Selasa, 28 April 2020

GEMBALA YANG BAIK


Minggu Paska IV
Mzm 23 | Yoh 10:1-10

(Tulisan dalam blog ini, ditulis dengan bahasa lisan. Jadi, siapapun yang akan membawakan dalam Pelayan Firman bisa langsung membacanya)
Shalom, jemaat terkasih di dalam Tuhan. Bagaimana kabarnya di rumah masing-masing? Apapun yang sedang kita alami, mari tetap mengucap syukur atas berkat yang Tuhan Yesus berikan kepada kita. Sungguh luar biasa kita merasakan pemeliharaan Tuhan, karena Yesuslah Tuhan dan Gembala kita.
Ya, Yesus adalah Gembala, dan kita adalah domba-dombaNya. Relasi gembala-domba inilah yang akan menjadi perenungan kita pada ibadah kali ini. Teks kita ada dalam balutan perikop Yohanes 10:1-10, yang mengisahkan bagaiman Yesus sedang mengajar murid-muridNya. Mengapa Yesus mengajar tentang hubungan Allah dan Manusia itu seperti hubungan Gembala dan domba? Kita harus memahami, bahwa relasi gembala-domba adalah relasi yang benar-benar dihayati oleh orang Yahudi pada masa Perjanjian Lama, pada masa Yesus hidup, dan terwariskan kepada kita sampai saat ini. Mazmur 23, adalah Mazmur Daud yang selalu dibacakan untuk orang-orang yang sedang berduka pada saat itu. Mazmur 23 adalah Mazmur yang menguatkan dan mengingatkan bahwa Tuhan adalah Sang Gembala Agung. Dan saya akan membuka renungan kita dengan sebuah cerita, antara Pegawai Kantor gereja dan seorang Pendeta;
Suatu hari, seorang pegawai kantor gereja, menghubungi pendeta untuk bertanya apa tema ibadah minggu depan. Kemudian pendeta menjawab “Tuhan adalah Gembalaku”. Lantas, pegawai kantor itu bertanya kembali, “itu aja, Pak?”. Pendeta itu menjawab singkat, “itu cukup”. Kemudian, ketika hari minggu tiba, pendeta itu sudah tiba di gereja, dan bersiap-siap di konsistori. Karena sedang menunggu ibadah dimulai, pendeta itu melihat dan membaca warta jemaat yang ada di atas meja. Lalu tiba-tiba, matanya tertuju pada satu bagian warta dan membuatnya terkaget. Ia membaca tema ibadah minggu tertera di warta, “Tuhan adalah Gembalaku, itu cukup!”. Dalam kekagetannya, ia sedikit kesal dengan pegawai kantor itu. Ia menggerutu dengan kinerja pegawai kantor gerejanya. Lalu ia terdiam sejenak, lalu merenung. Dalam perenungannya, ia berkata dalam hati, “tapi, tema ini benar dan tepat, karena TUHAN ADALAH GEMBALAKU, ITU CUKUP”. Jemaat yang terkasih, seringkali kita mendengar khotbah tentang Tuhan adalah Gembala, namun seringkali kita masih ribet dengan apa yang kita pikirkan. Segala kekuatiran dan ketakutan membuat kita sibuk dan tidak tenang. Bukankah memang benar, TUHAN ADALAH GEMBALAKU, ITU CUKUP?! Kalau kita tahu, Yesus yang menjadi gembala kita, adakah yang masih kurang dalam hidup kita? Ketika kita menghayati Tuhan adalah gembala kita, kita tidak akan kekurangan. Ia yang akan membaringkan kita di padang yang berumput hijau. Yesus adalah gembala yang akan menuntun kita ke air yang tenang, dan akan menyegarkan jiwa kita. Dia adalah Sang Gembala Agung yang akan menuntun kita di jalan yang benar, oleh karena namaNya. Sekalipun kita berjalan dalam lembah kekelaman, untuk apa kita takut bahaya? Dia adalah Gembala yang selalu beserta kita. Dengan gada dan tongkatNya, Ia menghibur kita. Dia yang akan selalu menuntun kita, sampai kembali ke rumahNya yang baka. Sekali lagi, TUHAN ADALAH GEMBALAKU, ITU CUKUP. TUHAN ADALAH GEMBALAKU? CUKUP? ITU CUKUP!
Jemaat yang terkasih, mungkin saat ini kita berjalan dalam lembah kekelaman. Jalan yang tidak mudah untuk kita lalui. Pandemi covid-19 menjadi sebuah tahapan hidup yang menyulitkan setiap kita. Perekonomian keluarga kita, kesulitan demi kesulitan menerpa, pekerjaan terhenti, harga barang-barang pokok terus mengalami kenaikan. Namun, sekali lagi, kita tak akan pernah kekurangan, Ia menuntun kita, Ia menyertai kita, karena, TUHAN ADALAH GEMBALAKU, ITU CUKUP!
Tuhan Yesus adalah Gembala yang Baik, itu jelas. Setelah bacaan kita selesai di ayat 10, Yesus melanjutkannya di ayat 11 Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya; Yesus memperkenalkan diri dengan formula Ἐγώ εἰμι ὁ ποιμὴν ὁ καλός (Ego eimi ho poimen ho kalos), dan ‘Ego eimi’ atau ‘aku adalah’ atau ‘akulah’, menunjukkan bahwa Ia sedang ingin memperkenalkan dirinya pada semua orang. Kata ‘baik’ di ayat 11 berasal dari kata ‘kalos’ (Yun.) yang artinya "mulia", "indah", "sempurna", "berharga", atau "mengagumkan". Bagaimana tidak baik, indah, mulia, berharga serta mengagumkan, jika kebaikan Sang Gembala itu terwujud pada pengorbananNya di atas kayu salib? Gembala mana yang mau memberikan nyawanya? Untuk itulah, Firman Tuhan hari ini mengatakan pada bapak ibu saudara dan saya, Yesus adalah Gembala Yang Baik, ITU CUKUP! Kita diajak kembali, bukan hanya mengingat bahwa Tuhan Yesus adalah Gembala Yang Baik, namun juga diingatkan untuk mempunyai spiritualitas untuk berkata “ITU CUKUP”. CUKUP karena Tuhan yang menjaga dan menyertai. CUKUP, karena di dialam Tuhan, kita tidak akan pernah kekurangan. CUKUP, karena dalam kondisi apapun, kita tetap dijaga dan dipelihara olehNya.
Satu lagi cerita, yang akan menutup perenungan Firman pada hari ini. Kisah tentang Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno. Tahun 1963, Pak Karno mendapat undangan untuk menghadiri perayaan Natal di Jakarta. Tentu, sebagai Presiden, beliau diminta untuk memberi sambutan. Tiba saatnya beliau memberi sambutan. Bisa kita bayangkan, bagaimana kobaran semangat ketika Sang Proklamator itu berbicara di depan umum. Beliau berkata, "Spanduk di depan saya tertulis, Yesus adalah Gembala yang Baik. Itu salah. Itu keliru!”. Wah, coba bayangkan, anda duduk sebagai jemaat di situ? Pasti kaget, dan lumrah jika tersinggung. Tapi, Pak Karno melanjutkan, "Yang benar begini, Sesungguhnya Yesus adalah Gembala Yang Terbaik!". Seketika, kekagetan itu berubah menjadi keriuhan umat yang berkata ‘haleluya’, ‘Puji Tuhan’, ‘Amin’. Nampaknya, justru Ir. Soekarno berhasil memaknai ‘kalos’ itu, bukan hanya baik, namun TERBAIK. Amin, bapak ibu saudara semua? AMIN. Tidak berhenti di situ, sebelum mengakhiri sambutannya, Pak Karno berkata, "Kita semua yang hadir di sini ditantang...Sudahkah kalian menjadi domba-domba terbaik-Nya?" Pertanyaan itu membuat orang-orang itu terdiam. Kalau sekarang, kita terdiam atau tidak? Saya sendiri akan kelabakan menjawab tantangan Pak Karno. Ketika kita mengaku bahwa Yesus adalah Gembala Yang Baik, sudahkah kita menjadi domba-domba yang baik? Siapa sih, domba yang baik itu? Yesus katakana dalam Yohanes 10:4 domba-domba itu mengikuti dia, karena mereka mengenal suaranya. Apakah kita mengikut Dia? Apakah kita benar-benar mendengarkan suaraNya?
Mari melanjutkan hidup kita di tengah pandemic covid-19 ini, dengan sebuah keyakinan, bahwa TUHAN ADALAH GEMBALAKU, ITU CUKUP! Sembari kita juga bertanya dalam diri, apakah kita sudah menjadi domba-dombaNya yang baik? Mari, terus mengikuti arahanNya, dan terus mendengarkan suaraNya. Tuhan memberkati. Amin.
ftp

Kamis, 23 April 2020

Hidup yang Dibarui oleh Sang Firman


Minggu Paskah III, #Ibadahdirumah

Lukas 24:13-35

Tidak semua orang menyukai hal baru. Kalau hal baru itu menarik baginya, maka mungkin akan menyenangkan, bila tidak tentu ia tak suka. Tapi virus baru yang membuat dunia mengalami pandemi mendorong orang beradaptasi dan suka tak suka mempelajari berbagai macam kebaruan. Contohnya saja yang dialami seorang rekan bernama Paimo.

Paimo kemarin menelpon dan berkata:
Zaman lama sudah berlalu, zaman baru sungguh-sungguh mulai. Kok bisa?, tanya saya.
Dengan penuh semangat Paimo menjawab: Lihatlah, dulu anak muda mengajak orang tuanya ganti hape, susahnya setengah mati. Tapi, kemarin ini orang tuaku mati-matian minta diajarin rapat online pada aku dan saudara-saudaraku.

Di tengah kondisi hari ini banyak orang memiliki kesadaran diri untuk beradaptasi dengan keadaan, dengan harapan bisa mengantisipasi beberapa kemungkinan yang akan terjadi. Ini semua baik adanya. Semoga ini bukan hanya karena heboh di media atau hanya karena diperintah untuk melakukannya atau hanya karena hal baru ini menarik.
Sebab bila demikian, ini merupakan kesadaran diri yang muncul hanya dikarenakan faktor dari luar diri kita (outside).
Bila kesadaran masih berasal dari faktor di luar diri kita saja, maka sangat mungkin kita segera bosan, berhenti, dan meninggalkannya.

Inilah yang mungkin dialami oleh para pengikut dan pendengar Yesus. Mulanya Yesus menjadi seorang baru yang menarik. Khotbahnya memukau ribuan orang sampai mereka lupa makan, belum lagi Yesus melakukan mukjizat yang menghadirkan ketakjuban, dan kebijaksanaan dalam menyampaikan jawab kepada para ahli agama dan pemimpin agama membuat Ia tak dapat dijebak oleh mereka.

Tetapi sejak di taman Getsemani, ketika Ia ditangkap tanpa perlawanan dan kemudian mati di kayu salib, lambang kutukan, apakah Yesus masih menjadi sosok yang menarik? Siapa yang tertarik pada sosok yang demikian?
Itu sebabnya percaya kepada Yesus, Sang Firman bukan perkara gampang. Wajar bukan jika Kleopas dan temannya meninggalkan Yerusalem, meninggalkan Yesus yang berjanji akan bangkit, untuk pulang ke tempat asalnya?

Akan tetapi, Yesus berbeda. Ia mengasihi bukan karena dicintai/digemari, bukan karena faktor di luar, tapi karena kasih-Nya itu berasal dari dalam diri-Nya (inside) yang ditunjukkan ke luar. Sehingga cinta-Nya kepada murid-muridNya tak padam sekalipun ketertarikan murid-murid pada-Nya berangsur lenyap.

Inilah yang membuat Ia rela kembali menyampaikan pengajaran-Nya agar Kleopas dan temannya kembali pada pemahaman yang baik. Ia bersedia tinggal untuk makan bersama agar mereka merasakan hati yang dibarui diberi semangat yang berkobar-kobar oleh kehadiran-Nya. Sehingga saat Ia meninggalkan mereka, murid-murid itu pun kemudian kembali bergerak memberitakan kabar bahwa Yesus adalah Tuhan yang Bangkit.

Kisah perjalanan ke Emaus dan kembali ke Yerusalem ini menunjukkan bahwa Yesus ingin, para murid tidak hanya mendengar dan melihat Firman dari luar, namun mengalaminya di dalam diri sehingga Firman yang terpelihara itu memberi pemahaman yang utuh, hati dengan sukacita yang berkobar, dan menggerakkan mereka untuk bersaksi.

Itu akan terjadi saat kita senantiasa mau mengarahkan diri kita pada Yesus Kristus, Sang Firman. Keterarahan diri kita pada Kristus akan menuntun kita untuk menjalani kehidupan yang baru, kehidupan dari dalam ke luar (inside-out) ketimbang dari luar ke dalam (outside-in). Suatu kehidupan yang baru, keluar dari kepentingan diri dan kepentingan kelompok sendiri untuk memasuki kehidupan untuk kepentingan bersama orang banyak.
Suatu kehidupan yang baru, yang membuat kita mematikan kehidupan lama untuk bangkit dengan di dalam Kristus, sebagaimana yang dikatakan dalam 1 Petrus 1:22
“Karena kamu telah menyucikan dirimu oleh ketaatan kepada kebenaran, sehingga kamu dapat mengamalkan kasih persaudaraan yang tulus ikhlas, hendaklah kamu bersungguh-sungguh saling mengasihi dengan segenap hatimu.”

Pembaruan yang dihadirkan Allah dalam hidup akan nampak nyatakan dari fokus yang kita pikirkan, nyata dari prioritas yang kita dahulukan. Sayangnya ada sebagian orang yang mengaku hidupnya dibarui oleh Sang Firman menampakkan gaya hidup yang tidak menarik, berat dan membosankan. Pembaruan hidup digambarkan dengan penghakiman dan batas-batas yang tajam antara kelompokku dan bukan kelompokku. Sementara pilihan hidup di dalam dosa nampak enak-enak saja. Sehingga tak jarang orang bersiasat, sementara ini baca iku Pemahaman Alkitab dulu saja tapi tetap marah dan bersikap kasar pada keluarga tetap perlu, nanti kalau sudah tua kira-kira hampir dipanggil Tuhan pulang ke rumah Bapa, nah itu saatnya hidup baru, hidup dalam kebenaran dan kesucian. Sebab sungguh sayang bukan, bila masa muda dan potensial diisi dengan hidup yang kaku dan membosankan?

Tetapi ingatlah, Yesus berbeda, Ia mengundang kita masuk ke dalam kehidupan baru yang menarik, melegakan dan bersemangat, kehidupan yang digerakkan oleh kasih dari dalam ke luar, yang menganggap hidup dalam cara hidup lama (dosa) itu terlalu mahal dan tidak menarik. Kiranya kesempatan untuk lebih banyak beraktivitas di rumah menjadi wahana terbaik untuk kita menubuhkan dan menumbuhkan kasih dalam keluarga dan orang di samping kanan kiri tempat tinggal kita. Sehingga orang akan tahu, bahwa kita murid-Nya yang telah dibarui Sang Firman dan tertarik untuk berjumpa dengan Sang Firman itu sendiri.

ypp

Jumat, 17 April 2020

DUTA DAMAI SEJAHTERA

Minggu Paska II #dirumahaja

Yohanes 20:19-31

Ada seorang peneliti yang berkata bahwa 90% hal yang membuat kita takut tidak pernah terjadi. Takut adalah perasaan yang sangat manusiawi. Semua manusia pasti pernah merasa takut. Namun, sekalipun ketakutan itu manusiawi dan wajar-wajar saja, jangan juga kita memelihara rasa takut atau tenggelam dalam rasa takut. Tidak ada yang salah dengan takut memang, hanya saja jangan sampai ketakutan itu membuat kita tidak dapat bersaksi dan menjadi berkat bagi sesama.
Kebangkitan Yesus Kristus selain membebaskan manusia dari dosa, juga membebaskan kita dari ketakutan. Berita kebangkitan yang disampaikan kepada murid-murid sesungguhnya merupakan berita pembebasan dari ketakutan. Itulah mengapa dalam penampakan diri-Nya kepada murid-murid-Nya, Yesus menenangkan mereka dengan berkata “Jangan takut!” (Mat. 28:10). Bahkan selama kehidupan-Nya di dunia, Yesus kerap kali menghibur murid-murid-Nya dengan berkata “jangan takut.” Kebangkitan Kristus juga membebaskan para murid dari ketakutan untuk keluar dari persembunyian mereka dan bersaksi di dunia.
Setelah kematian Yesus, para murid tidak berani menujukkan diri mereka di keramaian. Mereka masih ketakuan dan belum mengetahui akan kebangkitan, sehingga mereka takut pada orang-orang Yahudi. Karena itulah mereka berkumpul dengan di rumah dengan pintu dan jendela yang terkunci rapat. Sekalipun mereka tahu Yesus telah bangkit, mereka masih takut. Mereka tidak sejahtera. Pada saat itulah yesus datang menampakkan diri kepada mereka. Dalam penampakan diri-Nya ini, dua kali Yesus mengatakan “Damai sejahtera bagi kamu!” (Yoh. 20:19, 21). Yesus mau agar murid-muridNya bebas dari rasa takut dan dipenuhi damai sejahtera. Dengan demikian, para murid keluar dari persembunyian mereka, dan siap diutus untuk memberitakan kabar sukacita kebangkitan Kristus kepada dunia (Yoh. 20:21). Para murid dipulihkan dari ketakutan mereka untuk menjadi duta damai sejahtera, memberitakan damai sejahtera kebangkitan Kristus kepada dunia.
Berkali-kali Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, juga kepada kita, “jangan takut.” Melalui kebangkitan-Nya, Yesus membebaskan kita dari rasa takut, rasa takut untuk bersaksi, rasa takut untuk beriman dan berpengahrapan, serta rasa takut untuk menjalani kehidupan. Mungkin saat ini kita mengalami masalah yang memberatkan, entah itu masalah dalam pekerjaan, masalah dengan keluarga, atau masalah pribadi lain yang membuat kita takut untuk menghadapinya. Saat ini pun mungkin kita diliputi ketakutan akan kematian yang terjadi di sekeliling kita akibat Covid-19. Ingatlah bahwa Yesus yang telah mati dan bangkit itu melenyapkan ketakutan dan memberikan kita damai sejahtera agar kita tidak takut menghadapi berbagai masalah dan pencobaan yang ada dalam kehidupan kita.
Yesus yang bangkit tidak hanya mengenyahkan ketakutan dan memberikan damai sejahtera, tetapi juga mengutus kita untuk mengabarkan damai sejahtera itu kepada seluruh dunia. Ia mengembuskan Roh Kudus kepada murid-murid-Nya agar mereka berani bersaksi. Roh Kuduslah yang memampukan mereka menjadi duta-duta damai sejahtera Allah bagi dunia. Setelah Roh Kudus diberikan mereka keluar dari ketakutan mereka sehingga berani bersaksi.
Namun demikian, yang perlu kita perhatikan adalah Roh Kudus tidak membuat semuanya menjadi mudah bagi kita untuk bersaksi, melainkan Ia memampukan kita untuk menghadai setiap tantangan hidup kita. Roh Kudus juga tridak serta merta menghilangkan ketakutan kita, namun Ia membuat kita yang tadinya berfokus pada ketakutan untuk kembali berfokus kepada Allah. Roh Kudus pula yang menyadarkan kita akan keberadaan diri kita yang lemah, sehingga kita dapat terus bergantung pada perlotongan-Nya. Karena itu, mintalah kepada Allah melalui Roh Kudus untuk memberikan kebaranian bagi kita menghadapi segala masalah hidup kita sambil terus bersaksi akan Kristus yang bangkita dan memberi kehidupan bagi semesta. Amin.

Sabtu, 11 April 2020

IA TELAH BANGKIT

MINGGU PASKAH
Yeremia 31 : 1 – 6; Mazmur 118 : 1 – 2, 14 – 24;
Kisah Para Rasul 10 : 34 – 43; Matius 28 : 1 – 10

          Setelah peristiwa Jumat Agung yang membuat para pengikut Yesus shock karena Sang Guru meninggal dengan cara yang tidak terhormat. Ditambah dengan kesunyian hari pasca kematian Yesus yang membuat para pengikut merasa kalah dan ditinggalkan, ternyata situasi yang buruk tak selamanya akan terus buruk. Karena hari ini ada berita pengharapan yang melegakan, berita kebangkitan yang menyukacitakan, berita kemenangan yang membuat hati semakin percaya pada Yesus, karena Ia telah bangkit.
          Dalam bacaan Injil menceritakan bahwa berita kebangkitan Yesus justru diketahui dulu oleh para perempuan, Maria Magdalena dan Maria yang lain. Hal ini memberi makna baru bagi kehidupan para pengikut Tuhan saat itu, bahwa kebangkitan Yesus bukan hanya untuk para murid, bukan hanya untuk para laki-laki (patriarki) tetapi untuk semua, termasuk juga untuk perempuan. Seperti juga yang dituliskan dalam Kisah Para Rasul 10 : 34 “…bahwa Allah tidak membedakan orang.”
          Kebangkitan Yesus yang didengar oleh para perempuan pastinya mengubah suasana hati mereka saat itu. Tetapi jika kita menjadi para perempuan itu, langsung percayakah kita? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Itu sebabnya, para perempuan itu pergi dengan segera dari kubur itu dengan takut sekaligus dengan sukacita. Sukacita karena Yesus, Guru mereka Mahakuat bahkan dari maut sekalipun. Sukacita karena hidup mereka tidak lagi hampa, sebab Yesus hidup. Sukacita karena kuasa Yesus tanpa batas, karena Dia bukan hanya bisa membangkitkan orang mati, tetapi Ia juga bangkit.
Tetapi di sisi lain, para perempuan ini juga pergi dengan takut. Bukan hanya takut karena baru bertemu malaikat, tetapi juga takut jika berita yang mereka dengarkan hanya hoax belaka dan memberi harapan palsu bagi hati Maria dan perempuan lainnya. Mereka juga takut jika mereka nantinya juga akan membawa kabar bohong bagi para murid lainnya dan membuat mereka semakin bersedih dan kehilanga harapan.
Di tengah-tengah dua rasa, kebangkitan Yesus memberi jaminan untuk para perempuan itu. Karena tiba-tiba Yesus berjumpa dengan mereka. Perjumpaan dengan Yesus yang telah bangkit ini semakin meneguhkan mereka. Bahwa berita yang mereka dengarkan itu bukan berita palsu tetapi benar karena Yesus benar telah bangkit.  Itu sebabnya, setelah berjumpa dengan Yesus, ketakutan mereka berubah menjadi sukacita yang penuh dan membuat mereka pergi ke Galilea tanpa rasa takut, seperti perjalanan mereka sebelumnya.
Di momen Paskah di rumah ini, mungkin kita sedang merasa sedih, khawatir, gelisah karena kita masih beribadah di rumah. Karena virus Corona masih merajalela, ODP (orang dalam pengawasan) maupun PDP (pasien dalam pengawasan) di Indonesia semakin meningkat dan angka kematian karena virus ini juga masih bertambah. Dalam momen Paskah ini, katakanlah pada diri kita sendiri untuk tidak sedih, khawatir dan gelisah. Tetapi ubahlah rasa itu menjadi sukacita seperti para Maria yang bersukacita karena Yesus sudah bangkit.
Berita ini bukan hanya untuk para Maria di dalam bacaan, tetapi juga untuk kita yang membaca. Baik kita yang saat ini di rumah, kita yang sedang berjuang di rumah sakit, kita yang WFH (work from home) atau kita yang diPHK. Mungkin kita akan bingung, mengapa harus bersukacita di tengah kehidupan kita yang sedang meragu dan tak ingin bersukacita? Jawabannya adalah karena Tuhan sudah bangkit untuk kita semua dan kebangkitanNya memberi harapan dan keselamatan bagi kita. Jika sekarang kita sulit bersukacita, mungkin karena kita terlalu fokus pada keadaan kita sekarang. Kita perlu mengingat kembali pengalaman kita berjumpa dengan Tuhan dalam perjalanan hidup kita.
Pengalaman perjumpaan dengan Tuhanlah yang membuat para Maria menjadi sangat bersukacita dan melanjutkan perjalanan Galilea. Maka, ingatlah kembali pengalaman perjumpaan dengan Tuhan dalam hidup kita dan lanjutkanlah perjalanan hidup kita dengan sukacita. Selamat Paskah. Tuhan sudah bangkit. Haleluya! Amin. 
-MC-

Jumat, 03 April 2020

MEMILIKI PERSEPSI YESUS


MINGGU PALMARUM
Mzm 118:1-2, 19-29 | Matius 21:1-11
Panic buying, atau pembelian yang panik. Itulah fenomena yang ada di beberapa kota di Indonesia. Orang-orang bergegas membeli beras, mie instan, telur, gula, hand sanitizer, dan barang-barang lainnya. Untuk apa semua dilakukan? Persiapan menghadapi masa yang sulit persebaran virus corona, kalau-kalau semua bahan menjadi langka, dan kita punya stock yang cukup di rumah. Apakah anda salah satunya?
Teks Minggu ini, Minggu Palmarum, bercerita tentang Yesus yang memasuki Yerusalem. Memang benar Ia dielu-elukan. Tapi, apa tujuan Yesus? Satu-satunya alasan Yesus masuk ke Yerusalem adalah menghadapi masa sengsara, bahkan kematianNya sendiri! Kalau memang demikian, bukankah Yesus seharusnya bersiap untuk menghadapi itu? Masyarakat zaman sekarang saja panic buying, masakan Yesus tidak bersiap? Tapi coba kita lihat persiapan Yesus. Salah satu persiapan Yesus adalah perintahNya untuk para murid, mengambilkan seekor keledai betina yang tertambat atau terkekang tali untuk ditunggangiNya masuk Yerusalem. Lho? Yesus ini mau menghadapi peristiwa besar lho, sengsara, didera, bahkan mati di atas kayu salib? Inikah persiapan Yesus? Yesus ini main-main apa bercanda?
Hal ini demikian mengherankan kita. Apa yang ingin disampaikan Yesus? Pesan apa yang hendak dibawa Yesus dengan seekor keledai betina?
Memang, kedatangan Yesus adalah penggenapan dalam Zakaria 9:9. Tapi, apakah ini sekedar penggenapan nubuat? Saya yakin tidak. Apakah Yesus sedang melakukan upaya pencitraan di hadapan orang Yahudi yang menanti Mesias? Yesus tidak sepicik itu. Marilah kita berfokus pada pesan yang ingin disampaikan Yesus. Kita diajak untuk mendalami persepsi yang dimiliki Yesus. Salah satu makna persepsi menurut KBBI adalah tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu. Sehingga, persepsi adalah sebuah respon atau tanggapan akan sesuatu yang dilihat dan dialami. Untuk itulah, Yesus melemparkan simbol, dan berharap kita berpersepsi sebagaimana yang Yesus harapkan. 
Saya mau tanya: adakah yang kangen gereja kita? Kalau kangen, warna liturgi kita sekarang apa? Hijau, kuning, kelabu, merah muda dan biru? Bukan, warnanya ungu. Prapaskah dan Adven selalu ungu. Kenapa harus ungu, karena ungu menandakan penderitaan, kemuliaan Rajawi, pengharapan, pertobatan, keprihatinan. Jadi, peribadatan di gereja kita itu penuh dengan simbol, dan simbol itu selalu merujuk pada sebuah makna yang mendalam. Nah, saat ini, simbol yang akan kita renungkan adalah simbol Keledai yang ditunggangi.
Kembali pada keledai. Bukankah Yesus itu Mesias yang dinantikan? Bukankah Ia Sang Putra Daud, Raja yang digdaya tiada tanding? Mengapa Ia tidak menggunakan kuda? Bukankah Kuda itu melambangkan kejayaan, kekuatan, kecepatan?
Keledai seringkali menjadi simbol kedunguan. Kenapa, karena ia mau dituntun ke sana kemari oleh penuntunnya dan tidak pernah memberontak. Sebentar, itu kedunguan atau ketaatan? Itu ketaatan. Kalau boleh saya bahasakan ulang, keledai bukan simbol kedunguan, tapi ketaatan penuh pada sang penuntun. Ketika keledai itu diajak masuk ke Yerusalem, masuk ke jalan penderitaan, Yesus sedang mengirimkan pesan dan bertanya, “akankah engkau mau mengikut Aku masuk dalam penderitaan seperti keledai ini?” Pertanyaan untuk kita, apakah kita mau taat mengikut Dia masuk ke dalam penderitaanNya? Kalau kita gegabah menjawab MAU, tunggu dulu. Petrus, orang yang gegabah berkata bahwa ia akan mengikut Yesus dan setia, ia malah menjadi sosok yang menyangkal Yesus sebanyak 3x sebelum ayam berkokok! Dari hal ini, simbol pertama yang ingin Yesus sampaikan adalah, apakah kita mau taat? BENAR-BENAR TAAT?! Bukan hal yang mudah. TAAT adalah hal yang sangat sulit.
Kalau kita mau taat, apa yang harus kita miliki? Yang harus kita miliki adalah sikap kerendahan hati. Lho, kok kerendahan hati? Begini. Disebut rendah, karena ada tinggi. Berarti, kalau kita menyadari atau merasa bahwa kita adalah pribadi yang rendah hati, bisa jadi di satu titik, kita bisa berubah menjadi pribadi yang tinggi hati. Mungkin tidak? Sangat mungkin. Sehingga, apa yang harus kita lakukan untuk tidak menjadi pribadi yang tinggi hati? Kita harus tetap sadar dan waspada, supaya kita tetap menjadi pribadi yang rendah hati. Kita harus selalu sadar bahwa kita sangat mungkin terjatuh dalam sikap tinggi hati. Oleh sebab itu, jika kita bisa tetap ada dalam area rendah itu, secara otomatis kita akan menjadi umat yang taat? Mengapa? Karena kita tidak akan punya kesempatan untuk meninggikan diri kita di hadapan yang empunya otoritas tertinggi, yakni Tuhan. DAN, ITULAH KETAATAN. Untuk alasan itulah, Yesus menggunakan keledai untuk masuk ke Yerusalem. Di sini, kita diajak mengolah persepsi kita akan simbol keledai dan memunculkan pertanyaan; apakah kita mau taat dan rendah hati kepadanya meski dalam segala derita?
Menjadi pribadi yang taat dan rendah hati di tengah badai, bukanlah hal mudah. Namun, ketika kita berdoa supaya Tuhan menganugerahkan kepada kita ketaatan dan kerendahan hati, ia akan memberikan peristiwa dan pengalaman untuk kita mengasa ketaatan dan kerendahan hati itu. Jika kita adalah burung rajawali yang menginginkan sayap yang kokoh, Tuhan akan berikan badai untuk kita belajar. Jadi, jika kita meminta ketaatan dan kerendahan hati, Tuhan akan berikan kita ujian untuk bisa murid-murid yang taat dan rendah hati.
Simbol keledai yang lain yang umum pada zaman itu adalah hewan pembawa barang. Membawa barang, tentu membawa kebahagiaan, karena ia akan membawa makanan dan barang-barang lain yang ditunggu. Orang-orang pada zaman itu memiliki persepsi bahwa kedatangan keledai adalah datangnya kebahagiaan, sehingga mereka merasa bahagia ketika mereka melihat datangnya keledai dari kejauhan. Uniknya, Keledai lah yang dipilih Yesus untuk ditunggangiNya menuju Yerusalem. Di posisi ini, Yesus adalah ’sesuatu’ yang dibawa oleh keledai itu. Jika demikian, keledai itu kuat sekali menyimbolkan sosok yang membawa kebahagiaan bagi masyarakat pada zaman itu. Jika Yesus adalah ‘sesuatu’ yang dibawa oleh keledai itu, seakan-akan mau menyampaikan bahwa Yesuslah yang ditunggu-tunggu, Yesuslah yang akan akan menghadirkan SHALOM bagi mereka.
Jika keledai itu ditunggu oleh orang-orang karena ia dipercaya akan selalu membawa sesuatu yg enak atau baik, bagaimana dengan kita? Pada situasi persebaran pandemic covid-19, kita semakin minim bertatap muka. Seluruh kegiatan gereja yang berbentuk perjumpaan fisik ditiadakan. Kita semua berkomunikasi melalui media sosial, salah satunya WA. Harus kita akui, banyak sekali pesan-pesan media sosial yang dibagikan, bukannya melegakan hati namun justru membuat kepanikan atau ketakutan. Belajar dari keledai itu, cerita atau berita apa yang bagikan melalui WA atau media sosial kita? Apakan berita itu membebani, atau melegakan? Sharing is caring. Berbagi itu peduli. Peduli itu mengasihi. Berarti, ketika kita mau berbagi, pertanyaan kita sebelum membagi adalah, apakah ini melahirkan sukacita atau ketakutan? Jangan sampai, maksud kita baik, namun itu menjadi kesesakan dalam persepsi sesama kita.
Masuk ke Yerusalem adalah gerbang untuk Yesus memasuki masa berat dalam hidupNya di dunia. Kita pun sebagai manusia, mengalami derita yang sungguh dahsyat. Sesuatu yang awalnya nampak biasa saja, kini menjadi sesuatu yang menakutkan. Covid-19 bukanlah hal yang main-main. Dan pertanyaan yang layak kita renungkan adalah; Di tengah situasi yang penuh derita ini, apakah kita tetap mau taat dan tetap rendah hati kepadaNya, dan setia membawa sukacita di tengah derita?
Selamat Merayakan Minggu Palmarum. Hosiana.
ftp