Kamis, 30 Januari 2020

KEBAHAGIAAN DALAM KERAJAAN ALLAH

Minggu Biasa
Mikha 6:1-8 | Mzm 15 | 1 Kor 1:18-31 | Mat 5:1-12
Kebahagiaan kadang begitu rumit. Di sisi lain, kebahagiaan kadang begitu sederhana. Ada yang harus berusaha mengumpulkan harta dan investasi demi jaminan kebahagiaan, namun ada yang merasa bahagia meski tak punya apa-apa. Pada minggu ini, kita diajak merenungkan tentang kebahagiaan. Mungkin kita bisa mendapatkan perspektif baru mengenai kebahagiaan, meski belum tentu bisa mengubah cara kita menghayati kebahagiaan. Entah, ketika membaca tulisan ini, kita sedang bahagia atau berduka. Seorang Bapa gereja, Agustinus, berpendapat bahwa apapun yang diinginkan manusia selalu memiliki alasan dibaliknya, yakni untuk mendapatkan kebahagiaan. Meski kita harus sadari, bahwa bahagiaku belum tentu bahagiamu. Kebahagiaan jomblo adalah pasangan. Kebahagiaan pesakitan adalah pulih. Bahkan, satu bungkus mie instan di akhir bulan adalah kebahagiaan HQQ untuk anak kos. Ya, kebahagiaan sedemikian rumit dan sederhana. 
Yesus mengajar murid-muridNya di atas bukit. Matius 5-7 adalah rangkaian Khotbah Di Bukit yang juga digemari oleh seorang Mahatma Gandhi.  Yesus adalah tokoh yang unik, karena memang gaya dan ajaranNya seringkali berbenturan dengan kultur masyarakat pada zaman itu, bahkan dengan Torah. Banyak teks-teks dalam injil yang menunjukkan bahwa Yesus punya sudut pandang yang berbeda. Misalkan saja, orang-orang yang dijauhi oleh masyarakat, justru Ia dekati. Peraturan yang sebaiknya terus dijaga, Yesus melanggarnya dengan alasan (kasih). Coba lihat apa yang pertama Ia ajarkan. Yesus mengajar tentang kebahagiaan, namun begitu bertolak belakang dengan apa yang seringkali dipikirkan orang zaman itu, bahkan zaman ini. Yesus mengucapkan bahwa mereka yang miskin, berdukacita, lemah-lembut, dicela dan dianiaya adalah orang yang berbahagia. Tak usah berfilosofi terlalu panjang, tentu ini tak masuk akal. Namun, apa maksud Yesus?
Matius 5:3 berbunyi "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” Perlu kebijaksanaan membaca teks ini. Yesus tidak bermaksud kita membuang semua harta benda yang kita punya, lalu hidup miskin secara total. Bukannya mendapat kebahagiaan, kita akan berurusan dengan perut lapar, penyakit, dll. Kita perlu mengingat, Khotbah di Bukit ini disampaikan Yesus pada orang-orang Yahudi yang sedang ada dalam penindasan. Yesus ingin menekankan bahwa ‘kemiskinan’ adalah sebuah kondisi yang tidak selamanya buruk. Alkitab versi KJV dan NIV kompak menerjemahkan Matius 5:3 demikian, Blessed are the poor in spirit: for theirs is the kingdom of heaven. Miskin yang dimaksud bukanlah miskin harta, namun miskin secara spiritual. Hal ini menarik untuk dirasakan lebih dalam. Mengapa Yesus mengatakan bahwa yang berbahagia adalah mereka yang miskin (secara spiritual) di hadapan Allah adalah yang empunya Kerajaan Sorga?
Jika berbicara miskin secara material di hadapan Allah, hal ini akan sulit dihayati oleh orang kaya yang saleh dan baik hatinya. Sebaliknya, pemalas yang tak punya apa-apa tertawa ketika memandang teks ini dari segi material. Bukan secara material, namun secara spiritual. Apa maksudnya? Yesus menawarkan sebuah gaya hidup yang begitu medasar, yakni miskin secara spiritual di hadapan Allah. Miskin adalah kondisi dimana seseorang tidak berharta, atau serba berkekurangan (KBBI). Jadi, ketika manusia merasa miskin secara spiritual, ia tak akan pernah merasa diri suci dan lebih baik dari yang lain. Lihat saja, dunia ini sering kacau karena orang merasa lebih baik atau lebih hebat dari yang lain. Menjadi pribadi yang miskin secara spiritual akan menjadikannya sosok yang rendah hati, tulus, juga berhikmat. Merasa miskin di hadapan Allah membuat seseorang benar-benar mampu menggantungkan hidupnya pada kasih dan karunia Allah. Dari situlah, akan timbul sebuah kebahagiaan sejati yang tidak akan pernah digoyahkan oleh siapapun. 
Kalau teks Injil hari ini adalah ajaran pertama Yesus pada murid-muridNya, nampaknya hal berbahagia untuk menjadi miskin di hadapan Allah adalah pondasi yang ingin Yesus tanamkan dalam sanubari mereka. Mengikut Yesus bukan perihal melihat segala mujizatNya, namun mau hidup bersama denganNya. Yesus menginginkan agar para murid menjadi manusia yang mampu menerima jalan dan rencana Allah sebagai yang utama dan terutama. 
Ketika kita mengaitkan spiritualitas yang Yesus tawarkan dengan tema kita, kita akan mengiyakannya dengan mudah. Mengapa? Inti dari Kerajaan Allah adalah damai sejahtera bagi seluruh ciptaan, sehingga kita tahu bahwa kebahagiaan itu ada dan berasal dari Allah dalam KerajaanNya. Sehingga, miskin di hadapan Allah adalah berserah kepada segala rancangan dan karya Allah yang penuh kebahagiaan.

Kamis, 23 Januari 2020

MELIHAT TANTANGAN SEBAGAI PELUANG


Minggu III Sesudah Epifani

Yesaya 9:1-4 Mazmur 27:1, 4-9 │ 1 Korintus 1:10-18 │ Matius 4:12-23

Juminten baru-baru ini menuntaskan kuliahnya di Washington, saat ini ia sedang bersiap diwisuda. Namun ada kegelisahan dalam hatinya, sehingga ia bergegas menjumpai dosen walinya. Disampaikanlah segala ke-galau-annya kepada sang dosen, “Bu, aku sangat galau mau diwisuda besok.” “Kenapa?” sahut dosennya, “Apakah karena orang tuamu tak dapat hadir?” “Bukan, bu, bukan karena itu.” “Lantas, mengapa menjelang wisuda justru kamu menjadi galau? Sementara saat bimbingan skripsi lalu, kamu begitu bergembira akan segera menyelesaikan studimu?” kata sang dosen. “Jadi begini bu, iya saya antusias menyambut situasi baru yang lebih luas dari ruang kelas kita, saya bergembira akan segera menerapkan teori-teori kekinian di lapangan, dan saya ini sudah di terima di sebuah start up yang sedang berkembang. Tapi bu…begini lho, di sana saya langsung diminta untuk menjalani approbation sebagai staff khusus direktur keuangan dan manajemen resiko. Itu suatu pekerjaan yang tak mudah kan bu!?” jawabnya dengan kegelisahan yang makin berkobar. Ibu dosen ini cukup bingung, namun memahami bahwa memang ada mahasiswa yang justru gelisah menjelang wisuda, bukan karena tak tahu masa depannya akan menjadi seperti apa, namun justru karena tahu ada tantangan besar di depan sana.

Tantangan memang senantiasa menghadirkan ketegangan bagi yang menghadapinya. Ketegangan antara rasa antusias dan rasa kuatir, sebab tantangan itu ada di depan, dan yang di depan selalu tak dapat sepenuhnya dipastikan.

Yesus Kritus, Tuhan kita pun menghadapi tantangan ketika Ia mengawali karya di Galilea. Sejak ayat 12 pun kita tahu bahwa Yesus menghadapi tantangan adanya penangkapan terhadap Yohanes Pembaptis oleh Herodes Antipas, sang penguasa, akibat pemberitaan yang dibuatnya, yakni, “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!”  Yesus memilih menyingkir. Akan tetapi nampaknya penyingkiran yang dilakukan Yesus bukan langkah menjauh jauh dari tantangan ditangkap oleh Herodes Antipas, sebab pada ayat 17, di saat penyingkiran itu, Yesus menyampaikan berita yang sama dengan Yohanes Pembaptis. Ya! Yesus menyuarakan yang sama! Tidakkah Ia menyingkir? Tidakkah Ia sedang menghindari kemungkinan untuk ditangkap oleh Herodes Antipas? Nyatanya Yesus menyingkir bukan untuk menghindar, namun sedang berjalan ke tepian Danau Galilea untuk melanjutkan karya-Nya mewartakan, “Bertobatlah dari dosa-dosamu, karena Allah akan segera memerintah sebagai Raja!” Yesus menyingkir ke Galilea untuk menghadapi tantangan sekalipun membahayakan diri-Nya.

Galilea itu daerah penuh tantangan bagi Yesus, dan Ia mengelilingi daerah penuh tantangan itu. Sebab Ia melihat tantangan itu sebagai peluang. Bagaimana tidak, Galilea adalah daerah yang dikenal paling subur di daratan Palestina. Kesuburan Galilea menjadi buah bibir orang-orang Timur Tengah Kuno. Kondisi tersebut membuat Galilea yang kecil menjadi daerah yang padat penduduk dan menjadi wilayah yang paling terbuka bagi hal-hal yang baru. Yosefus, seorang mantan Gubernur Galilea bahkan pernah menyatakan bahwa masyarakatnya adalah orang yang senang pada hal-hal baru dan bersedia berubah dan menyenangi hal-hal yang bersifat menghasut.

Maka Galilea adalah lahan yang memiliki peluang besar untuk diajak membarui diri, bertobat, bersiap menyambut Kerajaan Sorga, dimana Allah sendiri yang akan memerintah. Bisa kita bayangkan bahwa Yesus masuk ke galilea dengan menyuarakan ajakan perubahan dengan #saatnyaberubah #bertobatlahAllahsegeramemerintah. Yesus tidak memilih jalan sebagai Rambo dengan senjata yang menebarkan kengerian dan menimbulkan kerusakan. Yesus memilih aksi nyata, bak pendemo, yang mendemonstrasikan kehendak Allah bagi diri-Nya dan bagi umat manusia. Ia berdemonstrasi dengan mengajar dalam rumah-rumah ibadat, memberitakan Kerajaan Sorga, dan menyembuhkan orang yang menderita - sengsara. Yesus melakoninya dengan yakin, sebagaimana keyakinan pemazmur dalam Mazmur 27:6 yang yakin Allah membantunya menghadapi musuh-musuhnya.

Yesus melihat tantangan sebagai peluang, dan Ia mengajak kita “Mari, ikutlah Aku!” ingatlah bahwa ajakan ini berarti ajakan untuk berjalan di belakang-Nya. Berjalan di belakang-Nya mengandung arti mengiringi, menaati, mencintai, menyerahkan diri dan mengabdikan diri dengan segala akibatnya. Ya, menjadi pengikut Yesus dan berjalan di belakang Tuhan Yesus membuat hidup kita mau tidak mau akan berubah. Berjalan di belakang Yesus ke sana ke mari, melakukan ini dan itu, berjumpa dengan berbagai orang pastinya membuat kita akan terpesona melihat prioritas-Nya, keprihatinan-Nya, dan orientasi hidup-Nya, yang membuat kita pun belajar membarui hal yang perlu kita prioritaskan/utamakan, membarui hal yang kita prihatinkan, membarui arah hidup kita demi menjadi sesuai dengan prioritas, keprihatinan, dan arah hidup Yesus. Akan janggal bila kita berjalan dibelakang-Nya namun hidup kita masih sama saja. Akan janggal bila kita mengikut Yesus Kristus yang melihat tantangan sebagai peluang namun kita tetap meilhat tantangan sebagai hambatan yang merisaukan.

Yesus tak memberikan tuntutan, syarat, ketentuan, pun larangan bagi kita untuk melihat tantangan. Yesus hanya memberikan ajakan, berupa contoh bagaimana kita harus melihat tantangan di depan. Tempat kerja kita, lingkungan studi kita, gereja dan masyarakat sekitar kita akan tetap memiliki tantangannya tersendiri. Mungkin tantangannya akan makin luas, makin rumit, dan makin berat. Bentuknya bisa berupa kesempatan untuk melewati tantangan-tantangan di depan dengan jalan pendek: penipuan, korupsi, pemerasan, pemanfaatan ketidaktahuan orang lain, perselingkuhan ataupun kesempatan untuk meraih kekuasaan dengan berkompromi dengan penguasa-penguasa yang menindas dan tidak berpihak pada kepentingan orang banyak atau juga dengan mamanfaatkan kedudukan demi kenyamanan diri sendiri.

Tetapi jika kita sadar siapa yang di depan kita, bagaimana contoh yang diberikan-Nya, dan status kita sebagai pengikut-Nya, maka kita akan sadar Yesus tetap berjalan di depan kita, mengajak kita untuk berjalan terus bersama Dia, mengikuti cara-Nya melihat dan melewati tantangan sebagai peluang dengan gembira. Sebab tidak ada yang lebih menggembirakan daripada hidup setia pada Tuhan dan kehendak-Nya. Amin.
ypp

Jumat, 17 Januari 2020

MERESPONS ANUGERAH DAN PANGGILAN ALLAH

Minggu II sesudah Epifani

Yesaya 49:1-7 | Mazmur 40:2-12 | 1 Korintus 1:1-9 | Yohanes 1:29-42


Mengawali tahun 2020 kita melihat ada banyak peristiwa yang membuat kita resah. Mulai dari terbungkarnya kasus-kasus korupsi di beberapa Badan Usaha Milik Negara hingga radikalisme agama yang merasuk ke sekolah-sekolah. BUMN yang seharusnya menjadi badan yang berkerja untuk kesejahteraan hidup orang banyak, dimanfaatkan oleh segelintir orang serakah untuk memperkaya diri dan keluarga mereka. Sekloah-sekolah yang seharusnya menanamkan toleransi dan sikap saling menghargai ditunggangi oleh kelompok-kelompok tidak bertanggung jawab yang memecah belah kesatua dengan kebencian terhadap kelompok lain yang berbeda.

Selain itu, kita juga melihat terjadinya bencana yang menelan banyak korban. Ada banjir yang melanda beberapa daerah di Indonesia, khususnya Jadetabek dan sekitarnya, yang menyebabkan kerugian materi juga menelan korban jiwa. Di negara tetangga kita, Australia, pun terjadi bencana kebakaran hutan yang mengakibatkan jatuhnya korban manusia serta membunuh jutaan hewan endemik benua tersebut. Bencana-bencana ini mengingatkan kita bahwa perubahan iklim dan kerusakan lingkungan hidup itu nyata. Kita tidak dapat lagi memungkiri dan mengatakan bahwa perubahan iklim serta kerusakan lingkungan hidup adalah mitos semata. Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan bahwa sebenarnya manusia punya andil terhadap kerusakan lingkungan. Di lain pihak, kita pun punya tanggung jawab besar terhadap alam semesta. Maka di sinilah sebenarnya kita sebagai saksi Kristus ditantang mewujudkan peran kita memperjuangkan keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan.

Menjadi saksi Kristus di tengah realitas yang memprihatinkan ini harus kita respons dengan terus menyatakan Allah melalui kehidupan kita. Bacaan Injil pada hari ini menunjukkan bahwa Yohanes Pembaptis menempatkan dirinya sebagai saksi yang menyatakan Kristus kepada banyak orang sehingga dua orang murid yang berada di dekatnya tergerak untuk mengikut Yesus. Peran Yohanes sebagai saksi di sini adalah menyatakan rahmat Allah di dalam Kristus kepada ada orang-orang di sekitarnya. Yang menarik, sebagai seorang nabi, Yohanes tidak  mengejar popularitas dengan mengumpulkan pengikut-pengikut untuk dirinya. Ia menyadari posisinya dan perannya sebagai seorang saksi yang mengantarkan orang lain untuk menerima rahmat Allah di dalam Kristus. Karena itu ia menunjuk kepada Yesus dan berkata, “Lihatlah Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia.”

Andreas yang hadir di situ dan merespons panggilan itu juga melakukan hal yang sama. Ia yang telah berjumpa dengan Yesus dan menerima rahmat Allah di dalam Kristus kemudian juga menjadi saksi bagi Simon, saudaranya. Andreas memang bukanlah seorang murid yang populer, bahkan dalam banyak bagian Injil, ia selalu diceritakan berada di balik popularitas Simon Petrus saudaranya. Namun demikian, keberadaan Andreas ini sangat menarik. Ia adalah orang yang ingin selalu membawa orang lain berjumpa dan berelasi dengan Yesus. Selain itu, kita bisa melihat bahwa ia juga adalah orang yang rendah hati. Ketika ia berjumpa dengan Simon, dia tidak berkata “Aku telah menemukan Mesias,” melainkan “Kami telah menemukan Mesias.” Di sini Andreas menunjukkan dirinya sebagai seorang saksi yang tidak berfokus pada dirinya sendiri melainkan bertujuan membawa orang lain kepada rahmat Allah di dalam Kristus.

Melalui Yohanes Pembaptis dan Andreas kita belajar mengenai panggilan untuk menjadi saksi. seorang saksi selalu memberi pengaruh positif bagi lingkungan sekitarnya, ia selalu terpanggil untuk menghadirkan rahmat Allah dan membawa orang lain di sekitarnya untuk hidup dalam rahmat Allah. Seorang saksi tidaklah berfokus untuk menonjolkan dirinya melainkan menempatkan dirinya sebagai hamba Allah. Dalam bacaan pertama seorang hamba bukanlah seorang yang dimuliakan atau yang dihormati melainkan orang yang dihinakan dan dijijikkan namun melaluinya Allah menyatakan rahmat-Nya. Seorang hamba dipanggil untuk menegakkan suku-suku Yakub menjadi terang bagi bangsa-bangsa dan menyatakan keselamatan Allah sampai ke ujung bumi.

Sebagai murid Kristus, kita pun diajak untuk merespons anugerah dan panggilan Allah itu dengan menyatakan kehadiran kita di tengah dunia yang membawa pemulihan dan pembaruan. Tugas gereja di tengah dunia tidak sekadar mengumpulkan orang-orang yang dipanggil Allah melainkan juga memperlengkapi orang-orang yang dipanggil itu untuk menjadi pedang yang tajam dan anak panah yang runcing yang siap diutus untuk melakukan pemulihan dan pembaruan serta menghadirkan perubahan kehidupan di tengah dunia dan masyarakat di sekitarnya.

Dalam konteks dunia sekarang ini, di mana tidak hanya ketidakadilan dan kebencian, tetapi juga krisis lingkungan hidup dan perubahan iklim menjadi realitas kita, rahmat Allah juga perlu dinyatakan tidak hanya kepada sesama manusia melainkan juga kepada seluruh ciptaan. Gereja perlu hadir di tengah pergumulan dan krisis kemanusiaan serta krisis lingkungan hidup yang terjadi di sekitarnya. Gereja berperan untuk menyatakan rahmat Allah kepada seluruh ciptaan serta membawa seluruh ciptaan untuk tinggal di dalam rahmat Allah itu. Gereja tidak bisa hanya berfokus pada dirinya sendiri, melanyani anggotanya, atau membangun gedung yang besar dan megah, tapi juga harus menjangkau lingkungan sekitarnya, masyarakat, bahkan alam semesta.

Di tengah ketidakadilan, penindasan, kebobrokan moral, kebencian, dan kekerasan, Gereja hadir untuk menyatakan rahmat Allah yang membela yang lemah, menyuarakan kebenaran, menebar kasih dan perdamaian. Di tengah ketidakpedulian akan kesejahteraan sesama dan kelestarian lingkungan hidup, serta rendahnya kesadaran masyarakat yang menyebabkan krisis sosial dan krisis lingkungan, gereja hadir untuk menyentak kesadaran dan mengajak untuk bergerak memperjuangkan keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan. Gereja adalah tangan, kaki, mulut, mata, dan telinga Kristus di dunia untuk menyatakan rahmat-Nya bagi semesta. Sebuah nyanyian dari abad ke-15 menyatakan demikian:

Kristus tidak memiliki tangan lagi,
Ia hanya memiliki tangan kita di dunia ini
untuk mengerjakan apa yang hari ini Ia ingin selesaikan.

Ia tidak memiliki kaki lagi,
Ia hanya memiliki kaki kita di dunia ini
untuk mencari sesama dan menolong pada jalan-Nya.

Kristus tidak memiliki mulut lagi,
Ia hanya memiliki mulut kita di dunia ini
untuk menghibur yang susah dan menyuarakan keadilan.

Ia tidak memiliki mata lagi,
Ia hanya memiliki mata kita di dunia ini
untuk melihat kesusahan orang lain dan menghiburnya.

Ia tidak memiliki telinga lagi,
Ia hanya memiliki telinga kita di dunia ini
untuk mendengarkan keluh kesah mereka yang datang kepada-Nya.

(ThN)

Minggu, 12 Januari 2020

HIDUP YANG PATUT DI HADAPAN ALLAH


Yesaya 42 : 1 – 9; Mazmur 29; Kisah Para Rasul 10 : 34 – 43; Matius 3 : 13 – 17

        Terkadang apa yang kita anggap salah, belum tentu salah juga di mata Allah. Demikian sebaliknya. Di momen Yesus dibaptis, mungkin banyak orang bingung dan bertanya-tanya, untuk apa Dia dibaptis? Bukankah Yesus bukan orang berdosa? Jadi apa makna baptisan Yesus? Di hari Minggu ini yang merupakan hari minggu memperingati baptisan Yesus, kita kembali mau melihat hidup Yesus yang patut[1] di hadapan Allah.
Tentu kita tahu bahwa Yesus dibaptis bukan karena Ia berdosa. Tetapi karena misi Allah di dalam dan melalui-Nya. Oleh karena itu, dalam Injil Matius 3 : 13 – 17 mengisahkan Yesus datang dari Galilea ke Yordan kepada Yohanes yang viral pada masa itu untuk dibaptis olehnya. Namun Yohanes malah mencegah Dia karena menurut Yohanes, bukan Yesus melainkan dialah yang perlu dibaptis oleh Yesus. Jika kita di posisi Yesus pada saat itu yang mendengarkan pernyataan dan pengakuan dari Yohanes, mungkin hal itu membuat kita besar kepala, tidak fokus lagi karena terbuai kata-kata Yohanes dan berpikir apa yang dikatakan oleh Yohanes memang patut dan seharusnya. Namun, ternyata Yesus justru bersikap berbeda. Ia justru mengatakan “biarlah hal itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kehendak Allah.”
Apa yang bisa kita pelajari dari sikap dan perkataan Yesus ini? Pertama, sekalipun ada situasi di mana Ia dapat menyombongkan diri dan menyeleweng dari misi Allah, Yesus tetap memilih untuk melakukan apa yang menjadi kehendak Allah. Kata kehendak menggunakan kata dikaiosunen (Yun) yang berarti  kebenaran atau keadilan Allah.[2] Karena kehendak Allah memiliki pengertian demikian, maka tentu kehendak Allahlah yang seharusnya diutamakan dan diwujudkan ketimbang kehendak pribadi. Kedua, Ia membiarkan apa yang menjadi kehendak Allah itu terjadi karena memang sepatutnya (layak, pantas, benar) untuk terjadi. Sekalipun banyak orang mungkin bingung, bertanya mengapa Dia dibaptis dan menganggap baptisan-Nya adalah kesalahan. Nyatanya, karena itu kehendak Allah untuk digenapi dalam diri Yesus. Lihat, tak semua yang dipandang manusia salah, menjadi salah juga di mata Allah.
 Ketiga, kerendahan hidupnya yang patut di hadapan Allah, bukan semakin direndahkan Allah tetapi justru mendapat pengakuan yang begitu tinggi melalui perkataan Allah yang terdengar di ayat 17 “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.” Kiranya apa yang Yesus lakukan ini bukan hanya sebagai pengetahuan kita semata. Tetapi juga mendorong kita untuk menghidupi hidup sebagai saksi Tuhan (bc. Kisah Para Rasul 10 : 42- 43) yang sepatutnya di hadapan Allah dalam keseharian. Amin.




[1] Patut dalam KBBI berarti layak, pantas, benar, sepadan, dll
[2] Dian Penuntun edisi 29 hlm 13.

Jumat, 03 Januari 2020

EPIFANI

MINGGU EPIFANI
Yesaya 60:1-6 | Mazmur 72:1-7, 10-14 | Efesus 3:1-12 | Matius 2:1-12
Coba tengok media sosial! Betapa ramainya berita tentang banjir di wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat dan sekitarnya. Tapi, ramainya berita, apalagi di twitter, adalah ramainya kehadiran netijen-netijen budiman untuk saling mempersembahkan sumpah serapah dan caci maki. Empati kepada korban tak lebih menang dari urat kebencian yang tersalurkan melalui tarian jempol di layar gawai. Semua pasti salah. Sampah, saluran air, media, sikap, kebencian. Banjir itu sendiri salah! Banjir itu memancing manusia-manusia untuk mengeluarkan teori-teori kebenaran masing-masing. Seperti ketika ada pencuri yang tertangkap, ada semacam priviledge yang tiba-tiba tercurah pada orang untuk ikut meninju atau sekedar memaki. Betapa mudah untuk menyalahkan. Namun, apa sebenatnya yang dibutuhkan? Kehadiran! Kehadiran sesama yang harusnya saling memapah dan mendekap, namun justru berwujud adu teori dan kebencian.

Berbicara mengenai kehadiran menjadi lebih menarik, ketika kita tahu bahwa Minggu ini adalah Minggu Epifani. Minggu dimana umat Kristen merayakan kehadiran Allah yang ‘mengada’ dalam diri Yesus. Bisakah Mimbar gereja menyuarakan kehadiran Allah dalam air yang menggenang? Dalam materi yang berserakan? Di antara ijazah dan surat-surat penting yang hanyut? Di antara tangis kelu manusia yang kehilangan kekasih hatinya?

Teks Tiga Orang Majus menjadi pijakan dalam kita membaca peristiwa banjir dan minggu Epifani. Tiga Orang Majus menjadi simbol yang begitu penting dalam peristiwa kelahiran Kristus di dunia. Mengapa demikian penting? Kita perlu mengingat bahwa Injil Matius ditulis bagi orang Yahudi. Menampilkan Orang Majus yang notabene adalah orang kafir, tentu akan menggoyangkan pikiran Orang Yahudi yang membacanya. Mana mungkin orang kafir mendapat kemurahan Allah untuk mencicipi kemuliaan itu? Namun, itulah pesan besar yang diusung dalam teks Matius 2:1-12, yakni kemurahan Allah itu tercurah bagi siapapun. Kemurahan yang memulihkan jiwa-jiwa yang terpasung luka dan trauma. Kemurahan Allah itu dibagikan bagi mereka yang kehausan. Cinta Allah dalam kelahiran Yesus itu memberi terang dalam kegelapan. Cinta Yesus memeluk mereka yang kedinginan karena hujan tak kunjung henti. 

Rasul Paulus berkata bahwa dialah yang paling hina (lih. Ef 3:8), namun mau menyatakan penyelenggaraan rahasia dalam diri Allah, yakni kasih yang universal. Dalam pengakuan Paulus tentang kehinaannya, ia menunjukkan kelemahan dan kekuatan. Mengapa demikian? Ia mengaku lemah, namun ia mau berjuang. Biasanya, ‘manusia’ menjadi sebuah tameng untuk melakukan salah, atau tak melakukan apa-apa. Ada semacam undangan Paulus untuk setiap pembaca suratnya, termasuk kita, untuk tidak menyerah pada kata ‘manusia’. 
Narayanan Khrisnan, seorang sederhana dari India yang mau menolong orang lain. Dalam video yang ada di Youtube, https://www.youtube.com/watch?v=VXyr0kAgrVU&t=6s , Khrisnan menunjukkan kehadirannya bagi siapapun. Mengapa ini menjadi menarik? Kehidupan dalam strata kasta seringkali membuat orang tak mau menolong atau peduli pada yang lain. Di akhir video, Khrisnan berkata, “I’m just a human being”. Dia juga mengaku, bahwa dia adalah manusia biasa. Sama seperti kamu dan aku. Manusia.

Berbicara tentang Epifani hanya akan menjadi omong kosong ketika Allah yang kita bicarakan tak tercermin dari respon kita akan suatu peristiwa. Kehadiran Allah dalam diri Yesus adalah kehadiran Sang Maha Tinggi menjadi rapuh. Pernyataan diri yang sangat radikal ini haruslah menjadi teladan gereja untuk melakukan tugasnya sebagai pernyataan diri Allah.

Banjir itu akan surut, namun dengan waktu. Waktu yang akan sangat cepat berlalu bagi mereka yang tak ikut merasa. Sebaliknya, sangat lama dan melelahkan bagi mereka yang terdampak. Kasih Allah itu akan nampak dalam misteri pertolongan di sana dari berbagai medium. Bagi kita yang tak tahu harus berbuat apa-apa, berdoalah! Paling tidak, energi kita tersalurkan dengan lebih positif daripada sekedar julid. Ada uang? Sumbangkanlah pada pihak yang valid. Punya kuota internet? Hati-hati menggunakan jari!

Paulus, Khrisnan, adalah Epifani itu. Termasuk siapapun dan apapun yang menemani mereka yang terdampak banjir. Siapapun dan apapun yang membantu mereka dalam genangan air itu. Allah hadir di sana. 

ftp