Selasa, 16 Februari 2021

KASIH SETIA ALLAH KEPADA CIPTAAN-NYA

Minggu I dalam Masa Prapaska

Kejadian 9:8-17 |  Mazmur 25:1-10 | 1 Petrus 3:18-22 | Markus 1:9-15


Bagi saya, pelangi sehabis hujan itu indah. Karena pelangi yang muncul setelah hujan reda karena yang paling dinantikan dari hujan akhirnya tiba, yakni redanya. Apalagi kalau hujannya sangat deras, kita pasti bertanya-tanya kapan hujannya akan reda atau berhenti. Karena kalau hujan tidak berhenti, akan terjadi bencana banjir. Karena itu, ketika pelangi sudah muncul, yang menandakan hujan sudah reda, maka kita punya pengharapan. Sebagai orang Kristen, ketika kita membicarakan pelangi, kita tentu akan mengingat perjanjian Allah dengan Nuh. Jika kita melihat pelangi, kita punya pengharapan bahwa selalu ada awal yang baru. Pelangi sehabis hujuan membawa pengharapan akan kehidupan.

Pelangi menjadi tanda pembaruan perjanjian Allah dengan manusia. Mengapa pembaruan perjanjian. Perjanjian yang pertama adalah perjanjian Allah dengan dengan manusia pertama ketika Ia berkata, “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilan bumi dan taklukanlah itu…” (Kej 1:28). Dengan Nuh, perjanjian itu diperbarui dengan sedikit revisi. “Beranakcuculah dan bertambah banyaklah serta penuhilah bumi” (Kej. 9:1). Frasa “taklukanlah itu (bumi)” dihilangkan dari perjanjian yang kedua ini. Mengapa demikian? Karena penaklukan manusia atas bumilah yang menjadi penyebab utama Allah mendatangkan air bah. Allah menyesal karena mencipatakan manusia yang berbuat jahat, yang dengan segala cara bertindak untuk menguasai sesamanya, bahkan melakukan kejahatan. Allah melihat bumi itu rusak akibat manusia yang menjalankan hidup yang rusak di bumi (Kej. 6:12). Allah menghukum bumi, justru karena kesalahan manusia (Kej. 8:21).

Tapi, karena Allah adalah kasih, Ia tidak bisa tidak mengasihi. Bahkan dalam murka-Nya, Ia masih memberi ruang belas kasihan. Karena itulah ia menyelamatkan Nuh beserta keluarganya, juga hewan-hewan untuk diselamatkan. Mereka yang diselamatkan ini tujuannya untuk memulai kehidupan baru di bumi. Mengapa Allah bertindak demikian? Karena sekalipun Allah keecewa terhadap manusia, Ia sangat mengasihi dunia ini. Karena kasih-Nya akan dunia, Ia masih tetap mempertahankan kehidupan di bumi. Lalu apa peran Nuh di sini? Nuh adalah pribadi yang berkenan dalam rencana kasih setia Allah. Ia masuk dalam ruang belas kasih Allah bagi seluruh ciptaan. Itulah mengapa dalam perjanjian-Nya setelah air bah, fokusnya bukan pada manusia,tetapi pada ciptaan. Kita bisa lihat dalam kata-kata Allah, “Aku mengadakan perjanjian-Ku dengan kamu dan keturunanmu, dan dengan segala makhluk hidup…” (Kej 9:9-10), “Inilah tanda perjanjian yang Kuadakan antara Aku dan kamu serta segala makhluk hidup…” (Kej. 9:12), juga yang terakhir, “… supaya itu menjadi tanda perjanjian antara Aku dan bumi” (Kej. 9:13). Perjanjian Allah adalah dengan bumi, untuk tidak menghukum bumi karena kesalahan salah satu ciptaan-Nya, manusia.

Jadi, Allah yang mencintai dunia ini konsisten untuk tidak memusnahkan dunia ini. Karena itu dia mengikat perjanjian dengan seluruh ciptaan, bukan hanya dengan manusia. Manusia terikat dalam perjanjian itu karena manusia merupakan bagian dari ciptaan. Manusia diselamatkan karena manusia adalah bagian dari alam semesta yang dikasihi Allah ini. Teolog Lingkungan, Annette Mosher, mengatakan bahwa adalah demi kebaikan bumi Allah tidak menghancurkan ciptaan-Nya yang lain; Karena kasih Allah akan bumi, maka Ia menyelamatkan manusia. Karena itu, jadi manusia jangan belagu. Jangan merasa kita ini ciptaan yang paling mulia, lebih utama daripada ciptaan lain, lalu kita bertindak semena-mena terhadap alam. Justru karena manusialah Allah kecewa dan menyesal. Manusia yang diberi kuasa untuk menaklukkan, malah merusak bumi. Karena itulah dalam perjanjiaan dengan Nuh, Allah telah membatasi kuasa manusia. Manusia memang bisa menaklukkan, tetapi itu bukan lagi menjadi mandat Allah. 

Perjanjiaan Allah dengan Nuh ini menjadi pengingat bagi kita untuk hidup ramah dengan alam, sebab kita ini adalah bagian dari alam semesta yang dikasihi Tuhan. Allah mengasihi dunia, alam semesta ciptaan-Nya ini, termasuk kita. Karena itu marilah mengasihi bumi ini juga. Pandemi covid yang sudah setahun ini memperingatkan kita, bahwa manusia ini rapuh. Dan alam bisa terus bergerak tanpa manusia, bahkan memperbaruni dirinya. Karena itu, marilah mulai hidup selaras dengan alam, sebagai bagian dari ciptaan Allah. Jika Allah begitu mengasihi seluruh ciptaan-Nya, marilah kita menjadi rekan sekerja Allah yang berkarya demi kebaikan seluruh ciptaan-Nya. Amin. (ThN)


KESALEHAN PALSU

Rabu Abu

Yoel 2:1-2, 12-17 | Mazmur 51:1-17 | 2 Korintus 5:20-6:10 | Matius 6:1-6, 16-21

Yesus mengkritik orang Farisi karena ibadah yang mereka lakukan ditujukan semata-mata untuk memamerkan kesalehan di depan orang lain. Kesalehan yang mereka tunjukkan adalam kesalehan palsu. Mereka berdoa, berpuasa, dan memberi sedekah sesuai ajaran agama. Tapi mereka tidak peduli dengan orang miskin, mereka merampas hak para janda, mereka suka menghakimi orang-orang yang mereka anggap tidak saleh. Ibadah ritual mereka jalankan dengan ketat, tetapi mereka tidak punya kepedulian sosial terhadap sesamanya. Dalam teks Injil, Yesus mengkritik mereka atas tiga ritual yang sering dijalankan, yakni memberi sedekah, berdoa, dan berpuasa.

Memberi sedekah bagi orang Yahudi adalah sebuah ritual yang mendatangkan pahala, karena itu orang-orang Farisi senang memberi sedekah kepada orang miskin seupaya dapat pahala. Selain pahala, mereka juga suka dilihat orang supaya dianggap sebagai orang-orang yang dermawan. Mereka punya kebiasaan mengumpulkan orang-orang miskin di jalan-jalan atau di tempat ibadat dan kemudian membagi-bagikan sedekah kepada mereka di hadapan banyak orang. Ini yang dikecam oleh Yesus, dengan berkata “janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu." Yang penting bukan sedekahnya, tetapi niat untuk memberi dan berbagi. Bukan untuk pamer, tetapi kerena kepedulian.

Berikutnya berdoa. Doa merupakan ritual rutin orang Yahudi. Biasanya ada jam-jam doa setiap 3 jam, dan biasanya dilakukan oleh orang-orang Farisi di rumah-rumah ibadat dengan suara nyaring supaya didengar dan dilihat orang. Tapi jika saat jam doa mereka jauh dari rumah ibadah, mereka sengaja berdoa di pinggir jalan, terutama di perempatan jalan, supaya banyak orang merlihat dan berkata mereka orang saleh. Doa menjadi kebanggan yang mereka pamerkan di depan orang karena dianggap saleh. Ini juga dikecam oleh yesus dengan berkata, "masuklah ke kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapa di tempat tersembunyi." Doa adalah komunikasi dengan Allah, jadi tidak perlu dipamerkan diucapkan dengan suara nyaring dan bertele-tele supaya didengar orang. Bukan masalah kita berdoa di ruang ibadah, atau di tempat umum, misalnya kantor, sekolah, rumah sakit. Yang masalah adalah jika doa dilakukan untuk cari muka, supaya dianggap saleh.

Kemudian ritual puasa. Puasa adalah wajib bagi orang Yahudi. Biasanya dilakukan setiap Senin dan Kamis. Orang Farisi juga suka menunjukkan kalau mereka sedang puasa, dengan membuat diri mereka terlihat sangat mederita atau terlihat lemas dan loyo. Matanya dibuat hitam seperti orang kelaparan. Apa lagi tujuannya kalau bukan supaya orang tahu bahwa mereka sedang berpuasa. Yesus juga mengecam ini dengan berkata, "cucilah mukamu, minyakilah kepalamu." Puasa sih puasa, tapi wajah harus tetap segar. Jangan dipamerkan bahwa kita sedang puasa. Bukan berarti tidak boleh puasa. Tatapi jangan dengan motivasi pamer kesalehan.

Saudara-saudari, saat ini kita mengawali masa Prapaska. Masa Prapaska adalah masa kita merenungkan sengsara Kristus, menyatukan penderitaan kita dengan penderitaan Kristus. Masa Prapaska merupakan persiapan orang percaya, melalui doa, penyesalan, pertobatan, dan penyangkalan diri. Prapaska juga adalah masa khusus bagi umat percaya untuk berpuasa dan berpantang selama 40 hari. Bagi orang Kristen, puasa dan pantang adalah latihan rohani untuk menahan diri, menyangkal diri, dan bertobat serta mempersatukan pengorbanan kita dengan pengorbanan Yesus di kayu salib demi keselamatan dunia. Dalam puasa, kita berkorban dengan melepaskan hal-hal yang kita senangi. Maka, kita diajak untuk mengambil bagian dalam karya keselamatan ini dengan bertobat, berdoa dan melakukan perbuatan kasih. 

Mungkin ada di antara kita yang bertanya-tanya bagaimana puasa dan pantang dilakukan. Jika ingin berpuasa, kita disarankan untuk makan kenyang hanya sekali sehari dan makan ringan dua kali. Berpantang biasanya dilakukan dengan menghindari makan daging, kecuali daging ikan. Pantang juga dilakukan dengan cara menghindari makanan atau minuman (dan lain-lain) yang kita sukai. Misalnya pantang coklat bagi yang suka coklat, pantang sambal bagi yang suka sambal, pantang kopi bagi yang suka minum kopi, dan pantang ngemil bagi yang suka ngemil. Jika orang yang tidak suka ngemil pantang ngemil, maka pantangnya itu tidak ada artinya. Puasa dan pantang makanan dan minuman sebenarnya hanyalah sebagian kecil dari puasa dan pantang. Puasa dan pantang yang lain pun dapat kita lakukan dengan menghindari hal-hal yang paling menggoda dan paling mengikat dalam hidup kita, misalnya nonton Netflix berjam-jam, shopping, bergunjing, main gim sampai lupa waktu, dan lain-lain. Puasa dan pantang bukanlah sekadar menahan diri, melainkan juga mengurangi jatah makan atau berlanja kita sehingga ada yang dapat kita bagikan dengan sesama. Karena itu, puasa selalu berkaitan dengan memberi sedekah, membantu orang lain yang membutuhkan perbuatan baik kita. Selama masa Prapaska ini, kita juga diajak untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik bagi sesama kita.

Selain itu, kita mengembagkan spiritualitas juga dengan doa. Doa bukan hanya soal berkomunikasi dengan Allah, tetapi juga relasi dengan sesama. Ada yang bilang bahwa doa itu bukan hanya menutup mata dan melipat tangan, tetapi juga membuka mata dan mengulurkan tangan. Artinya, membuka mata untuk melihat realitas di sekitar kita serta mengulurkan tangan untuk menolong sesama kita. Doa juga berkaitan dengan memberi sedekah, yakni kepedulian untuk membantu orang lain. Kita mungkin sering mendoakan orang lain. Mendokan korban banjir di Kalimanatan atau gempa bumi di Sulawesi. Tapi apakah kita juga mengulurkan tangan kita untuk menyalurkan bantuan bagi para pengungsi? Kita juga mungkin mendoakan Bu Joko atau Pak Satria yang sakit, tetapi apakah kita juga sudah mengunjungi, paling tidak menelepon mereka untuk menghibur dan membesarkan hati mereka? Atau kita mendoakan Pak Sule yang di-PHK karena pandemi supaya dapat pekerjaan lagi, tetapi apakah kita juga terpikirkan untuk membatunya mencari pekerjaan, setidaknya dengan memberikan rekomendasi atau lowongan pekerjaan yang kita tahu. Kita berdoa supaya pandemi berakhir, tapi apakah kita juga sudah menerpkan protokol kesehatan untuk menekan penyebaran Covid?

Inilah makna Prapaska. Ibadah yang bukan hanya ritual, tetapi juga sosial. Artinya, ibadah tidak hanya mengembangkan spiritualitas pribadi, relasi dengan Tuhan, tetapi juga membangun relasi antara kita dengan sesama. Rabu Abu selalu mengandung simbol Abu. Abu mengingatkan kita bahwa kita ini bukan siapa-siapa. Mengajak kita untuk bertobat dari segala kesombongan kita, kenagkuhan kita, dan kehendak untuk memamerkan kesalehan palsu. Marilah memasuki Prapaska dengan penyangkalan diri, dengan ibadah kita yang tidak hanya ritual semata, tetapi ibadah yang meyeluruh dalam hidup kita sehari-hari. Amin. (ThN)

Selasa, 09 Februari 2021

TRANSFIGURASI: ANTARA PENDERITAAN DAN KEMULIAAN

 

(Minggu Transfigurasi)

2 Raja-raja 2 : 1 – 12; Mazmur 50 : 1 – 6; 2 Korintus 4 : 3 – 6; Markus 9 : 2 – 9


Tanggal 14 Februari selalu dirayakan sebagai valentine day, hari kasih sayang. Dalam turut merayakan hari kasih sayang, tepat di minggu ini dalam kalender gerejawi, kita memasuki minggu transfigurasi. Secara harafiah, transfigurasi berasal dari dua kata, trans yang berarti perubahan dan figure yang berarti wajah atau rupa. Transfigurasi ini dialami oleh Yesus yang dikisahkan dalam Injil Markus 9 : 2 – 9.

Kisah ini juga dicatat dalam Injil Matius dan Lukas, yang hendak memberi penegasan bahwa peristiwa transfigurasi yang dialami oleh Yesus adalah sebuah peristiwa yang penting. Ketika proses transfigurasi Yesus terjadi di sebuah gunung yang tinggi, Yesus mengajak Petrus, Yakobus dan Yohanes. Mengapa Yesus tidak mengajak murid-murid yang lain? Bisa jadi karena ketiga murid inilah yang cukup dekat dengan Yesus.

Mereka juga adalah orang-orang yang cukup kuat untuk naik gunung yang tinggi. Karena naik gunung butuh stamina yang baik. Selain itu, hanya mereka bertiga yang diajak Yesus untuk naik gunung karena Yesus tidak ingin banyak orang tahu peristiwa ini karena itu Yesus berpesan supaya mereka jangan menceritakan apa yang telah mereka lihat kepada orang lain (bc. ay. 9) .

Melalui transfigurasiNya, Yesus hendak memberi pesan bahwa Ia dimuliakan Allah. Proses dimuliakan Allah itu dilihat dengan mata kepala para murid sendiri, melalui perubahan rupa yang dialami Yesus dan pakaianNya sangat putih berkilauan. Bahkan apa yang dialami Yesus membuat Petrus merasa bahagia (ay. 5) karena ada perubahan rupa yang dialami Yesus. Petrus bahagia bisa jadi karena 6 hari sebelum Yesus membawa mereka naik gunung, Petrus sempat mengaku bahwa Yesus adalah Mesias (Mrk. 8 : 29).

Melalui apa yang ia lihat di atas gunung itu, kini jadi bukti bahwa pengakuan Petrus benar. Selain itu, sesudah Petrus mengakui Yesus adalah Mesias, Yesus sempat memberitahukan penderitaan yang akan Yesus alami kepada para muridNya (Mrk. 8 : 31). Hal itu sempat membuat Petrus menegor Yesus (Mrk. 8 : 32). Dengan melihat peristiwa Yesus begitu dimuliakan, berkilau, penuh kuasa, maka mungkin saja Petrus menganggap bahwa apa yang Yesus sampaikan sebelumnya pastinya tidak akan terjadi. Ditambah lagi, sebuah suara yang mereka dengar “Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia.” (ay. 7) yang menjadi

Namun demikian, apa yang dilihat dan dipikirkan oleh Petrus ternyata berbanding terbalik dengan apa yang akan terjadi pada Yesus. Memang peristiwa transfigurasi itu menjadi momen bahwa Yesus dimuliakan, tetapi peristiwa itu juga menjadi momen di mana Yesus akan mengalami penderitaan seperti yang Ia katakan sebelumnya (Mrk. 8 : 31).

            Saudara, ketika di minggu ini kita merayakan Minggu Transfigurasi. Kiranya melalui perubahan rupa Allah yang dikisahkan dalam bacaan yang menjadi wujud Yesus dimuliakan, membuat kita juga kagum pada Allah yang penuh kuasa. Namun di saat yang sama, kita juga menyadari bahwa Allah yang dimuliakan itu, juga dengan cintaNya merengkuh penderitaan untuk kita, umatNya yang berdosa.

Biarlah ini menjadi pengingat akan kasih sayang dari Allah untuk kita dan menjadi penyemangat di kala kita mungkin saat ini menderita. Bahwa Allah merengkuh penderitaan dan kemuliaan sebagai wujud cintaNya untuk kita. Amin. (mc)

 

 

Selasa, 02 Februari 2021

Beritakanlah Kabar Baik

Yesaya 40:21 -31; Mazmur 147:1-11,20; 1 Korintus 9:16-23; Markus 1:29-39

Yesus melanjutkan perjalanannya setelah berkhotbah di rumah Ibadah di Kapernaum. Teks Injil minggu ini masih merupakan lanjutan dari minggu-minggu sebelumnya. Setelah menyampaikan khotbahm Yesus mendapati kabar bahwa Ibu mertua Simon sakit demam. Mari kita segera membayangkan; Apakah sakit yang diderita ibu mertua simon adalah demam biasa?

1.      Kesaksian dalam teks lain, missal Lukas 4:38, ibu mertua Petrus menderita demam keras; Kemudian Ia meninggalkan rumah ibadat itu dan pergi ke rumah Simon. Adapun ibu mertua Simon demam keras dan mereka meminta kepada Yesus supaya menolong dia. Di sini, kita tidak membayangkan ‘masuk angin’ pada umumnya, atua sekedar gejala flu. Mungkin panas tubuh yang tinggi disertai gejala-gejala lain.

2.      Demam merupakan salah satu kutuk Allah. Pada kitab Ulangan pasal 28, Allah berbicara tentang dua hal, yakni berkat dan kutukan. Khusus di ayat 22 dikatakan; TUHAN akan menghajar engkau dengan batuk kering, demam, demam kepialu, sakit radang, kekeringan, hama dan penyakit gandum; semuanya itu akan memburu engkau sampai engkau binasa. Sehingga, orang yang demam (keras) pada saat itu bisa diasosiasikan dengan dosa besar sehingga Allah menghukum mereka.

Misal, ada mitos di Jawa, mata belekan (bintitan) itu karena mengintip perempuan yang mandi. Sehingga, orang belekan akan dianggap orang mesum.

Di sini kita melihat ada derita yang dialami oleh ibu mertua Simon. Ada sakit secara fisik yang dirasa, namun sebuah stigma dari masyarakat yang menghukumnya. Jangan-jangan, sakit yang diderita ibu mertua Simon menjadi makin parah karena gosip orang-orang. Itulah mengapa, di ayat 30 dituliskan; Ibu mertua Simon terbaring karena sakit demam. Mereka segera memberitahukan keadaannya kepada Yesus. Kata ‘segera’ ini memiliki unsur urgensi, yakni musti segera ditindak lanjuti. Seakan-akan bisa saja terjadi pemahaman dalam masyarakat, makin lama sakit, makin lama dikutuk Tuhan. Sehingga, bisa saja kutuk itu dikaitkan dengan dosa-dosa masa lalu; pantas aja, kan dulu dia melakukan ini dan itu.

Di sini kita bisa belajar dua hal. Pertama; apa yang keluar dari mulut kita? Berkat atau Kutuk? Mengapa demikian? Kita bisa bayangkan kondisi hidup pada zaman itu; tradisi lisan menjadi sesuatu yang sangat kuat. Dalam dunia ekonomi khususnya marketing ada istilah work of mouth atau gethok tular dalam tradisi Jawa, yakni kekuatan mulut yang bisa menyebar berita dan mempersuasi orang dengan begitu luar biasa. Bayangkan, jika gosip itu menjadi sangat masif dan menyakiti perasaan seorang manusia. Seseorang yang sakit demam, tapi anggapannya begitu menyakitkan. Bahkan, kesalahan-kesalahan lama pun bisa dinaikkan ke permukaan agar makin ‘gurih’ gosipnya. Apakah dalam hidup kita tidak ada model seperti itu? Lho, jangan salah. Justru gereja bisa jadi lahan gembur untuk gosip-gosip macam itu. Niat hati awalnya hanya ingin tahu, namun terseret dalam penghakiman.

Namun marilah kita melihat apa yang dilakukan oleh Yesus. Ada sebuah gestur mesra yang diperlihatkan oleh Yesus. Di ayat 31 dituliskan, Ia pergi ke tempat perempuan itu, dan sambil memegang tangannya Ia membangunkan dia, lalu lenyaplah demamnya. Kemudian perempuan itu melayani mereka. Ketika orang-orang bermanuver tentang dosa dan salah, Yesus hadir sebagai sosok yang mau datang, memegang, dan memulihkan. Beda dengan orang-orang yang bisa saja datang gosipnya, memegang hoax, dan menghancurkan perasaan. Kata ‘memegang’ di ayat 31 berasal dari kata κρατήσας dari kata ‘krateo’, yang bisa berarti memegang, menangkap, juga untuk menguatkan. Kita bisa melihat Yesus memegang itu dan memberikan penguatan kepada ibu mertua Simon.

Mungkin, bagi kita yang pernah mengunjungi orang yang sakit, lalu memegang tangan mereka untuk menguatkan, orang yang sakit itu benar-benar merasa dikuatkan dengan kedatangan kita. Itulah yang dilakukan Yesus.

Di masa pandemi seperti ini, kita makin lincah dan canggih dengan gawai kita masing-masing. Intensitas pemakaian gawai menjadi makin melonjak. Nah, di tengah-tengah kondisi seperti ini, bagaimana kita menggunakan gawai kita? Apakah bijak dan mendatangkan berkat yang menguatkan, apa malah justru membawa kehancuran perasaan seseorang? Tema ibadah kita adalah Beritakanlah Kabar Baik. Itu adalah tema dan juga apa yang dilakukan Yesus dalam segala karyaNya. Jika sekarang gawai menjadi kawan karib kita, apakah kita bisa berperan di dunia digital ini? Seorang sahabat pernah bercerita bahwa saudaranya pernah mengucapkan banyak terima kasih kepadanya karena sebuah unggahan di media sosial tentang sebuah kutipan motivasi hidup. Bukankah itu luar biasa?

Ada yang bertanya, apakah kita sebagai orang-orang Kristen boleh main sosial media? Saya katakan kepadanya ‘boleh’. Yang tidak boleh adalah kita tahu sahabat kita kelaparan tapi kita mengunggah foto makan-makanan mewah. Be wise!

Yang kedua, siapa Yesus yang kau ceritakan. Alam pikir tentang segala kutukan berasal dari Allah, bisa membuat pemahaman akan siapa Allah menjadi begitu mengerikan. Ada ungkapan you are what you think, yakni kita adalah apa yang kita pikirkan. Bayangkan, jika kita memiliki paham tentang Allah yang maha mengutuk dan menghukum? Tidak heran jika gaya pikirannya diisi tentang salah, hukum, dosa, kutuk dan segala hal konstruktif lainnya.

Namun dalam teks ini kita diajak melihat siapa Allah dalam diri Yesus yang begitu berbeda. Yesus memegang dalam kuasa Ilahi, memebri kekuatan dan pemulihan. Jika itu adalah penyakit, Yesus adalah Allah yang memulihkan. Jika itu adalah dosa, Yesus adalah Allah yang begitu mengampuni kesalahan-kesalahan umatNya. Bukankah memahami Allah yang hangat akan membawa jiwa dan spiritualitas kita menjadi hangat?

Thomas A. Dorsey adalah musisi jazz yang begitu terkenal pada masanya, yakni sekitar tahun 1930an. Di tahun 1932, ia tepat berusia 32 tahun, dan menjadi solois utama dalam kegiatan kebangunan rohani yang besar. Ia ingin mengajak Istrinya, Nettie, untuk ikut bersamanya, namun saat itu Nettie hamil tua, hamil anak pertama mereka. Dorsey memutuskan untuk segera pergi k eke St. Louis. Ia berangkat dari apartemennya di selatan Chicago dengan mobil, namun di tengah jalan ia sadar bahawa peralatan musiknya tertinggal di rumah. Ia Kembali, dan mendapati istrinya sedang tertidur pulas. Tak tega ia membangunkan, ia mengalbil alat music dan segera melanjutkan perjalanan. Singkat cerita, kegiatan kebangunan rohani itu begitu semarak. Dorsey sudah membawakan beberapa pujian. Suasana begitu luar biasa. Namun, di sela-sela lagu, seorang kru menghampirinya dan memberitahunya, bahwa istrinya meniggal dunia. Ia segera pulang. Pikirannya berkecamuk. Ia mendapat kabar, istrinya melahirkan anak laki-laki, dan malamnya juga meninggal. Ia begitu terpukul dan menganggap bahwa Allah tidak adil dalam hidupnya. Ia menjadi pemurung dan menutup diri. Sampai suatu ketika, sahabatnya mengajaknya untuk bermain musik. Dorsey menolak. Namun, ketika ia sendirian, ia menghampiri sebuah piano, dan memainkan beberapa nada-nada baru. Ia merasakan perasaan hangat yang memulihkan dirinya. Ia merasa bahwa Tuhan sedang memegang tangannya. Ia merasa mendapatkan kekuatan dan semangat untuk Kembali bangkit. Saat itu, ia menulis lirik dan membubuhinya dengan nada indah. Begini liriknya;

Precious Lord, take my hand, lead me on, let me stand!
I am tired, I am weak, I am worn,
Through the storm, through the night lead me on to the light,
Take my hand, precious Lord, lead me home.

Dorsey memiliki gaya piker yang berubah tentang siapa Allah. Allah yang tadinya begitu Nampak tidak adil, kini Allah mendatanginya dan memulihkannya, serta memberinya kekuatan yang baru. Ia merasakan genggaman kasih Tuhan. Untuk itulah, ia berhasil pulih dan mengabarkan kabar baik. Mana kabar baiknya? Kita bisa menjumpainya dalam terjemahan lagu Precious Lord, take my hand yang sudah diterjemahkan oleh K. P. Nugroho, yakni di NKB 131, TUHANKU, PIMPINLAH.

Marilah kita merasakan genggaman tangan Tuhan di tengah situasi yang tidak mudah ini. Sebagaimana ibu mertua Simon, setelah merasakan genggaman tangan Yesus, ia bangkit dan melayaniNya. Beritakanlah kabar baik. Bagikan kebahagiaanmu. Tuhan memberkati.

ftp