Kamis, 28 Maret 2024

KEDAULATAN ALLAH DALAM SALIB

 

JUMAT AGUNG

Yesaya 52 : 13 – 53 : 12; Mazmur 22; Ibrani 10 : 16 – 25; Yohanes 18 : 28 – 19 : 37

 

Dalam bacaan Injil Yohanes, diceritakan setelah Yesus ditangkap Ia tidak langsung dibawa ke hadapan Pilatus, tetapi terlebih dahulu dibawa ke hadapan Hanas – Kayafas (imam besar Yahudi) di Mahkamah Agama dan juga dibawa ke hadapan Herodes (Luk. 23 : 8 – 12). Namun setelah melakukan perjalan panjang dan ke rumah-rumah para petinggi agama dan negara itu, tak ada satupun yang dapat menyebutkan apa kesalahan Yesus.

 

Karena Yesus belum diberi status eksekusi hukuman yang pasti dan menghindari kebebasan Yesus, para pemuka agama Yahudi pun membawa Yesus ke hadapan Pilatus. Mengapa dibawa ke Pilatus?

1.   Pilatus adalah wali negeri (gubernur) di Provinsi Yudea di masa itu

2.   Pilatus berada di bawah pemerintahan kekaisaran Romawi, sehingga keputusannya tentu akan mewakili keputusan kerajaan Roma

3.   Pilatus punya kekuasaan

4.   Pilatus sudah terbiasa mengadili orang

5.   Di tangan Paulus, ia dapat mengambil keputusan untuk membebaskan, menghakimi atau menyalibkan seseorang.


Dalam dialog awal perjumpaan Pilatus dan para pemuka agama Yahudi, orang-orang Yahudi itu menuduh bahwa Yesus adalah penjahat (18 : 30). Namun nampaknya Pilatus merasa ada keanehan yang terjadi. Karena, kalau Yesus disebut penjahat, seharusnya sejak awal ketika Ia dibawa entah ke Mahkamah Agama atau ke Herodes (para petinggi-petinggi itu), Yesus harusnya bisa langsung dieksekusi, namun ternyata belum dieksekusi juga. Ada apa sih sebenarnya antara Yesus dan orang-orang Yahudi ini? Mungkin inilah kejanggalan dan pertanyaan Pilatus kala itu. Pilatus yang biasanya mengadili ternyata bukan seorang yang mengadili dengan asal-asalan.

 

Karena melalui adanya kejanggalan, pertanyaan dan tuduhan kepada Yesus yang tanpa bukti, maka Pilatus memilih untuk berdialog dulu dengan sebelum ia menjatuhkan keputusan untuk Yesus. Dalam dialog antara Pilatus dengan Yesus yang terekam dari pasal 18 : 33 – 19 : 11 (19 ayat) ada banyak hal yang menarik yang dilakukan oleh Pilatus:

1.   Pilatus menyebut Yesus berkali-kali bukan dengan sebutan Yesus/Rabuni/Guru tapi dengan sebutan raja orang Yahudi (18 : 33, 37; 39; 19 : 14, 19 : 19) (penghormatan) 

2.   Pilatus tidak menemukan kesalahan apapun pada Yesus dalam proses dialog dan berkali-kali hal itu ia sampaikan kepada orang-orang Yahudi sebagai sebuah penegasan (18 : 38b; 19 : 4; 19 : 6). 

3.  Pilatus berusaha membebaskan Yesus dengan berbagai cara:

a.    Mengembalikan Yesus kepada orang Yahudi supaya tidak dihukum pake hukuman Romawi tapi hukuman Yahudi (18 : 31; 19 : 6). Supaya Yesus tidak cepat-cepat dihukum karena tidak ditemukan salahNya apa.

 

b.   Pilatus mencambuk Yesus dan prajurit memberi mahkota duri, mengenakan jubah ungu dan mengoloknya (19 : 1 – 3). Hal ini sebenarnya adalah salah 1 strategi Pilatus untuk mempermalukan Yesus di hadapan orang Yahudi sekaligus memberi tahu mereka, bahwa Yesus yang kalian anggap penjahat itu sesungguhnya manusia yang tidak berdaya (Ia katakan Lihatlah manusia itu! - Yoh. 19 : 5).

 

Bahkan ia tidak punya kekuasaan dan kekuatan dibandingkan Pilatus. Bahkan dengan menunjukkan sisi kemanusiaan Yesus yang rapuh, penuh luka dan darah. Hal ini juga sebagai strategi Pilatus supaya orang Yahudi merasa iba – merasa cukup Yesus disesah, terluka dan berdarah dan akhirnya melepaskan Yesus yang tidak bersalah itu. Namun, usaha kedua Pilatus untuk menyelamatkan Yesus tetap tidak berhasil juga.

 

c.  Pilatus menawarkan membebaskan raja orang Yahudi di momen Paskah Yahudi kala itu (18 : 39). Momen ini kalau di masa sekarang disebut remisi khusus narapidana di hari raya. Namun ternyata, orang Yahudi justru meminta Barabas yang dibebaskan. Padahal Barabas itu punya catatan kriminal, seorang penyamun, penjahat, seorang pemberontak nasionalis, pembunuh dan pencuri di zaman pemerintahan Pontius Pilatus.

 

Buat Pilatus kala itu, tidak adil membebaskan Barabas yang terbukti bersalah dan menghukum Yesus yang tidak ada salahnya. Itu aneh! Tapi lagi-lagi rencana Pilatus untuk membaskan Yesus gagal. Akhirnya saudara, beragam cara usaha Pilatus untuk membebaskan Yesus tidak ada yang berhasil. Dan akhirnya membuat Pilatus melepaskan Yesus dengan menyerahkanNya untuk disalibkan.

 

Di bagian ini saudara, yang mau ditegaskan kepada kita adalah pada akhirnya,

salib yang Yesus harus pikul itu terjadi bukan karena kedaulatan (kekuasaan) manusia dalam diri Pilatus. Tetapi karena kedaulatan (kekuasaan) Allah. Bahwa Allah memang berdaulat, berkuasa dan punya kehendak dalam salib itu.

 

Tapi mengapa Allah memilih jalan penuh derita melalui salib itu? Karena Ia memikirkan, mementingkan, mencintai dan mau menyelamatkan umatNya (Bdk. Yes. 53 : 4 – 12). Ia mau umatNya punya pengharapan, punya kehidupan dan punya kebenaran di dalamNya dan bersamaNya.

 

Maka di momen Jumat Agung ini kita sama-sama kembali diberi pesan oleh firman Tuhan:

1.  Jumat Agung mengingatkan kita kembali pada kedaulatan Allah dalam salib. Bahwa seberapa pun besar jabatan, materi, kuasa atau kedaulatan manusia, tidak ada yang bisa menandingi kedaulatan atau kekuasaan Allah. Bahkan bukan hanya hidup Yesus yang ada kedaulatan (kekuasaan) Allah. Tapi di hidup kita juga ada kedaulatan/kuasa Allah.

 

2.  Kedaulatan Allah dalam salib menunjukkan bahwa Allah tidak menolak penderitaan untuk kita. Ia rela dikhianti oleh Yudas, disangkal oleh Petrus, ditinggalkan murid-muridNya, diolok dan dipermalukan, disalahkan tanpa berbuat salah, bahkan mau mati di kayu salib yang hina dan cela itu, bukan demi diriNya tapi demi kita manusia – umat yang dikasihiNya yang mau ditemani, dirangkul, disahabati dan diselamatkan olehNya (bdk. apa yang dirasakan oleh pemazmur dalam Mzm. 22)

 

3.  Tidak semua yang kita anggap baik, berdampak baik. Tidak semua yang kita anggap buruk, berdampak buruk. Pilatus berusaha dengan baik untuk membebaskan Yesus. Namun ternyata, apa yang menjadi rencananya tak berdampak baik untuk rencana Allah. Sementara Yesus menerima salib yang dianggap buruk oleh orang lain, namun ternyata tak selamanya yang buruk itu berdampak buruk. Karena justru melalui salib yang buruk itu. Kita semua beroleh keselamatan, pengharapan dan kehidupan.

 

Selamat merayakan, merasakan dan menjumpai cinta kasihNya melalui sabda, salib dan kedaulatanNya. Amin. 

(mc)

 

 

 

 


Selasa, 26 Maret 2024

Mengukir Cinta dalam Kenangan

Kamis Putih 

Keluaran 12:1-14 | Mazmur 116:1-2, 12-19 | 1 Korintus 11:23-26 | Yohanes 13:1-17; 31-35

Dalam pembukaan Persidangan Majelis Sinode Wilayah atau Persidangan Majelis Sinode GKI biasanya dilakukan ritus pengenangan/ in memoriam. Ritus ini dijalani sebagai cara untuk mengenang pendeta, penatua ataupun aktivis dalam ruang lingkup sinodal yang meninggal dalam suatu periode persidangan. Ritus ini tidak bertujuan untuk mendoakan mereka yang telah meninggal, akan tetapi menjadi media untuk mengenang karya Allah dalam kehidupan saudari-saudara yang telah meninggal. Mengenang kembali karya Allah tentu menjadi sebuah kekuatan tersendiri bahkan menghadirkan kembali pengharapan yang baru untuk menapaki ziarah karya selanjutnya sebagai Sinode Wilayah ataupun Sinode. Belakangan ritus pengenangan juga diadopsi dan diadaptasi dalam lingkup jemaat untuk mengenang setiap anggota jemaat yang telah meninggal dalam satu periode waktu tertentu. Hal ini menunjukkan betapa kenangan punya dampak baik bagi kehidupan manusia.

Pada hari kamis putih kita juga melakukan tindakan pengenangan. Kita mengenang kembali ukiran cinta kasih Kristus. Ya, cinta kasih Kristus terukir dalam tindakan nyata dan bermakna. Mari kita jelajahi satu demi satu.

Pertama, ukiran cinta Kristus dapat kita kenang dalam kerendahan hati-Nya.
Perlu kita ingat bahwa tindakan pembasuhan kaki sejatinya adalah sebuah tindakan keramahan yang lazim dipraktekkan di Palestina kuno. Tuan rumah akan membukakan pintu, menyambut tamunya masuk, dan akan meminta seorang hamba (/budak) membasuh kaki para tamu setelah menempuh perjalanan berdebu dengan alas kaki yang terbuka (terutama dibanding sepatu yang kita gunakan bepergian hari-hari ini). Akan tetapi saat itu Yesus, yang adalah guru – berstatus lebih dari para murid, memeragakan tindakan yang agak lain. Sebab Ia-lah yang justru membasuh kaki para murid-Nya. Saat membasuh kaki itu Yesus harus memosisikan diri lebih rendah yakni, berlutut untuk sejajar dengan kaki murid-murid. Semua dilakukan-Nya karena Ia mau menjalani karya sebagai Guru sepenuhnya. Sebab Guru adalah sosok yang akan didengar ajarannya dan dicontoh tindakannya. Yesus sedang mengajar tentang kerendahan hati sekaligus menghidupi karakter rendah hati itu sendiri.

Bila pada Kamis Putih ini kita menyaksikan ritus pembasuhan kaki selayaknyalah kita mengingat Kristus yang rendah hati dan meneladani kerendahan hati-Nya. Sayang sekali bila kita sebagai umat-Nya, hanya mengingat peristiwa pembasuhan kaki sebagai ritus yang harus dilakukan lantas pulang sebagai pribadi yang punya sikap superior, merasa diri lebih penting, arogan dan bersikap semena-mena terhadap sesama.
 
Kedua, ukiran cinta Kristus dapat kita kenang dalam tindakan-Nya menciptakan relasi persahabatan.

Selain kerendahan hati, sejatinya pembasuhan kaki yang dilakukan Yesus juga merupakan sikap Yesus menciptakan relasi baru yakni relasi persahabatan. Hal ini bermula dari tindakan Yesus dalam 13:4 “Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubah-Nya…” Bahasa asli untuk kata “menanggalkan” di ayat ini sama dengan bahasa asli untuk kata “memberikan” dalam Yohanes 10:11 “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya.” Serta sama juga dengan bahasa asli untuk kata “memberikan” dalam Yohanes 15:13 “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada ini, yakni seseorang memberikan nyawanya demi sahabat-sahabatnya.” Hal ini dipandang oleh Pdt. Joas Adiprasetya sebagai kehendak Allah memberikan hidup-Nya untuk memulai sebuah relasi persahabatan dengan umat-Nya. Penciptaan relasi persahabatan ini kemudian berlanjut dengan penegasan yang tergambar dari jawaban Yesus terhadap Simon Petrus yang menolak pembasuhan kaki. Yohanes 13:8 mengatakan Jawab Yesus, “Jikalau Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian bersama Aku.” Jadi kenangan kita terhadap tindakan pembasuhan mengingatkan kita bahwa Allah menciptakan sebuah relasi baru dan kita dihisap dalam ikatan relasi persahabatan yang diinisiasi oleh-Nya.

Penciptaan relasi cinta kasih Kristus ini ditempuh-Nya dengan segala risiko. Bayangkan saja, seorang yang membasuh kaki sejatinya juga menempatkan diri dalam keadaan rentan (vulnerable) dilukai. Saat berposisi sejajar kaki para murid Yesus punya risiko ditolak dengan tangkisan tangan atau bahkan hentakan kaki yang mungkin melukai fisik-Nya. Selain itu, Yesus membasuh kaki dengan risiko akan dilukai oleh Petrus yang akan menyangkal Dia dan dilukai Yudas yang sudah menjual-Nya. Tapi itulah cinta Kristus, cinta-Nya itu tetap ada meski Dia harus terluka, dan cinta-Nya itu murni meski Dia harus mati.

Teladan Kristus adalah sebuah tantangan bagi kita. Sebab hari ini banyak orang yang siap mencintai sahabat-sahabatnya tapi hanya jika risikonya minim. Banyak pula orang yang menyatakan siap mencintai sahabat-sahabatnya hanya jika ada banyak keuntungan yang diterima dirinya.
 
Ketiga, ukiran cinta Kristus dapat kita kenang dengan meneladan Dia.
Dalam Yohanes 13:12-14 Yesus berkata “Mengertikah kamu apa yang telah Kuperbuat kepadamu? Kamu menyebut Aku, Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi, jikalau Aku, Tuhan dan Gurumu, membasuh kakimu, kamu pun wajib saling membasuh kakimu.” Dari ayat-ayat ini kita melihat bahwa Yesus tak menantikan balasan. Namun Yesus menghendaki kita mengenang ukiran cinta-Nya dengan tindakan nyata yang sama dengan Dia. Yakni, tindakan memelihara relasi persahabatan dengan sesama melalui tindakan saling membasuh meski itu berisiko.

Jadi mengenang itu bukan hanya mengingat-ingat karya cinta Kristus di masa lampau. Mengenang cinta Kristus itu juga dengan melakukan dan melanjutkan segala tindakan cinta Kristus di masa kini. Sebab dengan melakukannya lagi dan lagi, ulang dan ulang, kita pun akan makin melekat dengan Dia. Dan dengan lekat pada-Nya maka hidup ini dapat kita jalani dengan gaya hidup yang makin serupa dengan gaya hidup Kristus yang sempurna. Saat gaya hidup kita makin serupa dengan Kristus, maka semakin kita punya peluang untuk menolong orang lain mengenang ukiran cinta Kristus yang sempurna.

Maka bagi setiap kita yang hari ini mengenang cinta Kristus, siapkanlah diri untuk mengasihi, mengampuni dan melayani dengan segala risikonya.
Karena Tuhan sudah lebih dulu mengasihi, mengampuni dan melayani kita dengan segala risikonya.

ypp

Jumat, 15 Maret 2024

MEMILIH JALAN KEMULIAAN

Minggu V Pra-Paska

Yeremia 31:31-34 | Mazmur 51:3-15 | Ibrani 5:5-10 | Yohanes 12:20-33


Manusia sering kali diperhadapkan pada pilihan. Memilih yang ini atau yang itu. Kadang pilihannya mudah, kadang pilihannya sulit. Manusia umumnya memilih yang baik menurutnya, yang lebih menyenangkan, atau lebih aman. Jika diminta memilih kemuliaan atau penderitaan, manusia pada umumnya akan memilih kemuliaan. Untuk apa memilih penderitaan? Jelas lebih baik kemuliaan. Namun, tidak begitu bagi Yesus. Tidak ada pilihan antara kemuliaan dan pendertiaan, karena kemuliaan adalah penderitaan, bahkan kematian. Ketika Yesus memilih jalan kemuliaan, ia pun memilih jalan derita dan kematian.

Konteks bacaan Injil hari ini adalah Hari Raya Paskah yang sudah mendekat. Yerusalem saat itu dipadati orang dari berbagai penjuru dunia yang ingin berziarah ke Bait Allah. Tidak ketinggalan di situ hadir juga orang-orang dari bangsa asing yang menganut agama Yahudi. Di antara mereka tersebutlah sejumlah orang Yunani yang ingin bertemu dengan Yesus. Ketika Andreas dan Filipus menyampaikan perihal orang-orang Yunani yang mau bertemu dengan-Nya, Yesus menjawab dengan kata-kata soal kematian-Nya. Menariknya, Yesus menyebutnya dengan “dimuliakan”. "Telah tiba saatnya Anak Manusia dimuliakan" (Yoh. 12:23). Dimuliakan bagi Yesus bukanlah menerima kehormatan, kekayaan, atau kekuasaan seperti raja-raja dunia. "Dimuliakan" bagi Yesus adalah seperti biji gandum yang harus jatuh ke tanah dan mati, baru dia menghasilkan banyak buah. Kemuliaan adalah derita dan kematian-Nya. Orang mengira kematian adalah akhir segalanya. Namun, kematian Yesus justru menjadi awal tersebarnya Kabar Baik ke seluruh penjuru dunia. Kematian Yesus adalah kemuliaan yang membawa keselamatan bagi seluruh dunia. Apa buktinya? Penulis Kitab Ibrani menyatakan bahwa Yesus dimuliakan oleh Bapa-Nya. Ketaatan Yesus melalui doa, ratap tangis, dan dalam derita membuat Ia dimuliakan. Bukan hanya sampai di situ, "... sesudah Ia disempurnakan, Ia menjadi sumber keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya ..." (Ibr. 5:9). Jalan derita dan kematian yang ditempuh Yesus adalah jalan kemuliaan yang membawa keselamatan.

Pada saatnya, para murid juga perlu menempuh jalan derita yang membawa kemuliaan itu. Yesus bahkan menghendaki murid-murid-Nya agar tidak mencintai nyawa mereka sendiri. Artinya, tidak takut kehilangan nyawa demi sesuatu yang jauh lebih berharga, yakni Kerajaan Allah. Kemuliaan Yesus adalah dengan mederita dan mati. Jalan Yesus adalah jalan salib dan penderitaan. Karena itu jika orang hanya ingin mencari selamat sendiri, mereka justru akan gagal. Namun, mereka yang tahu bahwa jalan yang ditempuh adalah penderitaan dan bersedia menderita, maka ia akan masuk dalam kehidupan abadi di dalam Allah. Itulah kemuliaan yang Yesus maksudkan. Yesus menyatakan bahwa setiap orang yang mau melayani-Nya, menjadi pengikut-Nya, juga harus mengikuti jalan-Nya. Di mana Ia berada, di situ ia berada. Artinya, jika kita mau mengikut Tuhan dan melayani-Nya, kita juga harus menempuh jalan yang ia tempuh; jalan salib dan penderitaan.

Jika demikian, masihkah kita mau memilih Yesus dan jalan "kemuliaan"-Nya? Bagi banyak orang yang hanya mencari kenikmatan, tentu mengikut Yesus menjadi tidak menarik. Namun, justru dalam kehinaan, penderitaan, dan kematian-Nya, Yesus menarik semua orang kepada-Nya. Dalam kematian-Nya, Ia ditinggikan dan dimuliakan, dan melaluinya Ia menarik kita datang kepada-Nya. Jadi, jika kita mengaku percaya dan mau mengikut Kristus, kita juga harus melalui jalan yang Yesus ambil, meneladani-Nya, merangkul derita dan masuk dalam kemuliaan-Nya.

Tidak ada cara lain. Begitulah yang harus dilalui ketika kita menjawab panggilan Yesus. Memilih jalan kemuliaan adalah memilih jalan derita. Ketika kita mengikuti jalan salib-Nya, ia juga membawa kita ke jalan kemuliaan-Nya. Bukan berarti juga kemudian kita mencari-cari derita, atau mencari kematian. Setiap hari kita hidup dalam ancaman, dalam derita, dalam bayang-banyang kamatian. Memilih jalan derita adalah bersedia merangkul segala pergumulan hidup dan derita dunia itu dengan taat dan setia sebagaimana Yesus merangkul kematian yang membawa kemuliaan. Ia memanggil kita dan Ia juga yang meneguhkan dan menguatkan kita. Jika kita mau menladan Kristus dalam jalan salib-Nya, percayalah Ia juga memampukan kita untuk menjalaninya. Tuhan menyartai kita. Amin.

Jumat, 08 Maret 2024

ANUGERAHNYA PULIHKANKU

 Minggu Prapaskah IV

Bilangan 21 : 4 - 9; Mazmur 107 : 1 - 3, 17 - 22; Efesus 2 : 1 - 10; Yohanes 3 : 14 - 21 


Setiap orang yang sakit pasti membutuhkan pemulihan dan untuk itu beragam upaya dilakukan demi pulih dari sakit yang diderita. Seringkali kita menemukan, berapapun biayanya, sejauh apapun rumah sakitnya, bagaimanapun pengobatannya, semua akan diupayakan demi sebuah kata, yaitu pulih. Saudara, rupanya sakit yang diderita oleh manusia bukan hanya sakit secara fisik tetapi juga sakit karena dosa dan pelanggaran yang dilakukan. 

Kondisi sakit karena dosa ini dapat kita temukan dalam bacaan pertama di kitab Bilangan 21 : 4 - 9 yang merupakan bagian dari kisah perjalanan bangsa Israel menuju tanah perjanjian, Kanaan. Dalam perjalanan kala itu nampaknya 430 tahun di tanah perbudakan sekalipun hidup susah namun juga nyaman, membuat orang Israel tidak dapat tahan hidup lebih susah dari Mesir. Karena dalam perjalanan itu mereka mulai kehabisan roti dan air yang merupakan bekal dan kebutuhan dalam perjalanan mereka. 

Dalam kondisi itu, sayangnya anugerah pemulihan dari Allah yang telah diberikan kepada mereka melalui bebas dan pulihnya mereka dari perbudakan di Mesir tidak mereka syukuri. Karena alih-alih untuk bersyukur, mereka akhirnya tidak dapat menahan hati, melawan dan mengeluh kepada Allah dan Musa. 

Walaupun ada orang yang membela apa yang dilakukan orang Israel, karena dalam kondisi sulit mereka bener kok karena mengeluh pada Tuhan, mereka seakan tetap mencari Tuhan, dan melakukan tindakan yang benar. Namun ternyata mengeluh di sini bukan sebagai wujud keberserahan atau tetap punya pengharapan pada Tuhan dan dekat pada Tuhan. Sebaliknya, mereka malah menyalahkan Tuhan, tidak mengindahkan anugerah pemulihan yang Allah sudah berikan, dan ungkapan tidak dapat menahan hati dan melawan Allah justru menjadi sebuah sikap bahwa mereka ingin menjauh dari Tuhan. 

Dalam kondisi yang hendak menjauh dari Tuhan itu, Tuhan mendatangkan ular-ular tedung di tengah-tengah mereka untuk memagut mereka sehingga mereka mati. Menurut https://www.gramedia.com/best-seller/ular-berbisa/, di Australia jenis ular tedung dinyatakan sebagai ular paling berbisa dan patut untuk diwaspadai sebab sekitar 60% orang meninggal karena gigitannya. Ditambah lagi, ular tedung coklat dewasa dikenal sebagai ular yang gerakannya cepat dan agresif.

Pertanyaannya, mengapa Allah mendatangkan ular tedung? Apakah Ia sedang menghukum orang Israel karena apa yang mereka perbuat kepada Allah? Jika kita perhatikan kembali kalimat dalam bacaan, justru kita akan menemukan bahwa Allah mendatangkan ular tedung untuk memberi gambaran pada orang Israel kala itu yang ingin menjauh dari Tuhan. Bahwa orang yang jauh dari Tuhan bukan pulih melainkan binasa dan mati. Dan ketika mereka kembali mengaku dosa dan meminta pengampunan dari Allah, Allah tetap berkenan memulihkan mereka. 

Di bagian ini, orang Israel kembali diperlihatkan bahwa hanya dekat dan dari Allahlah mereka dapat sembuh dan selamat. Hal ini jugalah yang diungkapkan oleh pemazmur dalam Mazmur 107 bahwa orang yang berseru kepada Tuhan dalam kesesakan, akan diselamatkan dari kesusahan mereka. Dan akhirnya mereka yang diselamatkan akan bernyanyi syukur, mempersembahkan kurban syukur dan menceritakan pekerjaan Allah dengan sorak-sorai!

Sementara itu dalam Perjanjian Baru, Paulus kembali mengingatkan jemaat di Efesus dalam Efesus 2 : 1 - 10 bahwa mereka juga adalah orang-orang yang melakukan pelanggaran dan berdosa karena hidup dalam hawa nafsu daging, menuruti kehendak daging dan pikiran. Bahkan Paulus juga menegaskan bahwa pada dasarnya kita adalah orang-orang yang harus dimurkai oleh Allah. Tetapi karena rahmat dan kasih Allah yang besar, Ia telah menghidupkan, membangkitkan dan dan memberi kita anugerah pemulihan a.k.a keselamatan. 

Inilah yang kemudian diceritakan oleh Yesus dalam percakapannya dengan Nikodemus, seorang Farisi dan pemimpin Yahudi. Bahwa anugerah pemulihan dari Allah didasarkan pada kasih Allah akan dunia ini sehingga Ia menganugerahkan anakNya yang tunggal supaya setiap orang yang percaya kepadaNya beroleh hidup yang kekal dan dunia pun diselamatkan melalui Dia. 

Namun demikian, mendapat anugerah pemulihan dan keselamatan dari Allah bukan berarti kita hanya menerima semata. Karena Paulus mengingatkan bahwa pemberian dari Allah ini diberikan Allah agar kita melakukan pekerjaan baik yang dipersiapkan Allah buat hidup kita. Ia mau kita hidup didalamnya. Artinya, Allah mau kita menghidupi anugerah pemulihan itu di dalamNya dan di dalam karya-karya kehidupan kita kepadaNya. 

Untuk itu, melalui firman Tuhan hari ini kita sama-sama kembali diingatkan: 

1. Setiap kita telah menerima anugerah dari Tuhan, yaitu pemulihan dan keselamatan dari sakit dan dosa kita

2. Keselamatan dan pemulihan dari Allah ini kiranya tidak kita sia-siakan. Karena menyia-nyiakannya sama dengan menyia-nyiakan Allah, dan menyia-nyiakan Allah bukan selamat melainkan binasa (belajar dari orang Israel dalam Bilangan 21)

3. Kiranya keselamatan dan pemulihan yang telah kita terima, membuat kita terus melakukan pekerjaan baik dalam hidup kita sebagai nyanyian syukur kita kepada Tuhan dan sebagai cara kita menceritakan pekerjaan Allah dengan sorak-sorai! 

Selamat merayakan anugerah pemulihan dari Allah dan giatlah terus menceritakan pekerjaan Allah dalam kehidupan kita. Tuhan mengasihi kita semua. Amin.

(mc)