Minggu Biasa 19
Yeremia 14:7-10, 19-22 │ Mazmur 84:2-8 │ 2
Timotius 4:6-8, 16-18 │ Lukas 18:9-14
Dalam sebuah sesi doa
perenungan/reflektif seorang rekan Penatua bernama Paimo menulis “Tuhan
kasihanilah saya, pendosa yang besar ini.” Tulisan itu kemudian diletakkan pada
meja di depan altar untuk kemudian didoakan bersama-sama. Semua peserta doa pun
melakukan hal yang sama setelah merenung dan berdoa pribadi. Oleh karena itu seorang
rekan yang cukup jeli mengenali tulisan Pnt. Paimo tadi segera mendekat seusai
sesi tersebut dan bertanya “Apa yang sedang menjadi pergumulan Sampean (Anda) pak pendosa yang besar?”
Wajah Pnt. Paimo memerah padam dan ia menjadi marah. Mungkin saat mengatakan hal
itu di hadapan Tuhan, dia bangga karena merendahkan dirinya, tapi saat orang
lain mengatakan itu kepadanya, dia marah.
Cerita ini menjelaskan bahwa
kerendahan hati diuji saat seseorang direndahkan. Sebab tak jarang ada orang
rendah hati namun palsu adanya. Beraksi seperti rendah hati tapi tujuannya
supaya orang lain memujinya. Kerendahan hatinya untuk diri sendiri bukan untuk
Tuhan.
Seperti orang-orang Farisi yang
ada di sekitar Yesus. Mereka mempersembahkan kurban-kurban mereka pada mezbah
status sosial. Mereka mengerjakan aturan agama dengan teliti bukan demi
memenuhi tuntutan Allah, mereka tak terlalu memusingkannya. Hal terpenting bagi
mereka adalah bagaimana orang lain memandang kesalehan mereka. Apakah doa-doa,
puasa, dan perpuluhan mereka memperkuat status mereka di mata sesamanya? Mereka
melakukan semua itu untuk tontonan masyarakat, agar dilihat oleh manusia, di-like oleh follower-nya, di-subscribe
oleh netizen. Apakah mereka melakukannya dengan sungguh dan tulus? Sesunggunya
orang-orang Farisi itu tulus dan saleh. Masalahnya, apakah yang mereka tulusi?
Lihat saja apa yang dikerjakan
Farisi dalam bacaan Injil kita tadi. Orang yang saleh itu berada di tempat
terhormat dan berdoa mengucap syukur. Ia bersyukur kepada Allah karena ia bukan
penipu, bukan orang yang tidak adil, tidak pernah berlaku serong.
Sempat-sempatnya pula ia melirik pada si pemungut cukai sebab ia terutama
bersyukur karena tidak tercela seperti si pemungut culai yang merampok orang
miskin. Kemudian ia membeberkan semua perbuatan benarnya. Hukum menentukan
puasa tahunan pada Hari Pendamaian, ia dengan sukarela menambahkan puasa setiap
Senin dan Kamis. Ia memberikan perpuluhan untuk setiap pembelian dari pemilik
toko. Kalau petani memberikan perpuluhan untuk produknya, ia memberikan
perpuluhan sekali lagi, untuk memastikan segala ang ia gunakan itu kudus. Kalau
diibaratkan, orang ini berdiri di puncak anak tangga keagamaan.
Sementara di saat bersamaan,
seorang pemungut cukai yang diasingkan oleh orang-orang terhormat, dianggap
sebagai perampok yang tidak memiliki hak asasi, berdiri pada bagian paling
pinggir pelataran Bait Suci, ia tidak mencari tempat terhormat. Sebab bila
seorang Farisi saleh tadi berdiri di puncak tangga keagamaan, maka ia baru
nyaris bisa berdiri di anak tangga terbawah. Oleh sebab itu tentu ia tidak
menengadahkan tangganya ke atas untuk mengucap syukur kepada Allah, melainkan
memukuli dadanya, tanda bahwa ia benar-benar menyesali dosanya. Ia berseru
kepada Allah dalam keterputusasaan, karena merasa terpisah oleh jurang pemisah
dengan Allah. Bagi seorang pemungut cukai, panggilan pertobatan jauh dari
undangan untuk tersenyum dan menyenangkan. Sebab pertobatan berarti
meninggalkan pekerjaan mereka dan mulai dari titik nol. Bukan itu saja,
pertobatan mengharuskan mereka membayar lima kali lipat kepada mereka yang
pernah ditipunya. Sementara siapa saja yang pernah ditipunya mungkin ia pun tak
mengingat ada berapa banyak. Dengan demikian maka pertobatan adalah suatu
keadaan yang nyaris tak mungkin dilakukannya dengan tepat. Oleh karena itu, ia
berseru memohon belas kasih Allah.
Di luar dugaan, kondisi sungsang
muncul. Situasi menjadi terjungkir balikkan. Bandit masyarakat, pengkhianat
bangsa, mendapat perkenanan Allah. Allah yang Mahakuasa menerima keberadaan si
pemungut cukai, sebab ia memberikan kurban berupa hati yang remuk dan penuh
penyesalan. Si pemungut cukai itupun pulang dengan pembenaran.
Kisah ini menjadi teguran keras
bagi setiap orang yang dengan angkuh percaya akan diri sendiri dan memandang
rendah orang lain. Mereka yang melaksanakan dogma agama dengan teliti dan tekun
demi meninggikan diri sejatinya telah menolak Allah. Ibadah yang dilakukan
terpusat pada diri sendiri mengakibatkan diri merasa pantas untuk mengejek
orang lain dan tidak memberi ruang untuk mengkritik dan membenahi diri.
Kesalehan-kesalehan yang dilakukan menjadi kesalehan palsu, sebab sekadar
mencari pembandingan sosial.
Oleh karenanya penting bagi kita
untuk melakukan kesalehan dalam beribadah kepada Tuhan dengan hati yang remuk
dan penuh penyesalan. Setialah berdoa dan mengaku dosa setiap hari. Terhadap
hal ini seorang muda pernah bertanya pada Pendetanya, “Apakah Pendeta juga
masih mengaku dosa? Sebab bukankah semestinya Pendeta tak melakukan dosa lagi.”
Sang Pendeta kemudian menjawab, semua orang harus terus berdoa dan mengaku
dosa, Paus Yohanes XXIII pun pernah menyatakan bahwa setiap akan memimpin misa
ia mengaku dosa. Bukan karena sombong apalagi berbohong agar terlihat menjadi
teladan, namun ia melakukannya sebab ia mau dekat dengan Tuhan, Sang Cahaya
Kehidupan. Supaya terlihat kekotoran yang masih ada dalam diri. Sebab dengan mendekat
pada sinar maka semua akan terlihat, maka jika kita dekat pada Tuhan semua yang
ada dalam diri kita akan nampak lebih jelas dan kedamaianpun tinggal tetap.
Jangan biarkan diri kita
terperangkap dalam ketegangan mempertahankan ritual-ritual maupun aturan-aturan
/ pranata-pranata / tatanan gereja yang kaku. Yesus ingin kita terus membaharui
diri, memperlengkapi diri dan sesama dengan Cinta Kasih Kristus yang memberikan
kedamaian yang utuh. Ketika kita melakukan peribadahan dengan fokus pada Tuhan
dan bukan pada tata caranya, maka itulah ibadah yang sejati. Ibadah yang sejati
membuat kita senantiasa menemukan anugerah Tuhan dalam diri kita, menyadari
anugerah-anugerah Tuhan berupa kehadiran anggota keluarga kita, mengingat
anugerah-anugerah Tuhan dalam berbagai pengalaman hidup yang penuh tantangan
bersama dengan berbagai orang di sekeliling kita. Hargailah keberadaan setiap
anggota keluarga kita ataupun anggota gereja kita, bagaimana pun keberadaannya,
apakah ia sudah sanggup hidup dengan kesalehan sejati ataupun belum. Jika
memang belum, maka tugas kitalah untuk merawatnya dengan penuh kepedulian.
Bukan untuk menilainya buruk, bukan pula untuk menyisihkannya atau
meninggalkannya di belakang, dan bukan pula untuk meninggikan diri bahwa kita
yang paling benar, namun untuk bersama-sama bertumbuh makin dekat pada Sang
Cahaya Kehidupan agar setiap kita, setiap anggota keluarga menemukan keberadaan
diri secara utuh sehingga terus berani membarui diri di hadapan Tuhan serta
sesama.
ypp