Selasa, 28 Juli 2020

ARAHKANLAH HATIMU KEPADA TUHAN


Yes 55:1-5 | Mzm 145:8-9, 14-21 | Rm 9:1-5 | Mat 14:13-21


Kisah bacaan kita Minggu ini diawali dengan sebuah rasa duka yang mendalam yang dialami Yesus. Bagaimana tidak, Ia mendengar kabar bahwa Yohanes Pembaptis mati dibunuh. Dengan duka itu, Yesus ingin mencoba menyendiri, mengasingkan diri dengan perahu (ay. 13). Namun, orang-orang mengikutinya. Sekali lagi, Yesus tak diberi kesempatan menyendiri. Apa Yesus menolak mereka atas kesedihan yang sedang dirasakanNya? Mat 14:14 menuliskan, Ia melihat orang banyak yang besar jumlahnya, maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka dan Ia menyembuhkan mereka yang sakit. Ya, begitulah Yesus. Dalam segala hal, Ia tetap menaruh kasih pada manusia. Namun, bagian epic dari kisah ini tidak dalam hal ini, namun ketika tiba saat malam hari, dan orang-orang yang mengikutinya belum makan. Kisah bagaimana mereka bisa makan bersama ini akan menjadi bagian yang akan kita cermati dengan lebih mendalam.

Kisah Yesus memberi makan lima ribu orang adalah salah satu peristiwa yang paling dikenal dalam sejarah kehidupan Yesus yang disaksikan Alkitab. Bagi saya sendiri secara pribadi, kisah ini begitu melekat sejak diajarkan saat Sekolah Minggu. Yang membuat begitu luar biasa dan melekat adalah bayangan bagaimana Yesus bisa melakukannya, “Bukankah tadi rotinya cuma 5 dan ikannya cuma 2, kok bisa dibagikan kepada lima ribu orang, ya?” Demikian kira-kira yang saya bayangkan. Entah bagaimana dulu Guru Sekolah Minggu mengajarkannya, namun yang terbangun dalam imaji pada saat itu adalah Yesus menyulap lima roti dan dua ikan itu, dan voilaaa, ikan dan rotinya tidak habis-habis dibagikan, bahkan sisa. Selain imaji tentang Yesus menjadi seorang pesulap hebat, ide itu diperkuat dengan sebuah film lawas tentang Yesus. Film itu menunjukkan ketika Yesus mengangkat roti dan ikan itu, lalu tidak habis saat dibagikan. Film lawas itu makin memantapkan imaji. Apakah memang demikian cara Yesus membuat lima roti dan dua ikan itu menjadi cukup dimakan lima ribu orang atau lebih?

Mari kita tidak terburu-buru. Ingat, teks Matius 14:13-21 tidak sekalipun berbicara bagaimana Yesus menjadikan lima roti dan dua ikan itu cukup bahkan lebih. Berarti, peristiwa abracadabra di atas juga merupakaan terkaan (baca: tafsiran). Adakah tafsiran lain? Pasti ada.

Coba kita perhatikan teksnya, Tetapi orang banyak mendengarnya dan mengikuti Dia dengan mengambil jalan darat dari kota-kota mereka. Ketika Yesus mendarat, Ia melihat orang banyak yang besar jumlahnya... Yang ikut makan kira-kira lima ribu laki-laki, tidak termasuk perempuan dan anak-anak. Jelas, yang mengikut Yesus semakin bertambah dari kota ke kota, hingga akhirnya menjadi ribuan. Ada laki-laki, perempuan, dan anak-anak. Mari bersepakat bahwa di antara laki-laki dan perempuan itu adalah ayah dan ibu, atau dengan kata lain adalah para orangtua dari anak-anak itu. Ketika mereka berjalan jauh, masakan mereka tidak membawa bekal, paling tidak untuk anak-anaknya? Lalu, bagaimana dengan perkataan para murid, "Tempat ini sunyi dan hari sudah mulai malam. Suruhlah orang banyak itu pergi supaya mereka dapat membeli makanan di desa-desa." (Mat 14:15) Mereka semua belum makan! Bukankah mereka membawa, namun mengapa belum makan? Di sinilah banyak kalangan penafsir sepakat bahwa sebenarnya mereka membawa makanan, namun mereka kuatir jika harus mengeluarkan makanan mereka. Mereka takut jika makanan mereka keluarkan, sedangkan yang lain tidak membawa, mereka kuatir makanan mereka tidak akan cukup. Jika disederhanakan dengan bahasa yang lebih ringkas; PELIT. Namun, Yesus yang mengangkat roti dan ikan lalu membagikannya, membuat mereka semua ikut membuka hati  dengan cara membuka bekal makan mereka dan membagikannya. Kisah ini akan semakin menyentuh jika kita membaca dalam Markus 6:30-44 dimana seorang anak kecil yang dipakai. Ya, tafsiran lain dari teks ini adalah mujizat terjadi ketika Yesus membuka hati mereka semua, membuat jiwa-jiwa yang tadi dipenuhi rasa kuatir dan rasa takut akan kekurangan, menjadi hati yang berlimpah dengan sukacita untuk memberi.

Lalu, bagaimana sekarang? Anda tim apa? Tim Abracadabra atau Tim Pembuka Hati? Apapun pilihan kita, dua pilihan di atas adalah tafsiran, dan kita tahu bahwa sejatinya tafsiran tidak ada yang absolut benar, hanya saja selalu bersifat mendekati kebenaran. Yang jadi soal adalah ketika kita memutlakkan salah satu tafsiran yang menganggap tafsiran lain salah, bahkan sesat atau bidat. Namun itulah kita manusia, seringkali terlalu berfokus pada ‘cara’. ‘Cara’ yang sebenarnya bisa menjadi begitu banyak dan bervariasi, namun karena alasan subjektif, kita mendewakan salah satu cara. Bukankah banyak perpecahan terjadi karena adanya perbedaan cara, madzab, dalil, tafsiran, isme-isme, serta hal lain?

Coba kita menengok kembali pada teks. Di awal perikop sudah dijelaskan bahwa Yesus sedang ingin menyendiri karena duka kehilangan saudara. Namun, ketika Ia sendiri sedang berjuang dengan dukaNya, Ia tetap punya cinta untuk dibagikan bagi manusia, Ia melihat orang banyak yang besar jumlahnya, maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka (Mat 14:13). Bagaimana jika anda di posisi Yesus? Kalau saya, saya akan semakin muak. Saya meyakini, Yesus sengaja mengambil waktu untuk benar-benar menyendiri. Entah itu karena sedih yang begitu mendalam, atau Ia sedang mempergumulkan panggilanNya, bahwa suatu saat Ia juga akan mati atas ketaatan kepada Sang Bapa. Namun, Ia tetaplah Yesus, yang memiliki hati penuh kasih bagi manusia. Oleh sebab itu, Ia menghampiri mereka dan menyembuhkan mereka. Ingat, Ia sendiri sedang terluka, namun Ia nekat menyembuhkan yang lain. Tidak berhenti di situ, ketika para murid menyarankan agar Yesus menyuruh mereka pergi ke desa-desa untuk membeli makan, Ia justru berkata, "Tidak perlu mereka pergi, kamu harus memberi mereka makan.” Ia juga memikirkan perut mereka. Ketika Yesus meminta lima roti dan dua ikan itu, Ia mengucap berkat. Ada sebuah peristiwa yang begitu memesona sebelum akhirnya Yesus membagikan itu bagi mereka. Dikatakan dalam Matius 14:19, Yesus menengadah ke langit dan mengucap berkat. Kata ‘menengadah ke langit’ berasal dari bahasa Yunani ἀναβλέψας (anablepsas), yang artinya ‘melihat ke atas’. Kata ini juga dipakai dalam Markus 7:34, ketika Yesus menyembuhkan seorang tuli, Kemudian sambil menengadah ke langit (ἀναβλέψας) Yesus menarik nafas dan berkata kepadanya: "Efata!", artinya: Terbukalah! Sebuah gerak ilahi yang benar-benar ditunjukkan oleh Yesus yang begitu sarat makna. Apakah itu hanya sebuah ritual? Saya rasa bukan. Menengadah ke langit memiliki sebuah dimensi bahwa Ia mengarahkan hatiNya kepada Bapa di Sorga. Dalam belarasa yang Yesus miliki bagi manusia, ia membawa pergumulan dunia dan menaikannya kepada Bapa. Sebuah tindakan yang begitu mempesona di antara perut-perut yang lapar. Jika memang demikian, Yesus meneladankan kepada kita sebuah gerak liturgi dalam hidup untuk terus menengadah ke langit (baca: Allah). Tindakan inilah yang seharusnya mendapat perhatian penuh dari kita. Hati Yesus yang penuh belas kasih itulah hati yang mengarah kepada Allah untuk memelihara segenap ciptaanNya. Yesus menjadi perantara antara pergumulan perut-perut yang lapar kepada Allah. Yesus secara sengaja memasukkan rasa lapar itu dalam karya kasih Allah Tritunggal. Pergumulan perut-perut yang lapar itu dilayakkan untuk menjadi sebuah agenda karya Allah Tritunggal untuk merawat ciptaan yang sedang berduka. Seorang Teolog Asia, Choan Seng Song pernah menuliskan dalam bukunya, “jika kita hendak memberi orang-orang miskin sebuah Injil, kenyangkan dulu perutnya”. Song ingin berkata bahwa pergumulan perut lapar adalah pergumulan yang layak mendapatkan sentuhan, yakni rasa kenyang. Dalam peristiwa Yesus yang menengadah ke langit itulah seharusnya kita konsentrasikan perenungan kita. Hati Yesus itulah tempat kita mengarahkan perhatian kita, sehingga kita akan terlepas dari perdebatan mujizat Yesus, antara abracadabra atau Pembuka Hati.

Dalam tradisi liturgi gereja Reformasi, peristiwa mengarahkan hati kepada Allah disebut sursum corda, dimana arti harafiahnya bukan mengarahkan hati, namun mengangkat hati kepada Allah. Kita sebagai GKI juga akrab dengan formula ini, yakni dalam pengutusan:
PF        Arahkanlah hatimu kepada Tuhan!
U         Kami mengarahkan hati kami kepada Tuhan

Ajakan untuk mengarahkan hati inilah yang harus kita refleksikan dalam hidup kita, apalagi di masa pandemi ini. Apakah kita tetap mengarahkan hati kita kepada Allah meskipun kita ada dalam kesesakan? Yesus menunjukkan bahwa hatiNya tertuju kepada Allah untuk menolong umatNya. Seorang Teolog Indonesia, yang juga pendeta GKI, Pdt. Joas Adiprasetya, pernah mengkritik perihal sursum corda, menjadi extra-sursum corda. Adiprasetya mempunyai pendapat bahwa kita dalam ibadah sudah mengarahkan hati kita kepada Allah, sehingga ketika pulang sudah selayaknya kita mengarahkan hati kita kepada dunia, dan menjadi sahabat bagi seluruh ciptaan. Iya, memang demikianlah bagaimana Yesus mengarahkan hati kepada Allah. Ia menengadah ke langit (ἀναβλέψας) untuk memelihara anak-anakNya, yakni dengan memberi mereka makan. Sebenar-benarnya mengarahkan hati kita kepada Allah adalah ketika hati kita mengarah kepada sekitar kita. Mata kita tidak buta melihat kelaparan. Hidung kita tidak mampet untuk mencium adanya ketidakadilan. Telinga kita tidak tuli untuk mendengar keluh kesah teman kita. Tangan kita tidak menjadi lumpuh untuk mengusap air mata sahabat yang sedang berduka. Itulah makna mengarahkan hati kepada Allah.

ftp

Rabu, 22 Juli 2020

Hidup Sebagai Warga Kerajaan Sorga


Minggu Biasa 7

Matius 13:31-33, 44-52

Kita tahu bersama bahwa sebagai Warga Negara Indonesia kita hanya diperbolehkan memiliki satu kewarganegaraan saja. Namun, di sisi lain kita juga menyadari bahwa sebagai orang Kristen kita adalah Warga Kerajaan Sorga. Masih ada yang bingung dengan hal ini. Sehingga kadang merasa harus lebih mengutamakan yang satu dibandingkan yang lain. Dalam beberapa kesempatan kita menjumpai orang-orang Kristen yang mengedepankan statusnya sebagai Warga Kerajaan Sorga dan kemudian merasa paling hebat serta berhak menghakimi yang lain. Di saat bersamaan dapat pula kita temui orang-orang yang mengedepankan statusnya sebagai Warga Negara Indonesia sehingga merasa tidak perlu memerjuangkan kesaksian tentang Injil Kerajaan Sorga bagi dunia.

Sungguh disayangkan bila hal ini terjadi, sebab sejatinya kita bisa banyak belajar dari para tokoh Kristen Indonesia yang sangup mengabdikan diri sebagai Warga Kerajaan Sorga sekaligus Warga Negara Indonesia. Misalnya saja kisah Pattimura yang dituturkan oleh Pak Andar Ismail dalam artikel “Ya Kristen, Ya Indonesia” bukunya “SELAMAT MENGINDONESIA”.
Saat tentara Belanda menggerebek gedung Gereja Protestan Maluku di Saparua untuk menangkap hidup-hidup Pattimura dan pasukannya, ternyata gedung gereja itu sudah kosong. Yang ditemukan oleh tentara Belanda adalah sebuah Alkitab besar dalam keadaan terbuka dengan kata-kata mencolok, ... “Peliharalah aku seperti biji mata, sembunyikanlah aku dalam naungan sayap-Mu terhadap orang-orang fasik yang menggagahi aku, terhadap musuh nyawaku yang mengepung aku.” (Mzm. 17:8-9)
Insiden itu kecil, namun mempunyai arti yang besar. Insiden itu menunjukkan bahwa Kapitan Pattimura (nama sebetulnya Thomas Matulessy, 1783-1817) sungguh-sungguh mengaku Kristen dan sekaligus sungguh-sungguh mengaku Indonesia.
Cuplikan kisah ini sungguh menginspirasi dan berkait erat dengan yang diajarkan oleh Yesus melalui perumpamaan-perumpamaan yang kita baca dalam bacaan Injil hari ini. Matius 13:31-33, 44-52 berisi lima (5) perumpamaan yang menarik dan sederhana sekaligus patut direfleksikan secara mendalam, serta harus dipraktikkan dalam hidup sesehari. Setidaknya kelima perumpamaan ini dapat dilihat menjadi tiga poin.

Pertama, lihatlah dari perumpamaan pertama dan kedua, tentang biji sesawi dan ragi. Melalui perumpamaan ini Yesus ingin menegaskan bahwa dinamika kehidupan sebagai warga Kerajaan Sorga bukan tentang suatu hal yang megah dan mewah. Dinamikanya justru dimulai dari suatu yang kecil, sederhana, dan dapat dijumpai sehari-hari sebagaimana biji sesawi dan ragi. Meski demikian, keduanya dapat menghasilkan dampak yang besar dan luas. Biji sesawi yang kecil dapat menjadi pohon yang rindang dimana burung-burung dapat bersarang, dan ragi yang sedikit sekalipun dapat mengkhamiri adonan sehingga dapat mengembang menjadi roti yang baik. Melalui kedua perumpamaan itu pula disampaikan bahwa Kerajaan Sorga bukan hanya mengenai nanti/kelak, melainkan suatu yang sudah dimulai.
Dengan demikian sejatinya kita diajak oleh Yesus untuk mengenal dengan baik Kerajaan Sorga yang sudah ada diantara kita dari peristiwa-peristiwa sederhana dan diajak untuk terlibat memperkenalkan Kerajaan Sorga melalui hal sederhana dalam keseharian hidup kita.

Kemudian poin Kedua, tentang perumpaan mengenai Harta dan Mutiara.
Dari perumpamaan Harta dan Mutiara (Mat. 13:44-45) kita mendapat gambaran bahwa ketika mencari dan menemukan Kerajaan Allah, meski itu terjadi dalam kehidupan sesehari, harus disertai dengan semangat juang yang tinggi, kegembiraan yang membuncah, dan komitmen yang total sebagaimana seorang yang mendapati harta di ladang maupun mutiara.

Perumpamaan ini juga dekat dengan kita yang hari ini mudah terdistraksi (teralihkan) oleh banyak hal. Secara khusus kita diajak untuk terus update, melakukan pembaruan, menemukan kebaruan, dan akhirnya menuntut segala sesuatu harus segera berubah menjadi baru. Ketika hal yang semula baru menjadi sebuah rutinitas, maka tak jarang kita tak lagi memiliki antusiasme yang sama. Misalnya, di awal masa pandemi kita begitu bergembira melihat dan mendengar firman melalui media online, namun seiring berjalannya waktu, kita mulai jenuh dengan tampilan dari pembawa firman-Nya/dengan tampilan dari elemen lain dalam peribadahan online. Hal-hal ini tak jarang mulai membuat kita tak lagi antusias mendengar, melihat apalagi membagikan video pengajaran firman Tuhan. Begitu pula mungkin pergumulan anak-anak kita yang bersekolah online.

Nilai dari poin kedua ini memberi kita sebuah ajakan untuk kembali lagi melihat segala yang sehari-hari ini sebagai bagian dari anugerah Allah bagi warga Kerajaan Sorga, sehingga selayaknyalah kita menyikapi setiap anugerah sehari-hari ini dengan antusiasme yang tinggi. Sebab setiap anugerah berharga.

Dan yang Ketiga, perumpamaan mengenai pukat mengajarkan bahwa Kerajaan Sorga akan mencakup penghakiman terakhir di mana yang baik dan yang buruk akan dipisahkan untuk menerima anugerah atau hukuman yang sesuai. Namun saat perumpamaan ini juga berbicara mengenai hari ini, maka setiap pendengar diajak untuk menyadari bahwa saat Kerajaan Sorga disebar aka nada ikan yang baik dan yang buruk yang terjala dan sudah selayaknya kemudian setiap orang mengevaluasi diri apakah ia termasuk ikan yang baik ataukah tidak. Di saat itu yang diperlukan adalah hikmat Tuhan untuk membedakannya, agar dapat terus menerus mengerjakan keseharian yang sesuai dengan kehendak Tuhan secara antusias dipenuhi sukacita sejati.

Sudara-saudara, selain Pattimura dan banyak tentara Kristiani, kita juga mengenal Cornel Simanjuntak, Alfred Simanjuntak dan W.R. Soepratman yang berkarya sebagai Kristen Indonesia melalui kemampuannya dibidang musik, kita mengenal nama Herman Johanes dan W.Z. Johanes di bidang ilmu pengetahuan. Mereka masing-masing berkarya dalam keahlian mereka, keahlian yang mereka tekuni sehari-hari. Mereka teladan nyata bagi kita menjalani hidup sebagai Warga Kerajan Sorga yang menekuni keseharian dengan semangat juang yang tinggi dan berdampak luas di Indonesia bahkan dunia.
ypp

Rabu, 15 Juli 2020

LALANG DI TENGAH GANDUM

Minggu Biasa
Yesaya 44:6-8 | Mazmur 86:11-17| Roma 8:12-25 | Matius 13:24-30, 36-43


Minggu ini, bacaan Injil masih berbicara soal dunia pertanian seperti Minggu lalu. Jika Minggu lalu, perumpaan Yesus tentang seorang penabur menunjukkan seorang penabur yang sembrono, yang menaburkan benihnya di sembarang tempat, kali ini orang yang menaburkan benih itu terlihat lebih siap. Ia manaburkan benih di ladangnya, yang sepertinya sudah diolah dan dipersiapkan untuk ditaburi benih. Ia tidak menaburkan benih di tanah yang berbatu-batu atau di antara semak-semak berduri, melainkan di tanah yang subur. Apa buktinya? Buktinya ada musuh yang menaburkan benih lalang atau alang-alang di ladang dan dapat bertumbuh dengan baik. Apa hubungannya?

Lalang adalah sejenis rumput berdaun tajam yang dapat mencapai tinggi satu meter. Lalang atau alang-alang tidak suka tumbuh di tanah yang miskin unsur hara, gersang atau berbatu-batu. Tumbuhan ini tumbuh dengan baik pada tanah yang cukup subur, banyak disinari matahari sampai agak teduh, dengan kondisi lembap atau kering. Dengan demikian, maka ladang yang ditaburi gandum dalam bacaan Injil kita, dapat dikatakan sebagai tanah subur dan tidak berbatu-batu. Hanya saja, lalang kerap menjadi gulma pada lahan pertanian, sehingga harus disingkirkan dari lahan pertanian. Ia juga mengambil unsur hara yang dibutuhkan tanaman-tanaman pertanian.

Dalam perumpamaan-Nya, Yesus mengatakan bahwa ada seorang yang menaburkan benih di ladangnya. Namun, pada waktu malam, datanglah musuh yang sengaja menabur benih lalang di ladang gandumnya. Tujuannya jelas untuk merusak ladang gandum dan menggangu pertubuhan gandum, karena lalang memang menjadi gulma pada lahan pertanian. Di ladang gandum itu, kedua tumbuhan ini tumbuh bersama tanpa disadari pemilik ladang. Ketika pada akhirnya ketahuan bahwa ada lalang yang tumbuh di antara gandum, para hamba pemilik ladang mengusulkan untuk mencabut lalang dari ladang gandumnya, “Jadi maukah tuan supaya kami pergi mencabut lalang itu?”

Saudara, orang Kristen kerap kali bertindak seperti para hamba pemilik lahan. Jelas kita yang percaya adalah hamba-hamba Kristus, Sang Anak Manusia. Namun, kadang kita bertindak secara spesifik seperti hamba-hamba dalam perumpaan ini. Kita merasa berhak untuk memisahkan orang benar dan orang jahat atau orang sesat. Kadang kita menjadi hakim yang merasa diri selalu benar lalu memasukkan orang-orang ke dalam kelompok-kelompok, yang benar dan yang sesat, yang layak dan yang tidak layak, yang masuk kelompok kita dan kelompok mereka. Bahkan di dalam kehidupan bergereja kita sering membedakan mana gandum dan mana lalang, lalu mencabut lalang itu dari persekutuan gereja. Kita menjadi lebih buruk daripada hamba-hamba itu. Hamba-hamba dalam perumpamaan Yesus masih meminta izin tuannya, sedangkan kita kadang berlagak seperti tuan dan merasa berhak untuk menghakimi.

Masalah bertambah besar karena kita menghakimi orang lain dan memasukkan mereka ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan subjektivitas kita yang belum tentu benar. Subjektivitas ini membuat yang benar dan yang salah menjadi kabur. Kecurigaan dan stereotipe kerap menjadi ukuran kita dalam menilai, sehingga apa yang belum tentu memang benar-benar salah kita nilai salah dan kita hakimi. Siapa yang kita kategorikan orang berdosa dan tidak layak, jangan-jangan dia layak bagi Allah. Karena itulah, dalam perumpamaan Yesus, sang pemilik lahan tidak mengizinkan para hamba untuk bertindak mencabut lalang di ladang gandum.


Lalang memang menjadi gulma bagi tanaman gandum. Hanya saja, bentuk lalang yang menjulang naik ke atas tanah dan berbunga ini agak sulit dibedakan dengan tanaman padi-padian, terutama gandum, yang belum berbiji dan masih hijau. Ini yang menyebabkan pemilik ladang berkata, “Jangan, sebab mungkin gandum itu ikut tercabut pada waktu kamu mencabut lalang itu.” Karena bentuknya yang mirip, sang pemilik ladang khawatir jika para hambanya nanti tidak sengaja mencabut gandum, padahal tujuannya adalah mencabut lalang. Sang tuan tahu bahwa para hamba mungkin menilai secara subjektif dan bisa salah mencabut lalang. Karena itu sebenarnya kita tidak berhak untuk menghakimi orang lain dan mengelompokkan orang-orang ke dalam kelompok benar-salah, kudus-berdosa, layak-tak layak yang kita buat sendiri. Karena subjektivitas manusia bisa saja salah dalam menilai dan mengategorikan orang.

Tindakan yang diambil sang tuan ladang adalah membiarkan kedua tumbuhan ini tumbuh bersama sampai masa menuai. Di sini kita melihat gambaran Allah yang penuh rahmat kepada semua yang diciptakan-Nya, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar (Mat. 5:45). Ia memberikan kesempatan bagi semua untuk bertumbuh hingga saat menuai, yakni pada penghakiman terakhir. Pada saat menuai, gandum yang siap dituai akan mudah dibedakan dari lalang. Juga kedua tumbuhan itu dapat dicabut bersamaan, lalu disortir. Artinya, biarkan penghakiman Allah berlaku nanti pada kedatangan Tuhan kembali. Sebagaimana Ia memisahkan kambing dari domba, Ia juga memisahkan lalang dari gandum. Penghakiman bukanlah hak kita para hamba-Nya, melainkan hak Allah sendiri sebagai Tuhan dan penguasa atas seluruh semesta ini.

Perumpamaan ini sebenarnya mau mengkritik orang-orang Farisi yang merasa selalu benar dan menghakimi orang lain. Mereka senang memisahkan diri dari sesama yang mereka anggap najis lalu mengucilkan orang najis dari masyarakat. Ini juga menjadi kritik bagi kita yang selalu merasa diri benar dan membatasi rahmat Allah hanya pada diri dan kelompok kita, bahkan mungkin yang berniat mengucilkan “orang-orang berdosa” dari tengah jemaat. Yesus tidak mau para pengikut-Nya menjadi hamba-hamba yang merasa diri benar dan menghakimi orang lain.

Kita sebenarnya dipanggil menjadi gandum yang hidup di ladang. Gandum adalah sumber makanan pokok yang memberi kehidupan. Ia adalah gambaran manusia yang mau menghadirkan dan berbagi kehidupan. Kita diminta untuk tetap teguh dan berbagi hidup dengan orang lain, bahkan di tengah situasi dan kondisi yang berbahaya tetap bertumbuh menjadi baik. Tapi kita juga bisa menjadi lalang yang adalah tanaman liar yang merusak. Ia menjadi gambaran ketidakpedulian terhadap sesama dan sifat yang merusak dan mengganggu kehidupan. Sebenarnya tindakan para hamba yang mau mencabut tanaman pun tidak berbeda dengan ini, tindakan yang merusak kehidupan. Karena itu marilah terus berbagi kehidupan. Sebagaimana Allah menyatakan rahmat-Nya kepada semua orang, marilah kita juga menghadirkan kehidupan bagi sesama. Amin.
(thn)

Rabu, 08 Juli 2020

BERSIAP MENABUR


(Minggu Biasa)
Yesaya 55:10-13; Mazmur 65:10-14; Roma 8:1-11; Matius 13:1-9, 18-23


Saudara, dalam perjalanan hidup ini ada banyak hal yang kita kerjakan. Namun semua yang kita kerjakan selalu dimulai dari bagaimana kita bersiap. Misalnya, kita mau bangun pagi dan mengerjakan beberapa kegiatan di pagi hari, tentu kita harus mempersiapkannya sejak semalam. Dengan tidur cepat  atau memasang alarm misalnya.
Contoh lain, jika di masa pandemi ini kita membuka usaha menjual makanan, tentu ada banyak hal yang harus kita siapkan. Mulai dari mempersiapkan modal, alat masak, bahan makanan, cara mempublikasi dan mengantar makanan ke konsumen. Dengan demikian, persiapan menjadi hal yang sangat penting kita lakukan dalam keseharian. Bersiap ibarat sebuah langkah kecil yang kita lakukan untuk mempersiapkan langkah-langkah besar kita lainnya.

Bukan hanya dalam pekerjaan atau kegiatan sehari-hari kita bersiap. Ketika mendengarkan firman Tuhan, kita pun harus mempersiapkan diri. Itulah yang Yesus sampaikan dalam perumpamaan tentang seorang penabur yang Ia ajarkan kepada orang banyak yang berbondong-bondong (KBBI: beramai-ramai) menghampiri dan mengerumuni Dia (Mat. 13). 
Mengapa Yesus pakai perumpamaan? Pertama, ada banyak penafsir mengartikan supaya umat yang mendengarkan pengajaranNya juga berpikir, bergumul, merenung dan penasaran untuk memahami apa yang Yesus sampaikan. Kedua, penafsir lain mengartikan Yesus menggunakan metode perumpamaan supaya pengajaranNya bisa diterima dengan baik, karena bahasa ilustrasi dalam perumpamaan yang Yesus pakai adalah bahasa sehari-hari (konteks masa itu).

Dalam bacaan Injil hari ini (Mat. 13 : 1 – 10), Yesus menggunakan perumpamaan seorang penabur yang keluar untuk menabur. Ketika ia menabur, sebagian benih jatuh di pinggir jalan lalu datang burung dan memakannya sampai habis. Ada pula benih yang jatuh di tanah yang berbatu, namun ia tak bertahan lama karena tanahnya tipis. Ada pula benih yang jatuh di tengah semak duri, lalu makin besarlah semak itu dan menghimpitnya sampai mati. Dan sebagian jatuh di tanah yang baik lalu berbuah.

Apa makna dari perumpamaan ini? (Mat. 13 : 18 – 23) Yesus jelaskan, benih yang ditabur adalah firman tentang Kerajaan Allah yang ditaburkan. Penabur merujuk pada Anak Manusia, yang merujuk pada Yesus (ay. 37). Sementara beragam tempat di mana benih itu jatuh menggambarkan setiap orang yang mendengarkan firman Allah dan nampaknya tak semua mempersiapkan diri dengan baik ketika hendak ditabur akan firman Tuhan.

Yesus jelaskan, ada benih yang jatuh di pinggir jalan yang menggambarkan hati manusia lalu datanglah burung, si jahat yang merampas benih itu dalam hati orang itu. Maka, benih atau firman itu hanya bertahan sejenak. Selanjutnya, ada juga benih yang jatuh di tanah yang berbatu. Benih itu sempat tumbuh tapi sayangnya tidak bertahan lama. Sama dengan orang yang mendengar firman Tuhan, segera menerimanya dengan gembira, sempat bertumbuh tetapi karena tidak berakar, maka ia hanya bertahan sebentar.

Ada pula benih yang jatuh semak duri, yang menggambarkan kekuatiran dunia. Benih tak bisa bertumbuh dan berbuah karena dihimpit oleh semak. Sama dengan orang yang mendengarkan firman Allah, tetapi terus dihimpit oleh kekuatiran dunia, ia pun merasa hidupnya terhimpit, tak berbuah dan akhirnya mati terhimpit. Terakhir, ada benih firman Tuhan yang jatuh di tanah yang baik. Ialah orang yang mendengar firman itu, mengerti dan berbuah berkali-kali lipat. Namun tentu yang Yesus maksudkan di sini bukan hanya mengerti tetapi juga melakukannya di dalam kehidupan sehari-hari (bdk. Yes. 55 : 10)

Saudara, membaca perumpamaan ini nampaknya Yesus mau memberi pengertian kepada orang banyak yang mengerumuni Dia saat itu. Ia pasti tahu motivasi mereka datang kepadaNya tidak semua-muanya mau mendengarkan pengajaranNya. Mungkin ada yang datang hanya kepo mau tahu Yesus yang viral itu seperti apa tampangNya. Mungkin ada yang datang untuk minta kesembuhan.

Mungkin ada yang datang untuk melihat mujizat yang Ia lakukan. Mungkin ada juga yang datang memang untuk mendengarkan firmanNya. Di balik semua motivasi itu, Yesus tentu menghendaki semua orang yang mendengarkan apa yang Ia tabur menjadi tanah yang baik. Mereka datang dengan mempersiapkan diri mereka untuk ditabur oleh firman dan ketika mempersiapkan diri untuk ditabur, mereka pun akan bertumbuh dan berbuah. Dan ketika mereka berbuah, mereka pun bersiap menjadi benih yang menabur ke tanah yang lain juga.

Saudara, pengajaran Yesus ini bukan hanya untuk orang banyak tetapi juga untuk para muridNya. Ia ingin mengajarkan bahwa ketika para murid juga sedang bersiap menjadi seorang penabur, Yesus sampaikan bahwa tidak semua yang mereka tabur nantinya akan menghasilkan. Ada banyak benih yang nantinya akan terbuang dan sia-sia. Tapi tak apa. Jangan berhenti menabur, Karena Yesus pun terus menabur sekalipun tidak semua orang mempersiapkan diri untuk mendengarkanNya dengan sungguh-sungguh.

Saudaraku, jika merefleksikan bacaan ini di masa pandemi ini di mana kita semua harus ibadah secara online. Kita sadar bahwa ibadah online distraksinya lebih banyak ketimbang ibadah offline. Jika kita tidak mempersiapkan diri, waktu, pikiran dengan baik. Maka, ibadah yang kita lakukan bisa seenaknya, bisa asal-asalan, bahkan bisa jadi kita tidak ibadah hari Minggu. Kita menjadi tanah yang pertama, kedua atau ketiga.

Kita menyadari pesan Yesus bukan hanya untuk orang banyak masa itu, tetapi juga untuk kita, kini dan di sini. Maka, maukah kita mempersiapkan diri dengan baik untuk mendengarkan firman Tuhan? Dengan bersiap ditabur, kita juga siap menabur. Semangat berupaya menjadi tanah yang baik. Tuhan memampukan kita semua. Amin.
-mc-