Yehezkiel 34:11-16; 20-24 │ Matius 25:31-46
Sri Sultan Hamengkubuwono IX dikenang sebagai Raja yang pernah ‘menyebabkan’ seorang wanita pedagang beras pingsan! Hal ini disaksikan langsung oleh SK Trimurti, istri dari Sayuti Melik, pengetik naskah proklamasi. Dalam buku Takhta untuk Rakyat, ia menceritakan bagaimana dirinya mengalami langsung sikap ringan tangan Sultan. Kejadiannya pada tahun 1946 saat ia dalam perjalanan dari Jl. Malioboro menuju rumahnya di Jl. Pakuningratan (utara Tugu Yogyakarta). Ia penasaran ketika melihat kerumunan yang ada. Ternyata ada seorang wanita pingsan. Awalnya, wanita itu memberhentikan jip untuk menumpang ke pasar Kranggan. Setelah sampai, wanita itu meminta sopir mobil itu untuk menurunkan semua dagangannya, lalu ia bersiap membayar jasa. Namun sopir itu menolak dengan halus pemberian tersebut. Dengan emosi, wanita itu mengatakan apakah uangnya kurang. Namun sopir itu segera berlalu menuju arah selatan. Kemudian datanglah seorang polisi menghampiri wanita itu dan bertanya, ”Apakah mbakyu tahu, siapa sopir tadi?” Wanita itu menjawab, ”Sopir ya sopir. Habis perkara! Saya tidak perlu tahu namanya. Memang sopir tadi agak aneh.” Lalu polisi itu menimpali, ”Kalau mbakyu belum tahu, akan saya kasih tahu. Sopir tadi adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX!” Mendengar itu, pingsanlah wanita tadi. Sultan memang gemar menyetir sendiri dan senang memberi tumpangan. Dia senang bisa membantu masyarakat.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah contoh menarik dari
seorang raja yang membaur dengan masyarakat sederhana untuk mengetahui
keseharian mereka dan membantu mereka yang membutuhkan pertolongan. Terhadap
Raja yang demikian, masyarakat mungkin gagal paham. Begitu pula kita terhadap Kristus.
KRISTUS adalah RAJA, namun Ia adalah Raja yang menggembala. Ia Raja yang tidak duduk
diam di istana yang megah menantikan pelayanan ataupun upeti, Ia lebih gemar menjadi
Raja yang merawat ciptaan-Nya dengan turun melayani, memberi, bahkan
mengurbankan diri. Oleh sebab itu ketika Ia melakukan pemilahan atas
kambing-domba gembalaan-Nya, Ia pun memilih mereka yang telah melayani, memberi
dan siap mengurbankan diri bagi mereka yang terlupakan-tersingkir, bukan mereka
yang sibuk mendapatkan ketenaran serta berbagai keuntungan bagi diri dan
kelompoknya sendiri.
Jika demikian apakah salah bila kita melayani Kristus Sang
Raja dengan memberikan persembahan rutin, persepuluhan, menjadi pemandu pujian
atau menjadi ketua pengurus badan pelayanan? Tentu semua itu tidak salah. Namun
bagi Sang Raja, persembahan tak hanya berupa rangkaian ritual peribadahan di
gedung ibadah. Sang Raja menantikan kita mengerjakan ritus kepedulian di
sepanjang hari dalam hidup kita. Sebagaimana dikatakan-Nya dalam Matius 25:35-36: “Sebab ketika Aku lapar, kamu
memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang
asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku
pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu
mengunjungi Aku.”
Saat ini memang kita belum berjumpa muka dengan muka dengan
Sang Raja, namun Ia berkata saat kamu berjumpa dan melakukan sesuatu untuk
salah seorang dari saudaraku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya
untuk aku. Sementara saat kamu tidak melakukan apa-apa untuk salah seorang dari
yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku. (bdk. Mat.25:40
dan 45)
Dengan demikian, maka saat ini adalah saat yang paling tepat
bagi kita untuk menjadi penggembala-penggembala bagi orang-orang disekitar
kita. Begitu banyak orang disekitar kita saat ini terdampak pandemi. Begitu
banyak orang dan lingkungan alam disekitar kita yang terdampak oleh
kebijakan-kebijakan yang menguntungkan pihak tertentu dan mengorbankan
kehidupan rakyat kecil serta lingkungan alam.
Sejauh mana kita sudah peduli pada konteks kita saat ini?
Sudah seberapa besar perhatian dan anggaran yang kita siapkan untuk memberikan
bantuan?
Mungkin ada yang berkata: “Hidupku sendiri pun sedang
terdampak! Masak masih harus membantu?” Mungkin juga ada imam – pendeta – penatua
– pengurus yang membiarkan dombanya terkatung-katung bahkan hilang. Ketika
ditanya mengapa dibiarkan, mungkin saja pembiaran dilakukan sebab para pemimpin
pernah dikecewakan dan dibohongi sebelumnya oleh domba-dombanya. Sangat
disayangkan kepedulian harus sirna karena kecurigaan dan kekecewaan terlampau
mengungkung. Akhirnya atas nama menjaga dana umat untuk kepentingan bersama,
bantuan tak diberikan.
Hari ini kita patut mengingat apa yang Allah katakan melalui
Yehezkiel dalam Yehezkiel 34:11-16; 20-24. Di saat imam-imam tak mengerjakan
bagiannya dan mengabaikan domba gembalaan-Nya, Allah sendiri akan
menggembalakan. Ia akan menggembalakan secara adil, membalut yang terluka,
mencari yang hilang, melindungi yang kuat dan benar. Bukankah kita pun juga
terus merasakan penggembalaan Allah hingga saat ini? Bila ya, nikmatilah
penggembalaan-Nya, agar kita dapat merasakan bahwa penggembalaan Allah juga
memiliki daya yang menghadirkan pengharapan serta daya untuk membagikan
pengharapan. Mereka yang dipulihkan Allah semestinya juga terus rindu
memulihkan yang ada di sekitarnya.
Wajar bila kita menjadi bingung dengan gaya penggembalaan
Allah kita. Sebab sangat mungkin kita terwarnai oleh semangat individualisme.
Semangat yang membuat kita merasa harus berjuang sendiri. Bila ada kesalahan
maka harus menanggung sendiri. Bila mencapai kesuksesan maka kita berhak
merasakannya sendiri. Akhirnya kita bingung melihat undangan Allah untuk
menangung sukacita bersama, menanggung kesusahan bersama, untuk berjuang
bersama-sama. Kita pingsan melihat pemimpin seperi Sri Sultan Hamengkubuwono IX
yang mau membantu rakyatnya.
Mari akhiri kebingungan ini, mari lampaui pandemi ini, mari
lampaui luka bathin kita bersama-sama dengan Kristus Sang Raja yang menggembala
serta bersama saudara-saudara yang paling rentan terdampak pandemi dan
ketidakadilan masa kini. Marilah menjadi manusia Indonesia yang memperbanyak
kisah-kisah kepedulian seperti yang dilakukan Sri Sultan Hamengkubuwono IX
dahulu. Sehingga tak perlu banyak orang dan
alam yang pingsan saat kepedulian dan keadilan terjadi sebab keduanya menjadi
budaya luhur yang hidup/dihidupi. Amin.
ypp