Minggu Biasa 6
Kejadian
18:20-32 ǀ Mazmur 138 ǀ Kolose 2:6-19 ǀ Lukas 11:1-13
Kisah Yesus mengenai para tetangga di desa pasti membuat pendengarnya
tersenyum/tertawa kecil. Untuk diketahui wilayah tersebut terkenal dengan
keramahtamahannya, orang baik tidak akan menolak seorang musafir yang kelelahan
atau membiarkan tidur tanpa makanan. Sesuatu yang alamiah/wajar bila si tuan
rumah pergi ke rumah seorang teman untuk meminta roti. Sebab saling meminjam/memberi
makanan dalam segala keadaan adalah kekhasan penduduk di sana, terlebih roti
bagi mereka adalah salah satu menu utama dalam keseharian untuk dimakan bersama
dengan daging, sayuran, maupun sup. Maka Yesus bertanya, “adakah yang tega
menolak dengan alasan terlalu mengantuk untuk bangun dan berbagi?”, tentu saja tidak
ada. Setiap mereka yang dimintai pertolongan terbiasa untuk berbagi yang diperlukan
sahabatnya. Tidak mungkin ada yang tega menolak, sebab menolak merupakan suatu
yang kasar, dan bila menolak pasti gossip menyebar pagi-pagi benar.
Setelah menyampaikan perumpaan itu Yesus mengatakan: “Mintalah, maka
akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu
akan dibukakan bagimu. Karena setiap
orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap
orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan.”
Melalui perumpamaan dan perintah tersebut Yesus ingin agar setiap murid-Nya,
termasuk kita hari ini,
pertama-tama, terbiasa
untuk mengarahkan diri kepada Allah Bapa.
Jika seorang dapat datang meminta, mencari dan mengetuk pintu sahabatnya
untuk mendapat pertolongan. Sudah selayaknyalah setiap anak Allah terbiasa meminta,
mencari, dan mengetuk pintu BapaNya. Sebab Allah yang berlimpah kasih setia melampaui
para tetangga yang dengan kasih mau menolong tanpa perlu dipaksa, Allah Bapa
kita senantiasa bekerja malampaui segala permohonan, persis sebagaimana
disampaikan dalam Matius 6:7-8 “Bapamu
mengetahui apa yang kamu perlukan sebelum kamu meminta kepada-Nya.”
Yesus meminta kita datang kepada Allah bukan karena Allah adalah penyedia
jasa atau barang yang menyediakan segala sesuatu bila ada permintaan saja. Tanggapan
yang Tuhan berikan bukan karena keuletan kita meminta, atau kemampuan kita
mengganggu Tuhan, atau kemampuan kita meminta hal yang kita anggap benar dengan
cara yang benar. Ia memberi tanggapan karena Ia tahu yang terbaik. Sungguh disayangkan bila sebagian
orang kemudian menjadi fatalis sehingga menganggap jika doa belum tentu
mengubah segala sesuatu tertutama orang lain dan keadaan sekelilingku, maka
untuk apa berdoa? Menghadapi orang-orang demikian, menarik bila kita mengetahui pengalaman seorang penulis yang sempat bertanya pada para
pemimpin Kristen di Cina yang sempat mengalami penganiayaan, hidup di dalam
sel, dan diintimidasi sedemikian rupa, “Apa yang bisa dilakukan orang Kristen
di bagian dunia lain bagi kalian?” Pertanyaan ini dijawab: “Anda bisa berdoa.
Mintalah gereja mendoakan kami untuk bertumbuh di sini.” Pemimpin Kristen di
Cina ini nampak menghayati benar pentingnya doa sekalipun keadaan seakan tidak banyak berubah.
Sadarilah, Yesus ingin kita menghayati doa sebagai kesempatan untuk datang kepada
Bapa, berkomunikasi dengan jujur, tanpa tedeng
aling-aling dan jelas,tidak bertele-tele. Yesus ingin kita meminta bukan
memaksa berulang-ulang, mencari bukan mencari-cari, mengetuk bukan
menggedor-gedor. Sebab Doa, terutama Doa Bapa Kami bukan mantra atau rapalan
melainkan sarana agar kita senantiasa berpusat pada Allah dan kehendakNya.
Karena itulah dalam liturgi Minggu kita mengucap Doa Bapa Kami setelah doa
syafaat bukan sebagai doa hafalan, melainkan di atas segala permohonan kita, kita meminta agar Tuhan menghadirkan
kehendak-Nya di bumi seperti di surga.
Saat kita terbiasa mengarahkan diri kepada Allah Bapa, maka kita akan
menyadari bahwa Doa tidak mengubah Tuhan, tetapi mengubah orang yang berdoa (ungkapan
Soren Kierkegaard).
Maka, poin kedua, kita diminta untuk mengubah segala sesuatu
dalam diri kita sesuai dengan kehendak Bapa.
Memohon kehendak Bapa terwujud diperlukan ketekunan yang menolong kita
dekat kepada Allah dan mengenal-Nya secara mendalam. Namun ketekunan kita tak
akan cukup, karena itu Bapa yang tahu segala yang kita butuhkan akan memberikan Roh Kudus. Sebab
Roh Kuduslah yang akan memperlengkapi kita memahami apa yang ingin Allah
lakukan di bumi serta peran apa yang harus kita kerjakan dalam rencana itu. Roh
Kudus yang akan menolong kita tidak sekadar berdoa dan hanya menunggu Allah
melakukan sisanya. Roh Kudus yang akan menolong kita mengerjakan pula apa yang
kita doakan.
Sebab kita tak dapat sekadar berdoa dan menunggu Allah melakukan sisanya.
Saat kita berdoa “Tuhan, bantulah tetanggaku, seorang perempuan yang
menjadi orangtua tunggal dan hidup kesusahan.” Roh Kudus akan menuntun kita bertindak dengan pertanyaan “Apakah kamu sudah menawarkan bantuan untuk mengajak anaknya
pergi ke sekolah atau tempat bermain akhir-akhir ini?” Ketika kita berdoa “Ya
Bapa, aku berdoa bagi pernikahan Cinta dan Rangga yang sedang mengalami
masalah.” Roh Kudus dapat bertanya, “Apa yang kamu lakukan untuk membuat mereka
tetap bersama?”
Allah Bapa memberikan Roh Kudus dalam diri kita agar kita mampu mewujudnyatakan
doa. Hasil nyata dari doa bukanlah kita mendapatkan apa yang kita inginkan
melainkan kita menjadi orang yang sesuai dengan kehendak Bapa. Doa yang tekun
membantu kita melihat dunia dan hidup kita dengan kacamata Allah.
Ketika dalam rapat akan diambil sebuah keputusan, kita biasanya mencoba
mengarahkan bahkan membujuk orang (/orang-orang) menerima sudut pandang kita.
Ketika hendak membeli mobil, kita ingin penjual mobil mencocokkan harga dengan
tawaran kita. Menjelang pemilu yang lalu, kita mungkin ingin tetangga dan rekan
jemaat memilih calon kandidat seperti kita. Ketika kita berdoa, pada awalnya
mungkin kita mendekati-Nya dengan cara yang sama. Namun dengan ketekunan dan
pertolongan Roh Kudus kita akan menemukan bahwa Allah adalah mitra bijak dalam
suatu hubungan.
Sangat mungkin saat kita datang dengan jujur dan jelas, berkali-kali kita mungkin
memiliki serangkaian kepedulian yang sama sekali berbeda dengan Allah. Namun,
dalam doa terus menerus, keinginan dan
rencana kita sendiri perlahan-lahan menyelaraskan diri dengan Allah. Saat segala sesuatu kita lakukan agar diri kita semakin berkenan di
hadapan Allah. Saat segala sesuatu kita lakukan untuk memuliakan Allah serta
mendatangkan berkat bagi kehidupan. Di saat itulah “doa mengubah segala
sesuatu.”
Bila seakan
semua belum berubah, 1 Tesalonika 5:17 mengatakan Tetaplah Berdoa.
Tak selalu
mudah, namun seorang rekan mengingatkan cuitan Sudjiwo Tedjo di akun twitternya :
(ypp)