Jumat, 25 November 2022

BANGUNLAH, SIAP SEDIALAH

Minggu Adven I

Yesaya 2:1-5 | Mazmur 22 | Roma 13:11-14 | Matius 24:36-44


Menunggu. Sebuah pekerjaan yang membosankan dan melelahkan menurut banyak orang. Biasanya, apa yang Saudara lakukan sembari menunggu, dalam antrean di rumah sakit misalnya? Mungkin ada yang melakukan kegiatan produktif lain, seperti membaca buku atau membaca artikel di internet. Ada juga yang menunggu sambil menonton film atau video melalui gawainya, atau ada juga yang bermain video game. Namun ada juga orang yang tidak melakukan apa-apa dan hanya berdiam diri. Bagaimana pun cara kita menunggu, yang pasti semua punya harapan yang sama, yakni agar penantian itu segera berakhir.

Minggu ini kita memulai tahun gerejawi yang baru melalui Minggu Adven pertama. Selain mempersipakan diri kita untuk mengingatrayakan kelahiran Kristus dalam Natal, Minggu Adven pertama juga mengajak kita untuk merenungkan penantian akan kedatangan Tuhan kembali pada akhir zaman. Jadi, sebenarnya masa Adven mengajak kita untuk merenungkan identitas kita sebagai orang Kristen yang hidup di antara dua Adven, yang sudah dan yang belum. Di satu pihak, Kristus sudah datang ke dunia, dan setiap tahun kita merayakannya. Di pihak lain, Kristus belum datang kembali, dan kita masih menantikan kedatangan-Nya kembali ke dunia pada akhir zaman. Dalam penantian itu, ada berbagai hal yang dapat terjadi, tetapi kita semua punya pengharapan bahwa Tuhan akan datang kembali untuk membarui segala sesuatu.

Dalam penantian itu, kita diajak untuk siap sedia. Namun, jangan sampai kebablasan karena pengharapan yang dispekulasikan. Mungkin di antara kita masih ada yang mengingat kejadian sembilan tahun lalu di Bandung. Seorang pendeta menyatakan bahwa pada tanggal 10 November 2003, kiamat akan terjadi, dan para pengikutnya akan diangkat sekitar pukul 09.00-15.00. Lalu ia mengumpulkan banyak orang dari berbagai daerah berkumpul di Baleendah, Bandung. Banyak di antara mereka yang menjual harta bendanya, lalu bekumpul di tempat itu menantikan pengangkatan. Namun ternyata kemudian bukan Tuhan yang mengangkat mereka, melainkan isilop. Sampai sekarang pun, kiamat yang dinubuatkan pendeta itu tidak pernah terjadi. Itulah jika pengharapan itu dispekulasikan, yakni didetailkan sampai hari dan waktunya.

Yesus sendiri sudah menekankan bahwa tentang hari dan saat itu tidak ada seorang pun yang tahu, kecuali Bapa (Mat. 24:36). Karena itulah, Yesus menegaskan kepada murid-murid-Nya untuk berjaga-jaga dan siap sedia. Ia mengatakan bahwa hari Tuhan itu akan datang sepeeti pencuri pada malam hari. Pencuri tidak pernah memberi tahu kapan ia akan datang mencuri, karena itu pemilik rumah harus siap sedia mengamankan rumahnya kapan pun, dalam kondisi apa pun. Ia tidak boleh lengah supaya rumahnya tidak kebobolan. Yesus juga mengatakan bahwa pada waktu itu, jika ada dua orang di ladang atau dua orang perempuan memutar batu kilangan, yang satu akan dibawa dan yang satu ditinggalkan. Yesus mau mengatakan bahwa kita tidak pernah tahu siapa yang berkenan dan siapa yang tidak. Tidak bisa dinilai melalui pekerjaan, jenis kelamin, atau apa pun itu. Hanya Allah yang dapat menghakimi. Selain itu, Yesus juga mengaitkan hari dan waktunya dengan zaman Nuh. Sebelum air bah datang, banyak orang hidup seperti biasa, makan, minum, kawin, dan sebagainya, sampai pada akhirnya air bah itu datang dan melenyapkan mereka. Ini mau menginatkan bahawa hari Tuhan itu bisa datang kapan saja.

Pesan lain dari sini adalah bahwa Nuh sudah mengingatkan orang-orang pada zaman itu, tetapi mereka masih hidup bersenang-senang, berpesta pora, bahkan menganggap sepele peringatan Nuh. Sementara mereka terlena dengan segala kenikmatan, Nuh sedang bersiap sedia. Inilah pesan Yesus bagi murid-murid-Nya dan juga bagi kita, bersiap sedia. Nuh mewujudkan kesiapsediaannya itu dengan membangun bahtera, tidak terlena dengan kenikmatan, dan tidak tergoda untuk mencari kepuasan. Siap sedia juga bukan berarti menjual segala harta benda, menjauhi dunia, dan hanya menanti tanpa berbuah apa-apa, seperti sekte Akhir Zaman yang akhirnya diciduk itu. Rasul Paulus mengekspresikan kesiapsediaan itu dengan kata-kata, “…saatnya telah tiba bagi kamu untuk bangun dari tidur” (Rm. 13:11). Bangun di sini berarti terjaga, waspada, tidak terlena dan terbawa arus dengan moralitas bobrok masyarakat. Orang Kristen tidak boleh ikut arus dunia yang dipenuhi dengan hawa nafsu dan keinginan untuk memuaskan diri sendiri. Namun, bangun di sini juga bukan berarti terus menunggu kedatangan Tuhan tanpa melakukan apa-apa. Bangun dan bersiap sedia artinya tetap melakukan peran dan tugas kita dalam dunia ini dengan bertanggung jawab.

Bangun dan bersiap sedia dalam penantian akan kedatangan Tuhan artinya terus berkarya dan berdampak, serta menghasilkan buah. Penantian itu tetap kita isi dengan melakukan pekerjaan kita – apa pun profesi kita, guru, pedagang, dokter, karyawan, pengacara, dan lainnya – dengan jujur dan bertanggung jawab; Melakukan pelayanan kita dengan sungguh-sungguh untuk Tuhan; Merawat dan mendidik anak-anak dan melakukan tanggung jawab sebagai anggota keluarga dengan kesadaran bahwa apa yang kita lakukan ini untuk membawa kehidupan yang lebih baik dan bermanfaat; Turut memperjuangkan keadilan dan perdamaian dalam masyarakat sebagai bentuk kepedulian kita; Ikut terlibat dalam pembagunan dan transformasi masyarakat. Bangun dan bersiap sedia artinya terus bekerja, dan bekerja adalah menghasilkan buah demi kebaikan dan menjadikan dunia ini tempat yang adil dan damai.

Reformator gereja, Martin Luther, pernah mengatakan, “Seandainya pun aku tahu besok dunia akan berakhir, aku akan tetap menanam apel hari ini.” Kita tidak pernah tahu kapan Tuhan akan datang kembali. Namun, kita punya pengharapan akan kedatangan-Nya kembali yang membawa pembaruan, dan kita terus menantikannya. Dalam penantian itu, kapan pun datang waktunya, bahkan besok sekalipun, bangunlah dan siap sedialah! Jangan pernah berhenti berkarya dan berdiam diri. Tetaplah lakukan karya yang menghasilkan buah dalam pengharapan akan kedatangan-Nya. Maranata! Datanglah, Tuhan! Amin. (thn)

Kamis, 17 November 2022

KRISTUS, RAJA YANG MENYELAMATKAN

Minggu Kristus Raja

Yeremia 23:1-6 | Mazmur 46 | Kolose 1:11-20 | Lukas 23:33-43


Minggu ini adalah hari Minggu terakhir dalam kalender liturgi, yakni Minggu Kristus Raja. Melalui perayaan Minggu Kristus Raja, umat Kristen selalu diingatkan akan otoritas Yesus Kristus sebagai Raja dan Tuhan yang berkuasa atas semesta alam, di tengah dunia yang semakin individualis dan sekuler. Bicara tentang raja dan kekuasaan, beberapa hari lalu baru saja diselenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali. KTT ini diikuti oleh para kepala pemerintahan dan 20 negara anggota dan beberapa undangan, yang punya kekuasaan dalam negaranya dan berperan besar mengarahkan kebijakan di negaranya. KTT ini membicarakan berbagai kesepakatan dan komitmen untuk pemulihan dunia pasca-pandemi, perbaikan ekonomi, konversi energi untuk penyelamatan lingkungan hidup, dan sebagainya.

Sekalipun KTT ini dihadiri orang-orang yang punya kekuasan di negaranya untuk membicarakan soal pemulihan dan kebaikan bersama, acara ini tidak luput dari masalah dan kontroversi. Mulai dari pembatasan, pembungkaman, sampai teror terhadap aktivis, termasuk juga masalah konflik Rusia-Ukraina yang sempat menimbulkan perdebatan di antara negara-negara anggota G20. Para penguasa dan pemerintah ini memang membicarakan pemulihan dan penyelamatan, tetapi orang-orang nomor satu ini pun tidak lepas dari kekurangan. Mereka adalah “raja”, tetapi bukan juru selamat.

Di lain pihak, Yesus Kristus yang tidak pernah menunjukkan diri-Nya sebagai seorang raja, tidak pernah menggunakan pendekatan kekuasaan, Dialah yang membawa pemulihan, rekonsiliasi, dan keselamatan yang sejati. Teks Injil Minggu ini memang menunjukkan Yesus Kristus yang tersalib, yang menderita, tetapi bukan berarti Ia kalah. Dalam derita dan sengsara-Nya, Ia membawa pemulihan dan keselamatan. Dengan berkata, “… ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat,” Yesus menyatakan pengampunan bagi mereka yang menyalibkan-Nya, bahkan mereka yang hanya menyaksikan Ia disalibkan. Selain itu, Ia memberikan keselamatan kepada penjahat yang disalibkan bersama-Nya. Sebelum penyaliban pun, Ia sudah mengampuni Petrus dan memberinya kesempatan kedua, bahkan sebelum ia menyangkal Yesus. Juga, setelah pengadilan-Nya di hadapan Herodes dan Pilatus, Ia membuka jalan rekonsiliasi bagi mereka untuk berdamai dan bersahabat. Secara tak langsung, Ia pun memberi kesempatan kedua bagi Barabas untuk bebas. Bahkan setelah penyaliban-Nya, Ia membuka mata kepala pasukan Romawi sehingga mengakui-Nya sebagai Anak Allah.

Yesus Kristus memang tidak pernah tampil sebagai raja, Ia juga tidak pernah menonjolkan kekuasaan dan hidup dalam kemuliaan seorang raja yang seperti dikenal dunia. Sebaliknya, Ia hidup dengan sederhana, dekat dengan rakyat jelata, bahkan mati dalam kehinaan. Namun, Ia adalah Raja yang sejati, Raja semesta alam yang membawa pemulihan, memberi pengampunan, dan menganugerahkan keselamatan. Pengakuan bahwa Yesus Kristus adalah Raja pun terucap dari mulut penjahat yang disalibkan bersama-Nya. Yang menarik, ketika penjahat itu berkata, “… ingatlah aku, apabila Engkau datang sebagai Raja,” Yesus menjawabnya dengan berkata, “… hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan aku di dalam Firdaus.” Bagi penjahat itu, Yesus suatu saat nanti akan datang sebagai Raja. Namun, dengan jawaban-Nya, Yesus menegaskan bahwa Ia adalah Raja bukan nanti, melainkan hari ini juga. Dengan mengatakan ini, Yesus juga menunjukkan bahwa Kerajaan-Nya dinyatakan saat ini, keselamatan, pengampunan, dan pemulihan-Nya berlaku kini dan dan sini, bukan nanti.

Saudara-saudari, anugerah pengampunan, pemulihan, dan keselamatan dari Kristus Sang Raja Semesta juga diberikan kepada kita. Melalui sengsara, kematian, dan kebangkitan-Nya. Sepanjang jalan derita hingga kematian-Nya, Ia memberikan anugerah kepada banyak orang. Kebangkitan-Nyalah kemudian yang menghadirkan rahmat kepada semesta. Kristus tidak hadir di dunia ini untuk menjadi salah seorang raja (atau pemerintah atau presiden atau perdana menteri), tetapi Ia hadir sebagai Raja di atas segala raja, Raja yang menyelamatkan. Keselamatan dari Kristus bukan hanya soal terbebas dari marabahaya, melainkan sebuah tatanan baru bagi dunia yang dilandasi kehidupan, pengharapan, rahmat, dan cinta.

Mungkin saat ini kita tidak mengalami Kerajaan-Nya secara paripurna, tetapi kita mengalami tanda-tanda Kerajaan-Nya dalam kehidupan kita sebagai gereja, ketika kita menghidupi cinta kasih, pengharapan, pengampunan, dan rekonsiliasi, melalui liturgi, sakramen, dan karya pelayanan kita bagi dunia. Saat ini pun, ketika kita menghadapi pergumulan, penyesalan, dan kekecewaan, kita diingatkan bahwa Ia adalah Raja yang memberika pengharapan, pengampunan, pemulihan, dan keselamatan. Melalui sengsara, kematian, dan kebangkitan-Nya, Ia memberi kehidupan baru dan kesempatan kedua untuk memperjuangkan Kerajaan-Nya kini dan di sini. Amin. (thn)

Jumat, 11 November 2022

WASPADA DAN BERTAHAN

 Minggu Biasa XXXIII

Maleakhi 4:1-2 | Mazmur 98 | 2 Tesalonika 3:6-13 | Lukas 21:5-19


Apa yang Saudara-saudari pikirkan ketika di berbagai media berkembang isu tentang resesi ekonomi pada tahun 2023 mendatang? Tentunya banyak orang yang mulai bersiap-siap dengan mengencangkan ikat pinggang, sehingga bisa bertahan apabila resesi ekonomi benar-benar terjadi. Selain resesi ekonomi yang masih sebagai isu, sebenarnya warga dunia diperhadapkan pada ancaman-ancaman yang lebih konkret, antara lain pandemi yang sudah berjalan hampir tiga tahun ini, krisis pangan yang mulai dirasakan beberapa negara, konflik antar-bangsa yang sudah dimulai bertahun-tahun lalu dan sangat terasa dampaknya pada awal tahun ini ketika Rusia menyerang Ukraina, sampai krisis iklim yang menyebabkan cuaca ekstrem terjadi di mana-mana. Dalam kondisi seperti ini, ada saja orang-orang yang mengaitkannya dengan tanda-tanda akhir zaman. Mereka secara serampangan menilai bahwa krisis, bencana, peperangan, dan lain-lain itu merupakan tanda bahwa akhir zaman sudah semakin dekat. Padahal, yang lebih tepat adalah krisis ekonomi dan krisis pangan sesungguhnya merupakan tanda-tanda akhir bulan. Jika tidak percaya, tanyakan saja kepada anak-anak kost.

Tidak jarang orang Kristen pun mengaitkan segala bencana alam, perang, terorisme, krisis iklim, krisis pangan, dan pandemi dengan akhir dunia. Padahal, sesungguhnya krisis yang menimpa kehidupan manusia adalah bagian dari kehidupan yang terus berlangsung sepanjang sejarah dunia. Yang mengherankan, dengan pandangan-pandangan seperti itu, alih-alih berpengharapan, sebagian orang Kristen malah ketakutan dengan spekulasi-spekulasi yang mengiringi kedatangan Tuhan kembali pada akhir zaman. Yang menyedihkan kemudian adalah kedatangan Tuhan diindetikan dengan kehancuran dunia, sehingga banyak orang Kristen yang hidup dalam ketakutan dan kehilangan semangat iman.

Kekhawatian dan ketakutan ini dilandasi pada pembacaan Alkitab tanpa memahami konteks. Salah satunya adalah bacaan Injil Minggu ini, Lukas 21:5-19. Ketika itu murid-murid Yesus terpesona dan terkagum dengan keindahan dan kemegahan Bait Suci. Namun alih-alih kagum dan terpesona, Yesus justru menubuatkan kehancuran Bait Suci, “… tidak ada satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu lain, semuanya akan diruntuhkan.” (Luk. 21:6). Murid-murid menjadi heran bertanya kapan waktunya. Yesus melanjutkan dengan berkata bahwa akan datang nabi-nabi palsu yang memakai nama-Nya, diikuti tanda-tanda seperti peperangan dan pemberontakan, gempa bumi, kelaparan, wabah penyakit, penganiayaan, pengkhianatan, dan kebencian terhadap umat Tuhan. Berbeda dengan yang dikatakan beberapa kalangan Kristen bahwa itu adalah tanda-tanda akhir zaman, Yesus malah berkata “… itu tidak berarti kesudahannya akan datang segera" (Luk. 21:9).

Yesus di sini mau memaparkan bahwa hal-hal itu akan terus terjadi dalam perjalanan hidup dan iman para murid. Oleh karena itu, Yesus menegaskan agar para murid tetap wasapada ketika hal-hal itu terjadi, supaya mereka tidak mudah dibingungkan dengan berbagai spekulasi dan pengajaran-pengajaran yang tidak bertanggung jawab. Surat Paulus kepada Jemaat Tesalonika mengingatkan secara gamblang ketika jemaat yang saat itu diperhadapkan pada penderitaan dan penganiayaan mengaitkannya dengan Hari Tuhan, hari penghakiman. Pada saat itu, muncul ajaran-ajaran yang tidak bertanggung jawab yang mengajak umat untuk tidak bekerja karena hari Tuhan akan datang. Menanggapi itu, Paulus menegur umat dengan menegaskan bahwa menanti Hari Tuhan harus dilakukan dengan sikap tanggung jawab, tetap melakukan pekerjaannya, dan tidak jemu-jemu berbuat baik.

Yesus juga mengingatkan murid-murid-Nya untuk bertahan menghadapi segala krisis dan penderitaan yang datang. Yesus mengajak para murid dan kita semua untuk tetap setia dan percaya bahwa pemeliharaan Tuhan nyata dalam kehidupan mereka. Ini terlihat dari perkataan-Nya “… tidak sehelaipun dari rambut kepalamu akan hilang.” Karena itu, bagian Injil Lukas ini sebaiknya tidak ditafsirkan sebagai akhir dunia, tetapi sebagai panggilan untuk bertahan dalam krisis dengan berpengharapan pada penyertaan Allah. Kita diajak untuk memahami bahwa segala kesengsaraan, penderitaan, dan krisis pasti selalu terjadi dalam kehidupan manusia. Akan tetapi kita memiliki pengharapan yang tetap setia memelihara dan memampukan kita untuk bertahan. Bukan hanya bertahan, penyertaan Tuhan memampukan kita untuk melanjutkan hidup dan karya kita, tetap bersaksi di tengah penderitaan. Karena itu, kita perlu selalu berusaha untuk melihat kebaikan dan kesetiaan Tuhan melalui hal-hal yang sederhana di tengah derita dan kemelut.

Viktor Frankl, seorang psikolog asal Austria yang dikenal dengan metode logoterapi, yakni penyembuhan dengan cara menemukan makna hidup, pernah menjalani masa penuh penderitaan di kamp konsentrasi Nazi. Dalam penderitaannya itu, ia berusaha untuk melihat kebaikan dan kesetiaan Tuhan melalui kue kering yang dia simpan sepanjang hari untuk kemudian dinikmati saat malam, dari setangkai bunga segar menuju kamp kerja paksa, juga saat seorang tentara Nazi muda memberi tambahan makanan kepada seoang Yahudi tua. Ia bertahan dalam penderitaan itu dengan melihat kebaikan Tuhan melalui hal-hal kecil serta menemukan makna dalam penderitaannya. Ia merefleksikan pengalamannya dengan berkata, “Hidup berarti menderita, bertahan hidup berarti menemukan makna dalam penderitaan.”

Saudara-saudari, mungkin saat ini kita mengalami banyak tekanan dalam hidup; masalah keluarga atau pekerjaan, kebutuhan besar untuk mengurus sekolah anak, orang tua kita sakit sehinga harus berjuang habis-habisan, berjuang memenuhi kebutuhan hidup setelah kehilangan pekerjaan akibat pandemi, serta segala kepahitan hidup yang membuat kita putus asa. Belum lagi segala krisis dunia yang berdampak baik secara langsung maupun tidak langsung kepada keseharian kita. Firman Tuhan saat ini mengajak kita untuk waspada terhadap segala pegajaran tidak bertanggung jawab yang mengaitkan krisis yang kita alami dengan akhir zaman sehingga memuat kita takut dan tidak berbuah. Kita juga diajak untuk bertahan dalam kemelut hidup dengan berusaha menemukan cinta Allah dalam hal-hal yang sederhana, sehingga kita dapat terus berbuah dalam hidup. Amin. (ThN)

Jumat, 04 November 2022

DIA ALLAH YANG HIDUP

Minggu Biasa XXXII 

Ayub 19:23-27 | Mazmur 17:1-9 | 2 Tesalonika 2:1-5, 13-17 | Lukas 20:27-38

 

Selama pandemi Covid-19, kita melihat banyak kematian di sekitar kita. Ada orang-orang yang ketakutan, tetapi ada juga yang apatis dengannya. Mereka yang apatis lalu berkata bahwa mereka tidak takut Covid, tidak takut mati. Namun, apakah mereka berani hidup? Mati itu memang mudah, tetapi hidup dan berbuah serta berjuang di dalam dunia yang penuh dengan penderitaan – pandemi, resesi, krisis pangan, krisis iklim, dan lainnya – bukanlah perkara mudah. Mungkin banyak orang yang berkata mereka berani mati adalah mereka yang sebenarnya lebih takut menghadapi kehidupan daripada kematian. Masalahnya adalah, orang-orang yang siap mati ini, apakah siap menghadapi kematian karena telah menjalani hidup bermakna dan berdampak? Atau jangan-jangan, mereka tidak berbuah dalam hidupnya, tidak berkarya dan membawa dampak, lalu mencari cara yang mudah? Namun, kita tidak bisa juga menghakimi orang yang memutuskan mati karena menanggung beban yang begitu berat dalam hidupnya. Terkadang, ketidakpedulian kita, sebagai orang-orang di sekitarnya juga yang berpengaruh pada ini. Seorang ahli Pendidikan Kristiani, Jack Seymour, mengatakan bahwa salah satu karakteristik Pendidikan Kristiani adalah memperlengkapi naradidik untuk hidup di dalam dunia. Artinya, Pendidikan Kristiani harus menyiapkan orang untuk hidup, bukan untuk mati. Orang Kristen diajarkan untuk berfokus kehidupan, memperjuangkan dan berbagi kehidupan dengan sesama. Orang kristen seharusnya belajar untuk menjalani hidup dan berbuah dalam keadaan tertekan dan penderitaan sekalipun.

Bacaan pertama Ayub merupakan jawaban Ayub terhadap temannya, Bildad. Ayub merasa hidupnya penuh dengan penderitaan yang sangat berat, sekalipun ia tidak berbuat salah. Ditmbah dengan pengahakiman oleh teman-temanya, bisa saja Ayub semakin putus asa dan terpuruk. Namun, ia memohon keadilan Tuhan. Dalam keputusasaannya, Ayub masih berpengharapan. Ia menyerukan, “Tetapi aku tahu bahwa penebusku hidup.” Di tengah kehidupannya yang hancur bekeping-keping, Ayub memilih untuk beriman kepada Allah yang hidup. Hidup artinya masih terus ada, bekerja, bergerak. Ayub yakin bahwa di tengah tekanan dan pergumulan hidupnya, Allah yang dia percayai itu hidup, masih ada dan berkarya dalam hidupnya. Oleh sebab itulah Ayub berpengharapan dan tetap menjalani hidup dalam pergumulannya. Bahkan hidupnya menjadi kesaksian bagi banyak orang.

Kita belajar dari Ayub bahwa hidup bukan sekadar hidup dan menanti ajal menjemput, apalagi hidup yang dipenuhi ketakutan akan kematian. Ada orang Kristen yang ketakutan apakah nanti setelah mati masuk surga atau neraka. Karena penekanan pada yang menakutkan, akhirnya melalaikan tanggung jawabnya dalam kehidupan di dunia saat ini. Sudah takut hidup, takut mati pula. Akhirnya hanya memikirkan diri sendiri, dan tidak peduli kepada orang lain. Jemaat Tesalonika yang menerima pengajaran-pengajaran palsu tentang Hari Tuhan merasa takut akan kengerian-kengerian dan kebinasaan saat Hari Tuhan. Dalam menantikan hari Tuhan, mereka diliputi perasaan takut akan kematian. Mereka gelisah karena ada yang berkata bahwa hari Tuhan segera datang. Oleh karena itu Paulus memberikan pengharapan kepada mereka akan kehidupan. Paulus mengajarkan untuk teguh berdiri karena Tuhan sendiri yang akan menghibur dan menguatkan jemaat, sehingga dapat melakukan pekerjaan dan perkataan baik. Dengan keyakinan iman itu, mereka dapat hidup dengan sikap positif, bekerja dan berkata baik, menjadi berkat bagi sesama, bukannya diliputi kegelisahan dan kebingungan yang membuat jemaat hanya memikirkan diri sendiri.

Kematian janganlah menjadi sesuatu yang menggerakkan kita untuk bertindak, karena jadinya adalah ketakutan dan kita pun menebar ketakutan dan kengerian akan kematian. Kita percaya setelah kematian pun, ada kehidupan abadi dalam persekutuan dengan Allah. Yesus sendiri yang mengajarkannya ketika Ia menjawab ujian orang-orang Saduki tentang kehidupan setelah kematian. Ia tegas berkata bahwa bahwa Allah Abraham, Ishak, dan Yakub adalah Allah orang-orang yang hidup. Dari Yesus kita tahu bahwa Allah yang hidup itu memberikan kehidupan kepada mereka yang sudah mati sekalipun. Ia adalah Allah yang hidup dan menghidupkan. Kematian bukan menjadi akhir yang menakutkan, karena ada pengharapan akan kehidupan dan kebangkitan orang mati. Itulah pengharapan bagi kita juga untuk berkarya dalam kehidupan, bukan takut menanti kematian.

Dengan demikian, tepatlah apa yang dikatakan Seymour, kekristenan itu menyiapkan umatnya untuk hidup, bukan untuk mati. Orang Kristen diajarkan untuk berfokus kehidupan, memperjuangkan dan berbagi kehidupan dengan sesama lewat dengan sikap positif, bekerja dan berkata baik, menjadi berkat bagi sesama. Tanggal 10 November nanti kita merayakan Hari Pahlawan. Kita mengenang para pahlawan yang rela memberikan nyawanya untuk kemerdekaan Indonesia. Mereka rela mati untuk memperjuangkan kehidupan dan kemerdekaan bangsa Indoensia. Dalam keadaan perang dan terjajah, gugur untuk memperjuangkan suatu yang lebih mulia itu salah satu tindakan heroik. Kematian jadi alat perjuangan untuk kehidupan, bukan jadi tujuan. Karena itu, kita mengenang dan merayakan pengurbanan para pahlawan yang gugur untuk memberi dampak kehidupan bagi masyarakat sekarang. Namun, kepahlawanan janganlah menjadi romatisasi berani mati. Dulu pada zamannya, berani mati, rela mengurbankan diri dalam perang adalah jalan untuk membebaskan dan membawa kehidupan. Sekarang keadaannya sudah berbeda. Karenanya diajak untuk menghargai jasa para pahlawan dengan hidup baik, berjungan dalam kehidupan kita, berjuang mempertahankan kemerdekaan ini dengan kepedulian kepada sesama, membangun masyarakat yang adil dan beradab, saling menghormati, saling membantu, dan berbagi hidup dengan sesama.

Itulah juga perjuangan kita sebagai orang Kristen, yang mengimani Allah yang hidup. Memperjuangkan dan merawat kehidupan. Sebagai orang Kristen, kita memang mengimani Yesus Kristus yang mati demi menyelamatkan. Namun, Ia juga bangkit dan hidup, serta memberikan kehidupan. Dalam kebangkitan-Nya, kita diberikan pengharapan akan kehidupan. Maka, iman kepada Allah yang hidup seharusnya menjadi penggerak bagi kita untuk hidup berbuah, memperjuangkan kehidupan melalui karya kita yang membangun dan berdampak bagi masyarakat. Amin. (thn)