Sabtu, 29 Januari 2022

MENGHADAPI PENOLAKLAN DENGAN KASIH

Minggu ke-4 seduah Epifani

Lukas 4:21-30

Minggu ini kita akan berbicara mengenai penolakan. Kata orang, hal paling menakutkan di dunia adalah penolakan. Entah ditolak pendapatnya, ditolak keberadaannya, apalagi ditolak cintanya. Meski demikian, ternyata ada juga orang-orang yang mengalami penolakan tidak tumbang. Sebut saja seorang penulis yang bernama J. K. Rowling. Dia ditolak 13 penerbit ketika mengusung cerita yang telah ditulisnya dengan alasan ceritanya terlalu rumit untuk anak-anak. Namun, apa dia berhenti? Tidak. Ternyata, ada penerbit yang mau menerbitkan tulisannya. Dan, Rowling menjadi miliarder pertama karena sebuah tulisan fiksi. Bukan hanya Rowling, seorang tentara yang mencoba mendaftarkan resep ayamya, juga ditolak berkali-kali. Ada yang mencatat, 1009 kali ia ditolak. Mungkin, penolakan sekali dua kali kita masih bisa berkata “berjuang”, namun jika belasan bahkan ribuan?

Kisah yang kita renungkan Minggu ini, adalah lanjutan dari Minggu lalu; Yesus di Nazaret. Jika teks Minggu lalu hanya sampai pada Yesus selesai membaca nas Yesaya mengenai Tahun Rahmat Tuhan, minggu ini adalah bagaimana respon orang-orang setelahnya. Apakah mereka suka akan ajaran Yesus? Jelas. Dituliskan bahwa mereka ‘membenarkann’ apa yang dikatakan oleh Yesus (lih. Luk 4:22). Namun kemudian, mereka menolak Yesus. Mengapa demikian?

Setidaknya ada dua alasan pokok mengenai mengapa Yesus ditolak menurut Injil Lukas. Lukas menceritakan dengan lugas dan sederhana, dan memaparkan sesuatu yang bisa kita renungkan bersama.

Alasan pertama; status sosial. Mengapa? Ya, jika kita perhatikan, setelah mereka terkagum-kagum, mereka mempertanyakan asal muasal Yesus. “Bukankah Ia ini anak Yusuf?”. Legitimasi sosial Yesus dipertanyakan mereka. Orang Yahudi terbiasa berpikir tentang keturunan dan semua latar belakang manusia. Keabsahan Yesus membaca nas Yesaya yang tadinya indah, kemudian mereka ragu dan tolak karena status sosial Yesus. Mungkin mereka hendak berkata, “anak tukang kayu saja mau berbicara mengenai Taurat”. Menjengkelkan jika dipikir-pikir, namun itu ada sejak dulu, bahkan sekarang.

Ada pun alasan kedua, adalah karena Yesus berkata jujur. Bukannya ‘jujur itu mujur’ dan bukan sebaliknya, ‘jujur itu hancur’? Yesus menunjukkan kenyataan tentang kasih Allah bagi ciptaan. Yesus menjelaskan bagaimana Elia, yang bisa saja memiliki kisah epik bersama janda-janda Israel, namun justru dengan janda di Sarfat, daerah Sidon. Allah merahmati janda Sarfat itu. Bukan hanya itu, Yesus juga mengingatkan mereka tentang Elisa yang bisa saja menyembuhkan orang-orang sakit kusta, namun justru Naaman, yang jelas-jelas bukan orang Israel. Mengapa kejujuran ini ditolak? Ya jelas saja ditolak. Orang Israel selalu PD dengan statusnya sebagai ‘umat pilihan dan kepunyaan Allah’, justru Yesus berkata hal yang sama sekali tidak mengistimewakan mereka sebagai bangsa pilihan. Untuk itulah Yesus ditolak.

Apakah penolakan semacam ini bisa kita alami? Sangat bisa. Dimanapun, bahkan oleh siapapun. Penolak-penolakan itu mungkin bisa kita dapatkan dan bisa jadi itu sangat meyakinkan. Lalu bagaimana, ketika kenyataannya kita ditolak? Jika tema ini mengajak kita untuk menghadapi penolakan dengan kasih, bisakah kita mengasihi? Kita akan merespon, kedua alasan mengapa Yesus ditolak, dan mengandai-andai saja, bilamana kita ditolak.

Pertama, jika kita ditolak karena alasan status sosial kita. Mungkinkah? Ya tentu saja sangat mungkin. Manusia zaman sekarang, seakan-akan dibentuk untuk melihat siapa yang berbicara; apa latar belakang pendidikannya, siapa orangtuanya, pekerjaan apa yang ia miliki, dan alasan-alasan lainnya. Dengan alasan-alasan itu, orang bisa saja memandang kita sebelah mata, menyepelekan, akhirnya menolak kita. Apakah kita akan merasa sakit hati? Sebenarnya, ketika kita sakit hati, berarti kita mengiyakan dan membenarkan apa yang mereka katakan. Jika demikian, berarti kita ikut memandang rendah diri dan tidak mengasihi diri sendiri. Bukankah sebelum kita mengasihi sesama, kita harus mengasihi diri sendiri terlebih dahulu (lih. Mat 22:37-40)? Sebenarnya, jika kita memiliki cara pandang yang positif terhadap diri sendiri, kita tidak akan mudah terprovokasi oleh anggapan-anggapan buruk orang lain. Itulah kaish, yakni bagaimana kita mengasihi diri sendiri. Mengapa demikian? Bukankah kita ini berharga di mata Allah? Kasih Allah dalam penebusan Yesus, menunjukkan bahwa kita ini berharga. Jika Allah saja menganggap kita berharga, mengapa kita harus terprovokasi omongan orang lain.

Kedua, mengenai hal kejujuran. Yesus mengatakan apa adanya. Ia jujur tentang kasih Allah bagi semua manusia, dan bukan hanya Israel. Lalu, Ia ditolak beramai-ramai. Bagaimana jika kita juga jujur kepada yang lain, lalu ditolak? Misalkan saja, ada seorang pemandu pujian yang suaranya kurang jelas. Jemaat kasak-kusuk karena merasa tidak terpandu dengan baik. Kita coba jujur, mengingatkan dengan baik dan sopan, namun orang itu mengamuk dan marah. Pertanyaannya, apakah anda akan berhenti jujur untuk mengingatkan karena kapok? Bisa jadi kita akan ‘mogok jujur’, tidak mau berbuat baik lagi. Namun, jika kita memiliki kasih, apakah respon itu akan mematikan hati kita yang selalu ingin mengasihi? Tentu tidak. Bunda Teresa pernah berkata, what you spend years building maybe destroyed overnight; built it anyway. Kita tetap harus mengasihi, dan tidak kapok meski kita dikecewakan karena sebuah penolakan.

Kedua model penolakan itu bisa ada di sekitar kita, namun bagaimana kita menghadapinya tetap dengan kasih. Kita tidak ditolak oleh Tuhan, bahkan diundangnya masuk dalam kesatuan dengan-Nya. Makan di meja perjamuan-Nya yang kudus. Itu adalah modal bagi kita untuk tetap mengasihi meski ditolak.

Satu hal perenungan terakhir untuk menutup renungan kita. Yesus ditolak, adalah ketika Ia belum mulai pelayanan-Nya. Ia baru ambil ancang-ancang, yakni ketika Ia sudah dibaptis, dicobai, lalu pulang kampung. Kalau Yesus ditolak dan dia tidak melanjutkan karya kasih, tidak akan ada mujizat-mujizat dan karya penebusan di atas kayu salib. Jadi, bila ditolak? Tetaplah mengasihi, tetaplah berkarya.

ftp

Sabtu, 22 Januari 2022

MEWARTAKAN TAHUN RAHMAT TUHAN

MINGGU III SESDUAH EPIFANI

Lukas 4:14-21


Selama masa pandemi, kita diajak untuk setia di dalam rumah saja (stay at home). Keinginan kita untuk bepergian harus ditunda. Rencana-rencana travelling yang tersusun sedemikian rapinya, bahkan harus batal karena adanya peraturan baru yang muncul secara mendadak. Tak hanya rencana-rencana liburan saja, bahkan untuk pulang kampung saja tidak bisa. Padahal, pulang kampung selalu membawa perasaan unik tersendiri. Kadang, pulang kampung membuat kita recharge kembali, dari segala lelah dan penat aktivitas kita. Bacaan Injil kita juga bercerita tentang Yesus yang sedang pulang kampung. Tepatnya ke Nazaret, tempat ia dibesarkan. Tentu, hal ini punya makna dan bukan sekedar iseng belaka. Biasanya, ketika kita mendengar bahwa Yesus pulang kampung ke Nazaret, kita akan terarah pada kisah penolakan mereka akan kehadiran Yesus. Tunggu, bukan ke sana. Itu ksiah Injil minggi depan. Teks bacaan Injil kita diambil dari Lukas 4:14-21, hanya sampai ketika Yesus selesai membaca Nas Yesaya.

Bacaan Injil kita bercerita tentang Yesus yang pulang kampung, dan seperti biasanya pada hari sabat, orang-orang berkumpul ke rumah ibadat untuk membaca Taurat. Ada hal unik di sini. Kalau kita perhatikan, Injil Lukas mencatat awal kisah pelayanan Yesus secara runut dan naratif. Dimulai ketika Ia mulai keluar, dan berjumpa dengan Yohanes pembaptis. Di sana, Ia dibaptis, lalu melanjutkan lakunya masuk ke padang gurun. Di sana Ia dicobai iblis. Begitu kisahnya. Baru setelah dua kejadian itu, Yesus pulang kampung. Bila kita bayangkan, Yesus seakan-akan mengambil ancang-ancang untuk memulai segala karya-Nya. Yesus siap tancap gas untuk melakukan ini dan itu. Namun, yang menarik bukan hanya itu. Yesus membaca satu teks nubuatan Yesaya tentang datangnya tahun Rahmat Tuhan. Lukas 4:17 mencatat demikian, kepada-Nya diberikan kitab Nabi Yesaua dan setelah dibuka-Nya, Ia menemukan nas… . Memang, Yesus disodoro bacaan dari kitab Yesaya, namun ia ‘menemukan’. Dalam terjemahan KJV atau NIV ditulis begini, he found the place where it was written, atau ia menemukan letak dimana itu telah dituliskan. Berarti, ada unsur kesengajaan dari Yesus untuk memilih dan membaca nas terkenal itu. Jika memang Yesus sedang ambil ancang-ancang, dan mengambil nas itu, nas tersebut akan menjadi intisari dari perjalanan karya layan Yesus nantinya; memberitakan kabar baik bagi orang miskin, membebaskan bagi para tawanan, penglihatan bagi orang-orang buta, juga membebaskan yang tertindas. Itulah Tahun Rahmat Tuhan yang yesus kabarkan.

Ketika Nas itu dituliskan oleh nabi Yesaya, kondisi bangsa mereka sedang berusaha memulihkan diri pasca pembuangan (exile). Tentu, ketika kondisi hidup begitu sulit, ada nabi Allah yang bernubuat seperti ini, akan memberi kelegaan besar. Peristiwa pembuangan membuat kehidupan mereka kocar-kacir. Tradisi kemurnian yang dijaga selama ini lebur begitu saja. Mereka rindu Taurat Allah, mereka rindu beribadah di Kota Suci. Mereka membutuhkan kelegaan bagi bangsa emreka. Untuk itulah, nubuat tentang Tahun Rahmat Tuhan akan membuat mereka begitu puas dan lega. Hidup kembali memiliki pengharapan besar.

Pada zaman Yesus, apakah nas ini punya gaung yang besar? Tentu. Bagaimana tidak. Zaman Yesus hidup, kaisar Agustus adalah yang paling ditakuti hingga pelosok dunia. PAX ROMANA menjadi momok besar yang menghantui kehidupan sesehari mereka. Sehingga, penjajahan yang dialami orang-orang di zaman Yesus begitu mengerikan. Mereka memiliki raja, namun raja itu hanyalah boneka bagi Romawi. Selain itu, harapan masyarakat akan kepemimpinan Imam-imam ternoda dengan bercampurnya urusan agama dan politik. Betapa mereka membutuhkan pembebasan. Untuk itu, orang-orang begitu antusias dan berbahagia mendengar apa yang dibaca oleh Yesus pada saat itu. Mereka memiliki pengharapan, bahwa Tahun Rahmat Tuhan akan segera mereka rasakan bersama-sama.

Lalu, bagaimana di zaman kita sekarang? Bangsa Indonesia khususnya, sudah merdeka dari penjajahan. Iya, benar. Namun, hampir 2 (dua) tahun kita menjalani hidup dalam bayang-bayang virus COVID-19. Sejak awal, kita dibiasakan dengan pemikiran bahwa “SING PENTING KUDU SLAMET”. Jaga jarak, mencuci tangan, vaksinasi. Semua agar kita menjaga diri. Memang, tujuan komunalnya adalah agar kita saling menjaga, namun bukankah ajakan itu untuk menjaga diri. Ada yang harus kita waspadai. Sebuah peristiwa besar yang berkepanjangan bisa melahirkan sebuah kebiasaan (habit) baru. Apa itu? Kebiasaan untuk mengutamakan diri sendiri, abai kepada yang lain.  Bagaiman mungkin kita berbicara Tahun Rahmat Tuhan jika kita tidak memiliki kepedulian dalam diri?

Tahun Rahmat Tuhan harus kita wartakan. Ya, dalam keseharian kita. Yesus menjadi teladan utama dan satu-satunya dalam kita mewartakan pembebasan ini. Namun, Yesus tidak hanya mengatakan atau mengajarkan, Ia memberikan diri-Nya bagi kepentingan semua orang. Bukankah itulah kepedulian yang sejati? Ia memberi diri-Nya  hingga akhirnya harus mati di atas kayu salib. Sekali lagi, Tahun Rahmat Tuhan itu harus diwartakan dengan kesadaran bahwa kita harus hidup saling mempedulikan. Kalau kita membuka mata hati kita, kita akan melihat bahwa di sekitar kita ada yang membutuhkan bantuan kita. Tetangga, sahabat, rekan kerja, rekan sepelayananan, merekalah representasi jiwa yang tertindas, yang miskin, buta, dan tertawan oleh keadaan. Kepada merekalah Tahun Rahmat Harus diwartajan.

Kehidupan kita sebagai umat Kristiani sangat lekat dengan musik. Apalagi di zaman modern ini, musik berkembang begitu pesat. Apa hubungannya dengan Tahun Rahmat Tuhan? Ada satu musik yang sangat sumbang dan memekikkan telinga yang sampai zaman sekarang masih ada. Musik apa itu? Musik itu berasal dari meja makan yang dipenuhi makanan dengan lauk berlimpah, dimana ada gelak tawa puas, diiringi orkestra sendok yang menabuh piring dengan suara nyaring, sedangkan ada tetangga kanan atau kirinya yang beras saja tak ada untuk dimasak. Apakah itu bisa terjadi? Coba kita lihat meja makan kita. Adakah Tahun Rahmat Tuhan yang keluar dari sana? Semoga bukan hanya unggahan foto makanan yang mewah, tanpa ada perasaan bersalah.

Kita renungkan satu hal sederhana, untuk menutup renungan ini. Bacaan kita diawali dengan sebuah informasi; Dalam kuasa Roh kembalilah Yesus ke Galilea (ay. 14). Sederhana, bukan? Tapi kita perhatian lagu urutan narasi Injil Lukas: turunlah Roh Kudus (Luk 3:21); penuh dengan Roh Kudus (Lukas 4:1); Dalam kuasa Roh (Lukas 4:14). Ternyata, semua perjalanan Yesus adalah dengan kuasa Roh Kudus. Ia memulai segala sesuatu dan mengerjakan segala sesuatu dengan kuasa Roh Kudus. Dari situlah ada kekuatan untuk menggenapi datangnya Tahun Rahmat Tuhan. Bagaimana dengan kita?

Saya ingin bertanya secara sederhana. Perhatikan kalimat saya; “Ya Roh Kudus, kuasailah  hidup kami”. Ada amin? Saya rasa, kita akan mengaminkan dengan yakin dan tegas. Baik. Lalu, perhatikan kalimat kedua; “Ya Roh Kudus, terima kasih bila seluruh hidup kami ada dalam kuasa-Mu”. Ada amin? Saya rasa tak sekeras yang pertama. Pertanyaan saya, pernahkah Roh Kudus tak berkuasa dalam hidup kita? Ia memiliki kuasa untuk membimbing, namun kadang kita yang tak setia taat pada jalan yang Ia beri.

Tahun Rahmat Tuhan harus kita wartakan. Kita harus melihat pada sekitar kita, ada yang bisa kita tolong. Itu pasti! Dan, biarlah kita selalu menyadari, bahwa Roh Kudus berkuasa untuk menuntun kita menjadi pewarta-pewarta yang setia dalam kehidupan. Selamat mewarta. Roh Kudus menyertai laku-layan kita.

ftp


Sabtu, 15 Januari 2022

ALLAH MASIH TERUS BERKARYA

16 januari 2022

Minggu II Seduah Epifani

Pernahkah di suatu masa dalam kehidupan kita, Tuhan meninggalkan kita sendirian? Atau, kita diabaikan begitu saja. Mungkin pernah. Jika tidak bersikap normatif, mungkin kita pernah mengalaminya. Lalu, bagaimana jika ada yang mengatakan ‘Tuhan menyertaimu’? Bukankah terkadang itu terkesan klise? Tema ibadah kita Minggu ini adalah “Allah Masih Terus Berkarya”. Mari, kita arahkan batin kita sejenak, mendengar apa yang hendak Tuhan katakana kepada kita.

Teks yang mendasari perenungan kita adalah kisah Mujizat Yesus yang sangat terkenal. Untuk siapapun yang mendengar kisah ini di Sekolah Minggu, mungkin kita akan terkagum-kagum, karena Yesus tampil layaknya pesulap handal. Tampa abracadabra berhasil menyulap air menjadi anggur. Wow, amazing! Kisah ini dicatat dalam Injil Yohanes 2:1-11, yakni ketika ada sebuah pesta kawin di Kana. Lalu, apa makna kisah ini? Sebagaimana kekaguman spontan akan aksi ‘sulap’ Yesus, seakan-akan intisari dari kisah ini hanyalah tentang peristiwa kimiawi dari air biasa menjadi anggur. Namun, apa hanya itu saja? Tentu tidak. Apalagi jika kita hendak merasakan kalimat bahwa ‘Allah Masih Terus Berkarya’, tentu tidak sepragmatis itu.

Kecenderungan manusia untuk menilai sesuatu adalah dengan melihat hasil akhirnya. Bagaimana tidak, anak sekolah hanya akan ditentukan kelayakan kelulusannya dalam hitungan beberapa hari dalam Ujian Nasional (UN)? Semua dipandang dari hasilnya. Jarang yang melibatkan dan memaknai prosesnya. Bahkan, setelah bertahun-tahun bergelut dengan dunia teologi dalam kampus maupun beberapa jemaat, hanya ditentukan dengan sebuah percakapan gerejawi. Uppss! Untuk itu, kita akan melihat bagaimana peristiwa mujizat Yesus yang pertama bukan sekedar aksi ‘sulap’ yang menawan.

Jika kita membayangkan perkawinan adalah sebuah panggung teater, ada banyak tokoh yang berseliweran menghiasi panggung. Ada Yesus sendiri, para murid, Maria, para pelayan, Pemimpin Pesta, dan mempelai laki-laki. Tokoh demi tokoh memainkan perannya masing-masing. Untuk itu, kita tidak akan membahas keseluruhan karakter yang ada, namun dua saja, yakni Maria dan para pelayan. Mengapa mereka? Karena merekalah tokoh yang memiliki peran sebelum peristiwa ‘sulap’ itu berlangsung. Sekali lagim cob akita telisik detail-detail selain

Pertama. Maria. Tentu bukan sebuah kebetulan, jika Maria Ibu Yesus berada di sana pula. Asumsi paling mudah adalah hanya sekedar kenalan saja. Akan tetapi, teks berikutnya memberi kita petunjuk menarik. Dicatat dalam Yohanes 2:12 sesudah itu Yesus pergi ke Kapernaum bersama-sama dengan ibu-Nya dan saudara-saudara-Nya . Ternyata, setelah persta di Kana, Yesus dan saudara-saudara-Nya pergi ke Kapernaum bersama-sama. Ada indikasi, bahwa yang menikah adalah keluarga Yesus sendiri, sehingga semua keluarga-Nya pun ikut berkumpul di sana. Untuk itulah, Maria berada di sana. Tentu, sebagai perempuan Yahudi, tugasnya bukan untuk berpesta pora bersama tamu undangan lain, namun tentu ikut melayani tamu. Di sanalah ada sebuah kepedulian yang ditunjukkan oleh Maria. Memang, Maria bukanlah tuan rumah pesta itu, namun ia memiliki kepedulian tinggi terhadap masalah keluarga yang sedang mengadakan pesta. Isu penting dalam Perkawinan di Kana adalah habisnya anggur jamuan. Kita harus tahu, kehabisan anggur dalaa pesta adalah aib keluarga. Untuk itulah, Maria ingin menolong tuan rumah.

Sebenarnya, tindakan Maria ya memanglah sebuah tindakan yang snagat wajar; menolong saudara sendiri. Namun mari kita lihat dengan lebih dalam. Bukankah sebenarnya ada orang-orang di sekitar kita yang membutuhkan pertolongan? Dalam teks dijelaskan, bahwa kemungkinan ada banyak saudara yang berkumpul, namun kenapa hanya Maria yang rempong? Kerabat dekat, tetangga, atau saudara di sekitar kita, sebenarnya ada yang membutuhkan pertolongan namun tak kuasa mengatakannya. Lalu, apakah kita hanya diam saja? Beberapa waktu ini, kancah perfilman dunia dihebohkan dengan film Spiderman: No Way Home. Film in masuk dalam jajaran 5 film terlaris sepanjang sejarah, mengungguli Titanic. Uniknya, Spiderman sendiri memiliki slogan atau semboyan yang amat dikenal sejak dalam serial komik, yakni your good neighbour, atau tetanggamu yang baik. Tokoh superhero ini memang bisa mengalahkan musuh yang mengerikan, namun panggilannya adalah menjadi tetangga yang baik. Menjadi orang dekat yang baik itu tidak mudah. Kecenderungan pada zaman ini adalah memikirkan keselamatan dan kesenangan diri sendiri. Gue nggak ganggu elo, elo nggak ganggu gue. Enough! Begitu kira-kira realitas zaman sekarang. Namun, bukankah orang bisa merasakan karya Allah lewat kepedulian dan kehadiran kita juga?

Yang pertama tadi adalah Maria yang peduli. Nah, yang kedua adalah para pelayan. Para pelayan mendengarkan Maria: Tetapi ibu Yesus berkata kepada pelayan-pelayan: "Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!" (Yoh 2:5). Bukankah aneh rasanya jika kita jadi para pelayan di sana? Yesus ini siapa? Jelas-jelas Ia bukan pemimpin pesta, bukan tuan rumah yang bisa memberi instruksi langsung. Tentu banyak alasan yang membuat mereka seharusnya menolak itu semua. Namun, Yoh 2:7-8 menjadi bukti bahwa mereka mau melakukan apa yang menjadi perintah Yesus. Pertama-tama, Yesus menyuruh mereka mengisi tempayan dengan air. Jelas, tak usah mereka, kita saja bisa membantah itu dengan mudah. Jika ingin bercanda, bukan demikian caranya! Tempayan itu adalah wadah air yang biasanya digunakan untuk mencuci kaki dan tangan sebelum masuk ke dalam rumah. Tapi apa yang terjadi? Yohanes 2:7 Yesus berkata kepada pelayan-pelayan itu: "Isilah tempayan-tempayan itu penuh dengan air." Dan mereka pun mengisinya sampai penuh. Tanpa babibu mereka melakukan apa yang diperintahkan oleh Yesus. Jelas, itu tidak masuk akal. Bukan hanya tidak masuk akal, tapi penuh resiko. Bagaimana tidak, perintah kedua Yesus adalah agar mereka mencedoknya, dan membawanya kepada pimpinan pesta (lih. ayat 8). Bukankah ini cari mati namanya? Membawa air putih kepada pemimpin pesta yang mengharapkan anggur agar pesta itu terus berlanjut adalah sebuah tindakan di luar nalar. Mereka bisa dihukum untuk keteledoran semacam, itu. Tapi, mereka sekali lagi tanpa babibu melakukan itu. Kok mau?

Mungkin, kita sebenarnya memiliki instruksi yang jelas dalam perintah-perintah Yesus kepada kita semua. Namun, seringkali kita berdalih sedemikian rupa agar tak melakukan itu. Bukankah prinsipnya selalu sama; alasan bisa dicari, tapi niat hati itu yang wajib dimiliki. Misalnya saja ada perintah dalam firman Tuhan bahwa kita harus mengasihi. Kita banyak teori dan pertimbangan, yang ujung-ujungnya tidak jadi. Misalkan saja, ketika ada tawaran menjadi pelayan Tuhan sebagai cantoria atau panitia, punya alasan menolak? Jangankan anda sendiri yang mencari alasan, saya saja bisa ikut mencarikan anda alasan untuk bisa menolaknya dengan lembut dan cantik. Sekali lagi alasan bisa dicari. Kita bisa punya seratus alasan untuk menolak taat kepada Tuhan, namun kita hanya harus menyadari satu hal, jika bukan karena Tuhan yang berkarya dalam hidup anda, tidak akan bisa survive hingga detik ini. Dia yang lebih dulu mencintai kita, baru kita merespon dengan menjadi taat kepada-Nya.

Dari Maria dan para pelayan kita belajar, bahwa Allah berkarya dalam proses yang tidak pendek. Melalui kepedulian hati seorang Maria, lalu juga karena ketaatan para pelayan. Jika dua karakter itu menolak panggilan kepedulian dan ketaatan, kacau balau pesta itu.

Sekarang, marilah kita bayangkan, bahwa mempelai yang menikah itu adalah lambing keluarga kita. Apakah kita yang sedang duduk dalam pelaminan tau, bahwa anggurnya habis? Apakah tau, bahwa ada Maria yang rempong? Atau apakah kita tau ada pelayan yang mengisi tempayan dengan air di tengah kondisi anggur yang sudah habis? KITA TIDAK TAHU. Kita tahunya semua sudah beres. Coba bayangkan, ada berapa kepala sibuk memikirkan dan membantu keluarga anda tanpa anda sadari? Berapa mulut yang sibuk mendoakan anda? Jadi tema ini adalah pengingat, bahwa ALLAH MASIH TERUS BERKARYA dalam kehidupan kita.

Untuk itu saya mengajak kita sekalian untuk bersukur sebagai ‘mempelai’ yang dibantu oleh orang-orang yang tak kita duga. Kedua, marilah meneladan Maria dan para pelayan, agar ada ‘mempelai-mempelai’ lain yang terberkati dan tertolong hidupnya. Jangan-jangan karena kita peduli atau taat, ada orang yang tadinya menolak percaya bahwa Tuhan masih terus berkarya, menjadi memiliki kepercayaan lagi. Who knows?

ftp


Sabtu, 08 Januari 2022

ARTI PEMBAPTISAN YESUS

Minggu Yesus Dibaptis

9 Januari 2022

Pada ibadah kali ini, kita secara spesifik akan merenungkan bersama mengenai arti baptisan Yesus. Peristiwa pembaptisan Yesus adalah peristiwa yang agung dan mulia, dimana Bapa dan Roh Kudus tampil dalam waktu yang bersamaan. Ada tiga Injil yang memotret peristiwa tersebut dengan kekhasan masing-masing, yakni dalam Matius, Markus, dan Lukas. Kali ini, sudut pandang Lukas akna kita renungkan. Sebenarnya, Lukas menceritakan kisah ini dengan begitu pendek, namun tentunya, Lukas selalu menghadirkan sisi-sisi kemanusiaan yang kental oleh sebab latar belakang penulisnya.

Baptisan sendiri menjadi sebuah tema yang begitu penting dalam kehidupan kekristenan. Bagi orang-orang protestan, termasuk GKI, Baptisan menjadi satu dari dua sakramen yang dijalankan dan dihayati sebagai tanda dan meterai atas perjanjian Allah. Baptisan tidak dihayati sebagai syarat keselamatan, namun bagaimana karunia Allah itu diwujudkan dalam sebuah tanda yang bisa dilihat, dan di sana terdapat janji keselamatan Allah. Untuk itu, jika berbicara mengenai baptisan, perbedaan tradisi menjadi isu yang serius. Tidak ada salahnya menseriusi sakramen baptisan, namun jangan sampai justru perbedaan tradisi menjadi sekat tinggi untuk kita berkawan baik.

Pembaptisan Yesus ini tentu memilik banyak makna yang bisa kita ambil, namun Injil Lukas menawarkan sebuah sudut pandang untuk kita bisa kaji lebih dalam. Saya mengusulkan dua pokok pikiran yang hendak kita renungkan bersama dalam memaknai peristiwa pembaptisan Yesus.

Pertama, mengenai alasan mengapa Yesus harus dibaptis. Tentu pertanyaan yang ada di kepala kita adalah ‘mengapa Yesus harus dibaptis?’.  Dalam seruannya, Yohanes Pembaptis menyuarakan pertobatan melalui baptisan. Seakan-akan pertobatan harus dilakukan sesegera mungkin dan disuarakan dengan begitu lantang. Di sini kita melihat, bahwa pertobatan menjadi poin penting dalam pertobatan oleh Yohanes Pembaptis. Untuk itulah, pertanyaan kita menjadi sahih untuk diajukan, ‘mengapa Yesus harus dibaptiskan?’. Kita tahu, Yesus adalah Anak Allah yang kudus dan tak bercacat. Banyak kesaksian dalam Alkitab menjelaskan bahwa Yesus tak berdosa. Misalkan saja sejak Ia belum dilahirkan, Malaikat Gabriel berkata kepada Maria “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah.” (Lukas 1:35). Kata ‘Kudus’ dalam perkataan Malaikat Gabriel itu merujuk pada diri Yesus sebagai anak Allah yang tak tersentuh oleh dosa, sejak lahir sampai Ia kembali kepada Bapa pada peristiwa kenaikan. Berarti, alasan Yesus dibaptis bukanlah karena Ia berdosa, dan tentu bukan untuk bertobat. Lalu apa?

Kita harus melihat relasi antara Yesus dan Yohanes Pembaptis. Mereka adalah saudara yang sedari awal ada untuk saling menolong. Bagaimana tidak, Yohanes Pembaptis adalah sosok yang membukakan jalan bagi pelayanan Yesus dalam dunia. Yohanes Pembaptis mengawali dengan menyuarakan suara pertobatan untuk hidup lebih baik di hadapan Allah. Bukan hanya itu, ia mengatakan tentang siapa yang akan hadir setelahnya. Injil Lukas mencatat dalam Lukas 3:16-17,  Yohanes menjawab dan berkata kepada semua orang itu: "Aku membaptis kamu dengan air, tetapi Ia yang lebih berkuasa dari padaku akan datang dan membuka tali kasut-Nya pun aku tidak layak. Ia akan membaptis kamu dengan Roh Kudus dan dengan api. Alat penampi sudah di tangan-Nya untuk membersihkan tempat pengirikan-Nya dan untuk mengumpulkan gandum-Nya ke dalam lumbung-Nya, tetapi debu jerami itu akan dibakar-Nya dalam api yang tidak terpadamkan." Ia begitu luar biasa mendukung Yesus untuk memulai karyanya. Di sini, kita bisa melihat, Yohanes Pembaptis mendukung Yesus, bukankah demikian pula semestinya itu yang Yesus lakukan? Tidak mungkin Yesus akan mementahkan karya dan perkataan Yohanes, justru haruslah mendukung sebagai saudara. Untuk itulah, Yesus memberi diri dibaptis. Sesederhana itu? Tentu tidak. Ketika Yesus memberi diri dibaptis, lalu peristiwa turunnya merpati dan suara dari langit itu, menjadi legitimasi bahwa apapun yang disuarakan dan dilakukan Yohanes Pembaptis adalah benar-benar dari Allah. Mungkin tanpa legitimasi ilahi itu, seruan Yohanes Pembaptis tidak akan mendapat penerimaan penuh dari orang-orang pada zaman itu. Yesus bukan hanya mendukung, namun mengesahkan apa yang dilakukan oleh Yohanes Pembaptis. Bahkan, pada akhirnya, itulah perintah Yesus kepada para murid sebelum Ia naik ke sorga (Mat 28:19-20).

Kita bisa melihat, Yesus dibaptis bukan karena dosa-dosanya, namun mendukung hal baik yang dilakukan Yohanes Pembaptis. Bentuk dukungan itu sangat kuat, sehingga membuat orang-orang semakin diyakinkan untuk masuk dalam undangan pertobatan. Di sekitar kita, tentu ada hal-hal baik yang kita lihat, bahkan rasakan sendiri. Meneladan Yesus, mustinya kita tidak hanya menjadi para penonton saja. Memang, kadang kala kita bukanlah inisiator sebuah kebaikan, namun kita bisa terjun menjadi orang yang mendukung itu semua. Seperti halnya satu lilin menyala, akan lebih berguna jika ada lilin lain yang ikut dibakar, dan meancarkan apinya. Lihat sekitarmu, apa yang bisa kamu dukung segala perbuatan baiknya? Misalkan saja, ada teman yang senang membagi makanan gratis di hari tertentu, mungkin kita bisa bergambung.

Poin kedua yang bisa kita pelajari adalah tentang runutan peristiwa baptisan Yesus, orang-orang, dan kehadiran Allah Tritunggal. Kita perhatikan Lukas 3:21-22, Ketika seluruh orang banyak itu telah dibaptis dan ketika Yesus juga dibaptis dan sedang berdoa, terbukalah langit dan turunlah Roh Kudus dalam rupa burung merpati ke atas-Nya. Dan terdengarlah suara dari langit: "Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan." Kita perhatikan, “seluruh orang telah dibaptis dan Ketika Yesus juga dibaptis”. Lukas menceritakan dengan detail, bahwa Yesus dibaptis setelah orang-orang selesai dibaptis. Apa maknanya? Yang pertama, tentu membuat orang-orang semakin diyakinkan bahwa undangan pertobatan itu berasal dari Allah sendiri. Tandanya, Allah tidak murka dan meberikan teguran. Yang kedua, kita bisa memaknainya, bahwa setelah manusia berkomitmen untuk bertobat dan memperbaiki dirinya, manusia akan merasakan kehadiran Allah lebih nyata. Di sini, bukan berarti bahwa Allah hanya bisa didekati ketika kita sudah bertobat. Allah itu mengasihi manusia, no matter what! Namun, pertobatan membuat manusia semakin tertata batinnya, emosinya, sehingga akan semakin mudah merasakan kehadiran Allah. Pertobatan tentu mengarahkan hati dan perilaku kita kepada Allah. Apa yang dikehendaki Allah, apa yang tak disukai Allah, apa yang menjadi janji-janji Allah. Allah, dan Allah. Gaya beriman seperti itu akan membuat manusia semakin peka akan kehadiran Allah.

Dalam minggu ini, kita diingatkan bagaimana Yesus adalah Allah yang mendukung segala perbuatan baik. Untuk itulah, kita diajak untuk melihat ke sekitar kita, apa yang bisa kita dukung dan perkuat. Selain itu, pertobatan yang dilakukan dengan setia, akan membuat kita semakin peka terhadap kehadiran Allah.

ftp