Sabtu, 26 Oktober 2019

Binasa Bila Meninggikan Diri


Minggu Biasa 19

Yeremia 14:7-10, 19-22 Mazmur 84:2-8 2 Timotius 4:6-8, 16-18 Lukas 18:9-14

Dalam sebuah sesi doa perenungan/reflektif seorang rekan Penatua bernama Paimo menulis “Tuhan kasihanilah saya, pendosa yang besar ini.” Tulisan itu kemudian diletakkan pada meja di depan altar untuk kemudian didoakan bersama-sama. Semua peserta doa pun melakukan hal yang sama setelah merenung dan berdoa pribadi. Oleh karena itu seorang rekan yang cukup jeli mengenali tulisan Pnt. Paimo tadi segera mendekat seusai sesi tersebut dan bertanya “Apa yang sedang menjadi pergumulan Sampean (Anda) pak pendosa yang besar?” Wajah Pnt. Paimo memerah padam dan ia menjadi marah. Mungkin saat mengatakan hal itu di hadapan Tuhan, dia bangga karena merendahkan dirinya, tapi saat orang lain mengatakan itu kepadanya, dia marah.

Cerita ini menjelaskan bahwa kerendahan hati diuji saat seseorang direndahkan. Sebab tak jarang ada orang rendah hati namun palsu adanya. Beraksi seperti rendah hati tapi tujuannya supaya orang lain memujinya. Kerendahan hatinya untuk diri sendiri bukan untuk Tuhan.

Seperti orang-orang Farisi yang ada di sekitar Yesus. Mereka mempersembahkan kurban-kurban mereka pada mezbah status sosial. Mereka mengerjakan aturan agama dengan teliti bukan demi memenuhi tuntutan Allah, mereka tak terlalu memusingkannya. Hal terpenting bagi mereka adalah bagaimana orang lain memandang kesalehan mereka. Apakah doa-doa, puasa, dan perpuluhan mereka memperkuat status mereka di mata sesamanya? Mereka melakukan semua itu untuk tontonan masyarakat, agar dilihat oleh manusia, di-like oleh follower-nya, di-subscribe oleh netizen. Apakah mereka melakukannya dengan sungguh dan tulus? Sesunggunya orang-orang Farisi itu tulus dan saleh. Masalahnya, apakah yang mereka tulusi?

Lihat saja apa yang dikerjakan Farisi dalam bacaan Injil kita tadi. Orang yang saleh itu berada di tempat terhormat dan berdoa mengucap syukur. Ia bersyukur kepada Allah karena ia bukan penipu, bukan orang yang tidak adil, tidak pernah berlaku serong. Sempat-sempatnya pula ia melirik pada si pemungut cukai sebab ia terutama bersyukur karena tidak tercela seperti si pemungut culai yang merampok orang miskin. Kemudian ia membeberkan semua perbuatan benarnya. Hukum menentukan puasa tahunan pada Hari Pendamaian, ia dengan sukarela menambahkan puasa setiap Senin dan Kamis. Ia memberikan perpuluhan untuk setiap pembelian dari pemilik toko. Kalau petani memberikan perpuluhan untuk produknya, ia memberikan perpuluhan sekali lagi, untuk memastikan segala ang ia gunakan itu kudus. Kalau diibaratkan, orang ini berdiri di puncak anak tangga keagamaan.

Sementara di saat bersamaan, seorang pemungut cukai yang diasingkan oleh orang-orang terhormat, dianggap sebagai perampok yang tidak memiliki hak asasi, berdiri pada bagian paling pinggir pelataran Bait Suci, ia tidak mencari tempat terhormat. Sebab bila seorang Farisi saleh tadi berdiri di puncak tangga keagamaan, maka ia baru nyaris bisa berdiri di anak tangga terbawah. Oleh sebab itu tentu ia tidak menengadahkan tangganya ke atas untuk mengucap syukur kepada Allah, melainkan memukuli dadanya, tanda bahwa ia benar-benar menyesali dosanya. Ia berseru kepada Allah dalam keterputusasaan, karena merasa terpisah oleh jurang pemisah dengan Allah. Bagi seorang pemungut cukai, panggilan pertobatan jauh dari undangan untuk tersenyum dan menyenangkan. Sebab pertobatan berarti meninggalkan pekerjaan mereka dan mulai dari titik nol. Bukan itu saja, pertobatan mengharuskan mereka membayar lima kali lipat kepada mereka yang pernah ditipunya. Sementara siapa saja yang pernah ditipunya mungkin ia pun tak mengingat ada berapa banyak. Dengan demikian maka pertobatan adalah suatu keadaan yang nyaris tak mungkin dilakukannya dengan tepat. Oleh karena itu, ia berseru memohon belas kasih Allah.

Di luar dugaan, kondisi sungsang muncul. Situasi menjadi terjungkir balikkan. Bandit masyarakat, pengkhianat bangsa, mendapat perkenanan Allah. Allah yang Mahakuasa menerima keberadaan si pemungut cukai, sebab ia memberikan kurban berupa hati yang remuk dan penuh penyesalan. Si pemungut cukai itupun pulang dengan pembenaran.

Kisah ini menjadi teguran keras bagi setiap orang yang dengan angkuh percaya akan diri sendiri dan memandang rendah orang lain. Mereka yang melaksanakan dogma agama dengan teliti dan tekun demi meninggikan diri sejatinya telah menolak Allah. Ibadah yang dilakukan terpusat pada diri sendiri mengakibatkan diri merasa pantas untuk mengejek orang lain dan tidak memberi ruang untuk mengkritik dan membenahi diri. Kesalehan-kesalehan yang dilakukan menjadi kesalehan palsu, sebab sekadar mencari pembandingan sosial.

Oleh karenanya penting bagi kita untuk melakukan kesalehan dalam beribadah kepada Tuhan dengan hati yang remuk dan penuh penyesalan. Setialah berdoa dan mengaku dosa setiap hari. Terhadap hal ini seorang muda pernah bertanya pada Pendetanya, “Apakah Pendeta juga masih mengaku dosa? Sebab bukankah semestinya Pendeta tak melakukan dosa lagi.” Sang Pendeta kemudian menjawab, semua orang harus terus berdoa dan mengaku dosa, Paus Yohanes XXIII pun pernah menyatakan bahwa setiap akan memimpin misa ia mengaku dosa. Bukan karena sombong apalagi berbohong agar terlihat menjadi teladan, namun ia melakukannya sebab ia mau dekat dengan Tuhan, Sang Cahaya Kehidupan. Supaya terlihat kekotoran yang masih ada dalam diri. Sebab dengan mendekat pada sinar maka semua akan terlihat, maka jika kita dekat pada Tuhan semua yang ada dalam diri kita akan nampak lebih jelas dan kedamaianpun tinggal tetap.

Jangan biarkan diri kita terperangkap dalam ketegangan mempertahankan ritual-ritual maupun aturan-aturan / pranata-pranata / tatanan gereja yang kaku. Yesus ingin kita terus membaharui diri, memperlengkapi diri dan sesama dengan Cinta Kasih Kristus yang memberikan kedamaian yang utuh. Ketika kita melakukan peribadahan dengan fokus pada Tuhan dan bukan pada tata caranya, maka itulah ibadah yang sejati. Ibadah yang sejati membuat kita senantiasa menemukan anugerah Tuhan dalam diri kita, menyadari anugerah-anugerah Tuhan berupa kehadiran anggota keluarga kita, mengingat anugerah-anugerah Tuhan dalam berbagai pengalaman hidup yang penuh tantangan bersama dengan berbagai orang di sekeliling kita. Hargailah keberadaan setiap anggota keluarga kita ataupun anggota gereja kita, bagaimana pun keberadaannya, apakah ia sudah sanggup hidup dengan kesalehan sejati ataupun belum. Jika memang belum, maka tugas kitalah untuk merawatnya dengan penuh kepedulian. Bukan untuk menilainya buruk, bukan pula untuk menyisihkannya atau meninggalkannya di belakang, dan bukan pula untuk meninggikan diri bahwa kita yang paling benar, namun untuk bersama-sama bertumbuh makin dekat pada Sang Cahaya Kehidupan agar setiap kita, setiap anggota keluarga menemukan keberadaan diri secara utuh sehingga terus berani membarui diri di hadapan Tuhan serta sesama.


ypp

Jumat, 18 Oktober 2019

KEGIGIHAN MENGUBAH KEADAAN (?)


Minggu Biasa XVIII
Kejadian 32:22-31 | Mazmur 121 | 2 Timotius 3:14-4:5 | Lukas 18:1-8

Akhir bulan September lalu, Indonesia diwarnai dengan berbagai unjuk rasa menuntut pembatalan UU KPK, penundaan pengesahan Revisi KUHP, percepatan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,serta berbagai tuntutan yang lainnya. Sebelum unjuk rasa, kalangan mahasiwa, akademisi dan beberapa kalangan masyarakat yang lain sudah menuntut DPR untuk meninjau kembali RUU KPK dan RKUHP. Begitu RUU KPK disahkan menjadi UU KPK, sejumlah mahasiswa dan akademisi serta praktisi hukum pun mengajukan peninjauan kembali UU KPK ke Mahkamah Konstitusi, meskipun ditolak. Bahkan, sampai saat ini tetap ada suara-suara dari masyarakat yang menuntut presiden agar mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) terkait UU KPK. Terlepas dari segala insiden atau kepentingan dan lain-lain, kita dapat melihat kegigihan rakyat Indonesia untuk memperjuangkan keadilan dan membela kepentingan publik dengan mengadu kepada para pemegang kekuasaan. Segala cara diupayakan untuk dapat membela hak masyarakat yang mengalami ketidakadilan. Rakyat tetap berjuang sekalipun banyak halangan dan hambatan menghadang.
Kegigihan seperti ini pun dapat kita lihat pada diri seorang janda dalam perumpamaan Yesus. Yesus mengatakan bahwa janda itu selalu mendatangi seorang hakim yang tidak benar untuk membela haknya. Hakim ini digambarkan sebagai seorang yang lalim, tidak takut akan Allah dan tidak menghormati orang lain. Hakim yang lalim ini selalu menolak untuk membela hak janda ini. Namun, karena ketekunan si janda, si hakim pun bersedia membela haknya supaya janda itu tidak selalu datang menggangunya. Dalam perunpamaan Yesus ini, hakim yang lalim ini diperbandingkan dengan Allah yang selalu mendengarkan keluh kesah umat-Nya dan selalu bersedia untuk membenarkan umat-Nya. Allah yang selalu membela perkarqa umat-Nya yang berseru kepada-Nya.
Namun demikian, Yesus pun mengingatkan murid-murid-Nya soal ketekunan dan iman. Pertanyaan penutup-Nya, “… jika Anak Manusia itu datang, adakah Ia mendapati iman di bumi?” mengindikasikan bahwa Anak Manusia menuntut sebuah ketekunan yang bukan soal memaksakan kehendak, namun ketekunan yang dilandasi pada iman kepada Allah. Banyak orang Kristen yang kerajinan dan ketaatannya kendur lalu malas beribadah dan tidak mau berdoa. Mereka kecewa dengan doa dan ibadah karena merasa doa mereka tidak dijawab Allah. Mereka enggan berdoa karena menurut mereka percuma, Allah tidak menjawab doa mereka. Ketekunan mereka dilandasi pada keinginan agar doa mereka segera dijawab dan keinginan mereka segera dikabulkan oleh Allah. Padahal yang dituntut Yesus dari ketekunan berdoa adalah iman yang tidak kendur.
Seringkali kita berpikir bahwa doa adalah soal permintaan kita kepada Tuhan atau sarana kita meminta kepada Tuhan yang seketika itu harus dikabulkan dijawab.  Awalnya kita berdoa dengan tekun karena menginginkan sesuatu dari Tuhan, namun begitu doa kita tidak ada jawaban kita pun langsung berubah sikap, tidak lagi berdoa secara intensif hingga akhirnya kita benar-benar berhenti berdoa. Perhatikanlah! Doa bukanlah sakadar kita berbicara dan menyampaikan keinginan kepada Tuhan, tetapi juga soal iman, yakni penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah. 
Yesus mengingatkan supaya kita "...selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu." Berdoa dengan tidak jemu-jemu artinya berdoa terus-menerus, tidak menjadi kendur dan tidak kehilangan semangat dalam hati kita. Kalau kita menyadari bahwa waktu Tuhan bukanlah waktu kita dan jalan Tuhan bukan jalan kita, maka kita akan berdoa dengan tidak jemu-jemu apa pun keadaannya. Kita berdoa kepada Tuhan dengan tidak jemu-jemu sebagai tanda bahwa kita sangat bergantung kepada-Nya dan menjadikan Dia sebagai satu-satunya Penolong. Ingat, berdoa bukan selalu berarti meminta, tetapi yang utama adalah berkomunikasi dengan Tuhan. Beroda tak jemu menandakan kita mau menjaga relasi yang baik dan sehat dengan Allah. Doa tak jemu juga menunjukkan iman dan pengharapan kepada Allah sekalipun banyak tantangan dan hambatan yang kita alami, sekalipun keadaan tidak sesuai dengan keinginan kita.
Oleh karena itu, kita perlu berhati-hati dengan tema Minggu ini, “Kegigihan Mengubah Keadaan.” Tema itu dapat dengan mudah mengaburkan makna ketekunan berdoa menjadi seperti sulap yang mengubah keadaan yang tidak kita inginkan menjadi keadaan yang kita inginkan. Itulah mengapa saya memberi tanda tanya (?) di akhir tema di atas. Kerena dalam realitasnya, seringkali yang terjadi adalah setekun dan segigih apa pun kita berdoa, keadaan tidak berubah. Rekan kita yang sakit tidak menjadi sembuh, masalah dengan istri/suami tidak kunjung selesai, atasan yang menyebalkan tidak melunak juga hatinya. Setekun dan segigih apa pun kita berdoa, keadaannya tetap sama. Lalu, apakah dengan demikian kita berhenti berdoa? Atau kita terus berdoa sampai keadaannya berubah?
Di sinilah bedanya Allah dengan hakim yang lalim. Perumpamaan Yesus tentang hakim yang lalim memang menggambarkan seorang janda yang terus mendesak sang hakim untuk membela haknya. Si hakim akhirnya membela si janda kerena dia ingin lepas dari permintaan si janda. Namun Allah tidak demikian. Ia tahu kebutuhan kita serta waktu dan cara yang tepat untuk menjawab doa kita. Allah membenarkan orang-orang pilihan-Nya karena Ia tahu apa yang dibutuhkan oleh anak-anak-Nya. Ajakan Yesus untuk berdoa tak jemu bukan berarti merengek kepada Allah sampai Allah yang jemu, lalu mengabulkan permintaan kita. Berdoa tak jemu melatih kita untuk berdisiplin dan terus begantung kepada-Nya, bukan membuat kita menjadi peminta yang merengek supaya dikabulkan doanya seperti anak kecil yang merengek minta dibelikan mainan. Doa tak jemu melatih iman dan penyerahan diri kepada Allah. Sekalipun keadaannya susah, sekalipun tantangan dan hambatan menekan kita, kita tetap tekun dalam iman dan pengharapan. Doa adalah sarana komunikasi dengan Tuhan, maka berdoa dengan tekun dan tak jemu menjaga komunikasi kita yang baik dan sehat dengan Allah. (ThN)

Jumat, 11 Oktober 2019

MEMANDANG DENGAN SEBELAH MATA

(Minggu Biasa)
2 Raj. 5 : 1 - 3, 7 - 15; Mzm. 111; 
2 Tim. 2 : 8 - 15; Luk. 17 : 11 - 19

Di bulan Oktober ini ada sebuah film yang menceritakan salah 1 karakter DC Comic, yaitu Joker. Film yang disutradarai oleh Todd Phillips ini menceritakan masa lalu seorang Joker yang ternyata adalah seorang pria yang dipandang sebelah mata, disepelekan, ditolak, dibully, dianiaya, dan memiliki sebuah penyakit psikis bernama Pseudobulvbar affect (Pba): gangguan emosi yang membuat penderita tertawa/menangis tidak pada waktunya.

Ternyata, memandang orang lain/situasi dengan sebelah mata bukan hanya terjadi di film Joker. Tetapi sudah ada di jaman Yesus. Dalam Lukas 17 menceritakan ada 10 orang kusta yang berupaya menemui Yesus. Namun di ayat 12 menuliskan, mereka berdiri agak jauh dari Yesus. Karena apa? 1) Karena di jaman itu, kusta adalah penyakit menular dan 2) pada masa itu belum ada obatnya sehingga orang-orang yang sakit kusta seringkali dijauhi, dipandang sebelah mata dan dicap sebagai orang-orang yang sakit karena dosa. 3) Yang mencari dan membutuhkan Yesus bukan hanya mereka, tapi tentu juga banyak orang lainnya. Sehingga saya membayangkan, Yesus saat itu pasti dikerubungi oleh banyak orang.

Di tengah-tengah situasi yang tidak dipedulikan orang lain bahkan sulit berjumpa Yesus, 10 orang kusta ini berteriak-teriak memanggil Yesus dengan harapan Yesus tidak sama dengan orang lain yang memandang mereka dengan sebelah mata. Dan ternyata apa yang mereka lakukan tidak sia-sia, karena Yesus memandang (memperhatikan) mereka dan menyuruh mereka pergi kepada imam-imam.

Tapi jika dibaca sekilas kata-kata Yesus ini, kok nampaknya Yesus tidak beri solusi? Apakah Ia juga memandang mereka dengan sebelah mata? Karena 1) lagi sakit tapi disuruh jalan ke imam padahal Yesus bisa langsung sembuhkan mereka, 2) para imam itu bukan di perbatasan Samaria dan Galilea, tapi di Yerusalem karena mereka bertugas di Bait Allah, 3) Yesus suruh mereka ke imam yang adalah pengajar dan pemimpin agama yang tidak bisa menyembuhkan. Seharusnya ke tabib yang bertugas untuk menyembuhkan.

Tapi 10 orang kusta ini percaya saja, jalan saja sekalipun sulit. Mengapa? Karena mereka ingin sembuh, ingin tidak dipandang sebelah mata lagi oleh orang lain dan karena track record Yesus yang tidak pernah gagal untuk menyembuhkan.

Ketika apa yang Yesus katakan untuk mereka seakan Yesus juga memandang mereka sebelah mata, ternyata hal itu ditepis dengan pemulihan (tahir -  KBBI: bersih, suci, sembuh) 10 orang kusta ini dalam perjalanan mereka.

Tetapi cerita belum selesai. Setelah 10 orang kusta itu sudah disembuhkan, ironisnya hanya 1 orang yang kembali memuliakan Allah, tersungkur di depan kaki Yesus dan mengucap syukur. Dan dia yang kembali adalah seorang Samaria. Seorang yang dipandang sebelah mata oleh orang Israel. Namun melalui kisah ini Yesus menunjukkan, justru yang dipandang sebelah mata oleh masyarakat (mantan penyakit kusta, orang Samaria) inilah yang tidak memandang sebelah mata karya Allah dan memuliakan Allah.

Saudaraku yang terkasih,
Memandang sebelah mata juga ditulis dalam bacaan pertama (2 Raja-raja 5) tentang panglima raja Aram bernama Naaman yang sakit kusta. Ia mendatangi nabi Israel, Elisa untuk disembuhkan. Namun Namaan justru disuruh pergi mandi di sungai Yordan 7 kali (ay.10). Naaman kesal karena berharap proses penyembuhan akan dilakukan dengan instan. Ia bahkan gusar karena harus mandi di sungai Yordan yang kalah baiknya dibandingkan sungai-sungai Damsyik.  Namun justru ketika perkataan Elisa diremehkan, sungai pun diremehkan, Allah justru dapat memakai siapa saja dan apa saja yang diremehkan untuk menyembuhkan Naaman.

Saudaraku yang dikasihi Tuhan,
Jika berkaca dari bacaan firman Tuhan ini, apakah kita pun masih sering memandang orang lain di sekitar kita dengan sebelah mata? Entah mungkin karena pakaian, pekerjaan, karakter, gaya, wajah, pelayanan, keadaan ekonomi, dll. Ingatlah, Yesus memandang orang lain dengan tidak menutup sebelah mata/menutup kedua mataNya. Tetapi Ia membuka mataNya, memandang mereka dan menyembuhkan mereka. Mari kita juga membuka mata kita, peka melihat keberadaan orang lain di sekitar kita dan menolong mereka dengan kebisaan kita.  Jika kita yang diremehkan, tetaplah melakukan aksimu seperti Elisa. Biar Tuhan yang mengutusmu, Ia juga memperlengkapimu. Amin
-mc-

Kamis, 03 Oktober 2019

IMAN SEHARI-HARI

Minggu Biasa 16
Habakuk 1:1-4; 2:1-4 | Mzm 37:1-9 | 2 Tim 1:1-14 | Luk 17:5-10


Ikuti instruksi saya; coba pejamkan mata, santai, dan coba bayangkan, anda berada di sebuah perjalanan kereta api dimana penumpangnya penuh sesak. Dalam kereta itu suasana begitu tenang dan menyenangkan, lalu anda mulai merasa kantuk luar biasa. Namun tiba-tiba, ada suara yang sangat keras bersamaan dengan guncangan dahsyat. Lalu entah bagaimana, anda membuka mata dan sudah berpindah di sebuah ruangan. Anda di rumah sakit! Ternyata, terjadi kecelakaan dalam kereta, dan ternyata anda satu-satunya orang yang selamat dalam gerbong itu. Buka mata anda. Menurut anda, apakah itu luar biasa?
Coba renungkan terlebih dahulu…
Ikuti instruksi saya; coba pejamkan mata, santai, dan coba bayangkan, anda berada di sebuah perjalanan kereta api dimana penumpangnya penuh sesak. Dalam kereta itu suasana begitu tenang dan menyenangkan, lalu anda mulai merasa kantuk luar biasa. Namun tiba-tiba, anda terbangun karena suara pengumuman dari pihak kereta api bahwa kereta sudah sampai pada tujuan anda. Anda segera mengambil tas, turun, dan selesailah perjalanan. Buka mata anda. Menurut anda, apakah itu luar biasa?
Lebih mudah untuk kita dibuat terkesima dengan kejadian yang luar biasa mengejutkan dan dramatis. Tidak heran, beberapa kali ajang pencarian bakat di dunia dimenangkan oleh tukang sulap. Pesulap selalu dengan banyak triknya begitu membuat para juri dan penonton berdecak kagum, bahkan mlongo. Bahkan, bermunculan teori-teori bahwa pesulap itu menggunakan kekuatan iblis untuk memuluskan aksinya. Namun, jika yang menarik selalu yang berbusana spektakuler, bagaimana dengan hidup sehari-hari yang nampak gitu-gitu aja?
Murid-murid memohon pada Yesus, "Tambahkanlah iman kami!". Bukan tanpa alasan, mereka meminta itu karena Yesus menghendaki mereka supaya tetap mengampuni orang yang bersalah kepada mereka. Gambaran kesalahan sebanyak 7 kali menyiratkan adanya kesalahan yang begitu menyakitkan. Begitu menyakitkan, namun tetap ampunilah. Di sinilah murid-murid merasa bahwa iman mereka harus ditambah, mungkin supaya tambah kuat dan mampu mengampuni. Namun, Yesus menjawab mereka, "Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu.". Yesus menggunakan analogi biji sesawi yang kecil untuk menjawab permohonan mereka. Seakan-akan Yesus menjawab, “Iman bukan besar dan kecil, bila memang kamu memiliknya, kamu bisa melakukan hal-hal di luar nalarmu”. Pertanyaannya, apa kita memilikinya? Biji sesawi, kecil, namun bisa memerintahkan pohon ara untuk mencabut dirinya sendiri dan menanamkan di dalam laut. Aneh? Iya.
Mengapa Yesus menganalogikan iman dengan biji sesawi dan bukan batu yang sangat besar? Dilansir dari laman https://www.growveg.com/guides/the-benefits-of-growing-mustard/ , biji sesawi termasuk benih yang mudah tumbuh. Info ini mungkin bisa meraba maksud Yesus mengenai iman yang diibaratkan seperti biji sesawi, bahwa iman itu bisa bertumbuh. Biji sesawi menyimbolkan sebuah pertumbuhan dalam ketekunan sedangkan batu tetaplah batu dan mati. Bukan disulap, ditanam, langsung bertumbuh dan bisa dikonsumsi. Biji sesawi itu harus melalui perjalanan pemeliharaan dan perawatan yang panjang. Tidak ada benih yang disiram di malam hari, lalu tumbuh subur di pagi hari. Inilah iman. Inilah tema kita “Iman sehari-hari”. Iman perlu dipelihara dan dirawat setiap hari.  Memang hidup kita sehari-hari berjalan begitu saja, namun karena iman kita bisa menyadari kehadiran dan karya Allah dalam kehidupan. Bukan selalu hal spektakuler, namun hal yang nampaknya bersifat rutin dan mungkin membosankan. Yesus ingin mengatakan kepada kita bahwa dengan iman (yang bertumbuh) seperti biji sesawi kita bisa melakukan hal-hal besar termasuk mengasihi siapapun yang melukai kita. Tentu, dengan syarat kita mau merawat dan memeliharanya dengan tekun dalam hidup sehari-hari. Tidak perlu dengan peristiwa-peristiwa hebat, namun dengan kesetiaan merefleksikan hidup dan melakukan pencarian pada karya Allah di dalamnya. 
Demikian nasihat Rasul Paulus pada Timotius dalam 2 Timotius 1: 14 “Peliharalah harta yang indah, yang telah dipercayakan-Nya kepada kita, oleh Roh Kudus yang diam di dalam kita.” Ketika kita menghidupi bahwa iman kita adalah anugerah Allah, marilah memelihara iman itu dengan tekun dalam kehidupan kita sehari-hari.
ftp