Jumat, 22 Juli 2022

TUHAN, AJARLAH KAMI BERDOA

Minggu Biasa XVII

Kejadian 18:20-32 | Mazmur 138 | Kolose 2:6-15 | Lukas 11:1-13


Mengapa gereja-gereja protestan di Indonesia, termasuk GKI, menempatkan Doa Bapa Kami setelah Doa Syafaat? Karena salah kaprah. Sebelum abad ke-6, Doa Bapa Kami belum masuk dalam liturgi. Barulah kemudian Gereja Roma merasa perlu menambahkan sebuah landasan yang memperkuat makna Perjamuan Kudus. Berdasarkan pemaknaan atas 1 Korintus 11 tentang makan yang secukupnya untuk mengingat yang lain, maka Doa Bapa Kami ditempatkan sebagai penutup Doa Ekaristi dan sebelum umat melakukan komuni atau makan roti dan minum anggur. Kalimat “berilah kami makanan yang secukupnya” serta “apunilah kami seperti kamu mengampuni” dijadikan landasan untuk memaknai bahwa makan yang tidak secukupnya itu berpangkal dari hidup yang tidak berdamai dengan sesama. Karena itulah, Doa Bapa Kami juga selalu diikuti dengan salam damai. Doa Bapa Kami kemudian menjadi doa yang selalu ada dalam liturgi Perjamuan Kudus, sebagai penutup Doa Ekaristi yang panjang dan untuk mengawali komuni. Masalahnya, dalam gereja-gereja protestan di Indonesia, Perjamuan Kudus hanya dirayakan empat kali dalam setahun, sehingga tidak selalu ada Doa Ekristi dalam liturgi. Namun, karena kekurangpahaman soal formula liturgi, doa panjang dalam Perjamuan Kudus disejajarkan dengan doa syafaat, yang biasanya sangat panjang. Maka jadilah kebiasaan menempatkan Doa Bapa Kami sebagai penutup doa syafaat. Bahkan, Doa Bapa Kami dijadikan “doa sempurna” untuk mengakhiri doa syafaat. Saat ini, kita berupaya untuk mengembalikan posisi Doa Bapa Kami sebagai landasan Perjamuan Kudus, dan mengidentikkannya dengan Perjamuan Kudus.

Dalam kesaksian Injil Lukas (yang versinya lebih pendek), Doa Bapa Kami diajarkan Yesus kepada murid-murid-Nya ketika ada seorang murid-Nya yang meminta agar Yesus mengajarkan mereka berdoa sebagaimana Yohanes mengajarkan murid-muridnya berdoa. Menurut beberapa penafsir, para rabi Yahudi punya kebiasaan mengajarkan doa-doa sederhana kepada murid-murid mereka sebagai hapalan yang kemudian menjadi seperti mantra yang dirapal. Yohanes pembaptis juga mengajarkan rumuasan doa sederhana kepada murid-muridnya. Karena itulah, murid Yesus juga meminta diajarkan doa untuk dapat mereka hapalkan dan bisa mereka gunakan, seperti murid-murid Yohanes. Namun, Yesus sendiri tidak berniat mengajarkan doa untuk dihapal atau dirapal dan menjadi formalitas. Sayangnya, sekarang doa yang Yesus ajarkan menjadi hapalan, bahkan dikultuskan menjadi “doa sempurna”. Yesus mengajarkan Doa Bapa Kami sebagai sebagai contoh rumusan doa yang dapat digunakan murid-murid, yang fokusnya adalah soal relasi dengan Allah.

Kedekatan relasi dengan Allah dapat kita lihat melalui apa yang dilakukan oleh Abraham dalam bacaan pertama Minggu ini. Abraham berani untuk tawar-menawar dengan Tuhan. Abraham tidak menerima begitu saja keputusan Tuhan untuk memusnakan Sodom dan Gomora. Ia menawar agar Sodom dan Gomora tidak dimusnahkan jika ada orang-orang benar di sana, dari 50 sampai 10 orang benar. Dari tindakan Abraham, kita melihat bahwa doa menjadi media bagi manusia untuk mempertanyakan Allah. Apakah keputusan Allah bisa dipertanyakan? Allah memang mahakuasa, tetapi Ia bukan hakim yang kaku dan dan dingin. Ia mau mendengarkan umat-Nya. Karena itu dalam Alkitab kita sering membaca mengenai tokoh-tokoh yang tawar-menawar, mempertanyakan Allah, dan berkeluh kesah. Semuanya itu tidak salah, asal tidak dilakukan dengan niat menghujat. Mempertanyakan keputusan Allah dapat terjadi jika relasi manusia dekat dengan Allah.

Ketika relasi kita dekat dengan Allah, doa bukan lagi menjadi formalitas dan hapalan atau menjadi alat untuk sekadar meminta sesuatu kepada Tuhan. Relasi dekat dengan Allah itu dilandasi pada ketaatan dan kejujuran di hadapan Allah. Yesus tidak berhenti dengan mengajarkan rumusan doa, tetapi juga mengajarkan soal makna doa itu, yakni seperti relasi bapak dan anak. Seorang bapak tahu apa yang dibutuhkan anaknya. Karena itu ia tidak akan memberikan yang buruk kepada anaknya. Namun, seorang anak juga perlu taat dan menerima jawaban bapaknya. Seorang anak percaya bahwa yang diberikan bapaknya adalah yang terbaik. Demikian juga Allah. Ia tahu kebutuhan umat-Nya, dan memberikan yang terbaik bagi umat-Nya. Karena itu, kita sebagai anak-anak Allah juga perlu memiliki sikap iman untuk percaya bahwa apa yang diperbuat Allah adalah yang terbaik. Memang kita bisa berkeluh kesah, mempertanyakan Allah, bahkan tawar-menawar dengan Allah, tetapi itu semua dalam iman yang selalu percaya bahwa apa yang diperbuat Allah itu baik adanya.  Dengan demikian, doa bukan lagi soal meminta, apalagi formalitas, melainkan sebuah kedekatan relasi, ketaatan, dan kepercayaan kepada Allah.

Yesus juga mengajarkan bahawa doa bukan sekadar diucapkan, melainkan diusahakan. Di dalam doa, ada ketulusan dan ketaatan. Ketaatan itu nyata juga dalam tindakan kita yang menghidupi apa yang kita doakan. Perumapamaan Yesus tentang tetangga yang meninta roti ke rumah sahabatnya untuk diberikan kepada sahabatnya yang datang ke rumahnya tidak hanya menunjukkan permintaan yang dikabulkan, tetapi juga soal mengusahakan apa yang didoakan. Orang yang menerima tamu di rumahnya mengusahakan dengan berbagai upaya agar dia bisa memberikan keramahtamahan yang layak kepada sehabatnya yang bertamu, sekalipun itu sudah tengah malam.

Doa yang kita ucapkan juga perlu kita usahakan. Jika kita berdoa untuk rekan yang sakit, kita juga perlu memperhatikan mereka, menjenguk dan menghibur mereka. Jika kita berdoa untuk korban bencana, kita juga mengusahakan bantuan bagi mereka, baik secara langsung di lapangan maupun dengan menyalurkan kebutuhan pasca-bencana. Jika kita berdoa untuk bangsa negara, kita juga berkontribusi untuk kemajuan negara. Jika kita berdoa untuk pelayanan gereja, kita pun ikut terlibat dalam pelayanan gereja. Jika kita berdoa untuk perdamaian dunia, kita pun hidup berdamai dengan semua orang yang kita jumpai. Jika kita berdoa untuk pelestarian lingkungan, kita juga mengusahakan kelestarian lingkungan dengan bijak mengelola sampah, hemat energi, dan berbagai cara lain. Doa bukan soal meminta, apalagi sebagai formalitas belaka. Doa sejatinya adalah soal kedekatan relasi dan ketataan kepada Allah. Jika kita dekat dan taat, hidup kita pun mencerminkan apa yang kita doakan. Ketaatan kita ketika berkata “jadilah kehendak-Mu” di dalam doa adalah dengan mengusahakan agar kehendak Allah dinyatakan dalam kehidupan di dunia. Ketika kita berkata “datanglah kerajaa-Mu”, maka kita pun bertanggung jawab untuk menghadirkan Kerajaan Allah itu kini dan di sini. Berdoa bukan hanya menutup mata dan melipat tangan, tetapi juga membuka mata dan mengulurkan tangan. Membuka mata untuk melihat sekitar kita, dan mengulurkan tangan untuk mengushakan kebaikan bagi sekitar kita. Tuhan menyertai kita. Amin. (thn)

Kamis, 14 Juli 2022

Belajar Mendengar-Nya sebelum Melayani-Nya

Minggu Biasa

17 Juli 2022

Lukas 10:38-42 

Seorang anak kecil yang sedang asyik menonton TV, tiba-tiba mendengar sebuah suara yang tergesa-gesa yang datang dari dapur.

“Nak, belikan kecap 2 sachet, telur setengah kilo, sama gula seprapat. Uangnya dia atas kulkas. Cepet, keburu masakannya gosong..”, seru seorang perempuan yang sedang memasak sembari mengelap keringatnya.

“YYAAAAAA!!!”, sahut bocah itu kesal.

Naas, sesampainya di warung, ia blank. Ia lupa semua hal yang harus ia beli. Sekian.

Umat terkasih, cerita itu nampaknya banyak dialami oleh banyak dari kita. Paling tidak, saya mengalaminya. Tak lain, karena tidak mendengarkan dengan baik, pesan tidak diterima dengan baik, maka eksekusi berantakan.

Pada ibadah kali ini, kita akan merenungkan sebuah tema, Belajar Mendengar-Nya sebelum MelayaniNya. Seperti kisah anak kecil yang blank tadi, kita akan belajar bagaimana mendengar suara Allah, agar kita tidak blank dalam kehidupan.

Teks Injil yang kita baca kali ini, bercerita tentang Yesus yang sedang singgah ke rumah Maria dan Marta. Kisah Maria dan Marta, adalah kisah dalam Injil yang dengan cepat akan mengajak pembaca untuk menyayangi Maria dan tidak suka pada Marta. Namun, saat ini kita akan melihat bagaimana Maria yang sedari awal menemani Yesus dan mendengarNya, sebagai perenungan kita. Apa atau bagaimana sikap Maria? Kita perhatikan, bukan kaca mata kita, namun kaca mata Yesus. Yesus berkata di ayat 41-42 Tetapi Tuhan menjawabnya: "Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya.“ Mengapa Yesus begitu menyanjung Maria? Apa yang sebenarnya dilakukan Maria? Mari kita renungkan bersama-sama

Lukas 10:39 Perempuan itu mempunyai seorang saudara yang bernama Maria. Maria ini duduk dekat kaki Tuhan… Ketika Yesus datang ke rumahnya, Maria langsung saja duduk di situ menemani Yesus. Secara spesifik, Injil Lukas menulis bahwa Maria ini ‘duduk dekat kaki Tuhan’. Tidak sampai di situ, NIV menerjemahkan bagian ini dengan ‘sat at the Lord’s feet’, juga KJV sat at Jesus' feet.

Umat terkasih, saya akan mengucapkan sesuatu, dan sila ibu bapak saudara sekalian meresponnya; Tempatkan Tuhan sebagai yang terutama dalam hidup kita. Bagaimana respon ibu bapak sekalian? Saya rasa semua setuju dengan kalimat ini. Namun, bukankah ini sikap yang kurang ajar? Iya, kurang ajar. ‘menempatkan’, itu dilakukan oleh sosok yang memiliki otoritas lebih tinggi ketimbang siapa yang ‘ditempatkan’. Kalau kita ‘menempatkan’ Tuhan, berarti kita merasa punya otoritas yang lebih tinggi. Lihatlah Maria! Ia menempatkan diri. Ia ambil posisi, karena ia tahu ia siapa. Ia duduk dekat kaki Tuhan. Ia mendengar dengan sikap hormat, karena ia tahu ia duduk di hadapan Sang Pencipta. Jadi, bukan bagaimana kita ‘menempatkan’ Tuhan, namun ‘menempatkan diri’ di hadapan Tuhan. Ini merupakan sikap yang begitu hormat kepada Yesus. Nampaknya, kita perlu memperhatikan ungkapan-ungkapan yang nampak begitu kristiani, namun salah kaprah. Maksud hati mengagungkan Tuhan, namun malah mengangungkan diri sendiri. 

Sikap hormat ini akan memengaruhi, bagaimana kita menerima sebuah pesan yang kita dengar. Tentu kita sepakat, bahwa hormat Maria kepada Yesus bukan karena ia ketakutan, namun hatinya dipenuhi dengan kasih yang haru. Bayangkan seperti sepasang kekasih yang berbicara dengan nada yang sangat lirih di sebuah kedai kopi. Bahkan barista yang mencoba kepo pun tak akan sanggup mendengar apa yang mereka percakapkan. Mengapa mereka bisa saling mendengar? Karena mereka benar-benar menaruh hati saat mendengarkan pasangan mereka sedang berbicara.  Bukan hanya kepada pasangan, saya mendengar alm. Nenek saya bercerita dengan menaruh hormat dan bersemangat. Sehingga detail wajah, cerita, ekspresi dan aksinya, menancap di hati saya. Saya mengingatnya, dan menghayati semua yang dikatakan beliau begitu berharga. Ya, bagaimana kita menghormati siapa yang sedang berbicara. Apakah kita menempatkan diri sebagai pribadi yang hormat kepada Yesus seperti Maria?

Bukan hanya ‘duduk dekat kaki Yesus’ yang bis akita renungkan, namun bagaimana Maria ‘mendengar Yesus’. Kata ‘mendengar’ adalah ‘listening’ dalam Alkitab terjemahan KJV. Ada perbedaan antara hear dan listen meskipun secara harafiah artinya sama-sama ‘mendengar’. Namun, ada perbedaan mendasar, dan itulah yang menjadi sikap Maria kepada perkataan Yesus. Kata ‘hear’ berarti mendengar sesuatu dan lalu begitu saja. Misalnya saja kita sedang duduk di ruang tamu, lalu suara penjual bakso terdengar. Ya, lalu begitu saja. Intinya, ‘hear’ itu tanpa perhatian. Beda dengan ‘listening’. ‘listening’ adalah mendengar dengan sengaja, juga penuh perhatian. Nah, Maria, ia me-’listening’ kepada Yesus. Pada karakter alfabet China, kata ‘mendengar’ memiliki banyak aspek, yakni mata, hati, pikiran, telinga. Mendengar berarti memiliki kesatuan antara hati, telinga, pikiran, juga mata. Itulah mendengar. Maria mendengarkan tiap perkataan Yesus dengan penuh perhatian dan kesadaran.

Umat terkasih, apakah kita mendengar tiap perkataan Tuhan dengan benar? Itu menjadi pertanyaan sederhana yang bisa kita pertanyakan. Apakah setiap kita mendengarkan Firman Tuhan pada ibadah, kita dengan sepenuh hati mendengar-Nya? Dalam tradisi GKI, seseorang yang memberitakan Firman sudah jarang disebut sebagai ‘pengkhotbah’, namun ‘pelayan Firman’. Ini merupakan kesadaran bahwa ia tidak sedang berorasi tentang sesuatu, namun ia sadar bahwa ia adalah mitra Kristus dalam memberitakan Injil. Apakah pemberitaan Injil ini masih memiliki tempat spesial di hati kita? Dewasa ini, banyak orang-orang Kristen yang hanya mau mendengar Firman bila Pelayan Firman tersebut lucu dan menarik. Bah, macam mana pula. Ini mau cari Firman atau cari hiburan?! Ini menjadi perenungan kita bersama. Apakah kita ada telinga, hati. Pikiran, seluruh diri untuk mendengar suara Allah?

Mendengarkan Tuhan dengan baik, akan membuat kita tahu apa yang harus kita lakukan. Jangan sampai, kita mengalami salah paham akan maksud Tuhan, melakukan sepenuh hati, tapi tidak pas. Biarlah kita bisa mendengar Kristus dengan sebaik-baiknya, agar pelayanan kitab oleh semakin berdampak dan berkenan di hadapan-Nya. Tuhan memberkati. Amin

Kamis, 07 Juli 2022

KASIH ITU SEDERHANA

 Minggu Biasa XV

Ulangan 30:9-14 | Mazmur 25:1-10 | Kolose 1:1-14 | Lukas 10:25-37


Di Perth, Australia, ada sebuah toserba murah yang benama Good Sammy. Toserba ini menjual berbagi macam produk, mulai dari pakaian, perabotan rumah tangga dan lain-lain, yang semuanya didapatkan dari sumbangan masyarakat. Good Sammy menerima barang bekas atau pakaian layak pakai dari masyarakat, kemudian disortir untuk kemudian dijual dengan harga murah. Hasil penjualan barang-barang itu digunakan untuk membantu orang-orang dengan disabilitas. Selain itu, Good Sammy juga dikola oleh komunitas disabilitas, dan memberi pekerjaan kepada orang-orang dengan disabilitas. Good Sammy sendiri adalah singkatan dari Good Samaritan, yang dalam Bahasa Indonesia artinya Orang Samaria yang Murah Hati. Apa yang dilakukan oleh Good Sammy adalah perhatian kepada orang-orang yang sering kali terluput dari perhatian masyarakat, menolong orang-orang yang diabaikan oleh masyarakat, yakni orang-orang dengan disabilitas, sebagaimana yang dilakukan Orang Samaria kepada orang yang dirampok di jalan, yang diabaikan oleh Imam dan Orang Lewi.

Kisah Orang Samaria yang Murah Hati ini adalah kisah yang dikatakan Yesus ketika seorang ahli Taurat bertanya, “siapakah sesamaku manusia?” Setelah menceritakan kisah tentang Orang Samaria ini, Yesus berkata, “pergi dan perbuatlah demikian.” Apa yang diperbuat Orang Samaria dalam kisah itu? Ia “melihat” orang yang dirampok dan ditinggalkan setengah mati di jalan, sedangkan dua orang sebelumnya, Imam dan Orang Lewi, “tidak melihat” orang itu. Sebenarnya kedua orang pertama ini melihatnya, tetapi mereka mengabaikannya. Mereka tidak melihatnya sebagai sesama, tetapi sebagai beban dan ancaman. Orang Samaria bukan hanya melihat orang yang dirampok itu, melainkan juga melihatnya sebagai sesama.

Orang Samaria itu juga tidak hanya melihat orang yang dirampok itu sebagai sesama, tetapi juga mendekat dan menawarkan bantuan. Dengan mendekat, sebenarnya Orang Samaria ini sedang menempatkan dirinya pada posisi dan situasi yang rentan, karena bisa saja itu merupakan jebakan yang dapat membuatnya terancam bahaya juga. Dengan membuat dirinya rentan, ia sebenarnya sedang berbela rasa dengan keadaan orang yang dirampok itu. Di lain pihak, kedua orang lainnya menghindar dari orang yang dirampok ini. Imam dan Orang Lewi menghindar karena mereka takut menjadi rentan dan tidak mau merasakan apa yang dirasakan oleh orang yang dirampok itu. Selain ini, Orang Samaria ini juga berbela rasa atau berbelas kasih dengan orang yang dirampok itu. Ia membalut luka-lukanya, menaikkannya ke keledai, membawamya ke penginapan, serta memastikan orang ini dirawat sampai pulih. Belas kasih atau bela rasa Orang Samaria ini dinyatakan melalui tindakannya.

Jadi ketiga hal itulah yang diperbuat Orang Samaria itu, melihat, mendekat, dan berbelas kasih. Tiga hal yang pasti Yesus lakukan dalam kondisi seperti itu. Yang menarik, Yesus melekatkan perbuatan itu pada Orang Samaria, orang yang tidak dianggap oleh orang Yahudi. Yesus mau menunjukkan bahwa orang yang tidak dianggap, diabaikan, bahkan disingkirkan dari masyarakat itu bisa peduli dan mengasihi orang lain. Sementara itu, orang-orang yang dipandang terhormat, para pemimpin agama, justru mengabaikan orang yang membutuhkan pertolongan dan belas kasihan. Ini juga sindiran bagi orang-orang Yahudi yang suka mengabaikan dan tidak menganggap keberasaan orang lain, khususnya orang Samaria. Ini terlihat ketika ahli Taurat ini menjawab pertanyaan Yesus tentang siapakah sesama bagi orang yang dirampok ini. Ia tidak mampu (atau tidak mau) menyebut “orang Samaria”, hanya “Orang yang telah menujukkan belas kasih.” Dan memang benar, orang Samaria itu menunjukkan belas kasihan. Dengan kisah ini, Yesus mau menujukkan bahwa melalui orang yang tidak dinggap ini, Allah menyatakan kasih-Nya, kepada orang yang juga tidak dianggap dan diabaikan.

Jika kembali melihat Good Sammy, konsep inilah yang dapat saya bayangkan. Melalui komunitas orang-orang yang sering diabaikan, kasih dan kepedulian dinyatakan demi kepentingan orang-orang yang diabaikan. Melalui kisah Orang Samaria ini juga, kita belajar untuk lebih peka dengan sekitar kita. Untuk tidak mengabaikan mereka yang membutuhkan pertolongan kita. Mungkin kita seringkali mengabaikan tetangga kita, yang tidak kita anggap penting, karena hanya sekadar lewat saja. Mungkin kita mengabaikan pedagang kaki lima di depan komplek karena tidak mau berurusan dengannya. Mungkin kita mengabaikan satpam komplek karena merasa mereka hanya karyawan yang digaji dengan iuran kita. Mungkin, kita juga mengabaikan kakek yang sering duduk di pojok belakang ketika kebaktian Minggu karena tampangnya yang lusuh. Mungkin juga kita mengabaikan anak-anak di rumah karena kita menganggap mereka tidak tahu apa-apa, juga di gereja karena mereka dianggap berisik dan mengganggu jalannya ibadah. Mungkin kita mengabaikan orang-orang dengan disabilitas karena kita tidak tahu dan tidak mau tahu harus berbuat apa, sehingga kebutuhan mereka tidak terpenuhi dan akhirnya tersingkir dari komunitas. Melalui kisah Orang Samaria, kita ditegur untuk membuka mata dan hati kita, untuk lebih peka dengan sekitar kita, untuk memperhatikan sesama dan kebutuhan mereka.

Kita juga diingatkan melalui kisah ini bahwa Allah menyatakan kasih-Nya melalui orang-orang yang terbaikan. Melalui tukang bubur yang selalu menyapa setiap pagi kita lewat. Melalui pengemis yang mengembalikan dompet yang hilang. Melalui supir gereja yang selalu setia dengan sukacita mengantar para pelayan gereja dan umat yang beribadah. Melalui anak-anak yang selalu membawa keceriaan dengan tingkah mereka. Melalui orang-orang dengan disabilitas yang mau berbagi dengan orang lain, mengusahakan yang terbaik dalam segala keterbatasan mereka. Dari sinilah kita belajar untuk semakin peduli dan memperhatikan orang-orang yang terabaikan. Dari mereka yang terbaikan dan sering luput dari pandangan, kita justru belajar, bahkan ditampar, untuk mau melihat sekitar kita, mendekat kepada mereka yang terlupakan, serta menunjukkan belas kasihan kepada siapa pun yang kita jumpai dalam keseharian. (thn)

Jumat, 01 Juli 2022

MENJADI DUTA KRISTUS BAGI DUNIA

 Minggu Biasa XIV

Yesaya 66:10-14 | Mazmur 66:1-9 | Galatia 6:7-16 | Lukas 10:1-11, 16-20


“Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah kepada Tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu” (Luk. 10:2). Kalimat Yesus itu sering kali disalahartikan untuk melakukan kristenisasi. Dunia ini adalah ladang pekabaran Injil, ada banyak orang yang belum mengenal Kristus, tapi penginjil sedikit. Karena itu perlu ditambah penginjil-penginjil lagi untuk menginjili orang yang banyak itu. Namun, jika kita melihat konteks masa Yesus, yang dimaksud berbeda. Yesus diutus untuk berkarya di kalangan orang Yahudi. Pada masa itu, orang-orang Yahudi di Palestina berada di bawah penjajahan Romawi. Banyak orang yang miskin, lapar, sakit, dan menderita akibat penjajahan itu. Namun, para pemimpin agama Yahudi yang seharusnya melayani mereka, malah mencari aman. Mereka sibuk mendekati penguasa dan melupakan umat yang menderita. Banyak orang miskin dan sakit yang telantar karena tidak dilayani. Karena itulah Yesus kemudian meanggil para murid untuk membantu-Nya melayani orang yang banyak itu. Ia mengutus 70 murid untuk melayani mereka. Ke-70 orang murid ini diutus menjadi duta-duta Kristus, artinya mereka menjadi wakil Kristus untuk diutus melayani orang-orang yang menderita.

Dari pengutusan 70 murid itu, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan dalam menjalani peran sebagai duta Kristus. Pertama, para murid itu diutus berdua-berdua. Mengapa tidak sendiri-sendiri? Bisa saja mereka bekerja sendiri, mungkin akan lebih efisien. Namun, Yesus mau menunjukkan bahwa kita perlu rekan untuk saling menopang dan menguatkan jika menghadapi pergumulan. Pendeta tidak bisa melayani sendiri. Maka, perlu ada penatua, badan pelayanan, dan aktivis yang juga turut melayani bersama. Blog ini juga dibuat sebagai bentuk para pelayan yang berjalan bersama. Kita bisa saling membantu dalam mempersiapkan khotbah. 

Kedua, Yesus hanya mengutus 70 orang. Jumlah itu memang terlihat banyak jika dibandingkan dengan 12 murid-Nya yang utama. Namun, itu jumlah yang sedikit jika dibandingkan dengan seluruh umat Israel pada masa itu. Yesus tidak mengutus 700 atau 7000 orang, tetapi hanya 70 orang. Namun, dengan 70 orang itu, berita Kerajaan Allah sampai kepada banyak orang. Belajar dari pengutusan 70 orang itu, kita tidak perlu berkecil hati apabila anggota jemaat kita tidak banyak, atau kekurangan SDM dalam pelayanan, atau jika kita lemah secara finansial. Yesus hanya mengutus 70 murid, dan melalui merekalah, karya Kerajaan Allah disebarkan. Mungkin mereka juga hadir dalam peristiwa Pentakosta, dan melalui mereka juga karya Kristus diteruskan sampai sekarang. Saat ini, penerus 70 orang itu bisa membuat rumah sakit, sekolah, panti asuhan atau panti wreda, penampungan bagi pengungsi, dan membagi-bagikan makanan kepada yang miskin.

Ketiga, ke-70 murid itu dilarang membawa bekal, uang, atau alas kaki. Mengapa demikian? Bukanlah merekan harus menjalani tantangan dalam pelayanan mereka? Yesus mau agar mereka belajar untuk mengandalkan Allah dan saling bergantung pada rekan seperjalanan. Yesus mengajarkan mereka untuk tidak bergantung pada materi, tetapi sepenuhnya pada penyertaan Tuhan, dan penyertaan Tuhan itu didapat dari rekan seperjalanan mereka. Karena itu, jika saat ini kita kekurangan materi, seharusnya itu bukan menjadi masalah besar. Yang menjadi masalah jika kita kelebihan materi, lalu kita bergantung pada materi. Mungkin kita bisa terjebak pada kemelakatan sehingga kita merasa nyaman dan mulai malas untuk melayani.

Keempat, “tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit.” Seperti yang dijelaskan di awal tadi, ada banyak orang yang perlu dilayani. Para murid ini diutus untuk masuk ke ladang-ladang pelayanan yang ada itu. Ini juga menunjukkan bahwa ada banyak ladang pelayanan, dan kita semua dipanggil untuk melayani. Banyak orang Kristen berpikir bahwa ketika ia ikut ibadah di gereja setiap minggu, berdoa, mendengar Firman, memberi persembahan, itu cukup. Kita dipanggil menjadi duta Kristus bagi dunia, mengisi ladang-ladang pelayanan, di gereja dan masyarakat, bukan hanya untuk diri sendiri. Menjadi duta Kristus artinya bersedia diutus untuk berkarya dalam seluruh aspek hidup, ladang kehidupan kita, untuk menyatakan Kerajaan Allah. Ibadah yang sejati justru dalam hidup sehari-hari.

Terakhir, Yesus mengutus 70 murid itu “seperti anak domba ke tengah-tengah serigala.” Artinya, tugas ke-70 orang ini tidak mudah, penuh dengan ancaman dan bahaya. Mereka akan menghadapi banyak pengumulan, mereka mungkin akan ditolak, bahkan oleh orang yang mereka layani. Status mereka sebagai murid Yesus pun akan menarik perhatian para penguasa yang terganggu dengan kehadiran Yesus, sehingga mereka berisiko dipersekusi. Belum lagi, dengan segala kekurangan dan keterbatasan, mereka harus tetap berkomitmen menjadi duta Kristus. Saudara, menjadi murid Kristus dan duta-Nya bagi dunia tidaklah mudah. Duta Kristus di tengah dunia adalah seperti anak domba di tengah serigala. Minggu lalu kita telah belajar juga bahwa mengikut Kristus berati harus bersedia menghadapi segala ketidaknyamanan dengan komitmen dan pengharpan. Minggu ini kita diingatkan kembali untuk tidak mencari kenyamanan, karena menjadi duta Kristus berarti rela menghadapi semua pergumulan dan masalah, sambil tetap percaya dan berpengharapan kepada Kristus yang selalu menyertai, menopang, dan menguatkan kita. (thn)