Sabtu, 28 September 2019

Rasa Cukup dan Hidup yang Kekal


Minggu Biasa 15

Amos 6:1, 4-7; Mazmur 146; 1 Timotius 6:6-19; Lukas 16:19-31

Seorang Presiden menolak tinggal di istana dan memilih hidup di ladang dan menempati rumahnya sendiri di lorong tak beraspal dan sehari-hari hanya dijaga dua pengawal di kelokan jalan. Sehari-hari ia di temani seekor anjing berkaki tiga yang setia dan ke mana-mana mengendarai sebuah VW kodok tahun 1987 yang kusam. Menurut Ibu-Bapak, adakah presiden yang demikian? Mungkin banyak yang berkata tidak mungkin ada, namun ia bukan tokoh dari negeri dongeng. Ia benar ada di abad ke-21, tepatnya tahun 2010-2015 lalu, namanya Jose Mujica, Presiden Uruguay.

Usianya kala itu 78 tahun, ia tampil dengan sepatu yang using dan baju ala kadarnya. Gajinya 20 ribu dollar, tapi 90 persen dari uang itu sumbangkan untuk orang-orang yang kekurangan. Sisanya praktis sebesar pendapatan rata-rata orang Uruguay. Bersama istrinya, Lucia Topolansky, yang juga senator (anggota dewan), ia mengolah ladangnya sendiri yang ditanami kembang krisan, tanpa pembantu.

Ia tak peduli bila orang menyebutnya eksentrik, dan tak mau disebut sebagai “presiden paling miskin di dunia.” Sebab ia mempunyai pengertian sendiri tentang miskin. Baginya, orang miskin adalah orang yang punya banyak keinginan. Sementara ia tidak. Ia bukan Buddha, bukan pula Hindu yang mengikuti Gandhi. Bagi Goenawan Mohammad – sastrawan Indonesia, penulis catatan pinggir majalah Tempo – ia begitu menakjubkan. Sebab Mujica melakoni kesahajaannya ketika berada di ruang kekuasaan dan pelbagai godaannya sebagai Presiden.

Kehidupan Jose Mujica merupakan contoh konkret dari sebuah gaya hidup dengan rasa cukup.

Paulus dalam bacaan kedua kita hari ini berbicara pada Timotius agar muridnya itu memiliki gaya hidup dengan rasa cukup. Bagaimana hidup dengan rasa cukup?
Pertama-tama kita perlu memahami “rasa cukup” dalam bahasa aslinya [yun: antarkeia] berarti pernyataan dalam benak diri akan rasa cukup dan puas atas apa yang sudah diperoleh di dunia ini. Paulus menganggap kalau sudah memperoleh makanan dan pakaian seseorang harusnya sudah merasa cukup. Dalam konteks ayat ini pakaian juga berarti pelindung diri atau tempat tinggal. Sehingga secara utuh Paulus ingin jika seseorang sudah memperoleh sandang, pangan dan papan; selayaknyalah ia, dari dalam dirinya merasa cukup, puas, dan bersyukur.

Mengapa Paulus memberi nasehat demikian? Sebab ada permasalahan saat itu, ayat 4 dan 5 mencatat bahwa “Penyakitnya ialah (ada orang-orang) mencari-cari soal dan bersilat kata, yang menyebabkan dengki, cidera, fitnah, curiga, percekcokan antara orang-orang yang tidak lagi berpikiran sehat dan yang kehilangan kebenaran, yang mengira ibadah itu adalah suatu sumber keuntungan.”

Kesemuanya ini bagi Paulus berasal dari tidak adanya rasa cukup dalam diri orang-orang. Sehingga orang-orang tersebut, entah kaya atau miskin, hidupnya berisi penyesalan, ketidakpuasan, kekecewaan, kehilangan ketentraman hati, ketamakan. Di lain sisi ada pula yang menggunakan materinya secara sewenang-wenang, misalnya: pak Bondan bermurah hati membelikan gereja lonceng baru (ting-tong) – tetapi kemurahan hati kemudian menjadi bersyarat, atau berujung dengan tindakan pemaksaan atau kontrol proses pengambilan keputusan kepada gereja.

Hal ini patut kita waspadai karena mungkin terjadi pada diri kita. Ketika seseorang merasa materi, barang, uangnya menolong banyak orang, bisa jadi hal-hal itu menggodanya untuk mengatur segala sesuatu/mengontrol orang-orang yang dibantu, saudara yang ditolong, gereja yang disumbang ataupun seseorang yang diusung menjadi pemimpin daerah. Kecintaan pada hal material termasuk uang, bukan tidak mungkin melahirkan tindakan-tindakan yang tidak sepatutnya alias jauh dari kehendak Tuhan.

Oleh karena itulah Paulus juga dengan tegas menyatakan Cinta akan uang – hari ini dapat berwujud konsumerisme – adalah akar dari kejahatan-kejahatan pribadi, komunal, dan global. Bruce Epperly menyatakan, materialisme dapat berdiri di antara kita dan Tuhan. Kecintaan pada materi perlahan-lahan akan memisahkan kita dari kebahagiaan tertinggi kita, yaitu memiliki hubungan dengan Tuhan. Padahal hanya hubungan dalam Cinta pada Tuhan sajalah yang menjamin adanya kecukupan, kesejahteraan, ketenangan, dan keseimbangan batin dalam hidup maupun mati.

Perenungan hari ini bukan berkata keyakinan kepada Tuhan membunuh kesenangan. Sebab, Timotius menegaskan, Tuhan memberi kita segala yang kita butuhkan untuk kesenangan kita. Tuhan ingin kita memiliki hidup yang berkelimpahan dan hidup dengan sukacita, tetapi ini muncul dari hubungan cinta yang sehat dengan Tuhan, keluarga, teman, komunitas, dan bahkan bumi kita.

Kebahagiaan tersebut hanya akan terjadi ketika hidup ini kita dasarkan pada perasaan cukup akan hubungan kita dengan Tuhan. Rasa cukup yang muncul dari hati dan dilahirkan dari hubungan dengan Tuhan memberi kita hati dan pikiran yang luas. Sehingga akhirnya kita pun terpanggil untuk mengisi hati dan pikiran kita dengan memikirkan kebutuhan orang lain. Semakin kita kemudian mampu bermurah hati, terlebih bagi mereka yang sebenarnya ingin kita abaikan, hakimi ataupun lupakan, sejatinya segala tindakan kita itu pun akan menambah atau meningkatkan kesadaran kita bahwa segala sesuatu yang kita miliki semua berasal dari Tuhan dan semuanya terasa cukup bagi kita. Dengan cara itu kita menjalankan tanggung jawab kita sebagai mitra Allah dalam menyembuhkan keadaan dunia.

Ingatlah dunia sedang tersakiti. Persoalan mencari-cari soal dan bersilat kata juga menjadi tantangan kita hari-hari ini. Entah dilakukan oleh politisi maupun orang-orang sekitar kita. Mari kita menjadi waspada! mengatakan "Tuhan, Tuhan" dan membaca Alkitab saja tidak cukup untuk menyelamatkan hidup kita jika kita tak peduli pada orang lain terlebih pada mereka yang miskin dan berbeban berat. Sungguh sayang, masih ada saja orang Kristen yang percaya Alkitab memelopori undang-undang yang akan merampas orang miskin dari kesetaraan pendidikan, hak memilih, perawatan kesehatan, dan kemampuan untuk merawat anak-anak mereka. Dapatkah kita bersikap apatis? Injil hari ini menegaskan bahwa ada konsekuensi untuk membayar mereka yang mengabaikan orang miskin di sekitar kita!

1 Timotius 6:18-19  mengingatkan kita untuk : berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi dan dengan demikian mengumpulkan suatu harta sebagai dasar yang baik bagi dirinya di waktu yang akan datang untuk mencapai hidup yang sebenarnya.

Untuk melakukannya, tak perlu menunggu menjadi kaya raya untuk berbagi, lihatlah Presiden Jose Mujica, bagaimanapun keadaannya, ia siap berbagi. Ia tidak memaksa orang lain untuk melakukan yang sama persis dengannya, ia pernah berkata “Kalau saya minta orang lain hidup seperti ini, mereka akan membunuh saya.” Tapi ia sadar, bila semua orang mengembangkan kebiasaan hidup berlebihan, bumi yang hanya satu ini tak akan memadai – dan akan rusak dieksploitasi tanpa henti. Karena itu gaya hidupnya merupakan perjuangan gerilya yang panjang dengan tujuan ia dan mudah-mudahan semua orang bisa bebas dari benda-benda. Ia sungguh menghidupkan ethos/spiritualitas pengharapan yang berkata hidup untuk dirayakan, tapi nafsu tamak diharamkan. Sebab ia percaya ada rasa keadilan dan kesetaraan yang harus dibuat manusia demi kebaikan bersama. 

Selamat merasa cukup dan mencapai hidup yang kekal!

Minggu, 22 September 2019

MELEKAT HANYA KEPADA ALLAH

Minggu Biasa 14 

Amos 8:4-7; Mzm. 113; 1Tim. 2:1-7; Lukas 16:1-13

Falsafah hidup mengatakan bahwa “kita tidak hidup untuk makan, tetapi makan untuk hidup.” Kemudian ada yang mengatakan dengan kata lain seharusnya kita tidak hidup untuk uang, tetapi mengelola uang untuk hidup. Faktanya banyak orang hari ini mencari uang bukan untuk mencukupi kebutuhan hidup namun demi mendapat kesenangan. Oleh sebab itu jangan heran bila kita menemui Homo Surabayaensis alias orang Surabaya yang melekatkan diri pada kesenangannya mencari uang alias bekerja. Bahkan waktu beristirahat pun digunakan untuk bekerja. Dalam artian, ketika berbaring mereka masih mematangkan gagasan-gagasan dalam pikirannya demi keberhasilan pekerjaannya. Maka matanya memang terarah bahkan terpaku pada layar gadget/TV yang menayangkan hiburan, tubuhnya duduk di seputar meja makan dan mulutnya asik mengunyah makanan hasil pesan antar, tetapi pikirannya entah berada di mana. Kenyataan ini menunjukkan kemelekatan orang-orang hari ini pada uang atau minimal pekerjaannya.

Bacaan kita hari ini pun bicara mengenai seseorang yang hidupnya melekat pada pekerjaannya, yaitu sebagai bendahara. Bendahara ini dikisahkan berfokus pada pekerjaannya namun terindikasi tidak jujur. Namun yang mengherankan ia dikatakan telah melakukan sesuatu yang baik. Tentu hal ini bisa mendatangkan pertanyaan: Apakah ini berarti Yesus setuju dengan tindakan menipu? Apakah Yesus berpihak kepada ketidak jujuran?

Sebelum sampai pada kesimpulan seperti itu, marilah kita memahami pola kerja bendahara pada masa itu. Pada masa itu, ketika ada pemilik modal yang memiliki sejumlah dana ia biasa memercayakannya pada seseorang yang mampu mengelola dana tersebut agar menjadi sebuah usaha yang menghasilkan keuntungan. Si pengelola/bendahara akan mengatur segala sesuatu termasuk menentukan besaran bunga pinjaman ketika dana tersebut juga dipakai sebagai dana kredit orang lain. Sehingga risiko kerugian harus ditanggung penuh oleh bendahara; sekalipun di lain sisi bila dia berhasil, maka dia akan memperoleh keuntungan lebih. 

Dalam perumpamaan ini diceritakan bahwa sang tuan mengetahui bahwa bendaharanya telah menghambur-hamburkan uang. Oleh sebab itu, sang bendahara ini segera dipanggil untuk mempertanggungjawabkan  seluruh keuangan yang telah dikelolanya. Menarik sekaligus tak terduga yang kemudian dilakukan oleh bendahara tersebut.

Di Luk. 16:5-7, bendahara tersebut berinisiatif mengurangi jumlah hutang dari orang-orang yang berhutang/kreditur. Dengan pengurangan jumlah hutang tersebut harapannya para kreditur dapat membayar hutangnya dan pada akhirnya sang bendahara dapat membayar apa yang menjadi kewajibannya kepada sang pemilik  modal, sehingga dia akhirnya dapat menyelamatkan masa depan dan kariernya. Sebab bila itu yang terjadi maka uang yang menjadi hak tuannya tidak berkurang sedikit pun sehingga ia tidak jadi dipecat. Karena yang dia potong sebenarnya merupakan hak keuntungannya dari menjalankan usaha tersebut. Dari perumpamaan ini, kita dapat belajar bagaimana sang bendahara memikirkan masa depannya secara cerdik. Benar, dia pernah berbuat kesalahan, tetapi dia segera memperbaikinya.

Kehidupan sang bendahara dalam perumpamaan ini hendaknya kita refleksikan pula dalam kehidupan kita? Apa yang dapat kita lakukan di masa krisis? Berputus asa atau menyerah atau cuek-cuek saja dan tetap nekat melakukan kesalahan demi kesalahan?

Di dalam situasi krisis yang dijumpainya, bendahara tersebut telah mengambil langkah yang tepat untuk masa depannya. Yakni tidak mudah menyerah dan berputus asa saat menghadapi kegagalan. Sebab saat kita tidak jatuh dalam keputusasaan atau meratapi keadaan, maka kita akan mampu berpikir atau menanggapi secara cerdik/kreatif setiap masalah yang ada.

Bendahara dalam bacaan kita ini menunjukkan bagaimana ia sungguh berfokus pada pekerjaannya, sehingga ia dengan tenang dan cerdik menghadapi dan malampaui masalahnya tanpa harus sembunyi dari masalah atau mencari kambing hitam dari masalahnya. Ia menjadi contoh pribadi yang berorientasi pada penyelesaian masalah, bukan berfokus pada masalah. Ia menggunakan uang yang ada dalam pengelolaannya untuk menjadi modal membangun pertemanan, atau sebenarnya bisa juga disebut membeli pertemanan, dengan harapan, yang ditolongnya dapat menolongnya kelak jika ia yang giliran mendapat masalah, yaitu dipecat dari pekerjaannya.

Kecerdikan si bendahara memikirkan masa depan kehidupannya inilah yang membuat Yesus memberi pujian kepada bendahara yang tidak jujur dalam perumpamaan ini. Akan tetapi, Yesus juga memberikan kritik terhadap bendahara ini. Sebagaimana teguran Yesus dalam ayat 9. Bagi Yesus membangun persahabatan dengan berdasarkan materi/uang adalah persahabatan yang rapuh dan sebuah kesia-siaan. Ucapan Yesus merupakan sindiran yang halus sekaligus begitu tajam. Barangsiapa membangun persahabatan dengan mamon (materi) yang tidak jujur akan menghasilkan perbuatan yang licik dan mendapatkan persahabatan yang semu sifatnya.

Dari kisah ini kita juga diajak untuk menjadi gelisah dengan keberadaan diri kita. Perumpamaan ini menunjukkan orang-orang yang tidak mengenal Tuhan, tanpa memikirkan kehidupan setelah kematian kadang-kadang bertindak lebih cerdik nan masuk akal. Mereka mungkin menjadi manusia-manusia yang melekat pada uang, sehingga menyiapkan keperluan masa depannya di saat-saat yang sulit dan kritis secara kreatif. Mereka mempergunakan uangnya untuk mempersiapkan masa depannya. Jika demikian mengapa anak-anak Allah tidak berpikir lebih cerdik dan kreatif dalam menghadapi masalah dengan tetap melekatkan diri kepada Yesus Kristus guna mempersiapkan masa depan dalam kemah abadi?

Harus diakui bahwa seringkali, sebagai anak-anak Allah, terlalu memusatkan diri kepada pekerjaan, uang, keluarga, bahkan pada rutinitas pelayanan, tanpa melekatkan diri kepada Allah. Akibat dari kehidupan yang tidak disertai kesadaran untuk melekatkan diri pada Allah, hanya akan menghasilkan kecerdikan dalam tindakan memperdaya dan merugikan orang lain demi kepentingan diri sendiri. Tanpa keberpusatan pada Allah seseorang hanya akan menjadi pribadi yang cerdik tetapi licik. Dengan hidup melekat hanya pada Allah kita akan memiliki kecerdikan dan kreativitas untuk menghadapi dan mengatasi pergumulan hidup dengan tetap memerhatikan apa yang menjadi hak orang lain dan kewajiban kita kepada sesama. Kemelekatan kita pada Allah akan memberi kita kemampuan memilih dan memilah dengan bijak kapan kita harus menyelesaikan tanggung jawab pekerjaan kita, kapan kita harus memelihara keharmonisan keluarga dengan menyediakan waktu berkualitas dengan keluarga, kapan harus mengembangkan jemaat dengan pelayanan yang penuh ketulusan dan kecerdikan. Amin.
ypp

Jumat, 13 September 2019

CARI ATAU BIARKAN?


Minggu Biasa XIII
Keluaran 32:7-14 | Mazmur 51:3-12 | 1 Timotius 1:12-17 | Lukas 15:1-10

Setelah membaca teks Injil Lukas 15:1-7, timbullah berbagai pendapat dari beberapa orang. Mereka adalah peternak, filsuf, ekonom dan ahli hukum. Si peternak berkata, "Ya sudah, tidak apa-apa. Toh yang sembilan puluh sembilan ekor masih bisa beranak!" Lalu sang filsuf berkata, "Apalah artinya satu dibanding sembilan puluh sembilan?" Dengan perhitungannya, si ekonom berpendapat, "Kita harus menerapkan prinsip ekonomi! Biaya untuk mencari mungkin lebih besar daripada harga domba yang hilang itu. Kalau saja, yang hilang itu sepuluh ekor, bolehlah.” Lalu ahli hukum pun mengutarakan pendapatnya, "Yang satu itu minoritas. Kita harus mengutamakan kepentingan mayoritas, yaitu yang sembilan puluh sembilan ekor." Tetapi kemudian seorang teolog berkata, “Itu menurut kalian. Tetapi bagi Yesus, yang satu itu pun berharga, maka Ia rela meninggalkan yang sembilan puluh sembilan ekor dan pergi mencari seekor domba yang tersesat itu.”
Demikianlah Yesus menggambarkan seorang gembala yang meninggalkan sembilan puluh sembilan ekor domba untuk mencari seekor yang hilang. Perumpamaan ini merupakan perumpamaan pertama dari Trilogi Perumpamaan “Yang Hilang,” yakni Domba yang Hilang, Dirham yang Hilang, dan Anak yang Hilang. Teks lekshionari Minggu ini hanya mengisahkan dua yang pertama, sedangkan kisah ketiga telah muncul dalam leksionari pada masa Prapaska.
Jika kita melihat teks Trilogi Yang Hilang, kita akan melihat betapa aneh dan tidak masuk akalnya tindakan para tokoh utama dalam tiga kisah itu, gembala, perempuan dan sang bapa. Jika menggunakan perhitungan-perhitungan dan nalar logis dalam cerita pembuka di awal, jelas tindakan-tindakan itu aneh. Apa untungnya mencari satu ekor domba dengan meninggalkan yang sembilan puluh sembilan? Toh sembilan puluh sembilan ekor masih lebih berguna dan menghasilkan daripada harus mencari satu ekor yang mungkin akan menguras biaya dan tenaga. Lalu untuk apa si perempuan mengundang tetangga-tetangganya untuk melakukan syukuran kerena satu dirhamnya ditemukan? Jangan-jangan biaya untuk syukuran lebih besar daripada satu dirham, atau bahkan kesepuluh dirham yang dimilikinya. Kemudian, apa pula yang dipikirkan si bapa sehingga mengadakan pesta untuk merayakan kepulangan anak bungsu tak tahu diuntung yang pulang saat sedang butuh? Lebih parahnya, si bapa pun tidak curiga jika si anak ini nanti akan mencuri darinya dan kabur lagi.
Namun begitulah kasih Allah. Kasih yang tidak hitung-hitungan. Kasih Allah tidak menghitung untung-rugi atau besar-kecil amal manusia. Kasih Allah itu meluap dan melimpah bahkan untuk mereka yang menurut kita tidak layak dikasihi. Sayangnya, banyak orang Kristen yang hitung-hitungan dengan kasih Allah. Mereka menentukan siapa yang layak dan siap yang tidak layak menerima anugerah kasih Allah. Lalu muncullah iman yang hitung-hitungan dan transaksional. Orang yang baik, suka menolong, suka beribadah nanti dapat berkat. Transaksi ini lama-kelamaan menjadi lotere, “jika anda memberi persembahan, nanti dapat berkat berlipat kali ganda,” dan kemudian diikuti dengan ancaman, “Jika anda tidak melakukan ini semua, maka anda tidak diberkati Tuhan.” Maka semakin banyak kita berbuat baik, semakin besar kesempatan kita diberkati Allah. Ini iman atau undian? Bukankah hidup kita ini adalah berkat Tuhan, yang tanpa minta pun kita sudah menerimanya?
Jika mengikuti kisah Domba yang Hilang, Dirham yang Hilang, dan Anak yang Hilang, tentu kita tidak akan menciptakan Allah yang hitung-hitungan seperti kita manusia. Allah yang kita kenal dalam Kristus adalah Allah yang bahkan dapat melakukan tindakan yang tidak masuk akal untuk mencari dan menyelamatkan manusia yang berdosa dan terhilang. Ya, salah satu hal yang tidak masuk akal adalah kerelaan-Nya untuk menjadi manusia dan menangung derita hingga mati di kayu salib.
Tindakan janggal dan tak masuk akal yang Allah lakukan juga terlihat dalam teks Injil Lukas Minggu ini. “Siapakah di antara kamu yang mempunyai seratus ekor domba, dan jikalau ia kehilangan seekor di antaranya, tidak meninggalkan yang sembilan puluh sembilan ekor di padang gurun dan pergi mencari yang sesat itu sampai ia menemukannya? Dan kalau ia telah menemukannya, ia meletakkannya di atas bahunya dengan gembira, dan setibanya di rumah ia memanggil sahabat-sahabat dan tetangga-tetangga…” (Luk. 15:5-6). Jika kita perhatikan dengan saksama teks itu, kita dapat menemukan dua hal yang janggal di sini.

1.   Si gembala punya seratus ekor domba, lalu yang satu hilang. Ia mencari yang satu itu dengan meninggalkan yang sembilan pulunh sembilan. Telah kita bahas tadi, secara logika ini tindakan janggal. Yang lebih parah lagi adalah ia meninggalkan mereka di padang gurun, yang gersang dan kering, bukan di padang rumput hijau di dekat mata air. Yang sembilan puluh sembilan ditinggalkan di padang gurun khusus untuk mencari yang satu ekor domba bandel itu.
2.   Setelah ia mencari satu ekor domba nakal itu dan menemukannya ia mengangkatnya dan dengan gembira langsung kembali ke rumah. Si gembala itu kembali langsung kembali ke rumah, bukan ke padang gurun untuk menjemput kesembilan puluh sembilan domba yang lain. Bayangkan betapa unik cara berpikir dan bertindak sang gembala itu.

Menurut Joas Adiprasetya, perumpamaan ini bukanlah tentang domba yang hilang melainkan gembala yang hilang. Ia hilang karena ia meninggalkan sembilan puluh sembilan ekor domba yang tidak hilang dan tidak kembali lalu. Lalu mulailah domba-domba lainnya ini merasa ditinggalkan. Jadi, jika kita merasa Tuhan meniggalkan kita, jangan-jangan memang karena Ia seadng mencari umatnya yang terhilang. Jika demikian, setidaknya ada sembilan puluh delapan ekor rekan domba yang lain yang tidak hilang, yang bisa saling mendukung dan menguatkan, sekalipun ditinggalkan di padang gurun. Atau jika kita merasa Tuhan jauh dari hidup kita, ikutlah mencari domba yang terhilang tersebut, karena pasti Allah ada di sana mencari yang terhilang itu.



Ada juga di antara sembilan puluh sembilan ekor yang bersungut-sungut dan mengeluh karena Allah lebih mengutamakan yang satu itu, yang nakal dan meninggalkan gereja. Atau jangan-jangan kitalahnya yang menyingkirkannya dari persekutuan. Sekali lagi, David Hayward, pastor dan kartunis, menggambarkannya dengan begitu apik dalam kartunnya. Kartun itu memperlihatkan Yesus yang membawa seekor domba pelangi yang ditemukan-Nya, tetapi ditolak oleh kumpulan domba putih karena justru merekalah yang menyingkirkan domba pelangi itu. Jangan-jangan kita, sembilan puluh sembilan domba yang tidak hilang, yang justru membuat membuat satu ekor itu menjadi terhilang. Kita merasa diri kita layak sedangkan orang lain tidak layak. Kita membatasi kasih Allah yang sebanarnya tidak terbatas dengan memberi cap “orang berdosa” kepada sesama kita yang kita nilai buruk. Kita bukan hanya membiarkan ia hilang, tetapi yang membuatnya hilang. Tetapi kasih Allah tidak terbatas. Ia menacari yang terhilang yang paling tidak yang menurut kita, dan membawanya pulang. (ThN)

Jumat, 06 September 2019

MELEPAS KEMELEKATAN


Minggu Biasa
Ulangan 30 : 15 – 20; Mazmur 1; Filemon 1 : 1 – 21; Lukas 14 : 25 – 33

Saudara, semua yang terbuat dengan waktu memiliki keterbatasan. Misalnya saja harta, tahta, tenaga, keluarga bahkan nyawa. Karena itu, segala yang kita punya itu memiliki waktu yang terbatas. Dalam keterbatasan itulah, kita diajak untuk tidak terlalu melekatkan diri kita bahkan kalau bisa melepaskan diri kita dari kemelekatan pada hal-hal yang terbatas itu. Tapi mengapa ya kita harus melepaskan diri dari kemelekatan kita pada pada hal-hal yang sesungguhnya kita butuhkan itu, yang sekaligus juga merupakan anugerah Tuhan bagi kita?
Dalam Lukas 14 : 25 – 33 bercerita tentang orang-orang yang berduyun-duyun untuk mengikuti Yesus. Untuk apa mereka mengikut Yesus? Bisa jadi karena Yesus ibarat artis di jaman itu sehingga banyak orang sekadar kepo ingin melihat dan mendengarkan pengajaranNya. Bisa jadi pula, ada yang mengikut Yesus untuk mendapat sesuatu dariNya seperti kesembuhan, makanan juga mujizat lainnya. Tetapi ada pula yang murni mengikut yesus untuk mengenal dan menjadi pengikut Yesus yang sejati.
Ketika Yesus tahu mereka yang mengikutNya dengan motivasi yang berbeda-beda, Yesus berpaling dan menyampaikan kepada mereka resiko pahit menjadi pengikut Yesus. Artinya Yesus tidak PHP (pemberi harapan palsu) dengan menawarkan kebahagiaan-kebahagiaan yang akan diterima mereka kalau jadi pengikut Yesus. Yesus berbicara fakta dan resiko pahit jika mereka mau menjadi pengikut Yesus. Ini pun menunjukkan Yesus bukan menekankan pengikut dari kuantitas (jumlah) semata tetapi kualitas diri mereka dengan tahu, menerima dan mengikut Yesus dengan segala resikonya.  
Salah 1 fakta yang harus dilakukan dan diterima oleh orang-orang yang mau mengikut Yesus, Yesus sampaikan di ay. 26 “Jikalau seorang datang kepadaKu dan ia tidak membenci bapaknya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi muridKu.” Jika saudara-saudara ada pada saat itu dan mendengarkan ucapan Yesus tadi, apa yang saudara pikirkan? Bisa jadi kita meresponnya dengan gelisah. What? Ngga salah nih Yesus bicara demikian? Bukankah yang Ia selalu tawarkan dan ajarkan adalah soal kasih? Lantas, mengapa dalam ucapannya Yesus juga mengajarkan tentang sesuatu yang konotasinya negatif, kebencian yang ditujukkan kepada keluarga bahkan nyawa sendiri?
Saudaraku, tentu maksud Yesus dengan kata “membenci” ini bukan diartikan secara hurufiah. Karena kata “membenci” yang disampaikan ini mempunyai makna lain, yang dalam konteks orang Semit menggunakan kata “miseo” yang berarti “kurang mengasihi” atau “menolak” bila diperhadapakan dengan suatu pilihan: taat kepada Allah ataukah kepada kaum keluarganya atau terhadap dirinya sendiri bila ia mendengar panggilan Allah (Dian Penuntun, edisi 28 hlm. 103).
Jadi, kebencian di sini bukan berarti manusia diajarkan Yesus untuk membenci keluarga dan dirinya sendiri. Karena tentu Yesus juga mau manusia mengasihi keluarga dan diri mereka sendiri yang juga adalah anugerah yang Tuhan beri. Tetapi, manusia juga diingatkan, bahwa semua yang manusia miliki baik keluarga bahkan nyawa sendiri adalah titipan Tuhan yang juga memiliki batasan, yang terkadang jadi pusat kemelekatan manusia ketimbang Tuhan.
Oleh karena itu, manusia diingatkan untuk melekatlah pada Sang Sumber yang tanpa batas.  Mungkin ini juga yang dimaksud Yesus dengan menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Aku. Karena mengikut Yesus tentu harus berani melepaskan kemelekatan pada hal-hal yang terbatas kepada Allah yang tanpa batas.
Saudara, apakah mudah melepaskan diri dari hal-hal yang didekat kita bahkan diri kita sendiri? Tentu tak mudah. Namun, bukan tak bisa. Karena Paulus dalam kehidupannya menjadi bukti bahwa ia menjadi pengikut Tuhan dengan melepaskan segala hal yang melekat padanya, yakni kekayaan, kehebatan, kehormatan dan bahkan pengetahuannya demi menjadi pengikut Yesus. Dalam Suratnya kepada Filemon (bacaan kedua), Paulus pun melepaskan Onesimus, seorang anak yang sudah dianggap sebagai anak Paulus sendiri bahkan Paulus mengatakannya sebagai buah hatinya untuk menjadi hamba terlebih saudara bagi Filemon. Karena ia tahu, ia pun sudah tua dan terbatas.
Saudara, apa yang paling melekat dengan kita di jaman sekarang? Bisa jadi jawaban kita beragam. Ada yang menjawab keluarga, uang, jabatan, gadget, drakor (drama korea), game, dll. Inilah tantangannya bagi setiap kita orang percaya di jaman now. Beranikah dan bersediakah kita melepaskan kemelekatan kita pada hal-hal duniawi dan melekatkan diri kita pada Sang Ilahi? Sulit itu pasti. Tapi bukan tak bisa. Tuhan menolong kita. (mc)