Jumat, 26 Juli 2019

DOA MENGUBAH SEGALA SESUATU


Minggu Biasa 6

Kejadian 18:20-32 ǀ Mazmur 138 ǀ Kolose 2:6-19 ǀ Lukas 11:1-13


Kisah Yesus mengenai para tetangga di desa pasti membuat pendengarnya tersenyum/tertawa kecil. Untuk diketahui wilayah tersebut terkenal dengan keramahtamahannya, orang baik tidak akan menolak seorang musafir yang kelelahan atau membiarkan tidur tanpa makanan. Sesuatu yang alamiah/wajar bila si tuan rumah pergi ke rumah seorang teman untuk meminta roti. Sebab saling meminjam/memberi makanan dalam segala keadaan adalah kekhasan penduduk di sana, terlebih roti bagi mereka adalah salah satu menu utama dalam keseharian untuk dimakan bersama dengan daging, sayuran, maupun sup. Maka Yesus bertanya, “adakah yang tega menolak dengan alasan terlalu mengantuk untuk bangun dan berbagi?”, tentu saja tidak ada. Setiap mereka yang dimintai pertolongan terbiasa untuk berbagi yang diperlukan sahabatnya. Tidak mungkin ada yang tega menolak, sebab menolak merupakan suatu yang kasar, dan bila menolak pasti gossip menyebar pagi-pagi benar.

Setelah menyampaikan perumpaan itu Yesus mengatakan: “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu.  Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan.”

Melalui perumpamaan dan perintah tersebut Yesus ingin agar setiap murid-Nya, termasuk kita hari ini,
pertama-tama, terbiasa untuk mengarahkan diri kepada Allah Bapa.
Jika seorang dapat datang meminta, mencari dan mengetuk pintu sahabatnya untuk mendapat pertolongan. Sudah selayaknyalah setiap anak Allah terbiasa meminta, mencari, dan mengetuk pintu BapaNya. Sebab Allah yang berlimpah kasih setia melampaui para tetangga yang dengan kasih mau menolong tanpa perlu dipaksa, Allah Bapa kita senantiasa bekerja malampaui segala permohonan, persis sebagaimana disampaikan dalam Matius 6:7-8 “Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan sebelum kamu meminta kepada-Nya.

Yesus meminta kita datang kepada Allah bukan karena Allah adalah penyedia jasa atau barang yang menyediakan segala sesuatu bila ada permintaan saja. Tanggapan yang Tuhan berikan bukan karena keuletan kita meminta, atau kemampuan kita mengganggu Tuhan, atau kemampuan kita meminta hal yang kita anggap benar dengan cara yang benar. Ia memberi tanggapan karena Ia tahu yang terbaik. Sungguh disayangkan bila sebagian orang kemudian menjadi fatalis sehingga menganggap jika doa belum tentu mengubah segala sesuatu tertutama orang lain dan keadaan sekelilingku, maka untuk apa berdoa? Menghadapi orang-orang demikian, menarik bila kita mengetahui pengalaman seorang penulis yang sempat bertanya pada para pemimpin Kristen di Cina yang sempat mengalami penganiayaan, hidup di dalam sel, dan diintimidasi sedemikian rupa, “Apa yang bisa dilakukan orang Kristen di bagian dunia lain bagi kalian?” Pertanyaan ini dijawab: “Anda bisa berdoa. Mintalah gereja mendoakan kami untuk bertumbuh di sini.” Pemimpin Kristen di Cina ini nampak menghayati benar pentingnya doa sekalipun keadaan seakan tidak banyak berubah.

Sadarilah, Yesus ingin kita menghayati doa sebagai kesempatan untuk datang kepada Bapa, berkomunikasi dengan jujur, tanpa tedeng aling-aling dan jelas,tidak bertele-tele. Yesus ingin kita meminta bukan memaksa berulang-ulang, mencari bukan mencari-cari, mengetuk bukan menggedor-gedor. Sebab Doa, terutama Doa Bapa Kami bukan mantra atau rapalan melainkan sarana agar kita senantiasa berpusat pada Allah dan kehendakNya. Karena itulah dalam liturgi Minggu kita mengucap Doa Bapa Kami setelah doa syafaat bukan sebagai doa hafalan, melainkan di atas segala permohonan kita, kita meminta agar Tuhan menghadirkan kehendak-Nya di bumi seperti di surga.

Saat kita terbiasa mengarahkan diri kepada Allah Bapa, maka kita akan menyadari bahwa Doa tidak mengubah Tuhan, tetapi mengubah orang yang berdoa (ungkapan Soren Kierkegaard).

Maka, poin kedua, kita diminta untuk mengubah segala sesuatu dalam diri kita sesuai dengan kehendak Bapa.
Memohon kehendak Bapa terwujud diperlukan ketekunan yang menolong kita dekat kepada Allah dan mengenal-Nya secara mendalam. Namun ketekunan kita tak akan cukup, karena itu Bapa yang tahu segala yang kita butuhkan akan memberikan Roh Kudus. Sebab Roh Kuduslah yang akan memperlengkapi kita memahami apa yang ingin Allah lakukan di bumi serta peran apa yang harus kita kerjakan dalam rencana itu. Roh Kudus yang akan menolong kita tidak sekadar berdoa dan hanya menunggu Allah melakukan sisanya. Roh Kudus yang akan menolong kita mengerjakan pula apa yang kita doakan.
Sebab kita tak dapat sekadar berdoa dan menunggu Allah melakukan sisanya.

Saat kita berdoa “Tuhan, bantulah tetanggaku, seorang perempuan yang menjadi orangtua tunggal dan hidup kesusahan.” Roh Kudus akan menuntun kita bertindak dengan pertanyaan “Apakah kamu sudah menawarkan bantuan untuk mengajak anaknya pergi ke sekolah atau tempat bermain akhir-akhir ini?” Ketika kita berdoa “Ya Bapa, aku berdoa bagi pernikahan Cinta dan Rangga yang sedang mengalami masalah.” Roh Kudus dapat bertanya, “Apa yang kamu lakukan untuk membuat mereka tetap bersama?”

Allah Bapa memberikan Roh Kudus dalam diri kita agar kita mampu mewujudnyatakan doa. Hasil nyata dari doa bukanlah kita mendapatkan apa yang kita inginkan melainkan kita menjadi orang yang sesuai dengan kehendak Bapa. Doa yang tekun membantu kita melihat dunia dan hidup kita dengan kacamata Allah.

Ketika dalam rapat akan diambil sebuah keputusan, kita biasanya mencoba mengarahkan bahkan membujuk orang (/orang-orang) menerima sudut pandang kita. Ketika hendak membeli mobil, kita ingin penjual mobil mencocokkan harga dengan tawaran kita. Menjelang pemilu yang lalu, kita mungkin ingin tetangga dan rekan jemaat memilih calon kandidat seperti kita. Ketika kita berdoa, pada awalnya mungkin kita mendekati-Nya dengan cara yang sama. Namun dengan ketekunan dan pertolongan Roh Kudus kita akan menemukan bahwa Allah adalah mitra bijak dalam suatu hubungan.

Sangat mungkin saat kita datang dengan jujur dan jelas, berkali-kali kita mungkin memiliki serangkaian kepedulian yang sama sekali berbeda dengan Allah. Namun, dalam doa terus menerus, keinginan dan  rencana kita sendiri perlahan-lahan menyelaraskan diri dengan Allah. Saat segala sesuatu kita lakukan agar diri kita semakin berkenan di hadapan Allah. Saat segala sesuatu kita lakukan untuk memuliakan Allah serta mendatangkan berkat bagi kehidupan. Di saat itulah “doa mengubah segala sesuatu.”

Bila seakan semua belum berubah, 1 Tesalonika 5:17 mengatakan Tetaplah Berdoa.

Tak selalu mudah, namun seorang rekan mengingatkan cuitan Sudjiwo Tedjo di akun twitternya : 

(ypp)

Jumat, 19 Juli 2019

KERAMAHTAMAHAN SEBAGAI NILAI HIDUP

Minggu Biasa V

Kejadian 18:1-10 | Mazmur 15 | Kolose 1:15-28 | Lukas 10:38-42


Sejak dulu Bangsa Indonesia dikenal dengan keramahtamannya. Orang luar Indonesia juga mengenal orang Indonesia yang suka menyapa orang asing, menanyakan kabar, bahkan menawarkan makanan – yang kita sering sebut basa-basi. Sampai sekarang banyak orang Indonesia selalu membanggakan keramahtamahannya. Namun, belakangan ini budaya ramah tamah Indonesia sudah banyak berubah. Bisa kita lihat di media sosial bertebaran hinaan, makian, umpatan dan kata-kata kebencian yang sama sekali tidak mencerminkan keramahtamahan yang dibangga-banggakan banyak orang Indonesia. Belum lagi di kota-kota besar, kita melihat individualisme dan kecurigaan terhadap orang lain semakin besar.

Saat ini mungkin kita dapat melihat “sisa-sisa” keramahtamahan orang Indonesia di desa-desa yang jauh dari hiruk-pikuk dan individualisme kota besar, daerah-daerah yang kehangatan dan keguyuban masyarakatnya masih kuat. Salah satu contohnya adalah masyarakat Jawa di pedesaan mengenal sebuah kebiasaan menyediakan kendi berisi air minum di depan rumah mereka. Mereka memahami bahwa air merupakan kehidupan, sehingga membagikan air juga bermakna membagikan kehidupan. Dulu, sebelum alat tranportasi seperti sekarang, orang harus menempuh perjalanan dengan berjalan kaki dari desa satu ke desa lain. Air minum dalam kendi ini disediakan bagi siapa saja pejalan kaki yang lewat dan kehausan, bahkan bagi orang asing. Sekarang memang sudah jarang ada yang menyediakan minum dalam kendi, atau sudah bukan pakai kendi melainkan galon, namun jiwa keramahtamahan kepada orang asing ini tetap hidup.


sumber gambar


Masyarakat Yahudi juga memiliki tradisi keramahtamahan yang kuat. Mereka selalu menerima tamu, bahkan orang asing, dengan penyambutan yang baik. Ini terlihat juga dalam bacaan pertama (Kej. 18:1-10) ketika Abraham menyambut tiga orang tamu di Mamre. Saat itu ia sedang mengaso di hari yang panas terik di depan kemahnya dekat pohon tarbantin. Lalu datanglah tiga orang asing, yang tidak ia ketahui adalah utusan-utusan Tuhan yang datang untuk memberitakan kehamilan Sara, istrinya. Dalam kisah itu terlihat keramahtamahan Abraham kepada ketiga utusan Allah itu dengan mengajak mereka untuk mampir, membasuh kaki dan beristirahat di bawah pohon tarbantin itu, lalu menyediakan mereka roti agar mereka dapat melanjutkan perjalanan mereka. Abraham melakukan ini dengan senang hati, padahal saat itu ia tidak mengenal ketiga orang itu. Inilah wujud keramahtamahan kepada tamu, yang bahkan adalah orang asing.

Bacaan Injil (Luk. 10:38-42) pun memperlihatkan bagaiamana keramahtamahan Yahudi itu dipraktikkan oleh Marta dan Maria. Marta menerima Yesus dan murid-murid-Nya di rumahnya dan menjamu mereka sebagai seorang pemilik rumah yang menyambut tamunya dengan keramahtamahan khas Yahudi. Ia menyibukkan diri melayani Yesus dan murid-murid-Nya, sementara Maria, saudarinya, duduk bersama-sama Yesus dan mendengarkan murid-murid-Nya. Sebagai seorang perempuan Yahudi, apa yang dilakukan oleh Maria ini sungguh tidak lazim. Bukan pada tempatnya seorang perempuan duduk bersama para tamu, yang notabene adalah laki-laki. Ini terlihat dari kisah Abraham. Abraham menemani para tamunya makan, sementara Sara mempersiapkan keperluan mereka di belakang kemah. Selain itu, dengan duduk bersama Yesus, Maria juga membiarkan saudarinya, Marta, bekerja sendiri untuk melayani Yesus. Karena itulah Marta mengeluh kepada Yesus tentang saudarinya itu, lalu Yesus menegurnya.

Dengan teguran Yesus kepada Marta, kebanyakan pembaca Alkitab akan menilai Marta secara negatif dan melihat Maria secara positif. Dengan ucapan Yesus kepada Marta, Maria di sini terlihat lebih baik kerena ia mendengarkan Firman, sementara Marta lebih buruk karena ia menyibukkan dirinya melayani Yesus padahal Yesus tidak butuh dilayani. Apalagi dengan perkataan Yesus “… engkau menyusahkan diri dengan banyak perkara …” dan “… Maria telah memilih bagian yang terbaik …” kita akan semakin melihat bahawa Yesus menegur Marta dan membela Maria. Namun, kita juga perlu melihat dari sudut pandang yang lain. Setiap orang punya perannya masing-masing. Dalam hal ini, Marta mengambil peran sebagai pelayan yang menyediakan keperluan Yesus, sedangkan Maria mengambil peran sebagai murid dan sahabat yang duduk menemani Yesus dan mendengarkan perkataan-Nya. Dalam kegiatan-kegiatan di gereja, kita pun melihat pembagian peran ini. Ada yang menjadi panitia, menyelenggarkan acara, bekerja di belakang layar, atau menyiapkan konsumsi. Ada yang datang untuk mendengerkan khotbah atau pembinaan. Tetapi semua yang ada di situ sebenarnya sedang memberikan yang terbaik yang mereka miliki.

Yang menjadi masalah dari Marta adalah dia mengeluh dan iri dengan saudarinya. Yesus menegur Marta karena ia tidak rela jika harus melakukan semua pelayanan itu sendiri, sementara Maria hanya duduk dengan santai. Perkataan Yesus “… engkau kuatir menyusahkan diri dengan banyak perkara …” menrujuk pada Marta yang terlalu memikirkan bagaimana ia susah sendiri sementara saudarinya enak-enakan duduk mendengar pengajaran. Dengan berpikir demikian, Marta sebenarnya sedang menyusahkan dirinya dengan banyak perkara. “… Maria telah memilih bagian yang terbaik… “ bukan berarti bahwa Marta memilih bagian yang buruk. Kedua saudari ini telah memilih bagiannya masing-masing, hanya saja yang menjadi masalah kemudian adalah Marta tidak melakukan bagiannya ini dengan sukacita dan rela hati. Ia bersungut-sungut dan mengeluh karena saudarinya tidak melakukan apa yang ia  lakukan. 

Coba kita bayangkan jika Maria yang mengeluh kepada Yesus, “Tuhan, saudariku itu repot sekali dan tidak mau mendengarkan pengajaran-Mu. Suruhlah ini ke sini untuk mendengarkan pengajaran-Mu.” Kira-kira bagaimana tanggapan Yesus? Keluhan-keluhan ini sama saja dengan panitia acara gereja yang bersungut-sungut, “Jemaat ini kok tidak ada yang bantu melayani, hanya datang untuk duduk, menyanyi dan mendengar khotbah saja.” Atau sebaliknya, peserta acara mengeluh, "Panitia ini kok sibuk di belakang mondar-mandir, bukannya mendengarkan khotbah." Padahal kita semua tahu bahwa masing-masing orang memiliki perannya.

Keluhan dan sungut-sungut Marta tidak menunjukkan keramahtamahan yang sejati. Ia melayani tidak dengan ketulusan dan kerelaan. Karena itulah Yesus menegurnya. Yesus Kristus sendiri adalah teladan keramahtamahan. Ia wujud adalah keramahtamahan Allah kepada ciptaan-Nya, karena melalui Kristuslah Allah menyapa dan merangkul seluruh ciptaan-Nya. Rasul Paulus menyatakan ini dalam Surat Kolose dengan berkata “…di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia” (Kol. 1:16). Sejak penciptaan, Allah menyapa dan merangkul seluruh ciptaan melalui Firman, yakni Kristus. Karena keramahtamaham-Nya pula, Ia menjumpai ciptaan-Nya dalam Kristus yang menjadi manusia. Ia begitu menghargai ciptaann-Nya sehingga ia menjadikan hakikat kemanusiaan sebagai bagian dari diri-Nya. Bahkan keramahtamahan Allah itu dinyatakan secara total, dengan kerelaan dan pengurbanan, “…oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus” (Kol. 1:20).


Sebagai murid-murid Kristus, kita diajak untuk mengikuti teladan Kristus, yang menjadikan keramahtamahan bukan sebagai kebiasaan (basa-basi busuk) atau sebagai keterpaksaaan, melainkan sebagai sebuah nilai hidup, sebagai bagian dari identitas. Kita diajak untuk melayani dan mengambil peran masing-masing dengan sukacita, ketulusan dan kerelaan, sebagaimana Allah menyapa ciptaan-Nya dengan totalitas, bukan dengan keluhan, sungut-sungut, apalagi iri hati terhadap sesama. Sudahkah keramahtamahan Allah menjadi keramahtamahan kita? (ThN)

Jumat, 12 Juli 2019

BELAS KASIHAN BUKAN MENGABAIKAN



Ulangan 30 : 9 – 14; Mazmur 25 : 1 – 10; Kolose 1 : 1 – 14; Lukas 10 : 25 – 37

Di Youtube ada sebuah acara namanya “social experiment” atau tes sosial, yang sengaja dibuat oleh orang Indonesia untuk mengetahui nilai sosial masyarakat Indonesia. Di salah 1 tes sosial, menampilkan seorang nenek tua yang dengan sengaja dikasih pakaian agak robek (lusuh). Nenek ini juga mendapat tugas sederhana dari kru acara ini, yaitu menanyakan sebuah alamat yang ia bawa di secarik kertas kepada orang-orang yang ia temui di jalan. Namun misi terpentingnya bukan hanya tanya alamat, tetapi ia akan dinyatakan berhasil jika ada orang yang mau mengantarnya ke alamat yang dituju.
Oleh kru, nenek ini ditaruh di titik yang tidak terlalu jauh dari rumah yang hendak dituju. Sehingga harusnya orang-orang yang ia temui, mudah untuk membantu. Nenek pun mulai berjalan dan bertanya. Dia bertanya kepada orang pertama, namun belum selesai bertanya. Orang itu menjawab “saya sibuk. Saya buru-buru.” Tanya orang berikutnya, jawabannya “Saya tidak tahu.” Nenek itu berjalan lagi dan bertanya di sebuah warung. Ia malah disuruh pergi (diusir) karena dianggap pengemis. Ketika ia sampai di pangkalan ojek kecil, ada 2 tukang ojek di sana. Tukang ojek cuma bilang “jalan terus aja bu, nanti gang ke-2 di sebelah kiri. Nanti di sana nenek tanya lagi karena itu sudah dekat.”
Setelah mendapat jawaban, nenek itu dengan memelas berkata, “apa bisa tolong antar saya? dari tadi saya cari alamat rumah ini tapi ngga nemu-nemu. Nenek juga capek karena jalan kaki terus.” Apa yang kemudian terjadi? Berhasilkah ia? Salah 1 di antara bapak ojek itu berkata, “saya tidak bisa. Lagi nunggu penumpang nek.” Yang lain bilang, “saya juga tidak bisa karena saya mau pulang.” Akhirnya nenek itu jalan lagi. 30 menit nenek itu jalan dan bertanya tapi ternyata tak seorang pun mau mengantarnya sampai di alamat yang dituju.
          Saudara, dari “tes sosial” ini, kita melihat bahwa ternyata betapa banyaknya orang yang masih mengabaikan orang lain. Mengapa?
-      Sibuk dengan diri sendiri
-      Memperhatikan penampilan orang. Nenek tadi saja diusir karena dianggap pengemis.
-      Ngga dikenal
-      Bodo amat
-      Ketakutan. Ada banyak orang jaman sekarang takut menolong orang lain, karena siapa tahu dia tukang tipu, pencopet.
-      dan alasan2 lain
Intinya, bukankah di jaman sekarang, semakin banyak orang terabaikan? Dan nampaknya dunia semakin miskin belas kasihan? Lantas apa yang harus kita lakukan?

Saudara,
Di jaman Yesus juga, makin banyak orang sibuk dengan dirinya, melihat penampilan dulu baru menolong, apatis dengan orang sekitar juga marak terjadi. Itu sebabnya dalam bacaan Injil Lukas 10, Yesus secara sengaja dalam kisah orang Samaria yang baik hati menegur umat terkhusus kaum imam dan orang Lewi. Imam adalah orang yang melayani di Bait Allah dan orang Lewi menempati posisi khusus sebagai penjaga dan pemelihara Bait Allah. Namun, mereka hanya mementingkan jabatannya, kesibukannya, ritual keagamaan tapi tidak ada belas kasihan dalam kehidupan sehari-hari.
          Sementara orang Samaria, orang yang sering direndahkan orang Yahudi karena mereka adalah hasil perkawinan campur antara orang Yahudi dan non-Yahudi (tidak murni Yahudi), dipandang sebagai orang yang tidak benar (najis), dan ibadah mereka pun dianggap tidak benar. Justru membuktikan, sekalipun direndahkan, tapi hatinya ada kasih. Terbukti ia tidak mengabaikan orang yang terluka, yang tidak ia kenal itu. Ia mendatanginya, membalut luka-lukanya, menyirami luka itu dengan minyak dan anggur sebagai pertolongan pertama, menaikkannya ke atas keledai tunggangannya, dibawa ke tempat penginapan dan merawatlah (full service).
Apa yang dilakukannya menunjukkan ia punya belas kasih. Ia punya kasih yang bukan sekadar rasa kasihan tapi kasih dan aksi. Bahkan ia rela mengorbankan banyak hal: waktu, tenaga, uang. Karena apa ia melakukan kasih dan mau berkorban sedemikian besar untuk orang yang tidak ia kenal itu? Bisa jadi, karena dia tidak mau orang lain merasakan yang ia rasakan. Diabaikan, direndahkan, tidak dicintai. Pahit.
Mother Theresa pernah mengatakan “Being unwanted, unloved, uncared for, forgotten by everybody, I think that is a much greater hunger, a much greater poverty than the person who has nothing to eat.” (menjadi orang yang tidak diinginkan, tidak dicintai, tidak dipedulikan, dilupakan semua orang, aku rasa itulah kelaparan terbesar bahkan kemiskinan yang melebih seorang yang miskin dan tidak memiliki apapun untuk dimakan)
Dari kisah ini, Yesus mau supaya setiap orang yang mendengar pengajaranNya juga belajar dari kisah ini, yaitu hiduplah dengan belas kasih kepada orang lain. Sekalipun tidak dikenal, sekalipun berkorban banyak hal, sekalipun kamu direndahkan dan dianggap sok baik. Jika orang Samaria bisa berbelas kasih dan menunjukkan kasihnya. Kita juga pasti bisa. Tuhan memampukan kita semua.

Jumat, 05 Juli 2019

DILATIH UNTUK MELATIH

Minggu Biasa 2
| Yesaya 66:10-14 | Mzm 66:1-9 | Gal 6:1-16 | Luk 10:1-11, 16-20 |

Baladewa, adalah nama tokoh wayang yang mempunyai keahlian memainkan senjata gada. Ia adalah seorang raja di Mandura. Raja berwatak keras ini adalah kakak dari Kresna. Pada masa kecilnya, mereka berdua pernah ada dalam sebuah pelarian. Dalam pelarian itu, Baladewa yang masih muda dijumpai oleh Batara Brama. Batara Brama kemudian mengajarkan ilmu kesaktian dan ilmu kanuragan padanya. Dari Batara Brama inilah, Baladewa dilatih dan menjadi mahir dalam memainkan gada. Keahliannya begitu tersohor, apalagi pusaka yang ia miliki juga adalah sebuah gada yang bernama Alugara. Baladewa ternyata tidak hanya seorang yang sangat ahli bermain gada, namun ia juga merupakan pelatih yang terampil. Nama besar dalam Perang Suci  Baratayuda, yakni Bima dan Duryudana adalah dua sosok didikan Prabu Baladewa dalam memainkan gada. Baladewa dilatih, tapi pada akhirnya untuk melatih.

”DILATIH UNTUK MELATIH”, inilah tema ibadah minggu kali ini. Sedangkan cerita di atas adalah sebuah ilustrasi tentang tema, bahwa ternyata ada kalanya dilatih itu bukan hanya berhenti pada sebuah kemahiran, namun sampai pada keberhasilan untuk melatih. Kisah dalam Lukas 10:1-11, 16-20 bercerita tentang Yesus yang hendak ‘melatih’ 70 murid untuk melakukan sesuatu. Cerita ini adalah cerita lanjutan dari Lukas 9 yang mengisahkan Yesus yang mengutus kedua belas murid. Diceritakan, setelah Yesus menunjuk ketujuh puluh murid itu, Ia menyuruh mereka mendahului-Nya ke setiap kota yang hendak dikunjungi-Nya (lih. Ayat 1). Ada penunjukkan kepada 70 orang, yang berarti memang ada banyak orang pada saat itu. Kita harus ingat, bahwa  dalam perjalanan-Nya, Yesus sering dikelilingi oleh orang-orang (laos) dan mengajar mereka. Yesus melatih 70 murid itu, yakni dengan cara melepaskan mereka untuk mempraktikkannya. “Ngelmu iku kalakone kanthi laku”, demikian sebuah unen-unen Jawa kuno yang jika diartikan menjadi ‘ilmu itu bisa menjadi nyata bila dipraktikkan’. Ilmu yang harus dipraktikkan mereka adalah menyampaikan sebuah pesan, ‘Kerajaan Allah sudah dekat!’ (ayat 8, 11). Memberitakan Kerajaan Allah adalah latihan mereka. Dan dalam latihan itu, Yesus sudah memberi ‘bocoran’ tentang segala tantangan yang akan mereka hadapi. “Pergilah, sesungguhnya Aku mengutus kamu seperti anak domba ke tengah-tengah serigala”, demikian kata Yesus pada mereka. Hal ini mengisyaratkan adanya tantangan yang tidak main-main. Latihan ini mengandung resiko! Apakah ini berarti misi bunuh diri?! Tentu tidak. Yesus ingin menyampaikan bahwa mengikutnya bukan hanya perkara berkat atau mujizat yang seringkali mereka lihat. Bukan hanya air menjadi anggur, tapi bisa saja mereka kehausan dalam perjalanan. Mengikut Yesus bukan hanya tentang makan bersama 5000 orang, tapi juga bisa saja tidak makan kenyang karena harus membagi makanannya dengan yang lain. Bukan hanya melihat sulap tentang orang buta sejak lahir lalu dicelikkan, tapi juga tentang bagaimana ikut meratap bersama orang yang tertindas. Bukan hanya dipuji dan dicintai, tapi juga tentang penolakan! Inilah latihan yang diberikan Yesus kepada mereka. Tapi itu harus dilakukan demi pengabaran tentang Kerajaan Allah.

Kembali ke tema; DILATIH UNTUK MELATIH. Iya, mereka sudah dilatih, lalu dimana letak melatihnya? Kemudian ketujuh puluh murid itu kembali dengan gembira dan berkata: "Tuhan, juga setan-setan takluk kepada kami demi nama-Mu.” (Luk 10:17). Itu adalah ekspresi mereka setelah kembali dari latihan. Ekspresi gembira dan takjub. Ekpresi mereka adalah sebuah kesaksian lugu dan tulus tentang proses pelatihan itu. Dan mereka akhirnya bisa melatih. Melatih? Ingat, tadinya mereka adalah 70 orang yang dipilih di antara banyak. Tentu orang-orang lain yang belum dipilih, akhirnya melihat mereka. Ekspresi itulah yang menjadikan mereka mampu melatih yang lain. Mereka jujur dalam kesaksiannya. Mereka berbicara tentang setan. Perhatikan, ada kata ‘juga’. Berarti tantangan mereka bukan hanya setan, namun yang lain. itulah cara Yesus membuat mereka bukan hanya berhasil DILATIH, namun pada akhirnya mampu untuk MELATIH yang lain melalui ekspresi dan kesaksian mereka.

Dalam ibadah rumah tangga atau persekutuan lainnya, biasanya diberikan waktu untuk bersaksi. Kesaksian inilah, momen untuk menunjukkan bahwa kita telah dilatih oleh Tuhan, dan melalui kegembiraan hati kita, akhirnya kita bisa melatih yang lain. menunjukkan bahwa ‘latihan’ yang Tuhan berikan itu memang kadang menyesakkan, tapi senantiasa berujung manis. Tapi jangan sampai, kesaksian menjadi ajang pamer. Yesus berpesan “Namun demikian janganlah bersukacita karena roh-roh itu takluk kepadamu, tetapi bersukacitalah karena namamu ada terdaftar di soga”. Bukan untuk bermegah, namun untuk MELATIH, karena kita sudah DILATIH. Selamat berlatih. Jangan lupa melatih.
ftp