Kamis, 19 November 2020

RAJA YANG MENGGEMBALAKAN

 Yehezkiel 34:11-16; 20-24 │ Matius 25:31-46

Sri Sultan Hamengkubuwono IX dikenang sebagai Raja yang pernah ‘menyebabkan’ seorang wanita pedagang beras pingsan! Hal ini disaksikan langsung oleh SK Trimurti, istri dari Sayuti Melik, pengetik naskah proklamasi. Dalam buku Takhta untuk Rakyat, ia menceritakan bagaimana dirinya mengalami langsung sikap ringan tangan Sultan. Kejadiannya pada tahun 1946 saat ia dalam perjalanan dari Jl. Malioboro menuju rumahnya di Jl. Pakuningratan (utara Tugu Yogyakarta). Ia penasaran ketika melihat kerumunan yang ada. Ternyata ada seorang wanita pingsan. Awalnya, wanita itu memberhentikan jip untuk menumpang ke pasar Kranggan. Setelah sampai, wanita itu meminta sopir mobil itu untuk menurunkan semua dagangannya, lalu ia bersiap membayar jasa. Namun sopir itu menolak dengan halus pemberian tersebut. Dengan emosi, wanita itu mengatakan apakah uangnya kurang. Namun sopir itu segera berlalu menuju arah selatan. Kemudian datanglah seorang polisi menghampiri wanita itu dan bertanya, ”Apakah mbakyu tahu, siapa sopir tadi?” Wanita itu menjawab, ”Sopir ya sopir. Habis perkara! Saya tidak perlu tahu namanya. Memang sopir tadi agak aneh.” Lalu polisi itu menimpali, ”Kalau mbakyu belum tahu, akan saya kasih tahu. Sopir tadi adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX!” Mendengar itu, pingsanlah wanita tadi. Sultan memang gemar menyetir sendiri dan senang memberi tumpangan. Dia senang bisa membantu masyarakat.

 

Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah contoh menarik dari seorang raja yang membaur dengan masyarakat sederhana untuk mengetahui keseharian mereka dan membantu mereka yang membutuhkan pertolongan. Terhadap Raja yang demikian, masyarakat mungkin gagal paham. Begitu pula kita terhadap Kristus. KRISTUS adalah RAJA, namun Ia adalah Raja yang menggembala. Ia Raja yang tidak duduk diam di istana yang megah menantikan pelayanan ataupun upeti, Ia lebih gemar menjadi Raja yang merawat ciptaan-Nya dengan turun melayani, memberi, bahkan mengurbankan diri. Oleh sebab itu ketika Ia melakukan pemilahan atas kambing-domba gembalaan-Nya, Ia pun memilih mereka yang telah melayani, memberi dan siap mengurbankan diri bagi mereka yang terlupakan-tersingkir, bukan mereka yang sibuk mendapatkan ketenaran serta berbagai keuntungan bagi diri dan kelompoknya sendiri.

 

Jika demikian apakah salah bila kita melayani Kristus Sang Raja dengan memberikan persembahan rutin, persepuluhan, menjadi pemandu pujian atau menjadi ketua pengurus badan pelayanan? Tentu semua itu tidak salah. Namun bagi Sang Raja, persembahan tak hanya berupa rangkaian ritual peribadahan di gedung ibadah. Sang Raja menantikan kita mengerjakan ritus kepedulian di sepanjang hari dalam hidup kita. Sebagaimana dikatakan-Nya dalam Matius 25:35-36: “Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku.”

 

Saat ini memang kita belum berjumpa muka dengan muka dengan Sang Raja, namun Ia berkata saat kamu berjumpa dan melakukan sesuatu untuk salah seorang dari saudaraku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk aku. Sementara saat kamu tidak melakukan apa-apa untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku. (bdk. Mat.25:40 dan 45)

 

Dengan demikian, maka saat ini adalah saat yang paling tepat bagi kita untuk menjadi penggembala-penggembala bagi orang-orang disekitar kita. Begitu banyak orang disekitar kita saat ini terdampak pandemi. Begitu banyak orang dan lingkungan alam disekitar kita yang terdampak oleh kebijakan-kebijakan yang menguntungkan pihak tertentu dan mengorbankan kehidupan rakyat kecil serta lingkungan alam.

 

Sejauh mana kita sudah peduli pada konteks kita saat ini? Sudah seberapa besar perhatian dan anggaran yang kita siapkan untuk memberikan bantuan?

 

Mungkin ada yang berkata: “Hidupku sendiri pun sedang terdampak! Masak masih harus membantu?” Mungkin juga ada imam – pendeta – penatua – pengurus yang membiarkan dombanya terkatung-katung bahkan hilang. Ketika ditanya mengapa dibiarkan, mungkin saja pembiaran dilakukan sebab para pemimpin pernah dikecewakan dan dibohongi sebelumnya oleh domba-dombanya. Sangat disayangkan kepedulian harus sirna karena kecurigaan dan kekecewaan terlampau mengungkung. Akhirnya atas nama menjaga dana umat untuk kepentingan bersama, bantuan tak diberikan.

 

Hari ini kita patut mengingat apa yang Allah katakan melalui Yehezkiel dalam Yehezkiel 34:11-16; 20-24. Di saat imam-imam tak mengerjakan bagiannya dan mengabaikan domba gembalaan-Nya, Allah sendiri akan menggembalakan. Ia akan menggembalakan secara adil, membalut yang terluka, mencari yang hilang, melindungi yang kuat dan benar. Bukankah kita pun juga terus merasakan penggembalaan Allah hingga saat ini? Bila ya, nikmatilah penggembalaan-Nya, agar kita dapat merasakan bahwa penggembalaan Allah juga memiliki daya yang menghadirkan pengharapan serta daya untuk membagikan pengharapan. Mereka yang dipulihkan Allah semestinya juga terus rindu memulihkan yang ada di sekitarnya.

 

Wajar bila kita menjadi bingung dengan gaya penggembalaan Allah kita. Sebab sangat mungkin kita terwarnai oleh semangat individualisme. Semangat yang membuat kita merasa harus berjuang sendiri. Bila ada kesalahan maka harus menanggung sendiri. Bila mencapai kesuksesan maka kita berhak merasakannya sendiri. Akhirnya kita bingung melihat undangan Allah untuk menangung sukacita bersama, menanggung kesusahan bersama, untuk berjuang bersama-sama. Kita pingsan melihat pemimpin seperi Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang mau membantu rakyatnya.

 

Mari akhiri kebingungan ini, mari lampaui pandemi ini, mari lampaui luka bathin kita bersama-sama dengan Kristus Sang Raja yang menggembala serta bersama saudara-saudara yang paling rentan terdampak pandemi dan ketidakadilan masa kini. Marilah menjadi manusia Indonesia yang memperbanyak kisah-kisah kepedulian seperti yang dilakukan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dahulu. Sehingga tak perlu banyak orang dan alam yang pingsan saat kepedulian dan keadilan terjadi sebab keduanya menjadi budaya luhur yang hidup/dihidupi. Amin.

ypp

Selasa, 10 November 2020

HAMBA YANG DIPERCAYA

Minggu Biasa

Zefanya 1:7, 12-18 | Mazmur 90:1-12 | 1 Tesalonika 5:1-11 | Matius 25:14-30


Saya yakin kita semua sudah sering mendegar perumpamaan tentang talenta. Kita semua tahu ceritanya. Seorang tuan hendak bepergian, lalu memanggil tiga orang pegawainya. Ia memberikan mereka modal untuk dikembangkan, masing-masing sesuai dengan kemampuan mereka. Yang pertama mendapat lima talenta. Yang kedua mendapat dua talenta. Yang terakhir mendapat satu talenta. Dalam bayangan kita ditambah ilustrasi-ilustrasi yang menggambarkan talenta dengan koin jumlah uang itu mungkin tidak seberapa. Akan tetapi talenta adalah pecahan uang yang sangat besar pada masa itu. Satu talenta sama dengan 6000 dinar, dan satu dinar adalah upah pekerja selama sehari. Untuk mendapatkan satu talenta, seseorang harus bekerja selama 6000 hari. Itu jumlah yang sangat banyak. Lalu tuan itu pergi meninggalkan para pegawainya. Ketika ia kembali, ia meminta hasil dari ketiga pegawainya itu. Yang pertama menghasilkan lima talenta dari modal lima talenta yang diberikan. Yang kedua menghasilkan dua talenta lagi, sehingga totalnya empat talenta. Yang menerima satu telanta menguburnya di tanah dan tidak mengusahakannya. Ini membuat sang tuan itu marah dan menyabutnya hamba yang jahat dan malas. 

Saudara, sudah sering ketika kita mendengar perumpamaan tengan talenta ini dikaitkan dengan bakat atau potensi yang dimiliki seseorang. Ada orang-orang yang mengusahakan potensi dan bakatnya sehingga berkembang, ada yang malas mengasah bakatnya sehingga jadi bakat terpendam. Benar-benar terpendam dan tidak beguna. Tapi kali ini saya mau mengajak kita untuk melihat sisi yang lain. Semua pasti sudah tahu soal bakat dan potensi itu, jadi mari melihat dari sudut pandang lain untuk teks ini, yakni alasan mengapa hamba yang menerima satu talenta itu tidak mengusahakan talentanya.

Setelah tuan pulang dan meminta mereka untuk mengeluarkan hasil masing-masing, hamba yang menerima satu talenta itu berkata, “Tuan, aku tahu bahwa tuan adalah manusia yang kejam yang menuai di tempat di mana tuan tidak menabur dan yang memungut dari tempat di mana tuan tidak menanam. Karena itu aku takut dan pergi menyembunyikan talenta tuan itu di dalam tanah: Ini, terimalah kepunyaan tuan!” Ini adalah alasan mengapa ia tidak mengusahakan talentanya. Ia takut kepada tuannya. Baginya, tuannya adalah sosok yang kejam, yang mencari keuntungan dari hamba-hambanya. Ia takut jika ia mengusahakan talentanya ia akan menjadi rugi dan bukan untung. Ia membayangkan tuannya itu akan memarahinya habis-habisan, bahkan menghukumnya. Ia melihat tuannya sebagai sosok yang kejam, sehingga ia tidak menggunakan talenta yang diberikan itu. Ia mencari keamanan untuk dirinya sendiri.

Saudara, gambaran kita tentang Tuhan pun menentukan sikap hidup kita di dunia ini. Tidak jelas memang apa yang menjadi alasan dua hamba yang lain mengusahakan talenta yang diberikan kepada mereka. Bisa jadi karena mereka mengasihi tuannya. Bisa juga karena mereka terpaksa. Namun, bisa juga karena tuannya memberikan teladan kepada mereka untuk mengusahakan modal mereka. Tidak disebutkan secara jelas dalam teks kita. Tetapi, kita melihat dari hamba yang terakhir bahwa gambarannya tentang tuannya memengaruhi caranya berperilaku. Ia menjadi hamba yang malas dan tidak berguna karena ia membayangkan tuan yang jahat, sehingga ia takut. Saudara, seperti apa kita menggambarkan Allah? Apakah kita melihat Allah sebagai sebagai Allah yang menghukum, yang menuntut balas, dan mengganjar berdasarkan perbutan umat-Nya? Atau kita melihat Allah yang lemah lembut, penuh kasih, dan yang merangkul umat-Nya dengan rahmat?

Bagi saya, Allah yang saya percaya adalah Allah yang meberikan rahmatnya kepada semua orang, yang merangkul dengan kasih. Karena itu, Allah yang demikian mengajak kita untuk juga merangkul sesama kita, mengusahakan kebaikan, kasih dan rahmat dalam hidup kita. Tetapi, jika kita melihat Allah sebagai Allah yang menuntut balas, menghukum dan mengganjar, kita akan ketakutan dan mencari aman untuk diri sendiri. Kita hanya memikirkan perbuatan kita mendatangkan ganjaran yang seperti apa. Pahala atau hukuman, surga atau neraka? Akhirnya kita terlalu sibuk dengan diri sendiri sehingga tidak sempat untuk melakukan sesuatu yang berdampak bagi orang lain, tidak berbuah demi kebaikan sesama dan dunia. Bahkan mungkin kita pun menjadi pribadi-pribadi yang rajin menghakimi sesama yang berdosa di mata kita.

Saudara, Allah memanggil kita untuk menjadi hamba-hamba-Nya yang bertanggung jawab terhadap diri sendiri, sesama, dan dunia ciptaan Allah ini. Bagaimana sikap dan tanggung jawab kita bergantung pada perspektif kita akan Allah. Apakah kita melihat-Nya sebagai Allah yang menuntut balas, yang mengganjar dengan pahala dan hukuman, sehingga kita sibuk mencari keselamatan sendiri dan melupakan tanggung jawab terhadap sesama, bahkan menghakimi sesama? Ataukah kita melihat-Nya sebagai Allah yang penuh cinta dan rahmat terhadap semua ciptaan-Nya, sehingga kita bersedia membagikan kasih dan rahmat itu kepada sesama? 

(ThN)

Rabu, 04 November 2020

“Bijaksana dan Antisipatif”

Amos 5 : 18 – 24; Mazmur 70; 1 Tesalonika 4 : 13 – 18; Matius 25 : 1 – 13

 

Saudara, saya punya sebuah tebak-tebakan. Saya akan beri sebuah kalimat tebak-tebakan, silahkan saudara menebak jawabannya apa. Negara apa yang selalu siap ketika hujan? Jawabannya adalah Swedia. Mengapa? Karena mereka selalu Swedia payung sebelum hujan. Tebak-tebakan ini mungkin garing terdengar di telinga kita tapi tebak-tebakan ini punya makna yang benar sekalipun diplesetkan kata sedia menjadi Swedia.

Sedia payung sebelum hujan merupakan salah satu pepatah yang jika ditelaah punya makna yang dalam. Mengapa? Karena dalam hidup ini kita selalu menjumpai ketidakpastian. Misalnya, kadang tiba-tiba hujan sekalipun cuaca sedang panas. Makanya kita harus selalu siap. Dengan sedia payung sebelum hujan kita jadi waspada, awas dan siap dengan segala kondisi (hujan) yang akan terjadi. Kalimat pepatah di atas merupakan sebuah kalimat yang mengajak kita untuk antisipatif yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti tanggap terhadap sesuatu yang sedang (akan) terjadi.[1]

Dalam bacaan Injil, yakni dari Matius 25 : 1 - 13 kita diperlihatkan sebuah perumpamaan yang diceritakan oleh Yesus kepada murid-muridNya (Mat. 24 : 3). Dalam perumpamaan ini Yesus memberi gambaran tentang dua kelompok gadis yang bukan diperuntukkan hanya untuk perempuan saja tetapi semua orang. Yesus menggunakan kata gadis karena Yesus sedang menceritakan tentang akhir zaman, di mana kita diumpamakan sebagai para gadis yang akan menyongsong mempelai laki-laki, yakni Tuhan.

Yesus ceritakan ada orang-orang yang antisipatif dalam menyongsong mempelai laki-laki. Karena mereka sedia payung sebelum hujan atau lebih tepatnya mereka membawa juga cadangan minyak dalam buli-buli mereka. Mereka bersiap diri, antisipatif dan itu sebabnya mereka kemudian disebut sebagai orang-orang bijaksana yang berarti selalu menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuannya); arif; tajam pikiran; pandai dan hati-hati (cermat, teliti, dan sebagainya).[2]

Mereka tajam berpikir bahwa dalam ketidakpastian menanti atau menyongsong mempelai laki-laki, mereka harus tanggap dan bersiap. Mereka juga harus hati-hati jangan sampai cadangan minyak mereka kurang. Itu sebabnya ketika ada yang minta cadangan minyak mereka (ay. 8 – 9), mereka tidak membaginya. Bukan karena pelit tapi karena mereka tahu kapasitas mereka. Mereka juga tahu bahwa minyak itu tidak akan cukup bagi orang lain atau diri mereka sendiri jika dibagi. Mereka juga harus tetap antisipatif di tengah ketidakpastian kondisi.

Sementara itu di sisi yang lain, Yesus juga menceritakan ada orang-orang yang bodoh. Mengapa Yesus begitu sarkas menyebut mereka bodoh dalam perumpamaan ini? Karena orang-orang ini tidak antisipatif. Padahal mereka punya banyak waktu dan kesempatan untuk bersiap. Tapi bukannya menyediakan minyak cadangan, mereka justru rebahan. Rebahan sesungguhnya tidak dilarang atau sesuatu yang salah. Karena gadis-gadis bijak juga rebahan (ay. 5). Tapi gadis-gadis bijak sudah siap dulu baru rebahan. Mereka sudah berakit-rakit ke hulu, bersenang-senang kemudian. Mereka sudah bersusah payah dahulu, baru bersenang-senang.

Saudara, dalam bacaan Injil ini tentu Yesus menghendaki semua muridNya termasuk kita untuk menjadi gadis-gadis yang bijaksana dan antisipatif. Karena kita tidak ada yang tahu kapan kedatangan Tuhan tiba. Apalagi dalam Amos 5 juga menggambarkan hari Tuhan itu bukan terang tetapi gelap, penuh kelam kabut dan membutuhkan kesiapan diri. Untuk itu yang sekarang harus kita lakukan adalah mempersiapkan diri dengan baik dan memakai kesempatan dengan bijaksana. Jangan hanya rebahan. Bangun dan siapkan dirimu. Jadilah bijak dan antisipatif. Tuhan memampukan kita semua. Amin.

-mc-



[1] https://kbbi.web.id/antisipatif

[2] https://kbbi.web.id/bijaksana