Minggu Biasa 15
Amos 6:1, 4-7; Mazmur 146; 1 Timotius 6:6-19; Lukas 16:19-31
Seorang Presiden menolak tinggal
di istana dan memilih hidup di ladang dan menempati rumahnya sendiri di lorong
tak beraspal dan sehari-hari hanya dijaga dua pengawal di kelokan jalan.
Sehari-hari ia di temani seekor anjing berkaki tiga yang setia dan ke mana-mana
mengendarai sebuah VW kodok tahun 1987 yang kusam. Menurut Ibu-Bapak, adakah
presiden yang demikian? Mungkin banyak yang berkata tidak mungkin ada, namun ia
bukan tokoh dari negeri dongeng. Ia benar ada di abad ke-21, tepatnya tahun
2010-2015 lalu, namanya Jose Mujica, Presiden Uruguay.
Usianya kala itu 78 tahun, ia
tampil dengan sepatu yang using dan baju ala kadarnya. Gajinya 20 ribu dollar,
tapi 90 persen dari uang itu sumbangkan untuk orang-orang yang kekurangan.
Sisanya praktis sebesar pendapatan rata-rata orang Uruguay. Bersama istrinya,
Lucia Topolansky, yang juga senator (anggota dewan), ia mengolah ladangnya
sendiri yang ditanami kembang krisan, tanpa pembantu.
Ia tak peduli bila orang
menyebutnya eksentrik, dan tak mau disebut sebagai “presiden paling miskin di
dunia.” Sebab ia mempunyai pengertian sendiri tentang miskin. Baginya, orang
miskin adalah orang yang punya banyak keinginan. Sementara ia tidak. Ia bukan
Buddha, bukan pula Hindu yang mengikuti Gandhi. Bagi Goenawan Mohammad – sastrawan
Indonesia, penulis catatan pinggir majalah Tempo
– ia begitu menakjubkan. Sebab Mujica melakoni kesahajaannya ketika berada di ruang kekuasaan dan pelbagai godaannya
sebagai Presiden.
Kehidupan Jose Mujica merupakan
contoh konkret dari sebuah gaya hidup dengan rasa cukup.
Paulus dalam bacaan kedua kita
hari ini berbicara pada Timotius agar muridnya itu memiliki gaya hidup dengan
rasa cukup. Bagaimana hidup dengan rasa cukup?
Pertama-tama kita perlu memahami
“rasa cukup” dalam bahasa aslinya [yun: antarkeia]
berarti pernyataan dalam benak diri akan rasa cukup dan puas atas apa yang
sudah diperoleh di dunia ini. Paulus menganggap kalau sudah memperoleh makanan
dan pakaian seseorang harusnya sudah merasa cukup. Dalam konteks ayat ini pakaian
juga berarti pelindung diri atau tempat tinggal. Sehingga secara utuh Paulus
ingin jika seseorang sudah memperoleh sandang, pangan dan papan; selayaknyalah
ia, dari dalam dirinya merasa cukup, puas, dan bersyukur.
Mengapa Paulus memberi nasehat
demikian? Sebab ada permasalahan saat itu, ayat 4 dan 5 mencatat bahwa “Penyakitnya
ialah (ada orang-orang) mencari-cari soal dan bersilat kata, yang menyebabkan
dengki, cidera, fitnah, curiga, percekcokan antara orang-orang yang tidak lagi
berpikiran sehat dan yang kehilangan kebenaran, yang mengira ibadah itu adalah
suatu sumber keuntungan.”
Kesemuanya ini bagi Paulus
berasal dari tidak adanya rasa cukup dalam diri orang-orang. Sehingga
orang-orang tersebut, entah kaya atau miskin, hidupnya berisi penyesalan,
ketidakpuasan, kekecewaan, kehilangan ketentraman hati, ketamakan. Di lain sisi
ada pula yang menggunakan materinya secara sewenang-wenang, misalnya: pak
Bondan bermurah hati membelikan gereja lonceng baru
(ting-tong) – tetapi kemurahan hati
kemudian menjadi bersyarat, atau berujung
dengan tindakan pemaksaan atau
kontrol proses pengambilan keputusan
kepada gereja.
Hal ini patut kita waspadai
karena mungkin terjadi pada diri kita. Ketika seseorang merasa materi, barang,
uangnya menolong banyak orang, bisa jadi hal-hal itu menggodanya untuk mengatur
segala sesuatu/mengontrol orang-orang yang dibantu, saudara yang ditolong,
gereja yang disumbang ataupun seseorang yang diusung menjadi pemimpin daerah.
Kecintaan pada hal material termasuk uang, bukan tidak mungkin melahirkan
tindakan-tindakan yang tidak sepatutnya alias jauh dari kehendak Tuhan.
Oleh karena itulah Paulus juga
dengan tegas menyatakan Cinta akan
uang – hari ini dapat berwujud konsumerisme – adalah akar dari kejahatan-kejahatan pribadi, komunal, dan global. Bruce Epperly menyatakan, materialisme dapat berdiri di antara kita
dan Tuhan. Kecintaan pada materi perlahan-lahan akan memisahkan
kita dari kebahagiaan tertinggi kita, yaitu memiliki hubungan dengan Tuhan. Padahal hanya hubungan
dalam Cinta pada Tuhan sajalah yang menjamin adanya kecukupan, kesejahteraan, ketenangan, dan keseimbangan batin
dalam hidup maupun mati.
Perenungan hari ini bukan berkata
keyakinan kepada Tuhan membunuh kesenangan. Sebab, Timotius menegaskan, Tuhan
memberi kita segala yang kita butuhkan untuk kesenangan kita. Tuhan ingin kita
memiliki hidup yang berkelimpahan dan hidup dengan sukacita, tetapi ini muncul
dari hubungan cinta yang sehat dengan Tuhan, keluarga, teman, komunitas, dan
bahkan bumi kita.
Kebahagiaan tersebut hanya akan
terjadi ketika hidup ini kita dasarkan pada perasaan cukup akan hubungan kita
dengan Tuhan. Rasa cukup yang muncul dari hati dan dilahirkan dari hubungan
dengan Tuhan memberi kita hati dan pikiran yang luas. Sehingga akhirnya kita
pun terpanggil untuk mengisi hati dan pikiran kita dengan memikirkan kebutuhan
orang lain. Semakin kita kemudian mampu bermurah hati, terlebih bagi mereka
yang sebenarnya ingin kita abaikan, hakimi ataupun lupakan, sejatinya segala
tindakan kita itu pun akan menambah atau meningkatkan kesadaran kita bahwa
segala sesuatu yang kita miliki semua berasal dari Tuhan dan semuanya terasa
cukup bagi kita. Dengan cara itu kita menjalankan tanggung jawab kita sebagai
mitra Allah dalam menyembuhkan keadaan dunia.
Ingatlah dunia sedang tersakiti. Persoalan
mencari-cari soal dan bersilat kata juga menjadi tantangan kita hari-hari ini.
Entah dilakukan oleh politisi maupun orang-orang sekitar kita. Mari kita
menjadi waspada! mengatakan
"Tuhan, Tuhan" dan membaca Alkitab saja tidak cukup
untuk menyelamatkan hidup kita jika kita tak peduli pada orang lain
terlebih pada mereka yang miskin dan berbeban berat. Sungguh sayang, masih ada saja orang Kristen yang percaya Alkitab
memelopori undang-undang yang akan merampas orang miskin dari kesetaraan
pendidikan, hak memilih, perawatan kesehatan, dan kemampuan untuk merawat
anak-anak mereka. Dapatkah kita bersikap apatis?
Injil hari ini menegaskan
bahwa ada konsekuensi untuk membayar mereka yang mengabaikan orang miskin di
sekitar kita!
1 Timotius 6:18-19 mengingatkan kita untuk : berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi
dan dengan demikian mengumpulkan suatu harta sebagai dasar yang baik bagi
dirinya di waktu yang akan datang untuk mencapai hidup yang sebenarnya.
Untuk melakukannya, tak perlu
menunggu menjadi kaya raya untuk berbagi, lihatlah Presiden Jose Mujica,
bagaimanapun keadaannya, ia siap berbagi. Ia tidak memaksa orang lain untuk
melakukan yang sama persis dengannya, ia pernah berkata “Kalau saya minta orang
lain hidup seperti ini, mereka akan membunuh saya.” Tapi ia sadar, bila semua
orang mengembangkan kebiasaan hidup berlebihan, bumi yang hanya satu ini tak
akan memadai – dan akan rusak dieksploitasi tanpa henti. Karena itu gaya
hidupnya merupakan perjuangan gerilya yang panjang dengan tujuan ia dan
mudah-mudahan semua orang bisa bebas dari benda-benda. Ia sungguh menghidupkan
ethos/spiritualitas pengharapan yang berkata hidup untuk dirayakan, tapi nafsu
tamak diharamkan. Sebab ia percaya ada rasa keadilan dan kesetaraan yang harus dibuat manusia demi
kebaikan bersama.
Selamat merasa cukup dan mencapai
hidup yang kekal!