Jumat, 31 Desember 2021

Yesus, Allah yang Menghiraukan

1 Januari 2022


Wahyu 21:1-8 dan Matius 25:31-46


Tak terasa kita sudah melewati Natal 2021 dan kita sudah memasuki tahun baru 2022. Bagaimana perasaan Saudari/a saat ini?

Apakah ada yang membuat resolusi di tahun ini? Apa resolusinya?

Mungkin akan ada yang menjawab resolusi tahun ini saya mau menambah perhatian untuk keluarga dengan memiliki waktu khusus yang rutin bersama keluarga. Mungkin juga ada yang menjawab bahwa di masa yang berat ini sulit berkomitmen apalagi melakukan hal-hal baru yang kreatif dan inovatif.

Bagi yang merasa sulit, mari menoleh sejenak pada keadaan sulit di masa lalu khususnya di sekitar Perang Dunia II (PD II). Pada masa PD II jelas keadaannya sulit. Menariknya, dalam situasi sulit itu lahir kreasi dan inovasi baru seperti lahirnya teknologi bom atom-nuklir, radar, antibiotik-penisilin, bedah plastik, pendeteksi cuaca, microwave, dan cikal bakal komputer. Oleh sebab itu agaknya kita mesti mengoreksi diri bila merasa semua serba sulit dan menghambat.

Saya mengajak demikian karena bacaan kedua kita, Wahyu 21:1-6, khususnya ayat ke-5, menyebut bahwa Tuhan kita Yesus Kristus, sebagai Sang Alfa dan Omega akan menjadikan segala sesuatu baru. Kata baru yang digunakan di sini bukan baru – neos, yang berarti ada yang lama lalu digantikan dengan yang baru (sepatu baru, rumah baru, mall baru, virus baru). Tapi kainos, yang berarti sama sekali baru, belum pernah ada yang seperti itu sebelumnya. Ayat ini memberi pengharapan!

Sebagai Sang Awal dan Sang Akhir, Kristus adalah sumber dari segala sesuatu berasal dan tujuan dari segala sesuatu akan mengarah yang tentu mampu menghadirkan yang sama sekali baru.

Kapan itu terjadi? Nanti! Suatu saat. Lalu sekarang bagaimana?

Marilah kita melanjutkan perhatian ke ayat 7. Setelah menyebutkan tentang siapa dan apa yang akan dilakukan Tuhan, penilis Wahyu berbicara tentang “barangsiapa menang…” Bicara soal kemenangan, maka kita tahu memang tidak semua orang menang. Siapa? Orang yang bisa menang adalah orang-orang yang mau bertanding! Dengan demikian, pahamilah bahwa penulis Wahyu ingin pengikut Kristus adalah orang-orang yang siap bertanding, melakukan perjuangan menghadapi berbagai macam tantangan dan bahkan para lawan. Orang Kristen semestinya adalah pejuang hidup yang tangguh ketika harus menghadapi godaan, pencobaan, dan penganiayaan dari penentang-penentang Allah dalam hidup sesehari.

Oleh karena itu, wahai segenap murid Kristus bersiaplah untuk berjuang. Miliki daya juang dan daya tahan dalam melakukan kebenaran. Bertahanlah saat ada godaan untuk tidak lagi jadi anak Tuhan yang jujur. Berjuanglah ketika penderitaan datang meski ada orang-orang jahat yang ingin menjegal kita. Nyatakan bahwa kita ini adalah anak-anak Tuhan dengan kasih. Buktikanlah bahwa kasih Tuhan itu melembutkan kita namun tidak membuat kita lembek. Sebagaimana Kristus dengan kekuatan kasih-Nya tahan menderita, taat sampai mati, tuk menebus dosa kita.

Bila kita sendiri yang berjuang memang mungkin kita tak mampu. Tapi sungguh rasakanlah kuasa Tuhan dalam dirimu. Jangan biarkan dirimu jadi orang-orang penakut, orang-orang yang tidak percaya padahal sudah tahu, orang-orang keji, orang-orang pembunuh, orang-orang sundal, tukang-tukang sihir, penyembah-penyembah berhala dan pendusta, yang akan mendapat bagian di dalam lautan yang menyala-nyala oleh api dan belerang. Biarlah kuasa Kristus menggerakkanmu melakukan semua yang baik dan semua yang benar dalam hidup keseharianmu kepada mereka yang lapar, haus, orang asing, yang membutuhkan pakaian, yang sakit dan yang dipenjara. Sebagaimana yang diminta oleh Yesus sendiri dalam Matius 25:35-36 (TB) “Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan;

ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku.”

Lakukan semuanya sampai semua aktivitas baik itu menjadi sebuah kebudayaan dari diri maupun lingkungan, sampai tak menyadari bahwa kita telah melayani Kristus Sang Raja.

Sadarilah bahwa kita melakukan yang baik dan benar itu bukan supaya kita bisa menjumpai dan diberkati Allah, tapi karena Yesus – Allah yang menghiraukan ciptaan-Nya SUDAH mendatangi/ menjumpai dan selalu bersama dengan kita! Amin.

ypp

Kamis, 30 Desember 2021

Kasih Karunia Yang Selalu Baru

Minggu, 2 Januari 2022

Minggu Kedua Sesudah Natal


Tahun 2021 telah kita lalui bersama-sama. Setidaknya, pandemi covid-19 masih mendominasi torehan warna di atas kanvas lukisan tahun lalu. Dinamika naik turun, baik Varian Delta yang meledak di pertengahan tahun, atau berita Varian Omicron yang merangsek ke negeri ini di akhir tahun lalu. Bukan hanya itu, mungkin ada di antara kita yang harus basah pipinya, karena kerabat atau keluarga kita sendiri ada yang terpapar, bahkan berpulang. Selain itu, gejolak alam silih berganti mewarnai tahun 2021. Namun selain itu, tentu banyak hal juga yang membuat kita berbahagia. Kelulusan, naik pangkat, promosi, kelahiran, pernikahan, ulang tahun, atau apapun hal lain yang membuat kita tersenyum hingga tertawa. Pada akhirnya, bukankah kembali pada kita, hendak kita beri makna apa tahun kemarin?

Bacaan Injil pada Minggu ini merupakan lanjutan dari bacaan pada Ibadah Natal tanggal 25 Desember 2021 yang lalu, yakni Yohanes 1:10-18. Injil Yohanes dalam permulaan tulisannya, memaparkan identitas keilahian Yesus yang tersaji dalam penjelasan akan doktrin Inkarnasi. Sang Firman yang menjadi manusia (lih. Yoh 1:14) menjadi sebuah penegasan ilahi bahwa Yang Maha Tak Terbatas, merengkuh manusia ketika Ia menjadi yang terbatas dalam diri Yesus. Peristiwa Natal menjadi sebuah peringatan bahwa Allah sudi merapuhkan diri dalam daging (baca: tubuh). Tentu, hal itu merupakan kasih karunia yang tercurah atas kasih Allah kepada segenap ciptaan.

Bukan hanya itu saja, secara spesifik penulis Injil Yohanes menuliskannya di ayat 16; Karena dari kepenuhan-Nya kita semua telah menerima kasih karunia demi kasih karunia;. Peristiwa Inkarnasi ternyata memiliki makna bahwa karya Allah tidak berhenti pada momen kelahiran, namun juga memuncak pada peristiwa salib, bahkan dalam pengharapan akan kedatangan-Nya yang kedua. Berarti, ‘kasih karunia demi kasih karunia’ menegaskan, bahwa penyertaan dan karya Allah itu berlangsung secara terus menerus dalam kehidupan semesta. Ada sebuah keberlangsungan ‘kasih karunia’ yang tidak pernah berhenti dalam hidup ini. Belajar dari itu, kita bisa memetik makna bahwa segala hal yang terselenggara di bawah kolong langit, adalah karya Allah yang menjadi ‘kasih karunia’ yang tiada hentinya (providentia Dei).

Dalam kehidupan kita, peristiwa silih berganti. Senang-susah, sehat-sakit, mendung-hujan, badai-angin sepoi-sepoi, bergantian mewarnai seluruh sendi kehidupan. Secara khusus, marilah kita melihat kehidupan kita. Begitu rupa permasalahan silih berganti. Ada yang menguras air mata, tapia da juga yang membuat senyum dan tawa tak bisa dibendung. Namun, ‘kasih karunia demi kasih karunia’ mengajarkan kita bahwa itu semua adalah cara Allah menyertai dan memelihara kita yang begitu dikasihi-Nya. Pertanyaannya, apakah kita berani memaknai semua peristiwa sebagai pemeliharaan Allah? Kita terbiasa menganggap sesuatu sebagai anugerah jika hal itu mebuat kita gembira. Padahal, tidak ada manusia yang sepenuhnya gembira. Firman Tuhan dalam ibadah Minggu ini menantang kita untuk berani memaknai semua peristiwa kehidupan kita sebagai  cara Allah memelihara.

Seorang neurolog Austria sekaligus penyintas holocaust, Victor Frankl, pernah menulis kalimat dalam bukunya ‘Man Search for Meaning’, kira-kira begini; "Everything can be taken from a man but one thing: the last of human freedoms - to choose one's attitude in any given set of circumstances, to choose one's own way." Menurut Frankl, kita punya kemerdekaan untuk menentukan sikap atas apapun yang melanda kehidupan kita. Sikap ini bukan untuk membebaskan dari segala emosi yang bisa singgah kapan saja, akan tetapi sebuah kesadaran bahwa Allah yang berperkara dalam setiap kehidupan kita, sebagaimana yang tertulis dalam Yohanes 1:16. Sebenarnya, bukan hanya perkara yang menyedihkan, termasuk yang mebahagiakan. Potensi untuk lupa akan Tuhan sebagai penyelenggara akan pudar oleh euphoria dalam pesta dan segala perayaannya. Jika setiap kita memiliki kesadaran ini, meski ada kesedihan dan kebahagiaan datang silih berganti, kita tidak akan lepas kendali.

Tahun 2022 sudah kita jalani dua hari. Praktis, masih ada 364 hari untuk kita jalani. Adakah di antara kita yang bisa menebak apa yang terjadi sepanjang tahun ini? Saya kira kita akan sepakat bahwa esok pun kita tak tahu, apalagi lusa, minggu depan, dan seterusnya. Keterbatasan kita sebagai manusia bisa merayu kita untuk menjadi lesu dan penuh kuatir dalam menjalani hidup ini. Namun, justru keterbatasan kita itulah yang semestinya mengembalikan kita pada kesadaran bahwa Allah berkarya dalam segala sesuatu. Ia yang menjamin seluruh kehidupan kita.

Inkarnasi Yesus adalah peristiwa dimana Allah secara ekstrem terjun bebas dalam kerapuhan manusia. Yohanes 1:14 mencatat, Firman itu telah menjadi manusia. Dalam bahasa aslinya, kata firman berasal dari ‘logos’, sedangkan manusia berasal dari ‘sarx’ yang berarti harafiah ‘daging’. Kita tahu, bahwa daging adalah simbol kerapuhan dan keterbatasan dalam kehidupan orang Yahudi (bdk. Matius 26:41). Namun, kesengajaan Allah yang menjadi daging ini bisa kita baca maknai bahwa Yesus ingin menunjukkan, bahwa dalam keterbatasan-Nya sebagai manusia, Ia tetap berkarya dan taat pada kehendak Allah. Natal mebuat kita tidak boleh menyerah akan kerapuhan kita. Natal memberi kita kepercayaan diri bahwa kita bisa menjalani kehidupan dengan optimis, bahwa semua yang akan terjadi adalah kasih karunia Allah sendiri. Yesus menjadi semacam ‘manual book’ untuk kita tetap percaya pada rencana Allah. Jadi, apapun yang akan kita temui dalam peziarahan kita di tahun 2022, kita akan tegar menghadapinya, karena semua adalah kasih karunia yang selalu baru, karena Allah yang menjamin dan memelihara kehidupan kita. Selamat menjalani tahun ini.

ftp