Minggu Biasa
Mikha 3:5-12 | Mazmur 43 | 1 Tes 2:9-13 | Matius 23:1-12
Setiap
orang memiliki ukuran tersendiri tentang arti sebuah keberhasilan. Ada yang
benar-benar meletakkan makna ‘berhasil’ ketika pundi-pundi terisi serta banyak
investasi. Ada juga yang menetapkan keberhasilan dengan sekedar hidup bahagia
bersama keluarga. Tentu berbeda dengan zaman kerajaan-kerajaan. Ekspansi dan
pendudukan wilayah menjadi keberhasilan. Atau, seperti pemerintahan zaman
sekarang. Entah dimana letak keberhasilannya. Toh, banyak sedikitnya
pertumbuhan dan perkembangan tetap saja mendapat respon yang beragam. Banyak
sekali ukuran keberhasilan yang ada di dunia, termasuk kita masing-masing. Namun,
apapun keberhasilan itu, ditentukan oleh cara kita menggapainya. Dengan cara
baik kah, atau kotor?
Teks
Injil Minggu ini bercerita tentang bagaimana Yesus mengecam ahli-ahli Taurat
dan orang Farisi. Yesus mengajak murid-muridNya melihat bagaimana mereka menjalani
hidup. Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi merasa berhasil dalam hidup
ketika mereka merasa lebih tinggi derajatnya dibanding orang-orang pada
umumnya. Bisa duduk di kursi Musa, mengkhotbahi orang dengan sejuta aturan dan
larangan yang mereka sendiri tak melakukannya, serta duduk di kursi-kursi
paling depan dalam rumah ibadah menjadi
indikator keberhasilan hidup mereka. Hal itu sangat bertolak belakang
dengan apa yang diteladankan Yesus. Ia bisa duduk makan bersama orang-orang
yang terpinggirkan karena kecaman sosial. Yesus juga tak hanya menekan batin
orang-orang dengan ajaran-ajaran, namun meneladankan tentang cinta dalam
praktik hidupNya. Kecaman Yesus ini nampak dalam ayat 10-11, Janganlah pula kamu
disebut pemimpin, karena hanya satu Pemimpinmu, yaitu Mesias. Barangsiapa
terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. Apa maksud Yesus?
Bagaimana keberhasilan itu?
Yesus berkata bahwa Mesiaslah yang seharusnya
menjadi pemimpin tunggal. Tentu, Yesus berbicara mengenai diriNya sendiri. Ia
ingin mengajar bagaimana seorang pemimpin itu. Tentu kita mengamini apa yang
diucapkan Yesus. Sebagai orang Kristen, mungkin kita pernah mendengar kalimat
ini. “jadikanlah Yesus sebagai pemimpin
hidupmu”. Bagaimana, pernah? Bukankah kalimat itu bagus sekali dan nyaman
didengar. Kalimat itu mengajak kita untuk menjadikan Yesus sebagai pemimpin
tunggal dalam kehidupan kita, bukan harta, atau tahta, juga bukan wanita.
Namun, kita perlu berhati-hati dalam mengekspresikan iman kita. Mengapa
demikian? Perhatikan kalimat, “jadikanlah
Yesus sebagai pemimpin hidupmu”. Jika kita mencerna kalimat ini baik-baik,
ada kesan bahwa Yesus menjadi pemimpin kehidupan atas seizing kita. Atau dengan
bahasa lain, kita yang ‘melantik’ Yesus sebagai pemimpin. SALAH! Bukan demikian
konsepnya! Kita tak punya otoritas untuk ‘melantik’ Yesus. Jatah kita adalah
menyadarinya! Yesus dengan gamblang berkata “karena hanya satu Pemimpinmu, yaitu Mesias”. Perkataan Yesus ini bukan sebuah permohonan untuk
menjadikan dirinya sebagai pemimpin kehidupan, namun jelas sebuah peryataan.
Kita tidak diajak mengkonfirmasi, namun diajak mengafirmasi. Apakah kita
menyadari bahwa segala peristiwa yang ada dalam hidup adalah dalam pimpinan
Yesus sang Mesias? Nah, yang menambah menarik adalah Yesus menggunakan kata
‘Mesias’. Arti harafiah Mesias adalah ‘yang diurapi’, namun Mesias juga
memiliki makna lain, yakni juru selamat. Berarti, menyadari Yesus sebagai
pemimpin adalah sebuah garansi bahwa apapun yang terjadi, Yesuslah yang akan
senantiasa menjadi penyelamat kehidupan.
Kembali
lagi, apa itu keberhasilan? Ketika kita benar-benar menyadari dan menghidupi
bahwa Yesuslah pemimpin satu-satunya dalam hidup, kita tak akan pernah memiliki
kegagalan. Mengapa? Kemanapun kita berjalan,Ia yang menjadi pemimpin
perjalanan.
Yesus
mengecam ahli-ahli Taurat karena mereka menggunakan status mereka untuk menekan
kehidupan orang-orang pada saat itu. Matius 23:4 Mereka mengikat beban-beban berat, lalu
meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya. Sebenarnya, kritik ini
sangat ‘mashoook’ untuk para
pejabat-pejabat gerejawi, khususnya para pendeta. Sampai-sampai ada istilah gajah diblangkoni, isa kojah ora isa
nglakoni, yang artinya bisa khotbah tapi nggak bisa menjalani. Bukankah tafsir Alkitab yang begitu mengawang
di udara sudah seharusnya disertai degan upaya untuk menimplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari? Ketika Yesus juga merujuk gaya beribadah ahli-ahli
taurat, sebenarnya Yesus juga sedang menempatkan dirinya sebagai Allah yang
tidak berkenan atas peribadahan mereka. Apakah ibadah ada indicator keberhasilannya?
Ya, susah sekali mengukur itu. Namun, kita tetap harus mengupayakan agar Yesus
berkenan atas segala peribadahan kita. Ibadah adalah hal privat yang harus kita
upayakan dalam setiap degup jantung kita. Oiya, saya punya analogi tentang
ibadah, yakni seperti kita BAB di rumah orang. Tentu kita akan sopan dalam
memasuki toilet itu. Jika toilet gaya lama, kita akan menyalakan kran air,
supaya suara airnya menyamarkan suara-suara cringe
yang bisa saja terdengar dari luar. Setelah itu, kita akan membersihkannya
setelah BAB itu usai. Sebersih mungkin! Ya, peribadahan itu seperti itu. Privat
sekali, tak perlu orang tau, kapan dimulai, bagaimana prosesnya, dan bagaimana
endingnya. Cukup hanya kita yang melakukannya, dan Tuhan yang tau. Selamat
mencoba. Semoga BERHASIL!
ftp