Kamis, 29 September 2022

KELUARGA YANG MEMILIKI IMAN SEORANG HAMBA


Habakuk 1 : 1 – 4, 2 : 1 – 4; Mazmur 37 : 1 – 9; 2 Timotius 1 : 1 – 14; Lukas 17 : 5 – 10

 

Saudaraku, ada begitu banyak persoalan yang dihadapi oleh keluarga masa kini. Mulai dari komunikasi, keuangan, pekerjaan, persoalan anak, perbedaan pola asuh, kekerasan dalam rumah tangga, relasi mertua vs menantu, hingga kurangnya waktu bersama. Begitu banyak ya? Berbagai persoalan ini juga bisa menjadi alasan menurunnya jumlah pernikahan di Indonesia selama 10 tahun terakhir ini[1] dan mungkin saja salah 1 persoalan yang disebutkan adalah pergumulan kita juga.

Persoalan yang disebutkan di atas sering kali menimbulkan keretakan dalam sebuah keluarga. Nahasnya, kadang kita lupa bahwa keretakan itu kalau terus kita biarkan akan jadi luka yang menghancurkan sesama anggota keluarga. Untuk itu mengawali bulan keluarga tahun ini, firman Tuhan kembali menjadi bekal perjalanan kita bersama keluarga supaya keluarga kita mampu bertahan menghadapi banyaknya persoalan yang terus datang silih berganti. Apa yang harus kita lakukan? Pertama-tama kita akan belajar dari apa yang dituliskan dalam bacaan Injil hari ini.

Dari Injil Lukas 17 : 5 – 10 yang mengisahkan dialog Yesus dan para muridNya, di ayat 5 para murid berkata pada Tuhan “tambahkanlah iman kami!” Mengapa para murid meminta demikian? bukankah mereka adalah orang-orang beriman? apakah iman mereka selama ini tidak cukup? Jawabannya kemungkinan karena ada 2 alasan. Alasan pertama, para murid meminta tambahan iman pada Tuhan, karena (ay. 3) Yesus memberi nasihat kepada para murid supaya mereka (ay. 4) harus (senantiasa) mengampuni orang yang berdosa bukan hanya kepada Tuhan, tetapi juga yang berbuat dosa terhadap mereka.

Mengampuni tentu bukanlah hal yang mudah. Apalagi jika orang yang melukai kita adalah orang-orang yang terdekat atau bahkan dalam keluarga kita. Namun buat Yesus, pengampunan bukanlah sebuah pilihan melainkan keharusan dan perlu terus diulang. Secara manusiawi, tentu apa yang dinasihatkan Yesus mudah untuk didengar namun berat untuk dijalankan. Alasan kedua, karena para murid menyadari bahwa ke depan ada begitu banyak persoalan dan tantangan yang akan mereka hadapi dari orang-orang sekitar. Menyadari keterbatasan mereka, maka mereka pun meminta Tuhan untuk menambahkan (prostithemi: digunakan untuk makna kuantitatif) iman mereka supaya mereka bisa melakukan apa yang dinasihatkan Yesus sekaligus mampu menghadapi persoalan-persoalan yang akan dihadapi.

Menjawab permintaan para murid, Yesus hendak mengajarkan bahwa kemampuan untuk melakukan apa yang Tuhan nasihatkan sekaligus bersiap menghadapi persoalan ke depan bukan karena para murid punya iman yang ukuran atau jumlahnya banyak dan besar. Tapi kesadaran bahwa para murid sudah memiliki iman itu dan harus mempergunakannya. Karena itu Yesus mengatakan (ay. 6) kalau sekiranya (KBBI: seandainya)[2] kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu."

Tentu ayat ini merupakan kiasan yang Yesus pakai untuk menyampaikan sindirian kepada para muridNya. Bahwa mereka tidak menyadari kalau mereka meminta sesuatu yang mereka sudah punya, namun tidak mereka gunakan, yaitu iman. Sebab mereka sudah beriman kepada Allah. Namun sayangnya, pertanyaan mereka minta ditambahkan iman menunjukkan bahwa mereka seakan tidak memiliki iman tersebut.

Saudaraku Yesus kemudian melanjutkan nasihatNya untuk mengajarkan, bahwa iman para murid seharusnya seperti iman seorang hamba. Hamba (duolos: budak, pelayan)[3] yang setelah bekerja di ladang dan peternakan, tentu ia tidak mendapat ajakan sang tuan untuk makan. Di tengah keletihan akan tantangan hidupnya sebagai seorang hamba, ia harus terus melanjutkan pekerjaannya untuk melayani sang tuan. Bukan hanya itu, dari semua hal yang ia kerjakan, ia pun tidak menerima ungkapan terima kasih dari sang tuan. Namun apa yang ia lakukan? ia tidak meminta lebih dan menutut melainkan tetap melakukan apa yang harus ia lakukan.

Dari bagian ini, Yesus mau mengajak para murid untuk miliklah iman seorang hamba yang bukan meminta tetapi berkarya. Bukan mengeluh dengan banyaknya hal yang dihadapi dan dikerjakan tapi mengerjakan semua dengan baik. Bukan mengharapkan lebih tapi mencukupkan diri dengan apa yang dimiliki. Iman seorang hamba inilah yang perlu terus dimiliki oleh para murid, sehingga sesulit apapun persoalan yang akan dihadapi, mereka menjadi seorang hamba yang terus berkarya, tidak mengeluh dan tidak mengharapkan lebih, tetapi mencukupkan diri.

Saudaraku yang dikasihi Kristus, tentu pesan Yesus ini bukan hanya untuk para muridNya saja di konteks Alkitab, tetapi juga untuk kita semua di masa kini. Bahwa keluarga kita pun perlu memiliki iman seorang hamba.

1.    Kita perlu sama-sama belajar untuk saling bekerja dalam keluarga. Tugas di rumah bukan hanya tugas seorang istri atau ibu tetapi tugas bersama. Termasuk juga mendampingi anak bermain dan belajar adalah pekerjaan bersama. Jika dalam keluarga, semua anggota keluarga diberi peran untuk bekerja maka apa yang dirasa berat dan sulit dapat diatasi bersama-sama.

2.    Tidak mengeluh dalam hal-hal yang dikerjakan dan dihadapi. Karena terus mengeluh hanya membuat kita panas hati, iri hati (Mazmur 37) dan akhirnya tidak mensyukuri berkat lainnya yang Tuhan sudah beri. Yuk kurangi mengeluh, karena apa yang kita hadapi juga menjadi berkat Tuhan buat kita jalani.

3.    Tidak mengharapkan lebih untuk tidak saling menyakiti dalam keluarga, melainkan mencukupkan diri dengan keluarga yang kita miliki. Begitu banyak ekspektasi dan tuntutan yang kita terus gaungkan dalam keluarga dapat membuat kita saling menyakiti. Tentu kita sangat boleh punya harapan untuk keluarga kita akan seperi apa. Namun hal itu harus dibarengi dengan melihat juga kondisi keluarga masing-masing. Jangan sampai kita menuntut lebih, akhirnya kita justru menciptakan penjara dalam keluarga dan bukan tempat yang nyaman untuk tinggal dan pulang.

 

Belajar dari permintaan para murid, jangan meminta ditambahkan (lebih) padahal yang ada tidak kita sadari dan gunakan

 

Kiranya iman seorang hamba menjadi iman yang terus kita hidupi dalam kehidupan pribadi dan bersama keluarga kita. Kiranya melalui Perjamuan Kudus sedunia yang kita rayakan hari ini, juga menjadi pengingat akan iman Kristus, seorang Hamba yang menjadi teladan bagi kita semua. Tuhan memberkati kita semua. Amin. (mc)



[3] seseorang yang memberikan dirinya sendiri bagi kehendak orang lain dan melayaninya dengan kemampuannya. Hamba bukanlah terpaksa melakukan sesuatu karena dia dijual (seorang budak) melainkan menjadi hamba adalah kebanggaan dan pengabdian. 


Sabtu, 17 September 2022

Mulai dari Perkara-perkara Kecil

Lukas 16:1-13

Pada teks Injil minggu ini, Yesus mengisahkan sebuah perumpamaan tentang bendahara yang tidak jujur. Bendahara itu mendapat tuduhan bahwa ia berlaku curang, dan sang tuan hendak memecatnya. Tentu, sebagai professional yang bekerja dengan mengandalkan pikiran, hidupnya akan hancur bila ia dipecat dan mempunyai reputasi buruk. Itulah sebabnya, ia bertindak cepat dengan melakukan rekayasa surat hutang dengan orang-orang yang memiliki perhitungan utang dengan sang tuan. Setelah yang dilakukannya selesai, sang tuan mengetahui itu semua. Bukannya marah, sang tuan justru memuji kecerdikan si bendahara.

Saudaraku sekalian, secara jujur, teks ini agak sulit untuk dipahami dengan cepat. Biasanya, hubungan sang tuan dan hamba akan merepresentasikan hubungan Allah dan manusia; Allah yang baik dan manusia yang berlaku jahat. Namun, kali ini tidak. Antara tuan, bendahara, dan orang-orang yang berhutang adalah orang-orang jahat yang menyepakati nilai-nilai kecurangan. William Barclay melihat ketiganya sebagai bajingan. Namun, cara sang tuan memuji bendahara itu perlu kita renungkan. Tidak mungkin, Yesus melontarkan sebuah perumpamaan tanpa maksud tertentu. Yesus berkata alam Lukas 16:8, “Lalu tuan itu memuji bendahara yang tidak jujur itu, karena ia telah bertindak dengan cerdik. Sebab anak-anak dunia ini lebih cerdik terhadap sesamanya dari pada anak-anak terang.” Yesus secara tiba-tiba membandingkan antara anak-anak dunia dengan anak-anak terang setelah mengisahkan kecerdikan si bendahara. Berarti, Yesus mengangkat perumpamaan ini dengan maksud ingin menunjukkan bahwa anak-anak dunia ternyata lebih cerdik dalam menghadapi masalah ketimbang anak-anak dunia. Jika dibahasakan, mungkin Yesus hendak mengatakan, “yakali lu kalah ama anak-anak dunia, mustinya lu lebih hebat. Kan lu anak-anak terang”. Sekali lagi, Yesus sama sekali tidak membenarkan kecurangan bendahara itu, namun kegesitan bendahara dalam menemui masalah dan menanganinya dengan cepat hendaknya menjadi peringatan akan lambannya cara kerja anak-anak terang. Bukankah terkadang sebagai anak-anak terang, manusia cenderung menyalahkan semua yang dilakukan anak-anak dunia atas semua dosa dan kesalahan mereka, namun tanpa melakukan aksi nyata sebagai solusi atas kehidupan yang penuh pergumulan. Cepat memberi tudingan sambal duduk diam tanpa memberi solusi.

Hal itu ditegaskan Yesus melalui Lukas 16:9, “Dan Aku berkata kepadamu: Ikatlah persahabatan dengan mempergunakan Mamon yang tidak jujur, supaya jika Mamon itu tidak dapat menolong lagi, kamu diterima di dalam kemah abadi.". Jelas, tidak mungkin Yesus menghendaki agar murid-muridNya hidup dalam cara mamon, namun mengerti cara kerja anak-anak dunia agar mereka sebagai anak-anak terang mampu memilih jalan yang sebaliknya, yakni menghindari kecurangan, korupsi, dll. Sehingga, perumpamaan itu akan memiliki bunyi demikian; kita sebagai ank-anak terang jangan mau kalah dengan anak-anak dunia. Harus gesit, tidak lemah karena waktu yang kepepet, namun dengan sebuah kesadaran ada hal yang harus dihindari, yakni kecurangan dan semua hal buruk lainnya.

Saudaraku sekalian, kita mendapati bahwa perumpamaan Yesus ternyata merupakan sebuah teguran bagi kita yang seringkali mendaku sebagai anak-anak terang, namun enggan memancarkan terang. Kita cenderung menikmati kenyamanan berbekal status sebagai anak-anak terang. Kita juga diajak untuk memiliki kerendahan hati untuk mau belajar dari siapapun dan apapun, bukan untuk mengadopsi cara-cara mereka, namun sebagai inspirasi untuk bisa berbuat lebih.

Ada kisah Robin Hood yang sangat terkenal, yakni seorang yang mencuri dari orang-orang kaya, dan membagikan hasil curian kepada orang-orang miskin. Tentu, kita tidak akan menyetujui pencurian, namun ada semangat membagi yang tidak bisa kita abaikan begitu saja. Apakah kita hanya akan menyalahkan si pencuri itu dan mengutukinya dengan segala ancaman hukuman? Itulah realitas kita, kita hanya menyalahkan, namun sedikit saja membagi harta yang kita punya selalu enggan dan banyak alasan. Mengacu pada perumpamaan di atas, semestinya kita malu karena kita tidak memiliki kemauan untuk membagi dan menolong yang membutuhkan.

Yesus melanjutkan dengan ayat yang sudah sangat kita kenal dengan baik mengenai kesetiaan kita akan perkara kecil dan besar. Lukas 16:10 mencatat "Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.”. Tentu menjadi pertanyaan, kenapa Yesus melanjutkan perumpamaan di atas dengan perihal kesetiaan pada perkara kecil dan besar. Seringkali ayat ini digunakan sebagai ayat motivasi untuk mencapai sebuah kesuksesan material atau pelayanan. Misalkan saja, ketika kita setia pada perkara (baca: gaji atau penghasilan) kecil, kita menekuninya, suatu ketika penghasilan akan bertambah, dan kita siap akan perkara (baca: gaji atau penghasilan) yang besar. Atau contoh lainnya; pelayanan kita di gereja akan semakin bertambah jika kita menekuni satu bidang pelayanan, maka akan ditambah kepercayaan untuk memegang bidang lain yang lebih besar. Namun, bagaimana jika kesetiaan pada perkara kecil dan besar ini kita kaitkan dengan perumpamaan di atas? Begini. Perumpamaan di atas mengajak siapapun untuk berani mengkoreksi diri, yang terkadang lamban dan nyaman dalam zonanya masing-masing. Ada ajakan untuk memiliki kerendahan hati, belajar dalam hal apapun, termasuk dari kesalahan orang lain. Si bendahara yang curang itu bukan untuk kita tiru kecurangannya, namun sikapnya untuk menghadapi masalah. Ketika ada persoalan menghantam, yaitu ancaman pemecatan, ia tak menyerah begitu saja. Bahkan dalam waktu yang mepet, dia berhasil melakukan sesuatu yang pada akhirnya mewujudkan pujian dari tuannya. Jelas, sikap gesit, ulet, dan cekatan yang dilakukan bendahara itu adalah detail-detail kecil di antara tindak kecurangan yang ada dalam seluruh tindakannya. Itulah perkara-perkara kecil yang bis akita cari dan temukan. Menemukan permata di tengah tumpukan sampah. Begitu kira-kira. Sehingga, setia pada perkara-perkara kecil adalah bentuk kerendahan hati untuk berani mencari dan menemukan nilai-nilai kebaikan yang terselubungi oleh nilai kejahatan. Nilai gesit dan efisien dari si bendahara, rasa empati dari Robin Hood, kejujuran Rahwana yang tidak melecehkan Sinta meski ia bisa, dan banyak hal lain. Keta orang, pengalaman adalah guru yang terbaik. Pengalaman itu bisa datang dari diri sendiri maupun orang lain. Pengalaman itu juga bukanlah sesuatu yang melulu kebaikan yang gagal diwujudkan, namun ada yang dari awal diniatkan jahat. Namun, dalam segala pengalaman itu, ada detail-detail yang bisa kita pelajari. Setialah!

Jumat, 09 September 2022

PERTOBATAN DIRI MEMBAWA SUKACITA DI SURGA

Minggu Biasa XXIV

Keluaran 32:7-14 | Mazmur 51:1-10 | 1 Timotius 1:12-17 | Lukas 15:1-10


Adakah di antara Saudara-saudari yang pernah kehilangan anak Saudara-saudari yang masih kecil? Mungkin saat main di taman, lalu dia pergi main ke tempat jauh; Atau ketika sedang jalan-jalan di mall, lalu ia mengambil jalan sendiri entah ke mana. Apa yang Saudara-saudari rasakan pada saat itu? Yang pasti ada perasaan panik dan bingung, lalu berusaha untuk mencarinya sampai ketemu. Namun, mungkin saja ada perasaan marah dan jengkel, entah kepada si anak karena merasa ia nakal, atau kepada diri sendiri karena merasa gagal mengawasi anak. Bagaimana perasaan Saudara-saudari ketika akhirnya anak Saudara-saudarai ketemu? Semarah dan sejengkel apa pun Anda, saya yakin ketika anak itu akhirnya ketemu, pasti ada perasaan sukacita, karena anak yang hilang itu akhirnya ditemukan. Ia aman kembali bersama kita.

Begitulah juga yang dirasakan Allah, ketika anak-Nya yang hilang akhirnya kembali. Entah itu kembali ke dalam relasi dengan-Nya, kembali ke dalam pesekutuan umat-Nya, atau bahkan bisa mengembangkan dirinya untuk kebaikan, dan menjadi berkat bagi orang lain. Sukacita. Itulah yang dirasakan Allah. Dalam bacaan Injil, Allah digambarakan sebagai seorang gembala yang kehilangan satu dombanya dan sebagai seorang perempuan yang kehilangan satu dirhamnya. Mereka terus mencari yang terhilang itu hingga ketemu, oleh karena yang hilang itu pun berharga, satu domba dari seratus dan satu dirham dari sepuluh. Allah digambarkan sebagai Allah yang mencari mereka yang terhilang. Mungkin “domba”-Nya ini memang hilang karena terpisah dari kawanan, atau bisa jadi ia menghilangkan diri sendiri. Domba yang nakal ini mungkin ingin bertindak seenaknya, dan menggalakan gembala serta kawanannya. Namun, senakal apa pun domba itu, Allah Sang Gembala yang baik, akan terus mencari hingga ketemu, dan bersukacita jika domba itu ditemukan.

Yesus mengungkapkan perumpaan tentang domba yang hilang dan dirham yang hilang ini dalam kesatuan “Trilogi Hilang” bersama kisah anak yang hilang. Ia ingin membuka pikiran orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, bahwa yang utama dari Allah adalah kasih, bukan hukum; Bahwa Allah yang penuh kasih itu bersukacita karena domba-Nya yang hilang ditemukan, bukan marah dan murka. Orang-prang Farisi dan ahli-ahli Taurat itu bersungut-sungut karena Yesus duduk makan bersama para pemungut cukai dan orang berdosa. Mereka berfokus pada orang-orang berdosa serta menghakimi dan mempersalahkan orang-orang berdosa itu. Mereka melupakan aspek yang utama, yakni Allah yang penuh kasih dan sukacita. Karena itu, Yesus mengemukakan perumpamaan yang bukan berfokus kepada “yang hilang”, melainkan pada Allah yang mengambil risiko, bahkan merengkuh kematian, untuk menemukan anak-anak-Nya yang terhilang. Allah yang penuh kasih, yang bersukacita ketika “yang hilang” itu ditemukan.

Satu hal lain yang juga luput dari pemahaman orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat adalah Allah berkenan memakai dan melibatkan siapa pun untuk mencari yang terhilang, bahkan orang bisa dan yang tidak dianggap dalam masyarakat. Yesus dalam perumpamaan-Nya dengan sengaja menggunakan dua tokoh yang sering kali disingkarkan dalam masyarakat. Dalam perumpamaan “Domba yang Hilang”, yang menjadi tokoh utamanya adalah gembala. Dalam perumpamaan “Dirham yang Hilang”, seorang perempuan yang menjadi tokoh utama. Gembala dan perempuan. Kita mengetahui bahwa gembala adalah orang-orang yang disepelekan, disingkirkan, bahkan tidak dipercaya oleh masyarakat Yahudi. Mereka dianggap najis dan diasingkan karena pekerjaan mereka. Perempuan pun adalah orang-orang yang dinomordukan, disepelekan, dan tidak dianggap dalam masyarakat. Namun, dalam diri merekalah Yesus menggambarkan diri Allah yang mencari sampai menemukan. Yesus seolah-olah mau berkata bahwa Allah hadir dalam diri mereka yang biasa, yang mungkin tidak diperhatikan, justeru untuk mencari yang terhilang, menolong yang susah, dan menghibur yang terluka. Allah mencari umat-Nya melalui orang-orang biasa.

Saudara-saudari, gereja adalah persekutuan orang-orang biasa, yang juga punya pergumulannya. Orang-orang yang mungkin dalam kesehariannya berjuang dalam pekerjaan, dalam keluarga, atau dalam kehidupan sosialnya di masyarakat. Mungkin kita ada di antaranya; Orang-orang yang terhilang, terluka, tersakiti, yang perlu ditemukan. Namun, Allah juga dapat memakai kita untuk mencari dan menemukan yang lain. Di rumah, di pekerjaan, di sekolah, di masyarakat, di gereja, Allah memakai kita untuk mencari sesama kita. Bayangkan jika gereja kita adalah persekutuan orang-orang yang bergumul dalam kehidupannya, tetapi yang juga dipakai Allah untuk mencari yang terhilang, membalut yang terluka, menghibur yang berduka, menolong yang susah, membela yang tertindas, menopang yang lemah, melayani yang sakit, miskin, dan telanjang. Kita menjadi persekutuan yang menghadirkan sukacita kerena semua pihak merasakan sentuhan cinta Allah. Bahkan, lebih dari itu, kita menjadi persekutuan yang membawa sukacita di surga. Amin.

Jumat, 02 September 2022

MURID KRISTUS YANG BERKOMITMEN

Minggu Biasa

4 September 2022 

Lukas 14:25-33


Pada saat itu, Yesus sedang melanjutkan perjalanan-Nya ke Yerusalem. Sebuah tempat suci dimana Dia akan menyelesaikan misi-Nya, yakni salib. Tentu kita tahu, perjalanan ini adalah perjalanan yang sungguh serius, dimana siapapun yang berjalan ke sana haruslah memiliki kebulatan tekat. Untuk itulah, Yesus mengingatkan orang-orang yang sedang berjalan mengikuti-Nya.

Secara mengejutkan, Yesus melontarkan kata-kata yang tentunya membuat orang-orang yang sedang berjalan mengikut-Nya kaget bukan kepalang. Bagaimana tidak, Yesus berkata bahwa syarat menjadi murid-Nya adalah membenci anggota keluarga. Apakah Yesus sedang nge-prank atau mengeluarkan jokes-jokes agar perjalanan mereka tidak hambar? Tidak! Yesus serius dengan hal ini! Ketika kita membacanya, tentu kita juga akan bertanya-tanya. Tema ‘keluarga’ sangat kental mengalir dalam Alkitab yang menjadi tuntunan kehidupan kita. Sejak zaman Perjanjian Lama, narasi-narasi keluarga sangat kental diceritakan. Bahkan, Allah berjanji dalam ikatan keluarga umat-Nya. Rasul-rasul juga tak jarang mengangkat isu keluarga sebagai bahan pastoral yang sangat vital. Yesus juga, Ia sering bertutur tentang keluarga. Namun, mengapa Ia sangat berbeda kali ini? Nampaknya, kita harus menelisik lebih dalam, apa maksud Yesus dengan membenci keluarga.

Kata ‘membenci’ yang dipakai Yesus saat itu, berasal dari kata μισεῖ (misei) yang berarti mencintai lebih sedikit. Sehingga, Lukas 14:26 bisa kita baca; Jikalau seseorang tidak sedikit lebih mencintai keluarga-Nya ketimbang aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku”, atau “jika seseorang lebih mencintai keluarganya ketimbang Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku”. Jelas, Yesus tidak bermaksud mengajak mereka untuk membenci anggota keluarganya. Ada dua alasan yang bisa menjelaskan maksud Yesus.

Pertama, setiap kita tentu mengharapkan antar anggota keluarga saling mencintai. Pertanyaannya, darimana kita belajar tentang cinta? Bukankah kita tahu, bahwa Allah sendiri adalah kasih itu (1 Yoh 4:7). Yesus adalah bukti dari kasih Allah yang purna ketika Ia memberikan cinta-Nya kepada manusia. Sehingga, ketika seseorang mau mengikut Yesus dan menjadi murid-Nya yang benar, ia justru akan mencintai keluarganya dengan sebaik-baiknya. Ketika kita mengingat hukum kasih, kita diajak terlebih dahulu mencintai Allah, baru setelah itu mengasihi sesama seperti diri sendiri. Urutan itu tentu bukan tanpa alasan. Ketika seseorang terus mengutamakan mencintai Allah, ia akan hidup dalam cinta itu, dan secara otomatis ia mampu mencintai dengan baik keluarganya.

Kedua, banyak orang yang memberi nama anaknya Nugroho, Anugrah, Kharis, Gifty, Gracia dan nama-nama lainnya, yang kalau kita telisik, artinya sama; pemberian. Ya, anggota keluarga kita adalah pemberian atau anugrah dari Allah. Desmond Tutu pernah berkata, “Kamu tidak bisa memilih keluargamu. Mereka adalah pemberian Tuhan padamu, demikian kamu untuk mereka”. Keluarga adalah pemberian Allah bagi kita. Bahkan dilagukan, ‘harta yang paling berharga adalah keluarga’. Apa maknanya: Begini, apakah anda mempunyai barang pemberian yang diberikan oleh orang yang sangat anda cintai? Bagaimana anda memperlakukan barang itu? Tentu kita semua akan menjaganya dengan sebaik mungkin. Merawatnya, tersenyum bila mengenangnya, dan rasa bahagia lain yang mengiringinya. Saya pernah diberi kado, jam tangan, oleh pacar saya. Kira-kira itu diberikan di tahun 2011. Sampai sekarang, ada rasa bahagia bila memakai jam tangan itu. Masih bagus? Jelas! Saya merawatnya sepenuh hati. Namun, bukankah kita tetap akan lebih mencintai si pemberi, ketimbang kado itu sendiri? Itulah maksud Yesus. Ia ingin agar kita tetap melihat-Nya sebagai Sang Pemberi, dan keluarga kita yang adalah pemberian-Nya, akan kita rawat sebaik-baiknya.

Saudaraku, di sini kita melihat, tidak sekalipun Yesus ingin agar kita membenci keluarga. Namun, Ia ingin agar kita menjadi murid yang berkomitmen, belajar cinta dari-Nya, agar kita bisa mencintai keluarga kita dengan baik. Selain itu, kita menjadi murid yang berkomitmen menjaga dan merawat keluarga kita, karena itu adalah pemberian dari-Nya, Tuhan Sang Pemberi.

Ketika kita mendengar kata ‘murid’, era modern akan mengajak kita membayangkan situasi formal belajar-mengajar. Kata ‘murid’ akan sangat bernuansa akademis. Namun, apakah demikian? Sebuah tradisi Jawa Kuno, sebelum peradaban dan budaya-budaya masuk ke tanah Jawa, ada sebuah metode pembelajaran yang digunakan secara turun-temurun. Metode itu adalah nyantrik, atau menjadi seorang cantrik. Cantrik adalah seseorang yang secara sadar dan sengaja, meguru (berguru) kepada seorang pandita, guru, atau kyai (kyai bukan jabatan kegamaan, namun gelar bagi orang yang dianggap bijak), yang di dalamnya terkandung beberapa dimensi; belajar, mengabdi, dan melayani. Seorang cantrik akan siap melakukan apa saja demi mendapatkan kawruh (ilmu) dari sang guru. Dalam menjalankan proses pembelajarannya, seorang cantrik akan melihat, mendengar, dan menirukan sang guru. Ia akan melihat bagaimana gurunya bersikap. Ia akan menyimak bagaimana gurunya bertutur kata. Juga, ia akan siap meneladan segala kebaikan sang guru.

Saudaraku, kita semua diajak untuk nyantrik kepada Sang Guru kita, yakni Tuhan Yesus. Tidak hanya ngalor-ngidul berjalan mengikuti-Nya, namun ada nilai kehidupan yang siap kita serap dan kita aplikasikan dalam hidup sehari-hari. Lukas 14:25 menceritakan bahwa banyak orang yang berduyun-duyun mengikuti-Nya. Alkitab terjemahan KJV menuliskan dengan tegas, ‘and there went great multitudes with him’, yang berarti banyak sekali orang yang mengikuti Dia. Sebuah pertanyaan; Mengapa orang banyak mengikuti Dia? Tentu, kita bisa segera menjawab bahwa Yesus adalah sosok populer pada masa itu. Tapi, justru kepopuleran itulah yang membuat Yesus harus mengingatkan mereka tentang konsekuensi untuk mengikut-Nya. Ada beberapa kemungkinan dan alasan mengapa orang mengikuti Yesus: melihat aksi spektakuler yang dilakukan Yesus; mematahkan argumen orang Farisi dan Ahli Taurat; bahkan mengharapkan pemberontakan terhadap Romawi.

Saudaraku, banyak alasan untuk mengikut Yesus. Termasuk setiap kita. Sebagaimana orang-orang yang saat itu mengikut Yesus, apakah alasan kita? Jika kita memiliki alasan terselubung, kita akan memiliki kecenderungan menjadi kendur bila keinginan kita sudah terwujud. Apakah menginginkan sesuatu dari Yesus itu salah? Tidak! Namun, menjadi murid Kristus bukanlah tentang keinginan kita, namun komitmen kita. Imajinasikan, perjalanan kita ke depan adalah menuju ‘Yerusalem’, yang sudah sangat jelas memiliki resiko dan derita. Apakah kita akan setia mengikut-Nya, meskipun kerikil melukai kaki kita dalam perjalanan, atau angin menghempas tubuh kita dan membuat kita goyah?

Kesetiaan dan komitmen mengikut Yesus bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Karena bisa dipastikan, perjalanan kita akan sangat dinamis. Di satu masa, kita akan memiliki iman yang menggebu, namun di masa lain, kita bisa kendur dan serasa jauh dari Tuhan. Tak apa. Itu lumrah. 12 murid Yesus memiliki dinamika masing-masing, demikian pula kita. Ujian dalam tiap peristiwa justru akan mendewasakan kesetiaan kita.

Saya pernah menjumpai seorang Biarawati bernama Suster Margaret di biara Santa Clara yang terletak di kawasan Cipanas. Biarawati di sana tidak diperkenankan keluar biara kecuali memperbarui KTP (saat itu belum e-KTP) dan menjenguk orangtua yang sakit. Intinya, sangat susah untuk meninggalkan biara meski hanya keluar gerbang. Bayangkan! Saat saya bertanya kepadanya, “Suster, sudah berapa lama di tempat ini?” Beliau menjawab, “saya baru 45 tahun di sini” (kira-kira percakapan itu ada di tahun 2016). Ada kata ‘baru’ pada jawabannya. Menyiratkan kerendahan hati, dimana ia mengabdikan diri kepada Allah, untuk terus berdoa sepanjang hidupnya. Saya yang sudah menyediakan tiga pertanyaan lain, menjadi enggan untuk bertanya. Saya hanya bisa tertegun, jatuh dalam kekaguman. Saya melihat sinar matanya yang lembut dan sederhana, dan saya meyakini tidak akan pernah melupakan peristiwa itu.

Saudaraku sekalian, entah sampai kapan kita memiliki nafas untuk dihembuskan. Tapi, kiranya pertanyaan tentang kesetiaan kita haruslah kita jadikan refleksi hidup kita sebagai murid Kristus. PKJ 154 berjudul "Setiakah Diriku pada-Mu" sebuah tembang sederhana. Jika ada waktu, bukalah kidung itu, gumamkan perlahan. Resapi tiap katanya. Tak perlu buru-buru menjawab ketika ada pertanyaan. Nikmatilah, seperti Yesus yang setia berjalan menuju Yerusalem. Selamat bertanya. Selamat bergumul. (ftp)