. 12:52-53). Ada anggota yang mempertahankan status quo, ada juga yang tergugah dengan gerakan transformasi Yesus.

Sampai, di sini kita memahami berita Injil yang dibawa Yesus Kristus sebenarnya membawa pembebasan dan perdamaian, namun pihak-pihak yang hidup beragamanya sekadar tahu dan pahamlah yang justru menimbulkan pertentangan kerena menolak transformasi yang dibawa oleh Yesus Kristus. Ada orang yang hidupnya mengalami transformasi, ada orang yang hanya berhenti pada sekadar tahu dan paham, bahkan tak jarang menggunakan berita Injil itu untuk melegitimasi kepentingan mereka. Jika melihat masyarakat kita sekarang ini, banyak orang yang memahami dan mengaku diri beragama, namun tidak memiliki kontribusi untuk mentransformasi bangsa ini. Bagaimana bangsa ini bisa ditransformasi, jika diri sendiri belum mengalami transformasi. Orang-orang yang mengaku beragama masih hidup dalam kecurigaan dan kebencian terhadap yang lain, kesombongan dan arogansi merasa diri paling benar, korupsi dan tipu daya untuk meraih kekuasaan dan kekayaan pribadi, keserakahan dan ketamakan yang menghancurkan alam semesta.

Pada momen peringatan kemerdekaan ini, kita perlu menyadari bahwa kita bukanlah orang-orang beragama Kristen yang numpang lahir dan hidup di Indonesia, tetapi kita adalah bagian dari Bangsa Indonesia. Kita adalah orang Indonesia yang beragama Kristen. Karena itu, gereja dan orang Kristen Indonesia seharusnya memiliki peran untuk mentransformasi bangsa dengan memberi kontribusi yang baik bagi bangsa ini. Untuk itu, kita harus memulainya dari diri kita sendiri terlebih dulu. Mari bertanya kepada diri sendiri, apakah berita Injil yang kita dengarkan sudah mentransformasi diri kita, atau hanya menjadi informasi? Apakah kehidupan beragama kita hanya sekadar tahu dan paham atau berbuah dalam tindakan kita terhadap sesama ciptaan? Apakah pengajaran Kristus membantu kita untuk mengubah hidup kita ke arah yang lebih baik atau hanya menjadi doktrin yang kita bela mati-matian dengan segala cara, termasuk menyingkirkan mereka yang berbeda? Marilah selalu bergerak untuk mentransformasi diri dan bangsa. (ThN)

Senin, 12 Agustus 2019

IMAN MENGENYAHAN KETAKUTAN


Kejadian 15 : 1 – 6; Mazmur 33 : 12 – 22; Ibrani 11 : 1 – 3, 8 – 16; Lukas 12 : 32 – 40

          Dunia ini dipenuhi dengan rasa takut. Kebanyakan rasa takut itu terhadap apa yang dialami juga terhadap hal-hal yang belum terjadi. Misalnya, orang sehat takut sakit, orang sakit takut mati, Orang bekerja/punya usaha takut ngga sukses/bangkrut, orang kuliah takut gagal dan masih banyak ketakutan manusia lainnya. Ketika ketakutan itu ada dalam diri manusia, nampaknya ketakutan itu sesuatu yang wajar karena setiap orang punya rasa takut itu.
Demikianlah yang dialami oleh Abram (Kej. 15). Ketika Abram sudah tua demikian juga istrinya, Sara. Abram juga punya ketakutan, karena dia belum mempunyai anak dan warisannya justru akan jatuh kepada hambanya. Persoalannya bukan warisan semata, tetapi seorang anak adalah sesuatu yang sangat diharapkan oleh Abram dan dalam tradisi Yahudi, anak (terkhusus laki-laki) lebih berharga daripada harta.
Dalam ketakutan dan kekhawatiran Abram, Tuhan berfirman kepadanya (ay. 1) “Janganlah takut, Abram, Akulah perisaimu: upahmu akan sangat besar.” Lagi Ia berfirman (ay. 5) “Coba lihat ke langit, hitunglah bintang-bintang jika engkau dapat menghitungnya. Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu.”
Lantas apakah Allah langsung membuktikannya? Belum! Tetapi ay. 6a tertulis lalu percayalah Abram kepada Tuhan. Artinya,
1.   Jika dalam ketakutan manusia, manusia selalu menuntut bukti dari Allah terlebih dahulu baru percaya, Allah justru membalikkan pola itu. Percaya dulu dan Tuhan akan memperlihatkan buktinya. Itulah iman. Ibr. 11 : 1 “dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.”

(lih. Ibr. 11 : 11” Karena iman ia juga dan Sara beroleh kekuatan untuk menurunkan anak cucu, walaupun usianya sudah lewat, karena ia menganggap Dia, yang memberikan janji itu setia)

2.   Jangan fokuskan dirimu pada ketakutan, tetapi kepada Allah dengan percaya pada rencanaNya, janjiNya dan kesetiaanNya!

Dalam Injil Lukas 12, Yesus juga memberi pesan yang sama kepada kawanan kecil yaitu para pengikutNya yaitu “janganlah takut.” Mengapa? karena dari segi kuantitas tentu jumlah mereka kecil/sedikit. Ketika mereka kecil, rasa khawatir dan takut pastilah ada. Namun Yesus sampaikan “janganlah takut hai kamu kawanan kecil! Karena Bapamu telah berkenan memberikan kamu Kerajaan itu.” Jika diparafrase kalimat ini, maka menjadi jangan takut karena kamu punya Allah Sang Raja yang punya kerajaan, kekuasaan dan kemuliaan melampaui manusia manapun. Jangan takut karena kamu punya Allah yang melampaui segalanya.
Saudaraku, setiap orang punya rasa takut. Itu wajar. Namun, menjadi tak wajar jika kita terus memfokuskan diri kita pada rasa takut itu. Jadinya seperti sepenggal lirik lagu Syahrini “maju mundur cantik.” Ketakutan jika membuat kita maju mundur terus, maka ketakutan itu tidak cantik tetapi membuat kita staknan. Kita tidak ke mana-mana, tidak menghasilkan karya, dan kita menyia-nyiakan waktu yang ada.
Oleh karena itu, biarkan ketakutan itu ada tetapi bukan sebagai penghambat kita berjalan, tetapi alaram bagi kita bahwa kita selalu butuh Tuhan, butuh percaya dan butuh iman dari Tuhan untuk mengenyahkan ketakutan kita.

“Orang berani bukan mereka yang tidak pernah merasa takut tapi yang bisa menaklukkan rasa takut itu dengan mempercayakan hidupnya kepada Tuhan.”

Amin.
            


Jumat, 02 Agustus 2019

BERBAGI ADALAH BERKAT

Minggu Biasa 7 
Pkh 1:2, 12-12, 2:18-23 | Mzm 49:2-13 | Kol 3:1-11 | Luk 12:13-21


Ada sebuah kisah nyata. Seorang laki-laki yang berpenghasilan 130 USD/detik. Ya. Setiap detik. Orang itu bernama Bill Gates. Meskipun ia bukan orang terkaya di dunia, namun kekayaannya diperkirakan tidak pernah berkurang namun terus bertambah. Sampai-sampai, ada yang menuliskan anekdot tentangnya. Kira-kira begini; jika Gates berjalan dan mengantongi uang 500 USD dan ia menjatuhkannya di jalan, ia tidak perlu berhenti dan mengambilnya. Ia hanya cukup melanjutkan perjalanannya. Jika Gates berhenti, jongkok, mengambil uang itu dan memasukkannya kembali ke kantongnya, itu memakan waktu lebih dati 4 detik, dan ia rugi. WOW! Namun, tokoh yang super kaya bukan hanya ada di zaman sekarang. Raja Salomo adalah orang yang dikenal begitu kaya raya (lih. 1 Raj 10:14-29). Selain dia adalah anak dari Raja yang juga kaya, yakni Daud, dia juga merupakan Raja yang begitu hebat dengan segala pekerjaannya.  Akan tetapi, kitab Pengkhotbah sebagai kitab yang dipercaya ditulis oleh Salomo sendiri, dia menuliskan hal yang unik; Apakah faedahnya yang diperoleh manusia dari segala usaha yang dilakukannya dengan jerih payah di bawah matahari dan dari keinginan hatinya? (Pkh 2:22). Bukankah Salomo seharusnya berbangga dengan apa yang menjadi pencapaiannya? Bergelimang harta, tahta, dan wanita. Demikianlah Salomo. Namun itu semua ternyata sia-sia.


Sulit untuk memahami bahwa hidup tidak melulu tentang uang, terlebih menghidupinya. Bagaimana tidak! Zaman sekarang, kencing aja bayar, bro! Apa-apa butuh uang. Uang yang dulunya menjadi alat tukar dalam berdagang, sekarang berevolusi menjadi barang yang dianggap mampu memberikan rasa aman dan tentram. Lifestyle menuntut manusia mengekor kepadanya menjadi kian tak masuk akal. Istilah anak muda zaman now adalah OOTD (Outfit Of The Day), yakni pakaian yang dipakai hari ini haruslah mempunyai brand tertentu yang harganya begitu so high in the sky. Berbagai instrumen investasi tercipta dan terus berkembang. Menabung dalam gaya konvensional, sudah dianggap terlalu kuno dan tidak memiliki prospek baik. Tapi coba, sesekali kita bertanya kepada orang yang sudah tua, kebanyakan dari mereka akan menjawab bahwa bukanlah uang yang menjadi tujuan hidup. Namun, kita pasti sepakat bahwa tidak harus menunggu menjadi tua untuk tahu apa yang harus kita hidupi.


Rasul Paulus mengingatkan jemaat di Kolose dalam Kol 3:5 “..keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala”. Paulus menganggap bahwa keserakahan itu sama dengan melakukan pemujaan. Ada pergeseran makna yang ditangkap oleh Paulus dan itu meresahkannya. Ternyata, problematika tentang uang sudah ada zaman dahulu, dan perkataan Paulus kian relevan untuk direnungkan bersama di zaman ini. Pdt. Iwan Sukmono pernah mengatakan dalam khotbahnya, “untuk orang serakah, satu isi dunia diberikan padanya akan tetap merasa kurang”. 


Dalam bacaan Injil kita minggu ini yang diambil dari Luka 12:13-21, Yesus sampai-sampai harus memberikan perumpamaan panjang karena masalah satu orang, yakni warisan. Orang yang bertanya pada Yesus itu besar kemungkinan adalah bukan anak sulung. Dalam tradisi Yahudi, anak sulung laki-lakilah yang berhak atas warisan orangtuanya (ingat kisah Esau dan Yakub). Yesuspun mengingatkan orang banyak pada saat itu untuk berjaga-jaga dan waspada terhadap ketamakan. Yesus tidak berbicara padanya secara personal, tapi pada kerumunan, karena Yesus tahu permasalahan warisan (uang) pasti juga dialami oleh semua orang pada zaman itu. Yesus memberikan perumpamaan bahwa ada orang kaya dengan hasil tanah berlimpah. Orang itu bingung, karena lumbungnya tidak cukup besar untuk menampung hasil tanahnya. Akhirnya ia memutuskan untuk merombak lumbungnya menjadi lebih besar supaya cukup menampung semua gandum dan barang-barangnya. Lalu, orang kaya itu berkata pada jiwanya bahwa persediaan makanan itu cukup. Yesus merespon sikap orang itu dengan menyebutnya sebagai ORANG BODOH. Kenapa Yesus demikian keras? Kita harus tahu, bahwa teks ini ada dalam rangkaian besar Injil Lukas dimana sinisme kepada orang kaya itu terasa kuat. Tetapi firman Allah kepadanya: Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti? (Luk 12:20). Apa yang dikatakan Yesus begitu mendasar. Ketika orang kaya itu ingin menyenangkan jiwanya, Tuhan justru mengambil jiwanya pada malam hari. Orang kaya itu lupa, sebesar apapun lumbungnya, itu bukanlah jaminan bisa mengamankan nyawanya dari Tuhan sang Pemilik segalanya. Orang kaya itu mungkin menguasai harta, tapi tidak untuk jiwa. Jelas, dia adalah orang bodoh. Bodoh karena uang, dia lupa kepada siapa dia harus menggantungkan ketentraman jiwa. Untuk siapakah itu nanti? Pertanyaan Yesus mengandung makna. Kenapa harus nanti, dan bukan sekarang? Bukankah hasil tanah itu bisa dibagikan sekarang kepada mereka yang papa?


Seringkali, manusia terjebak pada definisi berkat. Berkat adalah sesuatu yang didapat lalu disimpan. Padahal, bukankah hidup ini adalah berkat Tuhan? Ketika manusia mampu memaknai hidup sebagai berkat dari Tuhan, ia akan mensyukuri hidupnya, dan tidak akan merasa berat untu membagi berkatnya bagi yang lain. Berkat bukanlah apa yang kita miliki, tapi ketika kita mau berbagi. Itulah berkat. Tidak harus menunggu NANTI, tapi SEKARANG. 


Narayanan Khrisnan, seorang yang mau membagi diri untuk orang lain. https://www.youtube.com/watch?v=VXyr0kAgrVU dalam video itu, Khrisnan berkata ; I’m just a human being. What is the ultimate purpose of life? Start giving. See the joy of giving. Khrisnan adalah manusia biasa, sama seperti kita, namun ia mau menggapai tujuan sejati hidupnya, yakni berbagi kepada siapa saja. Jika orang kaya dalam perumpamaan itu MEMPERBESAR LUMBUNG, bagaimana dengan kita? Melakukan hal yang sama, atau MEMBUKA LUMBUNG DAN MEMBAGIKANNYA?
ftp