Selasa, 31 Desember 2019

HATI BARU YANG PENUH PENGERTIAN

IBADAH TUTUP TAHUN
1 Raj 3:5-14 | Yoh 8:12-19

Banyak orang bersedih karena merasa tidak dimengerti. Itulah mengapa ada istilah ‘salah paham’ atau bahasa kekiniannya ‘gagal paham’. Ada sebuah pengertian yang salah mengenai sebuah peristiwa, sikap, atau hal lain yang mengakibatkan selisih paham. Itulah mengapa, banyak orang menginginkan menjadi pribadi yang bijaksana. Bahkan, pada zaman dulu, guru, kyai, pendeta, itu adalah sebutan untuk orang yang ‘dituakan’, dan salah satu unsur orang yang ‘dituakan’ adalah adanaya kebijaksanaan dalam dirinya. Menjadi bijak untuk memahami segala sesuatu bukan hal mudah. 

Itulah yang juga dipahami oleh Salomo. Dalam mimpi, Allah menjumpainya. Allah berkata "Mintalah apa yang hendak Kuberikan kepadamu." (1 Raj 3:5). Masuk akal jika Salomo meminta segala sesuatu yang bisa menunjang kejayaan Israel. Harta berlimpah, ketersediaan berjuta-juta armada perang, prajurit-prajurit tangguh, cadangan makanan yang cukup untuk bertahun-tahun dan banyak lagi. Tapi, kisah ikonik ini selalu membuat kita terkesima. Salomo menjawab “… berikanlah kepada hamba-Mu ini hati yang faham menimbang perkara untuk menghakimi umat-Mu dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat, sebab siapakah yang sanggup menghakimi umat-Mu yang sangat besar ini?" (1 Raj 3:9). Kebijaksanaan. Itulah yang diminta oleh Salomo. Kecakapan untuk menimbang perkara dengan dapat membedakan mana yang baik dan yang jahat. Allah melihat permintaan itu baik dan akhirnya menjadikan Salomo sebagai orang paling bijak di muka bumi. Tapi pertanyaannya, apakah Salomo langsung menjadi bijaksana seketika itu juga? Ternyata, banyak kasus di depan mata yang harus ia hadapi. Kisah perebutan seorang anak oleh 2 orang ibu (1 Raj 3:16-28), Kunjungan Ratu dari Syeba (1 Raj 10:1-13) adalah beberapa contoh kasus yang diselesaikan oleh Salomo. Berarti, Allah memberikan Salomo kebijaksanaan dengan menghadapkannya pada sederetan kasus, dan di sanalah Salomo diuji.

Kita bisa jadi seperti Salomo. Tentu, sebagai orang-orang yang mengaku sebagai ‘murid Kristus’, kita menginginkan menjadi orang yang bijaksana. Kita memohon, Tuhan menganugerahkan kebijaksanaan untuk kita. Apa Allah memberi? DIBERI. Namun apakah instan? Tentu tidak. Kita juga perlu belajar. Namun, seringkali, orang Kristen terlalu men-Tuhan-kan mimbar sebagai sarana Firman Allah diberitakan. Memang, dalam khotbah-khotbah tentu mengalir Firman Allah, tapi bukankah Firman Allah tidak hanya disuarakan di mimbar? Sebagaimana Salomo, bisa jadi kita mengalami hal yang sama. Kita diperhadapkan dengan kasus-kasus untuk kita pecahkan. Untuk apa? Untuk membuat kita semakin bijaksana. Inilah tema kita, “HATI BARU YANG PENUH PENGERTIAN”. Di penghujung tahun 2019 ini, kita diajak untuk menoleh sejenak ke belakang. Kita diajak untuk tidak gagal paham pada segala peristiwa. Segala sesuatu yang Ia hadirkan dalam hidup kita, membuat kita semakin tajam dalam berpikir, semakin bijak dalam menimbang perkara. Jatuh dan bangun kita di tahun 2019 adalah bentuk anugrah Allah dalam kehidupan kita. Tentu, perlu kerendahan hati untuk bisa berpikir positif. Berpikir bahwa segala kejatuhan membuat kita menjadi tahan uji. Berpikir bahwa segala kebangkita kita bukanlah upaya kita semata, namun pertolongan Tuhan yang tiada henti. Kidung indah di PKJ 244 mengingatkan kita akan hal ini.

Sejenak aku menoleh pada jalan yang t'lah kutempuh.
Kasih Tuhan kuperoleh, membuatku tertegun.
Jalan itu penuh liku, kadang-kadang tanpa t'rang.
Tapi Tuhan membimbingku hingga aku tercengang.
Kasih Tuhan membimbingku dan hatiku pun tenang.

Sir David Brewster adalah penemu alat bernama KALEIDOSKOP. Nama benda yang kalau kita dengar, kita tidak akan berpikir bahwa itu alat peneropong bintang, namun memori dalam satu tahun yang layak dikenang. Alat ini punya sistem sederhana. dua lensa besar di masing-masing ujungnya, dan dalam tabung teropong itu diberi hiasan batu-batu indah. Ketika alat ini digunakan, pantulan benda-benda langit akan berpadu dengan efek dari bebatuan indah itu. Hasilnya akan begitu menawan. Itulah KALEIDOSKOP. Mengajak kita melihat 'benda-benda' di tahun 2019, mencoba memantulkannya dalam balutan lensa yang lebih indah. Percayalah, segala sesuatu itu baik, asal kita mau menjadi pribadi yang memiliki HATI BARU PENUH PENGERTIAN. 

Yesus berkata, “Akulah terang dunia” (Yoh 8:12). Kalimat sederhana yang menunjukkan pengakuan Ilahi tentang identitasnya sebagai Sang Terang. Dan lihatlah, ia menerangi kita dengan kasih yang hangat dan mendekap. Terang itu tak hanya terang. Terang itu melindungi. Terang itu menuntun. Kita bersama di sini, karena Ia, adalah Sang Terang. Terang yang membuat kita mengerti. Terang yang ada dalam hati. Terang ini menaungi kau dan aku. 
ftp

Jumat, 27 Desember 2019

BERDAMAI DENGAN KESULITAN


Minggu I sesudah Natal

Yesaya 63:7-9 Mazmur 148 Ibrani 2:10-18 │ Matius 2:13-23

Dari akun youtube Fiersa Besari saya belajar bahwa pendaki gunung harus mempersiapkan berbagai hal untuk sampai di puncak, salah satunya adalah mengenali medan dan jalur pendakian mereka. Akan makin mudah bila kita akan mendaki Gunung Semeru, salah satu gunung tertinggi di Jawa yang indah nan terkenal. Sebab sudah pasti ada jalur pendakian utama menuju puncak. Jalan itu tentu sering dilewati dan tampak berupa jalan di antara pohon-pohon tumbang, nampak tanda ada jurang berbahaya, bisa melalui tepi air terjun yang hangat, ataupun jalan setapak di hutan belantara. Jalannya mudah dikenali sehingga sulit ditemukan kasus orang tersesat karena tak tahu jalan.

Bisa kita menyebut kondisi ini sebagai keadaan yang tenang karena sudah ada “jalan dominan”. Perlahan atau cepat orang sampai ke puncak. Tentu godaan menjelang puncak bisa datang berupa keletihan yang sangat, kaki keram dan bisa saja berputus asa sehingga memilih menyerah. Namun, pendaki yang berjiwa tangguh akan sampai ke puncak, bahkan bisa menjadi pelopor bagi yang lain untuk mencapai puncak bersama.

Keindahan mendaki dan di puncak gunung itu ternyata sangat mungkin bertemu dengan kejadian di luar dugaan saat kaki melangkah untuk pulang. Jalan menuju pulang yang tadinya dilewati untuk naik ke atas tiba-tiba terhempas badai besar dan tertimpa longsoran lumpur. Semua orang yang berada di kawasan puncak berpindah posisi, menepi sambil mencari jalan alternatif untuk pulang. Di saat itulah terjadi yang dinamakan keadaan terputus atau diskontinuitas. Telah terjadi pergeseran situasi kondisi dari perjalanan yang tenang dan nyaman tadi. Semua orang menjadi kebingungan, suasana menjadi kalut, sebab kalau ada jalan tembus baru, maka jalannya pastui belum terbentuk dan muaranya pun belum tentu titik awal pendakian. Mengejutkan bagi kita menghadapi kondisi-kondisi perubahan mendadak, sebab keadaannya menjadi jauh dari dugaan maupun bayangan kita sebelumnya.

Allah yang menunjukkan belas kasih dengan lahir ke dunia adalah sebuah perubahan mengejutkan bagi dunia. Dunia sudah punya konsep, bayangan tertentu tentang keadaannya disertai harapan-harapan khusus di hari depan, yakni hadirnya Mesias. Mesias yang mereka puji dan puja harus bebas dari kekotoran dunia, sebab Ia kudus, mulia dan berkedudukan tinggi. Sehingga bila Ia hadir maka pengawalan kelas wahid harus diterapkan agar tak ada mengganggu dan mengotori. Dengan kata lain mereka menantikan pertolongan dari Allah berupa Mesias yang berjarak, istimewa dan tak boleh menderita sebab Ia berkuasa membebaskan umat dari derita. Itulah “jalan dominan” Mesias mereka. Di tengah keadaan itulah Yesus Kristus hadir mendisrupsi konsep Mesianik zaman itu. Yesus menolak dinobatkan sebagai pemimpin nasional yang akan memimpin umat ke kemenangan politik. Yesus menolak cobaan yang menawarkan jabatan raja yang jaya, yang berisi pameran kuasa mujizat dan ketaatan pada kuasa-kuasa Iblis dunia ini.
Yesus memilih Jalan yang berbeda, Ia tak dapat disangkal adalah Mesias, namun Mesias yang Menderita. Sebab itulah cara yang dikehendaki-Nya untuk menunjukkan belas kasihNya.

Melalui penderitaan Allah Menunjukkan Belas KasihNya dengan dua tujuan:

1. Menjadi pelopor/prototipe hidup damai di tengah penderitaan
Untuk jadi mesias dengan kekuasaan politik sebenarnya relatif mudah, yaitu dengan memberikan banyak janji palsu kepada orang-orang yang putus asa. Menjanjikan kepada mereka banyak makanan, jalan-jalan yang aman dari gangguan penggusuran, dan kehidupan yang damai. Tetapi mesias politik dengan kuasa yang dipegangnya sering tidak mampu memegang janji-janji demikian. Dengan sangat segera warga-nya akan sadar bahwa setiap orang dapat menjadi tahanan politik, penjara-penjara penuh dengan orang-orang yang didakwa bekhianat, dan bahwa janji palsu dicekokkan agar mereka telan sebagai kebenaran yang tak terbantah.

Sedihnya, dunia mencari mesias politik dan siap memberikan kuasa dan wibawa. Tetapi Allah mencari mesias-mesias yang menderita. Saat ini banyak pejuang-pejuang kebenaran yang menderita di berbagai belahan dunia, Israel, Mesir, Perancis, Brazil, Amerika Serikat, Cina, dan Indonesia. Namun tidak hanya itu, Allah tak hanya mencari tetapi di dalam Yesus Kristus Ia menjadi mesias yang menderita. Sebab Mesias yang menderitalah yang dapat menjanjikan suatu masa depan baru dan memebrikan suatu kehidupan baru melalui salib dan kebangkitan-Nya. Hanya Mesias yang menderitalah yang dapat mempertahankan cahaya kebenaran, kasih dan keadilan tetap bersinar dalam kegelapan dunia penuh dusta, pemerasan, dan kebencian.

Ia telah menjadi pelopor, kita harusnya meneladan hidup sebagai orang tua yang bekerja keras demi memenuhi hak anak mendapat pendidikan namun tak lupa memberi waktu memelihara ikatan kasih dengan anggota keluarga, lelah? Ya itulah pengurbanan berlandas belas kasih. Yesus telah menjadi pelopor, maka teladanilah dalam hidup pelayanan dengan siap bergerak lebih banyak, mendengarkan dan mendampingi mereka yang sakit/berduka sekalipun mungkin tak dapat lampu sorot/diketahui oleh teman jemaat yang lain. Kalau engkau melayani dalam kebaktian/persekutuan, teladanilah kemerendahan Kristus, lihatlah mimbar/panggung ini sebagai altar bagimu mempersembahkan talenta dan dirimu.

2. Menjadi teman seperjalanan Berdamai dengan Kesulitan
Sebab Ia tahu, bahwa para murid kerap gagal paham atau kurang paham dan tak jarang gagal. Ia mengerti benar kita manusia itu sebagaimana para murid-Nya yang terbungkus pengharapan-pengharapan kemuliaan yang melampaui penderitaan di depan. Sehingga Ia mau menemani kita, mengingatkan terus menerus bahwa penderitaan yang dialami Sang Mesias bukan demi diri-Nya, tetapi demi orang banyak, untuk orang-orang Yahudi, benar, tapi juga untuk orang-orang Yunani sampai Indonesia yang bebal. Penderitaan Yesus Kristus membuat Allah tersedia bagi umat manusia dan memampukan mreka menjadi bagian dari misteri keselamatan. Penderitaan Allah haruslah menjadi tempat di mana orang-orang dari manapun juga dapat saling mengakui yang lain sebagai sesama peziarah yang membutuhkan kuasa penyelamatan Allah. Menjadi manusia berarti menderita, dan Allah sangat tahu itu.

Dan Penderitaan menjadi tempat Allah dan manusia bertemu. Tempat semua orang – raja, imam, orang miskin, dan pelacur – menemukan diri sebagai manusia yang lemah dan fana dan membutuhkan kasih Allah yang menyelamatkan. Yesus Kristus hadir sebagai perwujudan nyata kasih Allah itu dengan menjadi sahabat orang-orang berdosa, makan bersama dengan mereka, berbincang dengan mereka, bahkan sempat meminta bantuan mendapatkan air. Allah menjadi dekat bagi para pendosa yang saat itu berjauhan dengan Allah akrena tuntutan dan persyaratan agama masa itu. Meskipun Yesus menjalani hidup dnegan standar kesucian yang begitu tinggi, bahkan melampaui kesucian orang-orang se-zaman-Nya, namun Ia menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari dengan segala pergumulannya.

Ia menolong mereka dengan berkata “Marilah kepada-Ku, … pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah kepadaKu, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan bebanKu pun ringan.” – Mat. 11:16-19, 28-30. Ayat ini dikatakan bukan oleh mesias politik tapi mesias yang menderita, maka itu janji sahabat yang tahu persis persoalan, kegalauan dan kelemahan kita, maka hendaknya undangan itu menggerakkan hati kita dan mendorong kita kepada pertobatan dan berdamai dengan kesulitan.

ypp

Rabu, 25 Desember 2019

MENYATAKAN KEMULIAAN ALLAH

Yesaya 52 : 7 - 10; Mazmur 98; Ibrani 1 : 1 - 12; Yohanes 1 : 1 - 14 

Saudaraku yang terkasih dalam Tuhan, ada sebuah kisah tentang seorang ayah dan putranya yang berusia sekitar 5 tahun yang sedang belajar bermain piano selama 1 bulan. Suatu waktu, di kota tempat mereka tinggal. Datang seorang pianis yang sangat terkenal yang akan membuat sebuah konser. Karena ketenarannya, dalam waktu singkat tiket konser telah terjual habis. Untunglah sang ayah sempat membeli 2 buah tiket pertunjukan, untuk dirinya dan anaknya.
Pada hari pertunjukan, satu jam sebelum konser dimulai, semua kursi telah terisi penuh. Sang ayah dan putranya duduk bersampingan. Dan seperti anak-anak pada umumnya, anak ayah ini tidak betah duduk diam terlalu lama. Tanpa sepengetahuan ayahnya, ia menyelinap pergi. Ketika lampu gedung mulai diredupkan, sang ayah terkejut menyadari bahwa putranya tidak ada di sampingnya. Ia lebih terkejut lagi ketika melihat anaknya berada di atas panggung pertunjukan, dan sedang berjalan menghampiri piano yang akan dimainkan pianis yang terkenal itu.
Si anak didorong oleh rasa ingin tahu dan tanpa takut, ia pun duduk di depan piano dan mulai memainkan sebuah lagu yang sederhana, twinkle-twinkle little star. Operator lampu sorot pun terkejut mendengar adanya suara piano. Ia mengira bahwa konser telah dimulai tanpa aba-aba terlebih dahulu, dan ia langsung menyorotkan lampunya ke tengah panggung. Seluruh penonton terkejut melihat yang berada di atas panggung bukan sang pianis, tapi hanyalah seorang anak kecil.
Sang pianis yang mendengarkan bunyi piano dari balik panggung, pun langsung segera masuk ke atas panggung dan melihat anak tersebut. Namun sang pianis tidak marah, ia tersenyum dan berkata, “Teruslah bermain” dan sang anak yang mendapat ijin itu, meneruskan permainannya. Sang pianis lalu duduk di samping anak itu dan mulai bermain mengimbangi permainan anak itu. Ia mengisi semua kelemahan permainan anak itu dan akhirnya tercipta suatu komposisi permainan yang sangat indah. Bahkan mereka seakan menyatu dalam permainan piano tersebut.
         Ketika mereka berdua selesai, seluruh penonton menyambut dengan meriah, karangan bunga dilemparkan ke tengah panggung. Tapi si anak jadi besar kepala, pikirnya, “ya ampun, baru belajar piano sebulan saja sudah disoraki seperti ini!” Ia lupa bahwa yang disoraki oleh penonton adalah sang pianis yang duduk di sebelahnya, mengisi semua kekurangannya dan menjadikan permainannya sempurna.
Saudaraku yang terkasih, dari ilustrasi ini kita mau berkaca. Apakah kita seperti anak kecil tadi? Yang menganggap diri kita hebat, bisa ini itu, bisa pelayanan, bisa kerja, dan menganggap kesuksesan dan kebisaan kita karena jerih lelah kita, dan akhirnya terjebak dan jatuh pada kemuliaan diri kita sendiri. Padahal kita bukan apa-apa.
Saudaraku, di Injil Yohanes 1 mencatat hal-hal yang besar dan mulia yang dilakukan Allah. Dan tidak bisa dicopy paste oleh manusia.  
1.   Ay. 1 Firman yang adalah Allah sendiri telah menjadi manusia.
Ia Allah yang tadinya abstrak menjadi Allah yang nyata dan dikenal.
Ia tadinya tak terjangkau menjadi dekat dengan manusia.  

2.   Ay. 3 menyatakan Ia adalah Allah Sang Creator (Pencipta) yang menjadikan segala sesuatu dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan. Ia bukan membuat sesuatu dari yang sudah ada (recreation/daur ulang). Tetapi Ia membuat sesuatu dari yang tidak ada menjadi ada.

3.   Ay. 4 – 5 Ia adalah Allah yang memberi hidup dan memberi terang keselamatan dan pengharapan dalam kehidupan manusia yang gelap dan penuh dosa. Dan kegelapan itu tidak menguasainya. Ia menjadi Allah yang bebas sekaligus membebaskan. Ia menjadi Allah yang tegas, tak bisa dikendalikan namun memberi terang dan harapan.  

Saudaraku yang terkasih, memang Injil Yohanes adalah Injil yang unik karena injil ini tidak berbicara secara spesifik tentang kelahiran Yesus seperti di Injil Matius dan Lukas. Tapi kalau kita perhatikan dari 3 hal saja yang dinyatakan dalam bacaan kita hari ini, memperlihatkan betapa Allah kita begitu mulia, Allah begitu hebat. Allah begitu wow karena Ia Allah yang melampui semua dimensi waktu. Ia yang mencipta, menyertai, menyelamatkan dan memberi pengarapan dalam hidup manusia (dari kegelapan dan dosa).
Dalam bacaan, di mana posisi manusia? Posisi kita dimana? Tentu tidak setara dengan Allah. Posisi manusia hanya yang diciptakan. Sama dengan ciptaan yang lain. Oleh Karena itu, yang seharusnya dan sepantasnya dimuliakan bukan manusia, bukan ciptaan yang lain, bukan diri kita, bukan kebisaan, kesuksesan, apa yang kita raih. Tapi seharusnya yang kita nyatakan adalah kemuliaan Allah. Yang kita wartakan dan saksikan adalah kemuliaan Allah bukan  kemuliaan diri kita sendiri. Karena kita tanpa Allah hanya butiran debu. Kita tanpa Allah nothing. Tetapi karena Allah kita menjadi something. Karena Allah itu everything
Kalau diibaratkan, kita ini dalam bacaan seperti Yohanes Pembaptis. Namun kita Yohanes kekinian yang bertugas untuk menjadi pemberita – saksi tentang terang. Tapi kita bukan terang itu. Karena terang yang sejati adalah Allah Kristus Tuhan kita yang lahir dan menebus dosa kita yang tak layak diampuni.
Saudaraku yang terkasih, oleh karena itu berita natal untuk setiap kita adalah jika kita adalah seorang ayah, ibu, anak, kakak, adik, cucu, oma, opa, saudara. Jika kita adalah seorang karyawan, bos, ibu rumah tangga, wanita karir, siswa maupun mahasiswa. Jika kita adalah hamba-hamba Tuhan yang melayani di gereja “nyatakanlah kemuliaan Allah (bukan kemuliaan diri) dalam kehidupan kita dalam pikiran, tutur kata dan perbuatan keseharian kita. Apapun peran kita di dunia ini.”
Saudaraku yang terkasih, Mahatma Gandhi mengatakan “Jika kehidupan orang Kristen dalam teladan Kristus, seluruh dunia akan menjadi Kristen.” Apakah seluruh dunia sekarang sudah menjadi kisten? Belum. Yang ditekankan Gandhi tentu bukan untuk membuat orang Kristen melakukan Kristenisasi di mana-mana. Tetapi ia mengkritisi, kalau banyak orang Kristen, berKTP/Id Kristen bertahun-tahun tetapi tidak meneladani Kristus dalam keseharian hidupnya. Lihat saja, begitu banyak orang Kristen yang korupsi, tukang pukul, tukang jelekkin orang, penyebar hoax, dll. Oleh karena itu, menyatakan kemuliaan Allah dengan meneladani sikap Yesus adalah PR untuk semua orang. Ini tugas setiap kita setiap hari bukan hanya di momen natal ini.
Tapi saya percaya, ada juga yang sudah dan terus menyatakan kemuliaan Allah dalam kehidupannya. Salah 1 contoh adalah Grezia Ephifany seorang penyanyi religi cilik asal Indonesia yang terlahir dalam keadaan tdak bisa melihat dunia (tuna netra) karena selaput di matanya dan keadaan ini membuatnya tidak bisa melihat seumur hidupnya. Walaupun dalam keterbatasannya dia diberi talenta bisa benyanyi dan bermain piano dan meskipun dia tidak bisa melihat, dia masih bisa menyatakan kemuliaan Allah. Hal ini terlihat dari sepenggal lirik lagunya “Walau KutaK Dapat melihat”

Walau ku tak dapat melihat semua rencanaMu.
Tuhan namun hatiku tetap memandang padaMu, Kau tuntun langkahku.
Walau ku tak dapat berharap atas kenyataan hidupku,
namun hatiku tetap memandang padaMu.
Kau ada untukku.

          Jika Grezia bisa, tentu kita juga bisa. Selamat Natal. Selamat mengingat kembali akan kemuliaan Allah dan selamat berjuang untuk menyatakan kemuliaan Allah dalam keseharian kehidupan yang kita jalani. Amin.


Selasa, 24 Desember 2019

KEMULIAAN DALAM KESEDERHANAAN


Malam Natal
Yesaya 9:1-6 | Mazmur 96 | Titus 2:11-14 | Lukas 2:1-20


Kita mengimani Yesus Kristus sebagai Raja yang mulia. Namun, kisah kelahiran-Nya jauh dari kisah pangeran dan istana dalam dongeng. Sang Mesias lahir justru bukan di tempat yang selayaknya, apalagi di istana. Ia lahir dari sepasang manusia yang bukan siapa-siapa, di tengah rakyat jelata yang sedang mengantri untuk menjalani sensus. Hiruk-pikuk rakyat yang mengikuti sensus itu memaksa sang ibu muda yang bukan bangsawan ini untuk beristirahat dan melahirkan di ruang bawah, tempat istirahat ternak di malam hari; bersama kambing, domba, lembu, sapi. Kelahiran Yesus akrab dengan kesederhanaan dan keprihatianan.

Namun demikian, dalam kesederhanaan itulah kemuliaan-Nya dinyatakan. Dalam diri Yesus Kristus, kemuliaan dan kehinaan menyatu; kemuliaan Allah merengkuh kehinaan manusia; Ia yang Mahamulia merangkul manusia-manusia yang hina dan terpinggirkan. Kemuliaan inkarnasi Allah yang menjadi manusia ini pun tidak disaksikan oleh para bangsawan atau raja-raja dan pembesar-pembesar, melainkan oleh para gembala, kumpulan manusia yang dianggap najis, dipinggirkan dan diasingkan, dibungkam dan tak didengar suaranya. Dengan ini, Allah justru mau menyatakan kemuliaan yang bukan dalam kekuasaan dan kehormatan yang dikejar oleh manusia, melainkan kemuliaan dalam kesederhanaan. Siapa pun dapat dipakai Allah untuk menyatakan kemuliaan-Nya.

Malam ini kita merayakan kemuliaan Allah yang dinyatakan dalam kesederhanaan. Namun demikian, janganlah ini hanya menjadi cerita dan retorika, tetapi menjadi refleksi dan pengingat bagi kita bersama. Mari melihat kembali seperti apa Natal dirayakan selama ini? Bukankah di sana-sini kita melihat perayaan Natal yang penuh dengan kemewahan dan keglamoran, pesta pora dan kemeriahan? Perayaan Natal menjadi sandiwara munafik, di mana orang-orang menyanyi Malam Kudus, memasang pohon terang dan oranamen-ornamen, sibuk dengan perayaan-perayaan Natal bahkan sejak masa Adven, tetapi dunia terus dipenuhi dengan kebencian dan permusuhan, peperangan dan teror, penindasan dan ketakutan. Banyak orang yang miskin dan lapar, mengungsi karena perang, menderita karena bencana alam, kecewa, putus asa, depresi, bahkan berniat bunuh diri, namun luput dari perhatian dan kepedulian mereka yang lebih sibuk membeli baju baru atau bertukar kado.

Bukankah Yesus yang mulia lahir dalam kesederhanaan? Bukankah Allah yang mahatinggi itu berpihak kepada mereka yang rendah, miskin, mederita, terabaikan, dan dianggap sampah oleh masyarakat? Karena itu, jika kita mengaku sebagai murid-murid Kristus, pantaskah kita merayakan Natal dengan segala kemewahan dan kemeriahan tanpa peduli pada sesama yang menderita? Kemuliaan yang sesungguhnya bukanlah dalam perayaan-perayaan dengan kemewahan, bukan dengan harta benda dan kekayaan yang melimpah, melainkan dengan setia menebarkan cinta kasih Allah, dengan kepedulian pada sesama, dengan berbagi rahmat kepada semesta, dengan memperjuangkan keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan.

Kristuslah teladan kesederhaan dan kepedulian. Marilah memulai untuk menajamkan kepekaan kita terhadap kebutuhan sesama. Mulailah dari diri sendiri dan dari hal-hal sederhana. Berikanlah perhatian kepada orang di samping kita. Doakanlah mereka yang bergumul dengan sakit dan masalah pribadinya. Salurkanlah bantuan bagi korban bencana. Bangunlah kerja sama dengan masyarakat dan lembaga masyarakat atau agama. Kembangkanlah gaya hidup yang ramah terhadap lingkungan hidup. Lakukanlah semua dengan sukacita dan tanpa pamrih. Marilah merayakan kelahiran Kristus yang mulia di dalam kesederhaan dan kepedulian. Selamat Natal! (ThN)

Sabtu, 14 Desember 2019

HARUSKAH KAMI MENANTIKAN ORANG LAIN?

Minggu Adven III
Yesaya 35:1-10 | Mazmur 146:5-10 | Yakobus 5:7-10 | Matius 11:2-11


Minggu ini kita memasuki Minggu Adven ketiga, Minggu Gaudete atau Sukacita. Banyak gereja ataupun umat yang sudah mulai memasang pohon terang, mungkin sudah mendekorasi rumahnya dengan kemeriahan Natal. Di beberapa gereja, lilin yang dinyalakan pun adalah lilin berwarna merah muda/rose, campuran dari warna ungu (simbol Adven) dan warna putih (simbol Natal). Warna merah muda melambangkan sukacita di tengah penantian, karena kita sudah separuh jalan. Ada sukacita di tengah penantian karena sebentar lagi kita akan merayakan Natal dengan sukacita yang lebih besar, sukacita karena kelahiran Sang Imanuel.
Akan tetapi, pada Minggu Sukacita ini kita justru disuguhkan kisah tentang keragu-raguan, kisah putus asa seorang Yohanes Pembaptis yang berada di dalam penjara. Seruan pertobatan yang dikumandangkan Yohanes ternyata menggerakkan rakyat, bahkan berpotensi menimbulkan revolusi, sehingga membahayakan kedudukan Herodes sebagai raja boneka Romawi. Selain itu, Yohanes juga pernah mengecam keras perkawinan Herodes dengan Herodias, istri dari saudara tiri Herodes. Itulah yang membuat Herodes memanjarakan Yohanes. Dalam penjara, Yohanes menerima kunjungan para muridnya yang memberitakan kepadanya tentang Yesus. Kepada murid-muridnya ini jugalah Yohanes menyampaikan keragu-raguan dan menitipkan pertanyannya kepada Yesus, “Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?”
Minggu lalu kita melihat bagaimana Yohanes dengan semangat berkobar-kobar menyatakan “Ia yang datang kemudian dari padaku lebih berkuasa dari padaku dan aku tidak layak melepaskan kasut-Nya” (Mat. 3:11). Saat ini, kisah melompat jauh ke dapan dan berbalik 180 derajat. Yohanes tidak lagi berseru-seru di padang gurun, melainkan mendekam dalam pejara yang gelap dan sempit. Ia tidak lagi berseru dengan lantang, melainkan terdiam dalam pertanyaan yang berkecamuk. Ia mulai meragu, dan dalam keragu-raguannya ia mulai mempertanyakan apakah Yesus adalah benar-benar Mesias yang dinantikan itu. Yohanes yang tadinya dipenuhi keyakinan sekarang mengalami keragu-raguan. Dalam keadaan yang tertekan dan menderita di dalam penjara, sepertinya Yohanes pun meragukan pandangannya mengenai Mesias selama ini. Ia membayangkan Mesias yang memegang kapak untuk menebang pohon, yang membaptis dengan Roh Kudus dan api, yang mungkin ia bayangkan seperti layaknya orang Yahudi pada umumnya yakni Mesias yang datang dengan kekuatan dan kekuasaan untuk melaan penjajahan.
Ternyata Yesus yang ditunjuknya sebagai Mesias tidaklah seperti gambarannya. Mesias yang harusnya berjuang dengan kekuatan bersama orang-orang yang revolusioner, Mesias yang seharusnya bisa diandalkan dan dibanggakan, malah bergaul dengan orang-orang buangan dalam masayarakat; melayani orang-orang lemah dan tidak berdaya. Dan tepat seperti itulah jawaban Yesus kepada murid-murid Yohanes, “… orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik.” Apa yang Yesus lakukan ternyata sudah dinubuatkan Nabi Yesaya pada masa lalu, “Pada waktu itu mata orang-orang buta akan dicelikkan, dan telinga orang-orang tuli akan dibuka … orang lumpuh akan melompat seperti rusa, dan mulut orang bisu akan bersorak-sorai” (Yes. 35:5-6). Di sinilah Yesus menyatakan penggenapan nubuat itu. Yesus adalah Mesias bagi yang lemah dan terpinggirkan.
Pada Minggu Adven ke-3 ini, saat sukacita semakin terasa karena mendekati kedatangan Kristus, Firman Tuhan justru menunjukkan kita penderitaan, kegelisahan, dan keragu-raguan seorang Yohanes Pembaptis. Nyatanya, beberapa psikolog dan psikiater justru semakin semakin sering melayani konseling ketika mendekati libur Natal. Ternyata mendekati akhir tahun banyak orang yang mengalami kegelisahan, stres berat, depresi, putus asa, bahkan berpotensi bunuh diri.
Jangan-jangan pertanyaan Yohanes Pembaptis, “Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?” juga adalah pertanyaan kita. Mungkin saja saat ini kita diliputi keragu-raguan akan Mesias sang penyelamat ketika banyak masalah dalam hidup kita; ketika biaya hidup meningkat dan kebutuhan semakin banyak; ketika kita mengalami sakit keras dan harus terbaring lemah; ketika kita gagal dalam ujian semester atau usaha menjadi sepi pelanggan; ketika kita dimarahi habis-habisan olah atasan di kantor atau justru harus di-PHK; ketika rumah tangga kita mengalami guncangan entah karena masalah komunikasi atau masalah ekonomi; ketika dunia ini semakin porak-poranda dan kebencian mengusai; ketika di sana-sini terjadi kemiskinan, kelaparan, peperangan, terorisme, dan bencana alam. Dalam keadaan seperti ini, mungkin kita bertanya-tanya, “Apakah Kristus yang kita nantikan adalah benar Kristus yang akan membarui segala sesuatu?” “Diakah yang akan datang itu atau haruskah kita menantikan orang lain?”
Sebenarnya kita bisa menimbang apakah pertanyaan Yohanes Pembaptis itu adalah pertanyaan keragu-raguan atau pertanyaan iman? Pertanyaan itu didasari oleh spekulasi atau introspeksi? Oleh kekecewaan atau oleh pemahaman yang baru bahwa jangan-jangan kehendak Allah tidak selalu sesuai dengan apa yang ia harapkan? Dari sini kita pun bisa menilai pertanyaan-pertanyaan kita akan Allah. “Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?” menjadi pertanyaan untuk menyatakan kegamangan kita terhadap segala sesuatu yang terjadi. Pertanyaan itu juga menjadi introspeksi bagi diri kita sendiri, apakah kita menantikan Allah atau hanya menantikan apa yang kita inginkan dari Allah. Dan yang terutama ialah pertanyaan itu menjadi ekspresi penantian dan pengharapan kita di tengah segala kesulitan hidup.

Pada Minggu Adven ke-3 ini, biarlah pertanyaan Yohanes juga menjadi pertanyaan kita. Bertanyalah bukan untuk menjawabnya atau mencari solusinya, melainkan untuk terus menanti, berpengharapan, dan pada saatnya mengagumi jawaban Allah. Sebagaimana jawaban Yesus kepada Yohanes, “… berbahagialah orang yang tidak menjadi kecewa dan menolak Aku,” demikianlah kita di tengah segala kesulitan dan penderitaan hidup terus berpegang pada pengharapan kita dan berbahagia karena tidak menjadi kecewa dan menolak-Nya. Maranata! (ThN)

Sabtu, 07 Desember 2019

DATANGNYA ZAMAN BARU


Yes. 11 : 1 - 10; Mzm.72:1- 7, 18 -19; Rm. 15  4 – 13; Mat. 3:1 – 12

Dalam Injil Matius 3 mengisahkan Yohanes Pembaptis, Anak imam Zakharia dan Elisabet yang sudah dinubuatkan akan menjadi penyiap, pembuka, pemberita datangnya zaman baru (kedatangan Mesias) (lih. Luk. 1 : 16 – 17). Namun sebagai penyiap, Yohanes mempunyai tugas yang penting, yaitu memgumandangkan agar setiap mereka turut mempersiapkan diri dengan cara berbalik kepada Allah melalui proses pertobatan dan baptisan.
Mengapa harus bersiap? Karena kita biasanya juga harus bersiap bukan, ketika akan kedatangan tamu atau orang lain di rumah. Contoh lain, di bulan Desember ini dalam momen menyambut natal, biasanya juga kita sudah rempong menyiapkan hiasan, pakaian dan kue natal. Ya, bersiap itu perlu. Namun bersiap yang dilontarkan oleh Yohanes, tak cukup mempersiapkan hal-hal yang nampak di luar. Tetapi juga harus dari dalam, yakni pertobatan (Yun. Metanoia: berbalik arah ke Tuhan) yang bukan hanya bertobat tetapi juga menghasilkan buah pertobatan.  
Itu sebabnya, Mat. 3 : 7 ketika Yohanes melihat banyak orang Farisi[1] dan Saduki[2] datang untuk dibaptis, berkatalah ia kepada mereka: “hai kamu keturunan ular beludak. Siapakah yang mengatakan kepada kamu, bahwa kamu dapat melarikan diri dari murka yang akan datang?” Kalau dilihat kembali bahasa yang dipakai oleh Yohanes begitu sarkas[3] tetapi tepat. Karena mereka bagaikan ular beludak, yang meskipun memiliki penampilan memikat, namun berbisa, beracun, penuh dengki dan benci terhadap segala sesuatu yang baik.[4] Itu sebabnya, Yohanes mengingatkan mereka supaya bukan hanya nampak bertobat tetapi juga menghasilkan buah pertobatan (ay. 8).
Di minggu Adven ke-2 ini, sebagai jemaat Tuhan kita dihadapkan pada masa penantian. Masa di mana kita menanti kedatangan Kristus kedua kali (Yun. Parousia). Di masa ini, kita tiingatkan oleh Yohanes Pembaptis untuk menilik kembali ke dalam kehidupan kita. Apakah kita sudah mempersiapkan diri? Sudah bertobat sekaligus menghasilkan buah pertobatan? Supaya ketika masa di mana raja yang akan membawa keadilan dan perdamaian seperti Doa Salomo dalam Mazmur 72 itu datang, kita telah siap dan turut bersukacita. Selamat mempersiapkan diri di minggu Adven ini. Tuhan menolong kita semua.




[1] Menurut Kamus Alkitab Farisi: suatu golongan agama dalam bangsa Yahudi. Orang-orang Farisi sangat taat kepada hukum-hukum agama Yahudi dan peraturan-peraturan yang ditambahkan pada hukum-hukum itu dari zaman ke zaman. 
[2] Menurut Kamus Alkitab, Saduki: suatu golongan pemimpin agama Yahudi, yang sebagian besar terdiri dari imam-imam. Mereka mendasarkan pengajarannya pada kelima kitab Musa dan menolak segala ada istiadat yang ditambahkan kemudian.
[3] Sarkas – Sarkasme dalam KBBI berarti (penggunaan) kata-kata pedas untuk menyakiti hati orang lain, cemoohan atau ejekan kasar
[4] Tafsiran online dari Matthew Henry Commentary