Kamis, 28 November 2019

BERKARYA DALAM PENANTIAN

Minggu Adven I
Yes 2:1-5 | Mzm 122 | Rm 13:11-14 | Mat 24:36-44
Pada saat bersama seseorang atau sekelompok orang, lakukan gerakan yang menunjukkan gestur bahwa anda akan segera berbicara, lalu batalkan berbicara dan diamlah. Diam sementara waktu saja. Satu jam kira-kira. Bukan, bukan. Cukup 1 menit saja. Percayalah, lawan bicara akan menunggu dengan raut wajah penasaran. Atau, ketika akan memulai melayani Firman, diamlah di awal. Orang-orang akan menunggu dengan gelisah. Banyak orang sepakat, bahwa menunggu itu tidak enak. Entah mengapa, kadang waktu bisa terasa berjalan begitu lambat ketika menunggu. Dan masa menunggu itu telah tiba. Apakah kita akan jenuh, atau justru ceria? Minggu ini, kita sudah memasuki Tahun Liturgi yang baru yakni Tahun Liturgi C, yang berarti Minggu Adven sudah dimulai. Adven dimulai, masa menanti pun dimulai.
Teks Injil pada Minggu ini bercerita tentang nasihat supaya berjaga-jaga. Yesus memberikan perumpamaan-perumpamaan mengenai kedatangan Anak Manusia. Teks ini tidak biasa. Yesus tidak mengajar seperti biasanya. Biasanya satu perumpamaan, namun kali ini tiga perumpamaan. Pertama tentang kisah Nuh. Kedua, ada dua orang bekerja. Yang ketiga, kedatangan Anak Manusia yang seperti pencuri di malam hari. Ketiganya bukan berdiri sendiri-sendiri, namun bertujuan untuk mengajarkan cara menyikapi datangnya Anak Manusia.
Pada kisah Nuh, Yesus sengaja menitikberatkan pada cara hidup orang-orang sebelum air bah datang. Mereka hidup seperti biasa. Makan, minum, kawin, dll. Sampai pada akhirnya air bah itu datang dan melenyapkan mereka. Yesus hendak menegaskan mengenai waktu yang tidak bisa diketahui oleh siapapun. Mangapin Sibuea, nama seorang pendeta yang cukup terkenal di tahun 2003. Pasalnya, ia berkata bahwa 10 November 2003, Musa dan Elia akan memulai pekerjaannya. Lalu, semua manusia akan hilang pada 11 Mei 2007. Demikian katanya. Namun, jelas tidak benar. Tegas, apa yang disampaikan Yesus, bahwa tidak ada satupun akan tahu kapan masanya.
Perumpamaan kedua mengenai kedua pekerja, yang satu dibawa yang satu ditinggal. Tak dijelaskan mengapa. Apakah cara kerjanya atau indikator lainnya. Melalui kisah pemilihan ini, berarti penghakimannya hanya diketahui oleh Allah. Mungkin manusia bisa melihat sikap dan tutur lata, tapi Allah bisa melihat hati. Yesus ingin supaya manusia tidak ada yang saling menghakimi satu sama lain. lihat saja fenomena zaman ini. Manusia menjadi sangat mudah menuduh yang lain sesat dan salah. manusia mudah terpecah belah karena pilihan politik yang beda, ajaran agama yang beda, dll.
Ketiga, tentang pencuri dan tuan rumah. Apabila Anak Manusia yang akan datang itu seperti pencuri, berarti manusia adalah tuan rumahnya. Sebagai tuan rumah, kita tidak bisa memastikan bahwa rumah kita aman. CCTV pun hanya bisa merekam kejadian pada sudut pandang tertentu. Kunci, gembok, bahkan petugas keamanan, tidak bisa menjamin. Pencuri tetaplah pencuri. Ia bisa datang tak diduga. Pencuri tidak bisa diprediksi. Bisa saat kita siap, atau lengah. Tapi, kita tetap harus siap sedia dan melakukan yang terbaik.
Melalui tiga hal itu, Yesus hendak mengatakan bahwa kedatangan Anak Manusia tidak ada yang tahu kapan, siapa yang dibawa, dan tidak bisa diprediksi. Namun, selalu ada pilihan. Ingat, Nuh sudah mengingatkan orang-orang pada zaman itu. Kita akan mendengar suara Tuhan, atau tetap hidup dalam dosa? Lihat, sementara mereka hidup lancer jaya, Nuh bersiap sebaik mungkin. Juga, mengenai dua perempuan itu. Allah melihat hati kita. Sehingga, dalam penantian ini kita diajak senantiasa memurnikan hati kita. Memurnikan panggilan kita, ibadah kita. Apakah benar karena kita mengucap syukur, atau malah sekedar rutinitas keagamaan? Dan, tentang pencuri. Iya, dia bisa datang sewaktu-waktu dan juga ahli. Tapi sebagai tuan rumah, kita mencoba mempertahankan rumah dengan segala sekuritas terbaik. Intinya adalah, kita tidak hanya menunggu Anak Manusia itu datang. Kita tetap harus berkarya. Kita harus selalu mengusahakan kebaikan.
Novelis besar, atau mungkin juga seorang spiritualis, Paulo Coelho pernah menulis, “Life was always a matter of waiting for the right moment to act”. Momen baik itu bisa hadir untuk kita melakukan sesuatu. Nah, dalam masa penantian itu, akan ada momen-momen baik yang harus dengan sigap dan ceria kita tangkap. Di situlah kita menunjukkan kesiapan kita. Menanti dengan hati yang gembira, dan mengisi penantian itu dengan karya-karya yang bisa dirasa. Selamat memasuki Adven 1.
ftp

Jumat, 22 November 2019

KRISTUS, RAJA SEMESTA

Minggu Kristus Raja

Yeremia 23:1-6 │ Mazmur 46 │ Kolose 1:11-20 │ Lukas 23:33-43

Salomo dikenal sebagai raja yang membangun Bait Allah dan seorang raja yang bijaksana. Sementara Grand Duke Henri dikenal sebagai raja terkaya tahun 2018. Dua raja ini memberi gambaran secara umum bahwa seorang raja dikenal dari kemampuannya, status, dan kekuasaannya. Banyak orang kemudian bermimpi bahkan mengejar posisi tersebut di ruang publik hari ini, sayangnya tak banyak yang disertai dengan kapasitas yang mumpuni. Mereka hanya mengejar status, sehingga dalam prakteknya mereka tak mampu melakukan karya sebagai raja yang memimpin maupun membangun. Malahan yang terjadi adalah berfokus pada kepentingan diri sendiri atau kelompoknya dan abai malah mengorbankan kepentingan orang lain.

Tak jauh berbeda dengan para pemimpin pemerintah maupun pemimpin agama di era Yeremia. Mereka tak menggunakan hati untuk memimpin, justru melakukan pelbagai kejahatan yang menindas umat dengan ketidakjujuran dan ketidakadilan. Dengan kuasa yang dimiliki mereka memeras. Oleh karena itu kemudian muncul ciri-ciri pemimpin baru yang berjuluk “tunas adil dari Daud”, yang merupakan proyeksi kehadiran Yesus sebagai raja yang bijaksana.

Siapa Yesus Kristus? Melalui Kolose 1:11-20 kita mendapat penegasan betapa besar kedudukan dan kuasa Kristus. Ada ungkapan-ungkapan yang menunjukkan keutamaan Kristus. Pada ayat 15-16 Kristus disebut sebagai “yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan, karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu.” Ungkapan ini didukung pula oleh ayat 17 “Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia” dan ayat 19 menjadi kesimpulan tegas  bahwa di dalam Kristus, “seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia.” Kuasa Kristus sudah dapat dirasakan bahkan sejak Allah menciptakan segala sesuatu di bumi, termasuk struktur-struktur kekuasaan yang ada.

Akan tetapi, Kristus yang memiliki kuasa atas semesta sekalipun memilih suatu jalan yang unik yaitu, memasuki realitas kehidupan ciptaan-Nya dengan datang menjadi manusia. Bahkan Ia dengan rela mengurbankan diri, menumpahkan darah di kayu salib demi memperdamaikan keterpisahan antara Allah dengan semua realitas di bumi maupu di sorga (ayat 20). Dari kepenuhan-Nya di tempat yang mahatinggi Ia rela mengosongkan dirinya memasuki realitas hamba yang berkurban bagi umat ciptaan-Nya.

Tak pernah ada yang bisa melakukan sama seperti Yesus. Namun menarik bahwa pernah ada seorang raja yang dikenal dari keunikannya berelasi dan berkarya mendekati pola Kristus. Ialah Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang pernah ‘menyebabkan’ seorang wanita pedagang beras pingsan! Hal ini disaksikan langsung oleh SK Trimurti, istri dari Sayuti Melik, pengetik naskah proklamasi. Dalam buku Takhta untuk Rakyat, ia menceritakan bagaimana dirinya mengalami langsung sikap ringan tangan Sultan. Kejadiannya pada tahun 1946 saat ia dalam perjalanan dari Jl. Malioboro menuju rumahnya di Jl. Pakuningratan (utara Tugu Yogyakarta). Ia penasaran ketika melihat kerumunan yang ada. Ternyata ada seorang wanita pingsan. Awalnya, wanita itu memberhentikan jip untuk menumpang ke pasar Kranggan. Setelah sampai, wanita itu meminta sopir mobil itu untuk menurunkan semua dagangannya, lalu ia bersiap membayar jasa. Namun sopir itu menolak dengan halus pemberian tersebut. Dengan emosi, wanita itu mengatakan apakah uangnya kurang. Namun sopir itu segera berlalu menuju arah selatan. Kemudian datanglah seorang polisi menghampiri wanita itu dan bertanya, ”Apakah mbakyu tahu, siapa sopir tadi?” Wanita itu menjawab, ”Sopir ya sopir. Habis perkara! Saya tidak perlu tahu namanya. Memang sopir tadi agak aneh.” Lalu polisi itu menimpali, ”Kalau mbakyu belum tahu, akan saya kasih tahu. Sopir tadi adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX!” Mendengar itu, pingsanlah wanita tadi. Sultan memang gemar menyetir sendiri dan senang memberi tumpangan. Dia senang bisa membantu masyarakat.

Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah contoh menarik dari seorang raja yang membaur dengan masyarakat sederhana untuk mengetahui keseharian mereka dan membantu mereka yang membutuhkan pertolongan. Entah apa yang membuat Sri Sultan Hamengkubuwono IX bertindak sedemikian, namun bila Kristus ditanya mengapa Ia melakukan-Nya, semata karena ketaatan dan kerelaan bukan emosi sesaat apalagi pencitraan demi kekuasaan.

Hal ini dibuktikannya dengan taat sampai mati di kayu salib. Di kayu salib itu, ketika kekuasaan-Nya diragukan, Kristus justru sedang menyatakan kuasa-Nya dengan penuh belas kasihan. Ia tak menghardik para elit, prajurit dan orang-orang yang gagal paham dan mengolok-olok-Nya, sebab Ia menyatakan kuasa tak memerlukan kekerasan. Ialah RAJA yang SEJATI sekalipun Ia menguasai SEMESTA sekalipun. Seorang raja sejati memimpin umat dengan hati, bukan memanfaatkan mereka untuk kepentingan diri sendiri, tidak oportunis dan menyalahgunakan wewenang untuk menekan umat demi kenikmatan, fasilitas kemudahan dalam berbagai hal.

KRISTUS SANG RAJA SEMESTA, telah memberikan teladan-Nya, kini tugas kita yang menyongsong kedatangan-Nya kembali untuk menerapkannya. Sudah waktunya hentikan imajinasi tentang kenikmatan sorga, sebab Kristus menanti kita berempati pada sesama, bersikap adil pada yang lemah, dan menyatakan kuasa kasih Allah tanpa kekerasan. Sebab kerajaan Allah harus diwujudnyatakan secara nyata di bumi seperti di sorga. Amin.
ypp

Jumat, 15 November 2019

TETAP TEGUH DI TENGAH HIDUP YANG RUNTUH

Minggu Biasa XXII
Maleakhi 4:1-2 | Mazmur 98 | 2 Tesalonika 3:6-13 | Lukas 21:5-19



Horatio G. Sapfford adalah adalah seorang pengacara dan pengusaha sukses di Chicago, Amerika Serikat. Ia dan istrinya, Anna, memiliki seorang putra dan empat orang putri. Tahun 1870, Horatio dan Anna harus mengalami pukulan hebat karena putranya meninggal akibat demam berdarah. Belum sepenuhnya pulih dari kehilangan, tahun 1871 mereka pun harus kehilangan rumah dan sebagian besar aset perusahaan Horatio akibat kebakaran besar yang melanda Chicago, yang dikenal dengan nama Great Chicago Fire. Ini menyebabkan perusahaan Horatio harus gulung tikar dan mereka memulai kembali dari awal.

Untuk menenangkan dirinya, Horatio mengajak Anna dan keempat putrinya pergi ke Inggris sekaligus menemui rekannya, Dwight L. Moody, seorang penginjil besar Amerika Serikat, yang berancana mengadakan pertemuan penginjilan di Inggris. Sesaat sebelum kapal yang akan mereka tumpangi berangkat, Horatio harus mengurusi beberapa masalah perusahaan yang mendesak. Akibatnya, Horatio berpisah dengan Anna dan keempat putri mereka yang berangkat duluan. Ia berjanji akan menyusl mereka sesegera mungkin. Akan tetapi, itu menjadi pertemuan terakhir Horatio dengan keempat putrinya. Malam tanggal 22 November 1873, kapal yang ditumpangi Anna dan keempat purinya mengalami kecelakaan dan tenggelam. Anna bersama 46 penumpang lain selamat, namun ia harus kehilangaan keempat putrinya yang ikut tengglam bersama 226 penumpang lain.

Dalam kesedihannya, Anna mengirimkan telegram kepada Horatio berisi pesan “Hanya aku yang selamat. Aku harus berbuat apa?” Mendengar kabar ini, Horatio bergegas menuju Inggris. Dalam perjalannnya ke Inggris, ia merenungkan dan mengingat semua tragedi yang terjadi pada keluarganya dan keempat putrinya yang meninggal di tengah-tengah samudera Atlantik itu. Dalam keadaan hati yang hancur, Horatio menulis pada secarik kertas, "It is well, the will of God be done."  Di atas kapal inilah Horatio kemudian menulis kalimat yang kemudian digubah menjadi himne It is Well with My Soul (Kendati Hidupku Tentram, NKB 195). Di tengah hidupnya yang runtuh dan berantakan, Horatio masih berpengharapan dan sanggup berkata “It is well with my soul;” "Jiwaku baik-baik saja." Kata-kata itu sampai sekarang kita nyanyikan dan menjadi kesaksian yang menguatkan dan meneguhkan di tengah hidup yang runtuh.

Banyak orang Kristen yang ketika mengalami penderitaan dan kesusahan dalam hidupnya kemudian berputus asa dan kehilangan semangat iman. Bahkan tidak jarang yang mengaitkan segala bencana dan malapetaka, perang, terorisme, bencana ekologis, dan penganiayaan sebagai akhir dunia.  Alih-alih berpengharapan, sebagian komunitas Kristen malah ketakutan dengan spekulasi-sepkulasi yang mengiringi kedatangan Tuhan kembali. Yang menyedihkan kemudian adalah kedatangan Tuhan diindetikan dengan kehancuran dunia, sehingga banyak orang Kristen yang hidup dalam ketakutan dan kehilangan semangat iman. Sesungguhnya krisis yang menimpa kehidupan manusia adalah bagian dari kehidupan yang terus berlangsung sepanjang sejarah.

Kekhawatian dan ketakutan ini dilandasi pada pembacaan Alkitab tanpa memahami konteks. Salah satunya adalah bacaan Injil Minggu ini, Lukas 21:5-19. Ketika itu murid-murid terpesona dan tekagum dengan keindahan dan kemegahan Bait Suci. Namun alih-alih kagum dan terpesona, Yesus justru menubuatkan kehancuran Bait Suci, “…tidak ada satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu lain, semuanya akan diruntuhkan.” Murid-murid menjadi heran bertanya kapan waktunya. Yesus melanjutkan dengan berkata bahwa akan datang nabi-nabi palsu yang memakai nama-Nya, diikuti tanda-tanda seperti peperangan dan pemberontakan, gempa bumi, kelaparan, wabah penyakit, penganiayaan, pengkhianatan, dan kebencian terhadap umat Tuhan. Berbeda dengan yang dikatakan beberapa kalangan Kristen bahwa itu adalah tanda-tanda akhir zaman, Yesus malah berkata “…. itu tidak berarti kesudahannya akan datang segera." Selain itu, Bait Suci yang dinubuatkan akan hancur, ternyata telah hancur than 70-an M, namun sampai sekarang hari akhir itu belum juga datang. Di sinilah pembacaan Alkitab harus dipahami dalam konteks penulisannya.

Yesus di sini mau memaparkan bahwa hal-hal itu akan terus terjadi dalam perjalanan hidup dan iman para murid. Oleh karena itu, Yesus menegaskan agar para murid tetap bertahan di tengah segala malapetaka yang membuat hidup mereka runtuh. Yesus mengajak para murid untuk tetap setia dan percaya bahwa pemeliharaan Tuhan nyata dalam kehidupan mereka. Ini terlihat dari perkataan-Nya “… tidak sehelai pun dari rambut kepalamu akan hilang.” Karena itu, bacaan Injil Lukas ini tidak untuk ditafsirkan sebagai akhir dunia, melainkan sebagai panggilan untuk memahami bahwa segala kesengsaraan, penderitaan, dan melapetaka pasti selalu terjadi dalam kehidupan manusia. Walaupun demikian kita memiliki pengharapan yang tetap setia memelihara dan memampukan kita untuk bertahan. Bukan hanya bertahan, penyertaan Tuhan juga memampukan kita untuk melanjutkan hidup dan karya kita, tetap bersaksi di tengah gurun penderitaan.

Senada dengan itu, Rasul Paulus juga mengajak jemaat Tesalonika yang mengalami kesengsaraan dan penganiayaan. Keadaan ini membuat mereka merasa bahwa Tuhan akan segera datang, dan karena itu mereka merasa tidak perlu berbuat apa-apa. Beberapa orang malah menolak untuk bekerja dan memperjuangkan kehidupan. Dalam keadaan seperti ini, Rasul Paulus mengajak umat untuk bertanggung jawab atas kehidupan, tetap melakukan pekerjaannya, dan tidak jemu-jemu berbuat baik.

Dari kedua perikop ini, kita dapat melihat bahwa ada pihak-pihak tertentu yang dengan serampangan mengaitkan penderitaan, penganiayaan, bencana, dan krisis dengan akhir zaman sehingga membawa ketakutan dan kengerian kepada umat. Dalam kondisi seperti itu, kita diingatkan bahwa semua penderitaan dan kesengsaraan itu adalah bagian dari kehidupan manusia yang selalu terjadi sepanjang sejarah. Namun, dalam segala penderitaan dan keruntuhan hidup itu kita diajak untuk terus bertahan dan tetap berkarya sehingga kehidupan kita menjadi kesaksian. Sebagaimana Horatio Spafford yang dapat mengatakan “jiwaku baik-baik saja” ketika ia mengalami segala keburukan yang membuat hidupnya runtuh, kita pun diajak untuk terus teguh dan di tengah hidup yang runtuh; Untuk menyatakan kasih dan penyertaan Allah melalui kesaksian hidup kita. (ThN)

Kamis, 07 November 2019

“IMAN KEPADA ALLAH YANG HIDUP”


Ayub 19 : 23 – 27; Mazmur 17 : 1 – 9; 2 Tesalonika 2 : 1 – 5, 13 – 17; Lukas 20 : 27 – 38

Pernahkah saudara mengalami pergumulan yang membuat anda sempat berpikir, lebih baik mati dibandingkan hidup! Karena apa baiknya hidup? Ada begitu banyak kesusahan, penderitaan, maupun persoalan yang tak pernah habis menggerogoti pikiran, hati, waktu, tenaga, maupun rasa percaya kepada Sang Ilahi. Bahkan tak sedikit orang Kristen menjadi Christian Ateist[1] karena begitu lelah dengan pergumulan hidup yang membuatnya hidup tapi tak benar-benar menikmati hidup. Ketika kenyataan kehidupan tidak selalu seindah yang kita inginkan, mari kita belajar untuk terus beriman seperti para tokoh dalam leksionari hari ini.
Dalam bacaan pertama dari Ayb. 19 : 23 – 27, kita melihat kehidupan Ayub yang masih dalam penderitaan, kehilangan yang bukan hanya materi, tetapi juga keluarga dan kesehatan. Di tengah-tengah kehidupan yang hancur berkeping-keping dan berjuang sendirian, Ayub tetap memilih beriman kepada Allah yang hidup. Apakah dia bisa memilih untuk tidak memercayai Tuhan lagi? Tentu bisa. Tapi ia lebih memilih beriman kepada Allah yang hidup. Keyakinan itu ia ucapan di ayat 25
“Tetapi aku tahu: Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit di atas debu. Juga sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa dagingku pun aku akan melihat Allah, yang aku sendiri akan melihat memihak kepadaku; mataku sendiri menyaksikan-Nya dan bukan orang lain. Hati sanubariku merana karena rindu.”

Ayub yakin Penebusnya hidup. Penebus tentu identik dengan Penyelamat yang adalah Tuhan. Sementara, kata hidup dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti masih terus ada, bergerak dan bekerja sebagaimana mestinya.[2] Artinya, Ayub yakin di tengah-tengah situasinya yang sulit, Allah yang ia percayai itu hidup, masih ada dan berkarya dalam hidupnya.
Keyakinan ini bukan semata-mata karena Ayub sudah lihat baru percaya, tetapi justru ia yakin sebelum ia melihat dan menyaksikan kebaikan Tuhan dengan matanya sendiri. Menarik, karena Ayub mengajarkan ketika dalam kondisi yang sulit dan entah kapan berakhirnya masa sulit itu, kita harus percaya dulu bukan bukti dulu. Percaya dengan iman kepada Allah yang hidup karena Ia ada dan besertamu dalam susah dan dukamu. Keyakinan Ayub ini bukan hanya soal rasa tetapi juga soal menyaksikan perbuatan Tuhan dalam perjumpaan pribadi bukan orang lain atau bukan hanya karena mendengar cerita tentang Allah dari orang lain.
Sementara itu, si pemazmur yaitu Daud dalam Mazmur 17 juga sedang mengalami proses hidup yang tak menyenangkan. Karena nama baik maupun nyawanya sedang terancam oleh musuh yang menekannya. Di tengah-tengah situasi yang terhimpit, Daud bukan lari dari Tuhan tetapi justru lari ke Tuhan. Ia memilih untuk berdoa dan meminta perlindungan Tuhan. Karena ia yakin, Tuhan itu hidup dengan melihat, mendengar dan menjadi hakim yang benar. 
Bukan hanya dalam konteks Perjanjian Lama (PL) yang mengisahkan iman akan Allah yang hidup, karena di Perjanjian Baru (PB) Yesus juga mempertegas hal itu. Dalam Lukas 19 : 27 – 38 bercerita tentang beberapa orang Saduki[3] yang tidak mengakui adanya kebangkitan. Mereka datang dan bertanya pada Yesus tentang kebangkitan dan Yesus dengan tegas menjawab Yesus menjawab di ay. 37 – 38
“Tentang bangkitnya orang-orang mati, Musa telah memberitahukannya dalam nas tentang semak duri, di mana Tuhan disebut Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub. Ia bukan Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup, sebab di hadapan Dia semua orang hidup."

Dari bacaan hari ini kita belajar:
1.   Jadi orang yang percaya dan mengikut Tuhan, bukan berarti hidup akan sepenuhnya baik-baik saja dan tanpa persoalan.
2.   Di tengah persoalan hidup, belajarlah dari Ayub dan Daud yang memiliki iman kepada Allah yang hidup.
3.   Dalam hidup ini, teruslah hidup karena kita memiliki Allah yang hidup dalam suka dan susah kita.

Tuhan menganugerahkan pengharapan dan iman yang terus kepadaNya.
-mc-


[1] Dalam buku Craig Groeschel berjudul The Christian Atheist (TCA), TCA berarti bagaimana manusia percaya kepada Tuhan tapi hidup seakan-akan Dia tidak ada.
[3] Saduki dalam Kamus Alkitab: suatu golongan pemimpin agama Yahudi yang sebagian besar terdiri dari imam-imam. Mereka mendasarkan pengajarannya pada kelima kitab Musa dan menolak segala adat istiadat yang ditambahkan kemudian. Mereka tidak percaya kepada kebangkitan dan kematian.

Jumat, 01 November 2019

MEMBENCI DOSA MENGASIHI PENDOSA



Minggu biasa 20
Yes 1:10-18 | Mzm 32:1-7 | 2 Tes 1:1-4; 11-12 | Lukas 19:1-10
Tema Minggu ini sebenarnya bukanlah hal baru dalam Kekristenan. Adalah Agustinus dari Hippo, seorang Bapa Gereja yang menuliskan dalam salah satu suratnya; Cum dilectione hominum et odio Vitiorum. Kalimat dalam Bahasa Latin tersebut jika diterjemahkan kurang lebih artinya ‘cinta untuk seluruh umat manusia dan membenci dosa’. Pada dasarnya, setiap mahluk hidup adalah baik, bukan dosa. Kita perlu mengingat bahwa Allah menciptakan dengan melihat bahwa segala sesuatu itu baik (lih. Kejadian 1). Apalagi manusia. Allah menciptakan dengan nafas-Nya sendiri. Akan tetapi dalam perjalanannya, manusia mengalami kejatuhan di dalam dosa. Mulai dari kisah Adam dan Hawa dengan buah, Kain dan Habil, pun dosa-dosa lain yang tercatat dalam Alkitab. Kita pun sepakat, bahwa sampai detik ini, manusia sering berbuat jahat.
Teks Injil Minggu ini berbicara mengenai perjumpaan Yesus dan Zakheus. Kisah ini begitu melegenda. Paling tidak, cerita ini sangat dihafal oleh anak Sekolah Minggu. Perjumpaan yang mengesankan ini menjadi kiblat untuk kita berefleksi di Minggu ini. Diceritakan Zakheus adalah seorang kepala pemungut cukai. KEPALA. Ya, he is the boss. Pemungut cukai adalah pekerjaan dengan resiko dibenci oleh sahabat dan saudaranya sendiri, apalagi seorang KEPALA pemungut cukai. Dobel dibenci! Dia dibenci bukan hanya karena pekerjaannya sebagai penarik pajak, tapi lebih pada alasan Zakheus  bekerja kepada penjajah (Romawi). Itulah kenapa, pada Lukas 19:7 dikatakan bahwa Zakheus adalah ‘orang berdosa’. Dalam ilmu sosiologi, teori ini disebut labelling. Labelling adalah saat dimana individu atau kelompok memberi label atau merk pada individu atau kelompok lain atas sebuah perilaku. Ya, Zakheus diberi label ORANG BERDOSA. Tapi perhatikan, apa sebenarnya dosa Zakheus? Atau lebih halusnya, apa kesalahan Zakheus? Penyematan label ‘orang berdosa’ ada dalam kalimat langsung di ayat 17, yang berarti dosa Zakheus berasal dari anggapan orang, bukan tindakannya.dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat”, kata Zakheus. Padahal hukum yang berlaku dalam Imamat 6:1-5 berbunyi "Apabila seseorang berbuat dosa barang yang telah dirampasnya atau yang telah diperasnya atau yang telah dipercayakan kepadanya... Haruslah ia membayar gantinya sepenuhnya dengan menambah seperlima”. Coba perhatikan. Ketika hukum hanya mengharuskan manusia yang curang mengembalikan 120%, Zakheus hendak mengembalikan 400%. Ada dua kemungkinan; Zakheus uangnya banyak sekali atau dia yakin bahwa memang dia tidak berlaku curang dengan cara menarik pajak melebihi ketetapan. Saya meyakini kemungkinan kedua. Kalau benar demikian, labelling yang dilakukan masyarakat pada zaman itu jahat sekali.
Tapi, perhatikan cara Yesus menyapanya: Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu. Apa??!!! Yesus orang Nazaret itu mampir di rumah orang berdosa??!! Sungguh terlalu! Tapi, perkataan Yesus itulah sapaan Ilahi, bahwa Allah mencintai semua manusia. Ketika masyarakat Yahudi melakukan labelling padanya, Zakheus tetaplah seorang manusia yang dicintai Allah. Tuhan yang memandang manusia berharga, bahkan dalam Zakaria 2:8 dikatakan bahwa manusia itu seperti biji mata Allah.  Kasih Yesus itu menyentuh Zakheus. Ia mengalami perubahan dalam kehidupannya. Bahkan, ia berkomitmen akan memberikan setengah dari miliknya dan diberikan pada orang miskin. Ada perubahan dalam kehidupan manusia yang sudah disentuh oleh kasih Tuhan. Bukan hanya rasa bahagia, namun sebuah aksi nyata dan begitu bermakna.
Yesus berkata di ayat 10, “Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang.”. Kata ‘hilang’ di sini bisa berarti terhilang, tapi bisa juga sengaja dihilangkan. Zakheus adalah pihak yang dihilangkan dengan cara labelling yang keji. Kita bisa jadi Zakheus dalam konteks kita masing-masing dan berakhir dicap sebagai orang berdosa. Atau kebalikannya, kita bisa menjadi masyarakat Yahudi yang hobi memberi cap orang lain sesat, berdosa, dll. Tapi, cinta kasih Yesus menunjukkan kasih yang begitu murni dan tulus pada manusia. Ketika dosa memenjara kita, Yesus sendiri membebaskan kita dengan darah-Nya yang suci. Kita tahu, ada kesalahan-kesalahan yang bertebaran di sekitar kita, sentah dilakukan oleh kita sendiri atau orang lain. Namun, jika memang orang lain bersalah, mengapa kita tak memeluk dan merangkulnya dan menunjukkan kasih kepadanya?
Mengapa kita harus melakukannya? Coba lihat, apa yang dilakukan Yesus padamu.
ftp