Minggu ke-4 seduah Epifani
Lukas 4:21-30
Minggu ini kita akan berbicara mengenai penolakan. Kata orang,
hal paling menakutkan di dunia adalah penolakan. Entah ditolak pendapatnya,
ditolak keberadaannya, apalagi ditolak cintanya. Meski demikian, ternyata ada
juga orang-orang yang mengalami penolakan tidak tumbang. Sebut saja seorang
penulis yang bernama J. K. Rowling. Dia ditolak 13 penerbit ketika mengusung cerita
yang telah ditulisnya dengan alasan ceritanya terlalu rumit untuk anak-anak. Namun,
apa dia berhenti? Tidak. Ternyata, ada penerbit yang mau menerbitkan
tulisannya. Dan, Rowling menjadi miliarder pertama karena sebuah tulisan fiksi.
Bukan hanya Rowling, seorang tentara yang mencoba mendaftarkan resep ayamya,
juga ditolak berkali-kali. Ada yang mencatat, 1009 kali ia ditolak. Mungkin, penolakan
sekali dua kali kita masih bisa berkata “berjuang”, namun jika belasan bahkan
ribuan?
Kisah yang kita renungkan Minggu ini, adalah lanjutan dari Minggu
lalu; Yesus di Nazaret. Jika teks Minggu lalu hanya sampai pada Yesus selesai
membaca nas Yesaya mengenai Tahun Rahmat Tuhan, minggu ini adalah bagaimana
respon orang-orang setelahnya. Apakah mereka suka akan ajaran Yesus? Jelas. Dituliskan
bahwa mereka ‘membenarkann’ apa yang dikatakan oleh Yesus (lih. Luk
4:22). Namun kemudian, mereka menolak Yesus. Mengapa demikian?
Setidaknya ada dua alasan pokok mengenai mengapa Yesus ditolak
menurut Injil Lukas. Lukas menceritakan dengan lugas dan sederhana, dan
memaparkan sesuatu yang bisa kita renungkan bersama.
Alasan pertama; status sosial. Mengapa? Ya, jika kita
perhatikan, setelah mereka terkagum-kagum, mereka mempertanyakan asal muasal
Yesus. “Bukankah Ia ini anak Yusuf?”. Legitimasi sosial Yesus dipertanyakan mereka.
Orang Yahudi terbiasa berpikir tentang keturunan dan semua latar belakang
manusia. Keabsahan Yesus membaca nas Yesaya yang tadinya indah, kemudian mereka
ragu dan tolak karena status sosial Yesus. Mungkin mereka hendak berkata, “anak
tukang kayu saja mau berbicara mengenai Taurat”. Menjengkelkan jika dipikir-pikir,
namun itu ada sejak dulu, bahkan sekarang.
Ada pun alasan kedua, adalah karena Yesus berkata jujur. Bukannya
‘jujur itu mujur’ dan bukan sebaliknya, ‘jujur itu hancur’? Yesus menunjukkan
kenyataan tentang kasih Allah bagi ciptaan. Yesus menjelaskan bagaimana Elia,
yang bisa saja memiliki kisah epik bersama janda-janda Israel, namun justru
dengan janda di Sarfat, daerah Sidon. Allah merahmati janda Sarfat itu. Bukan
hanya itu, Yesus juga mengingatkan mereka tentang Elisa yang bisa saja
menyembuhkan orang-orang sakit kusta, namun justru Naaman, yang jelas-jelas bukan
orang Israel. Mengapa kejujuran ini ditolak? Ya jelas saja ditolak. Orang
Israel selalu PD dengan statusnya sebagai ‘umat pilihan dan kepunyaan Allah’,
justru Yesus berkata hal yang sama sekali tidak mengistimewakan mereka sebagai
bangsa pilihan. Untuk itulah Yesus ditolak.
Apakah penolakan semacam ini bisa kita alami? Sangat bisa.
Dimanapun, bahkan oleh siapapun. Penolak-penolakan itu mungkin bisa kita
dapatkan dan bisa jadi itu sangat meyakinkan. Lalu bagaimana, ketika
kenyataannya kita ditolak? Jika tema ini mengajak kita untuk menghadapi
penolakan dengan kasih, bisakah kita mengasihi? Kita akan merespon, kedua
alasan mengapa Yesus ditolak, dan mengandai-andai saja, bilamana kita ditolak.
Pertama, jika kita ditolak karena alasan status sosial kita. Mungkinkah?
Ya tentu saja sangat mungkin. Manusia zaman sekarang, seakan-akan dibentuk
untuk melihat siapa yang berbicara; apa latar belakang pendidikannya, siapa
orangtuanya, pekerjaan apa yang ia miliki, dan alasan-alasan lainnya. Dengan alasan-alasan
itu, orang bisa saja memandang kita sebelah mata, menyepelekan, akhirnya
menolak kita. Apakah kita akan merasa sakit hati? Sebenarnya, ketika kita sakit
hati, berarti kita mengiyakan dan membenarkan apa yang mereka katakan. Jika
demikian, berarti kita ikut memandang rendah diri dan tidak mengasihi diri sendiri.
Bukankah sebelum kita mengasihi sesama, kita harus mengasihi diri sendiri
terlebih dahulu (lih. Mat 22:37-40)? Sebenarnya, jika kita memiliki cara
pandang yang positif terhadap diri sendiri, kita tidak akan mudah terprovokasi
oleh anggapan-anggapan buruk orang lain. Itulah kaish, yakni bagaimana kita
mengasihi diri sendiri. Mengapa demikian? Bukankah kita ini berharga di mata Allah?
Kasih Allah dalam penebusan Yesus, menunjukkan bahwa kita ini berharga. Jika
Allah saja menganggap kita berharga, mengapa kita harus terprovokasi omongan
orang lain.
Kedua, mengenai hal kejujuran. Yesus mengatakan apa adanya. Ia
jujur tentang kasih Allah bagi semua manusia, dan bukan hanya Israel. Lalu, Ia
ditolak beramai-ramai. Bagaimana jika kita juga jujur kepada yang lain, lalu
ditolak? Misalkan saja, ada seorang pemandu pujian yang suaranya kurang jelas. Jemaat
kasak-kusuk karena merasa tidak terpandu dengan baik. Kita coba jujur,
mengingatkan dengan baik dan sopan, namun orang itu mengamuk dan marah. Pertanyaannya,
apakah anda akan berhenti jujur untuk mengingatkan karena kapok? Bisa jadi kita
akan ‘mogok jujur’, tidak mau berbuat baik lagi. Namun, jika kita memiliki
kasih, apakah respon itu akan mematikan hati kita yang selalu ingin mengasihi?
Tentu tidak. Bunda Teresa pernah berkata, what you spend years building
maybe destroyed overnight; built it anyway. Kita tetap harus mengasihi, dan
tidak kapok meski kita dikecewakan karena sebuah penolakan.
Kedua model penolakan itu bisa ada di sekitar kita, namun bagaimana
kita menghadapinya tetap dengan kasih. Kita tidak ditolak oleh Tuhan, bahkan
diundangnya masuk dalam kesatuan dengan-Nya. Makan di meja perjamuan-Nya yang
kudus. Itu adalah modal bagi kita untuk tetap mengasihi meski ditolak.
Satu hal perenungan terakhir untuk menutup renungan kita.
Yesus ditolak, adalah ketika Ia belum mulai pelayanan-Nya. Ia baru ambil ancang-ancang,
yakni ketika Ia sudah dibaptis, dicobai, lalu pulang kampung. Kalau Yesus
ditolak dan dia tidak melanjutkan karya kasih, tidak akan ada mujizat-mujizat
dan karya penebusan di atas kayu salib. Jadi, bila ditolak? Tetaplah mengasihi,
tetaplah berkarya.
ftp