Rabu, 28 Oktober 2020

BERHASIL DI JALAN TUHAN

 Minggu Biasa

Mikha 3:5-12 | Mazmur 43 | 1 Tes 2:9-13 | Matius 23:1-12

Setiap orang memiliki ukuran tersendiri tentang arti sebuah keberhasilan. Ada yang benar-benar meletakkan makna ‘berhasil’ ketika pundi-pundi terisi serta banyak investasi. Ada juga yang menetapkan keberhasilan dengan sekedar hidup bahagia bersama keluarga. Tentu berbeda dengan zaman kerajaan-kerajaan. Ekspansi dan pendudukan wilayah menjadi keberhasilan. Atau, seperti pemerintahan zaman sekarang. Entah dimana letak keberhasilannya. Toh, banyak sedikitnya pertumbuhan dan perkembangan tetap saja mendapat respon yang beragam. Banyak sekali ukuran keberhasilan yang ada di dunia, termasuk kita masing-masing. Namun, apapun keberhasilan itu, ditentukan oleh cara kita menggapainya. Dengan cara baik kah, atau kotor?

Teks Injil Minggu ini bercerita tentang bagaimana Yesus mengecam ahli-ahli Taurat dan orang Farisi. Yesus mengajak murid-muridNya melihat bagaimana mereka menjalani hidup. Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi merasa berhasil dalam hidup ketika mereka merasa lebih tinggi derajatnya dibanding orang-orang pada umumnya. Bisa duduk di kursi Musa, mengkhotbahi orang dengan sejuta aturan dan larangan yang mereka sendiri tak melakukannya, serta duduk di kursi-kursi paling depan dalam rumah ibadah menjadi  indikator keberhasilan hidup mereka. Hal itu sangat bertolak belakang dengan apa yang diteladankan Yesus. Ia bisa duduk makan bersama orang-orang yang terpinggirkan karena kecaman sosial. Yesus juga tak hanya menekan batin orang-orang dengan ajaran-ajaran, namun meneladankan tentang cinta dalam praktik hidupNya. Kecaman Yesus ini nampak dalam ayat 10-11, Janganlah pula kamu disebut pemimpin, karena hanya satu Pemimpinmu, yaitu Mesias. Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. Apa maksud Yesus? Bagaimana keberhasilan itu?

 Yesus berkata bahwa Mesiaslah yang seharusnya menjadi pemimpin tunggal. Tentu, Yesus berbicara mengenai diriNya sendiri. Ia ingin mengajar bagaimana seorang pemimpin itu. Tentu kita mengamini apa yang diucapkan Yesus. Sebagai orang Kristen, mungkin kita pernah mendengar kalimat ini. “jadikanlah Yesus sebagai pemimpin hidupmu”. Bagaimana, pernah? Bukankah kalimat itu bagus sekali dan nyaman didengar. Kalimat itu mengajak kita untuk menjadikan Yesus sebagai pemimpin tunggal dalam kehidupan kita, bukan harta, atau tahta, juga bukan wanita. Namun, kita perlu berhati-hati dalam mengekspresikan iman kita. Mengapa demikian? Perhatikan kalimat, “jadikanlah Yesus sebagai pemimpin hidupmu”. Jika kita mencerna kalimat ini baik-baik, ada kesan bahwa Yesus menjadi pemimpin kehidupan atas seizing kita. Atau dengan bahasa lain, kita yang ‘melantik’ Yesus sebagai pemimpin. SALAH! Bukan demikian konsepnya! Kita tak punya otoritas untuk ‘melantik’ Yesus. Jatah kita adalah menyadarinya! Yesus dengan gamblang berkata “karena hanya satu Pemimpinmu, yaitu Mesias”. Perkataan Yesus ini bukan sebuah permohonan untuk menjadikan dirinya sebagai pemimpin kehidupan, namun jelas sebuah peryataan. Kita tidak diajak mengkonfirmasi, namun diajak mengafirmasi. Apakah kita menyadari bahwa segala peristiwa yang ada dalam hidup adalah dalam pimpinan Yesus sang Mesias? Nah, yang menambah menarik adalah Yesus menggunakan kata ‘Mesias’. Arti harafiah Mesias adalah ‘yang diurapi’, namun Mesias juga memiliki makna lain, yakni juru selamat. Berarti, menyadari Yesus sebagai pemimpin adalah sebuah garansi bahwa apapun yang terjadi, Yesuslah yang akan senantiasa menjadi penyelamat kehidupan.

Kembali lagi, apa itu keberhasilan? Ketika kita benar-benar menyadari dan menghidupi bahwa Yesuslah pemimpin satu-satunya dalam hidup, kita tak akan pernah memiliki kegagalan. Mengapa? Kemanapun kita berjalan,Ia yang menjadi pemimpin perjalanan.

Yesus mengecam ahli-ahli Taurat karena mereka menggunakan status mereka untuk menekan kehidupan orang-orang pada saat itu. Matius 23:4 Mereka mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya. Sebenarnya, kritik ini sangat ‘mashoook’ untuk para pejabat-pejabat gerejawi, khususnya para pendeta. Sampai-sampai ada istilah gajah diblangkoni, isa kojah ora isa nglakoni, yang artinya bisa khotbah tapi nggak bisa menjalani. Bukankah tafsir Alkitab yang begitu mengawang di udara sudah seharusnya disertai degan upaya untuk menimplikasikan dalam kehidupan sehari-hari? Ketika Yesus juga merujuk gaya beribadah ahli-ahli taurat, sebenarnya Yesus juga sedang menempatkan dirinya sebagai Allah yang tidak berkenan atas peribadahan mereka. Apakah ibadah ada indicator keberhasilannya? Ya, susah sekali mengukur itu. Namun, kita tetap harus mengupayakan agar Yesus berkenan atas segala peribadahan kita. Ibadah adalah hal privat yang harus kita upayakan dalam setiap degup jantung kita. Oiya, saya punya analogi tentang ibadah, yakni seperti kita BAB di rumah orang. Tentu kita akan sopan dalam memasuki toilet itu. Jika toilet gaya lama, kita akan menyalakan kran air, supaya suara airnya menyamarkan suara-suara cringe yang bisa saja terdengar dari luar. Setelah itu, kita akan membersihkannya setelah BAB itu usai. Sebersih mungkin! Ya, peribadahan itu seperti itu. Privat sekali, tak perlu orang tau, kapan dimulai, bagaimana prosesnya, dan bagaimana endingnya. Cukup hanya kita yang melakukannya, dan Tuhan yang tau. Selamat mencoba. Semoga BERHASIL!

 

ftp

Kamis, 22 Oktober 2020

Keluarga yang Memahami Firman

 Imamat 19:1-2; 15-18 │ Mazmur 1 │ 1 Tesalonika 2:1-8 │ Matius 22:34-46

 

Andar Ismail mengatakan bahwa seorang anak yang merasa ditolak akan menjadi orang dewasa yang cenderung menolak dirinya sendiri dan cenderung menolak kehadiran orang lain. Sebaliknya, seorang anak yang tumbuh dalam suasana diterima dan diikutsertakan akan tumbuh menjadi orang dewasa yang bercitra diri tinggi dan terbuka terhadap kehadiran orang lain, bagaimanapun berbedanya orang itu. Dua pernyataan tersebut terasa begitu dekat dengan kita sebab dalam keseharian
kita dengan mudah menjumpainya bahkan mengalaminya. Pertanyaannya: Bila realita ini sudah menghasilkan sebuah usulan yang konkret akan pentingnya penerimaan antar anggota keluarga, mengapa masih ada banyak cerita orang yang tak bisa menerima diri dan angggota keluarganya yang berbeda?


 Realita ini hendaknya menyadarkan kembali pada kita bahwa seorang yang tahu belum tentu paham. Seorang bisa mengetahui sebuah hasil penelitian, mengetahui teori, ataupun mengetahui aturan yang benar. Namun tak selalu berarti bahwa ia memahami hasil penelitian, teori dan aturan yang diketahuinya. Maka jangan heran bila masih banyak kasus salah paham, kepahitan dan pertengkaran dalam keluarga yang tahu pentingnya hidup saling menerima satu dengan yang lain.

 

Begitu pula yang terjadi ketika Yesus dicobai oleh orang-orang Farisi dalam bacaan Injil hari ini. Sebagaimana kita tahu, orang-orang Farisi juga adalah ahli taurat yang hafal setiap peraturan di dalamnya serta begitu taat menerapkan tiap ayat dalam hidupnya. Mereka bahkan juga biasa mengembangkan banyak aturan tambahan yang disebut Taurat Lisan. Karena itu, mereka yang merasa diri lebih benar dari orang lain, merasa harus menjaga kebenaran agama. Terlebih saat itu mereka mendapati Yesus yang baru saja “menaklukkan” orang Saduki.

 

Sebagai penjaga Taurat mereka bertanya pada Yesus: "Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?" (Mat. 22:36) Nampaknya mereka berharap Yesus akan menyebutkan salah satu pasal yang kemungkinan dapat mereka sanggah atau persalahkan sehingga Yesus akan tergolong sebagai penyesat yang tidak sesuai dengan kebenaran.

 

Akan tetapi Yesus menjawab mereka "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama.  Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.  Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi." Jawaban Yesus ini jelas merujuk pada hukum Taurat (teks Perjanjian Lama) yang termasuk pengajawan Musa, yakni kasih kepada Allah (Ulangan 6:5) dan kasih kepada sesama (Imamat 19:18).

 

Secara khusus mari perhatikan ayat 39 “Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu” kata “yang sama” adalah alih bahasa dari kata homoios yang berarti menyerupai, mirip, seperti. Kalimat Yesus ini hendak mengatakan bahwa perintah yang utama adalah kasih yang total kepada Allah. Seorang yang secara total mempersembahkan hidup bagi Allah, dalam keseluruhan hidupnya komitmennya hidup dalam kasih akan terwujud dalam emosi, pikiran, dan tindakan kesehariannya. Bila demikian, maka tentu kasih itu pun mewujud dalam kasih kepada sesama. Jadi ketika seorang secara total mengasihi Allah, maka bersamaan dengan itu juga harusnya ia secara total mengasihi sesamanya. Kasih itu pun bukan sekadar sebuah riasan dari dirinya, namun sebuah identitas diri yang dihidupi dengan komitmen penuh.

 

Dengan demikian orang Farisi yang fokus pada pengetahuan mengenai aturan, menerima jawab dari Yesus yang fokus pada pemahaman utuh dari setiap aturan. Farisi yang bertanya mengenai urutan pasal mana yang yang lebih utama, bertemu pada hakikat utama dari setiap pasal aturan yang dihafal mereka. Maka bacaan Injil hari ini mengingatkan kita untuk menjadi keluarga pengikut Kristus yang memahami firman bukan sekadar menghafal firman. Mereka yang memahami firman akan bergerak saling memahami dan mengasihi bukan karena pengetahuan atau aturan mengatakan demikian. Mereka yang memahami firman akan bergerak mewujudkan Kasih kepada Allah dalam tindakan nyata kepada sesama.

 

Sesama dalam bacaan kita berarti “tetangga” terdekat. Di masa pandemi yang membuat kita “di rumah saja” atau lebih banyak di rumah, sesama kita tentu anggota keluarga kita sendiri, orang-orang yang hidup disekitar kita, dan/ orang-orang yang dalam masa physical distancing ini masih dapat / sering kita jumpai. Bila ada yang berpendapat bahwa intensitas perjumpaan yang meningkat seringkali membuat potensi berkonflik turut meningkat. Maka kiranya pemahaman yang makin utuh pada firman hari ini mendorong kita untuk memperjuangkan kasih-Nya makin kuat dirasakan dalam setiap perjumpaan. Bila pun konflik terjadi, biarlah ini menjadi kesempatan bagi satu sama lain untuk lebih memahami karakter satu dengan yang lain.

 

Masalahnya, kerap kali ketika kita merasa orang lain itu adalah orang dekat kita (pasangan sendiri, anak sendiri, orang tua sendiri, saudara sendiri, atau sahabat sendiri) kita bersikap take for granted. Kita merasa sudah memahami mereka dengan mendalam, sehingga berhak mengambil keputusan berdasar prakiraan kita sendiri. Misalnya saja kita berpikir istri kita suka bagian sayap ayam, sehingga kita borong ayam di restoran cepat saji semuanya sayap, padahal ternyata sang istri lebih mendambakan bagian paha ayam. Atau kita berpikir anak kita menantikan kuota yang melimpah agar ia bisa main game dalam waktu yang lama, padahal anak-anak sedang mendambakan ditemani ayahnya/ibunya menyelesaikan pekerjaan rumah yang sedang harus segera mereka kumpulkan.

 

Oleh karena itu, sebagai seorang yang siap memahami firman, bersiaplah pula lebih memahami setiap anggota keluarga. Mereka memang adalah sesama kita, “tetangga” terdekat kita, namun kita juga perlu berkomitmen untuk mengasihi mereka sebagai somebody (seseorang) yang tidak dapat kita cengkeram dalam genggaman kita. Dengan memahami sesama dengan sungguh bukankah kita juga sedang memahami firman dengan makin sungguh?

 

ypp

Selasa, 13 Oktober 2020

MENGELOLA KEKUASAAN DALAM KELUARGA

Minggu Biasa
Yesaya 45:1-7 | Mazmur 96:1-9 | 1Tesalonika 1:1-10 | Matius 22:15-22

Bagai makan buah simalakama, dimakan mati, tidak dimakan juga mati. Ini peribahasa Indonesia yang artinya serba salah. Pernah lihat buah simalakama? Berdasarkan hasil pencarian saya, ternya buah simalakama adalah yang biasa disebut sebagai mahkota dewa. Buah mahkota dewa ini beracun, tapi jika diolah dengan benar ia bisa bermanfaat menjadi obat. Banyak yang bilang bisa buat obat anti-kanker. Dari sini saya lalu berpikir, mungkin ini maksudnya. Jika sedang sakit, tidak memakan buah itu berbahaya karena buah itu obat. Tetapi jika diolahnya dengan tidak benar, juga memakannya berbahaya karena beracun. Itu hanya tafsiran saja. Tapi maknanya memang begitu, serba salah. Atau jika mau lebih panjang: terjebak dalam dua pilihan yang sama-sama berbahaya.

buah simalakama atau mahkota dewa

Dalam bacaan kita hari ini, Yesus berada dalam posisi bagai makan buah simalakama. Ia dijebak oleh orang-orang Farisi dan kaum Herodian soal membayar pajak terhadap kaisar. Farisi adalah kelompok Yahudi tradisional yang sangat taat menjalankan hukum Yahudi. mereka menolak budaya asing serta pemimpin asing, dalam hal ini Kaisar Romawi. Sebaliknya kelompok Herodian adalah golongan politik di kalangan Yahudi yang setia kepada Herodes, raja boneka Romawi di Galilea. Mereka sangat terbuka dengan budaya Romawi-Yunani. Kedua kelompok ini sebenarnya berlawanan, tetapi karena punya kepentingan yang sama, mereka berkoalisi untuk menjebak Yesus, seperti ungkapan dalam bahasa Inggris "Enemy of my enemy is my friend."

Jebakan mereka adalah pertanyaam "Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?" Apa pun jawaban Yesus terhadap pertanyaan itu pasti salah. Jika menjawab "ya", Yesus akan dianggap mengakui keilahian kaisar, karena kaisar mengangkat dirinya sebagai allah. Selain itu, Yesus juga akan dianggap pro-penjajah. Ini celah untuk orang Farisi yang menolak Kaisar. Yesus akan diperhadapkan kepada pengadilan agama. Tetapi jika Ia menjawab "tidak", Ia dituduh sebagai pemberontak, penghasut yang menolak membayar pajak kepada kaisar. Ia akan diperhadapkan pada pengadilan Romawi. Situasi ini bagai makan buah simalakama.

Akan Tetapi Yesus tidak terjebak dengan pertanyaan itu. Yesus menyuruh mengambil koin yang biasa digunakan untuk membayar pajak, dan bertanya gambar siapa yang ada di situ. Koin itu bergambar kaisar Agustus dengan tulisan "Agustus yang Ilahi, Imam Agung." Koin itu dipakai untuk membayar pajak, berbelanja dan kegiatan ekomoni lainnya. Koin itu tidak dipakai untuk persembahan di Bait Allah, karena pada koin itu tertulis kata-kata yang mengilahikan Kaisar, dan ditu ditolak oleh para pemimpin Yahudi.

Jawaban Yesus kemudian adalah jawaban cerdas. Ia tidak terjebak, karena bisa mengolahnya dengan baik. Yesus sengaja tidak menjawab “ya” atau “tidak”. Ia menjawab "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah." Yesus tahu bahwa uang itu memang dipakai unatuk mebayar pajak, tetapi tidak untuk persembahan kepada Allah.  Selain terhindar dari jebakan, Yesus pun menjawab pertanyaan Farisi yang sangat didasarari urusan teologis, berkaitan dengan pengakuan atas kaisar sebagai Allah. Jika Yesus menyarankan membayar pajak, berarti Ia mendukung kekafiran. Jawaban Yesus sangat menjawab pertanyaan mereka, bahkan menampar. Dengan jawab itu Yesus mau berkata dua hal. Pertama, tidak layak menempatkan Kaisar setara dengan Allah, makanya berikanlah kepada kaisar apa yang layak diberikan kepada Kaisar. Kedua, semua hal di dunia ini adalah milik Allah. Allah berkuasa atas segala sesuatu, karena itu berikan kepada Allah apa yang wajib diberikan kepada Allah. Karena semua adalah milik Allah, bahkan seorang Kaisar pun berada di bawah kuasa Allah. Allah pun bisa memakai seorang Kaisar yang adalah penguasa untuk menyatakan kekuasaan-Nya kepada umat-Nya. Ini terlihat jelas dalam bacaan pertama, di mana Allah menggunakan Raja Koresh, penguasa Persia, untuk mendatangkan damai sejahtera kepada umat-Nya.

Dari sini jelas bahwa Yesus mau menyatakan bahwa semua kekuasaan berada di bawah kuasa Allah, tidak terkecuali para Farisi. Orang-orang Farisi dapat dibilang memiliki kekuasaan dalam masyarakat. Mereka adalah orang-orang terpelajar, para rohaniawan dan pemimpin umat. Namun, mereka menggunakan kekuasaan mereka untuk mengejar kepentigan sendiri, bahkan menyalahgunakan kekuasaan untuk menyingkirkan lawan mereka, yang dalam kasus ini adalah Yesus. Mareka tidak bijaksana mengelola kekuasaan yang dipercayakan kepada mereka, sehingga menggunakannya untuk kepentigan sendiri dan merugikan yang lain.

Saudara, di dalam keluarga ada juga pihak-pihak yang memiliki kekuasaan. Orang tua memiliki kuasa, yakni wewenang, tanggung jawab, kemampuan, untuk memelihara dan membangun keluarganya. Namun, kadang kala orang tua cenderung menyalahgunakan kuasa dan wewenangnya shingga melukai anaknya. Suami pun kadang menggunakan kuasanya dan menyakiti istrinya, atau sebaliknya istri kepada suami. Oleh karena itu, hari ini kita belajar bahwa semua kekuasaan berada di bawah kuasa Allah, dan karenanya kelolalah kuasa itu dengan hikmat untk menyatakn kuasa Allah, bukan untuk kepentingan sendiri yang merugikan orang lain. Amin 
(thn)