Kamis, 27 Oktober 2022

KELUARGA YANG MEMILIKI HIDUP YANG BERDAMPAK


Yesaya 1 : 10 – 18; Mazmur 32 : 1 – 7; 2 Tesalonika 1 : 1 – 4, 11 – 12; Lukas 19 : 1 – 10

 

Saudaraku, kualitas hidup seseorang bukan semata ditentukan dari kehadiran saja melainkan dari dampak apa yang ia beri pada lingkungan sekitar maupun sesama. Karena benda mati saja berdampak. Contoh, pena akan dinyatakan berdampak ketika kehadirannya bisa dipakai untuk menulis catatan, dll. Maka, hidup menjadi berarti ketika kita bukan hanya hadir tetapi juga mempunya dampak. Demikian juga dengan hidup orang percaya.

Dalam Yesaya 1 : 10 – 18 mengisahkan tentang kejemuan (kebosanan, ketidaksukaan) dan kebencian Tuhan (ay. 11, 14) atas ibadah orang Israel. Mereka begitu aktif memberi persembahan kepada Tuhan (ay. 11). Namun ibadah mereka yang baik itu tidak berdampak dalam kehidupan sehari-hari sebab hidup mereka tidak berdampak buat sesama. Tangan yang mereka pakai untuk berdoa ternyata tangan yang sama juga penuh dengan darah (ay. 15). Tentu bukan darah korban persembahan tapi darah sesama. Itu sebabnya, di awal bacaan Tuhan menyebut mereka Sodom dan Gomora karena perbuatan jahat mereka di hadapan Tuhan.  

Kejahatan apa saja yang dilakukan oleh orang Israel? Hal itu terjawab lewat harapan Tuhan untuk orang Israel di akhir bacaan kita. (ay. 16 – 17) Tuhan menginginkan agar umat Israel membasuh atau membersihkan diri mereka dari dosa, berhenti berbuat jahat, belajar berbuat baik, mengusahakan keadilan untuk anak-anak yatim dan perjuangkan perkara para janda. Jika mereka mau berdampak buat sesama, bukan hanya buat Tuhan melalui persembahan korban bakaran, Tuhan berkenan untuk menghapus segala dosa mereka (ay. 18) untuk itu seperti kata pemazmur dalam Mazmur 32 : 1 – 2, “berbahagialah yang diampuni pelanggarannya.”

Berbeda dengan orang-orang Yehuda, jemaat di Tesalonika justru melakukan hal-hal yang berdampak baik. Itu sebabnya, dalam surat Paulus yang kedua kepada jemaat di Tesalonika : 1 – 1 - 4 Paulus, Silwanus dan Timotius bersyukur atas iman dan kasih jemaat di Tesalonika. Sekalipun kehidupan mereka penuh derita, penindasan dan penganiayaan (ay. 4) sebab mereka minoritas sebagai orang percaya. Namun apa yang mereka rasakan tidak membuat mereka berhenti untuk berdampak bagi sesama.

          Hal ini terlihat di ay. 3, Paulus sampaikan karena imanmu makin bertambah dan kasihmu seorang akan yang lain makin kuat di antara kamu. Dampak yang mereka tunjukkan tak perlu jauh-jauh ke orang yang tidak mereka kenal atau asing. Mereka memulai dampak justru dari lingkup terkecil dan di sekitar mereka. Bahkan apa yang mereka lakukan juga berdampak jauh kepada Paulus, Silwanus dan Timotius.

          Saudaraku, bukan hanya dalam surat Paulus karena dalam kitab Injil Lukas, Yesus juga menunjukkan bahwa Ia juga berdampak dan Ia pun mau mengajak orang lain untuk berdampak. Injil Lukas 19 : 1 – 10 menceritakan Zakheus yang kala itu adalah kepala pemungut cukai mengetahui bahwa Yesus datang ke kota Yerikho, tempat ia tinggal. Ia yang kala itu sekalipun seorang pemimpin namun juga dianggap sebagai orang berdosa karena pekerjaannya yang dianggap banyak orang mengambil jatah pajak lebih dari yang seharusnya.

          Namun bagaimanapun tanggapan orang lain tentang dirinya, ia tak peduli karena yang ia butuhkan adalah melihat Yesus. Hal ini terlihat dari bagaimana ia berusaha untuk melihat Yesus dengan berusaha memanjat pohon ara. Hal itu tentu penuh resiko. Bagaimana kalau ia jatuh? pastinya bukan hanya malu, ditertawakan tetapi juga tubuhnya bisa terluka parah. Saat Zakheus berusaha untuk melihat Yesus. Yesus pun melihat Zakheus, memanggil Namanya padahal baru pertama kali emreka bertemu dan berkata  (ay. 5) “Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu.”Lalu Zakheus turun dan menerima Yesus dengan sukacita. Tentu apa yang Yesus lakukan ini bukan gratifikasi.

Namun apa yang Yesus lakukan ini mau memberi pengampunan dan dampak bagi Zakheus. Karena itu, (ay. 8) Zakheus berkata “Zakheus berdiri dan berkata kepada Tuhan: "Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat." Saudaraku, dari bacaan di Injil Lukas, Yesus mau mengajarkan bahwa Ia mau berdampak bagi orang lain melalui kehadiranNya dalam rumah dan hidup Zakheus. Demikian juga akhirnya Zakheus mau berdampak bagi hidup orang lain.

Dari seluruh bacaan hari ini, kita belajar untuk menjadi umat Tuhan yang saleh di hadapan Tuhan. Namun kesalehan kita bukan hanya kita wujudkan untuk Tuhan tetapi juga harus berdampak untuk sesama. Bagaimana dengan kita dan keluarga kita? Apakah hidup kita dan keluarga kita sudah berdampak bagi sesama? Setidaknya di dalam keluarga kita? (jemaat diberi waktu untuk sharing bersama pasangan/keluarga yang hadir/PF memberi contoh-contoh dampak yang bisa ditunjukkan oleh di dalam keluarga). Selamat berdampak. Tuhan memampukan kita semua. Amin. (mc)

Jumat, 21 Oktober 2022

KELUARGA YANG TETAP PERCAYA PADA PERTOLONGAN TUHAN


Yeremia 14 : 7 – 10, 19 – 22; Mazmur 84 : 1 – 7; 2 Timotius 4 : 6 – 8, 16 – 18; Lukas 18 : 9 – 14

 

Saudaraku, sebagai orang-orang yang percaya kepada Tuhan, kita seringkali berdoa. Namun apakah berdoa sudah menjadi bukti bahwa kita percaya? atau berdoa hanya sebatas rutinitas dan hanya sebagai sarana kita meminta sesuatu pada Tuhan. Dalam kitab Yeremia 14, mengisahkan orang-orang Yehuda yang saat itu mengalami kekeringan yang berdampak pada manusia dan juga binatang (ay. 1 – 6). Masalah yang mereka hadapi ini merupakan hukuman Tuhan atas Yehuda karena mereka sering kali memilih untuk menyembah berhala-berhala ketimbang Allah, dan enggan mendengar peringatan dari Allah (bc. Yer. 7, 8, 10 - 11). Itu sebabnya dalam ay. 10 Tuhan berfirman bahwa Ia tidak berkenan kepada mereka tetapi Ia mau mengingat kesalahan mereka dan mau menghukum dosa mereka.

 Dalam persoalan yang orang Yehuda ini alami, sangatlah baik ketika mereka menyadari kemurtadan dan dosa mereka kepada Tuhan (ay. 7), juga berdoa memohon pertolongan Tuhan (ay. 8a). Karena dengan menyadari kesalahan dan berdoa pada Tuhan menunjukkan bahwa mereka masih mengandalkan Tuhan. Namun demikian, berdoa ternyata tidak berarti mereka percaya pada Tuhan. Sebab ketika Tuhan tidak memberi apa yang mereka mau, (ay. 8b – 9a) mereka mengatakan Tuhan itu seperti orang asing, seperti orang perjalanan yang hanya singgah untuk bermalam, seperti orang yang bingung, seperti pahlawan yang tidak sanggup menolong.

Berdoa tidak selalu menunjukkan bahwa seseorang percaya pada pertolongan Tuhan. Karena dalam konteks Yeremia, orang Yehuda justru menggunakan doa hanya sebagai sarana untuk meminta apa yang mereka mau dan meminta Tuhan memberi apa yang mereka minta. Jika Tuhan tidak memberi apa yang mereka mau, mereka menganggap Tuhan seperti pahlawan yang tidak sanggup menolong, orang asing, orang yang bingung karena tidak bisa melakukan apa-apa. Hal ini menunjukkan bahwa rasa percaya orang-orang Yehuda pada Allah itu 0 (nihil). Mereka berdoa namun tidak sungguh-sungguh percaya. Mereka berdoa hanya supaya Tuhan memberi pertolongan.  

Saudara, apa yang dilakukan oleh orang-orang Yehuda berbeda sekali dengan apa yang dilakukan oleh Paulus. Dalam suratnya yang kedua kepada Timotius 4 : 6 - 8, Paulus yang saat itu menyadari bahwa perjalanan hidupnya tidak akan lama lagi (ay. 6) sebab ia sedang dalam penjara di Roma dan akan dieksekusi mati. Dalam refleksi imannya, ia mengatakan “aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.” Apa yang dikatakan Paulus ini menunjukkan bahwa pertandingan yang ia lalui menunjukkan berbagai persoalan hidup yang harus ia lewati. Namun ia tetap percaya, tetap setia bukan hanya sampai di tengah perlombaan tetapi sampai garis akhir. Dan di garis akhir, ia tetap memelihara iman kepada Tuhan. Ia tetap percaya pada pertolongan Tuhan.

Paulus bisa mengatakan hal ini karena dia punya pengalaman dengan Tuhan. Ia sampaikan (ay. 16) di dalam sidang pembelaan, tidak seorang pun yang membantu aku, semuanya (artinya orang-orang yang mengenalnya, orang-orang terdekatnya, orang-orang yang bisa ia andalkan) meninggalkannya. Tetapi (ay. 17) Tuhan telah mendampingi aku dan menguatkan aku, (ay. 18) Tuhan akan menyelamatkan aku. BagiNyalah kemuliaan selama-lamanya! Amin.

Apa yang ditunjukkan Paulus bukan hanya berkata bahwa ia percaya atau ia beriman tapi sebuah sikap di mana ia setia, percaya, memelihara iman dalam setiap persoalan sampai garis akhir kehidupannya. Ada aksi yang ia tunjukkan ketika ia berusaha untuk memelihara iman. Hal ini juga terlihat dalam kondisi yang hampir mati itu, ia tetap memuliakan Tuhan. Karena ia percaya pada pertolongan Tuhan bahkan dalam hidupnya yang penuh dengan sengsara.

Berbicara tentang percaya pada pertolongan Tuhan dalam sikap dan doa, Yesus juga mengajar para muridNya lewat sebuah perumpamaan orang Farisi dan pemungut cukai dalam Lukas 18 : 9 – 14. Diceritakan dalam perumpamaan itu, kalau keduanya suka berdoa di Bait Allah. Hal ini bisa jadi karena orang Yahudi lebih senang berdoa di Bait Allah seperti yang dituliskan dalam Mazmur 84 : 2. Berdoa di rumah Allah pun membawa kebahagiaan (ay. 5) dan pemazmur juga sampaikan mendekat kepada Allah di sion membuat orang percaya berjalan makin kuat (ay. 8). Maka berdoa bagi orang Yahudi merupakan hal yang baik. Apalagi jika dilakukan di kediaman Allah.

Saat orang Farisi yang adalah salah 1 pemuka agama Yahudi pada masa itu berdiri dan berdoa dalam hati, ia bersyukur karena tidak sama dengan perampok, lalim, pezinah dan pemungut cukai. Ia berpuasa 2x seminggu dan 1/10 hasilnya diberikan sebagai persembahan. Jika kita memperhatikan perkataan dalam doanya, di satu sisi memang menampilkan ungkapan syukur, namun di sisi yang lain ia menggap dirinya tinggi, benar, dan juga flexing (pamer) atas perbuatan-perbuatannya pada Tuhan.  

Sementara pemungut cukai yang adalah pemungut pajak untuk pemerintahan Romawi dan dianggap sebagai orang berdosa oleh masyarakat pada masa itu karena pekerjaannya. Ketika berdoa ia berdiri jauh-jauh dan tidak berani menengadah ke langit melainkan memukul diri dan berkata “Ya Allah kasihilah aku orang yang berdosa ini.” Dalam tradisi Yahudi, langit dipahami sebagai tempat kediaman Allah. Sehingga sikap pemungut cukai saat berdoa menunjukkan bahwa ia begitu takut atau tidak berani untuk melihat Allah (menengadah ke langit). Ia juga memukul dirinya sebagai tanda penyesalan, juga mengaku bahwa dirinya berdosa dan butuh dikasihi Allah.

Dari dua sikap orang ini, Yesus katakan (ay. 14) “Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” Tentu dari perumpamaan yang Yesus sampaikan, orang yang dibenarkan adalah pemungut cukai. Bukan hanya karena ia berdoa tapi karena sikapnya ketika berdoa kepada Allah. Saudaraku, dari kumpulan bacaan hari ini. Kita kembali mau diingatkan:


1)   Ingatlah untuk berdoa kepada Allah dalam segala kondisi hidup kita. Sebab dengan berdoa, kita berkomunikasi dengan Allah. Berkomunikasi dengan Allah ini pun tanpa kuota dan pulsa, tanpa batas ruang dan waktu. Maka teruslah berdoa kepada Tuhan. Karena seperti kata Paulus, ketika tidak ada seorang pun yang membantu kita dan semuanya meninggalkan kita, Tuhan akan terus mendampingi dan menguatkan kita dalam segala keadaan yang kita hadapi.

 

2)   Berdoa bukan sebatas kata indah yang diucapkan. Berdoa adalah sikap percaya pada pertolongan Tuhan. Sikap percaya pun bukan kita wujudkan dengan memaksa Tuhan seperti yang dilakukan orang-orang Yehuda tapi dengan rendah hati seperti pemungut cukai yang diceritakan Yesus. Karena dengan percaya dan rendah hati, kita memberi ruang bagi Allah untuk berkarya dalam hidup kita. Entah dengan memberi kita kemampuan untuk mencari dan mendapat jalan keluar, bantuan dari orang-orang sekitar, dll.

 

Saudaraku, di bulan keluarga ini. Mari kita kembali menyegarkan keluarga kita untuk sama-sama kembali berdoa bersama dan mewujudkan doa itu lewat sikap percaya kita pada pertolongan Tuhan. Ia mengenal isi hati kita, Ia juga mengenal keluarga kita. Ia tahu kebutuhan kita, Ia punya banyak cara menolong kita. Untuk itu, berdoa, percaya dan lihatlah karya Allah dalam hidup kita. Allah bersama kita semua. Amin (mc)  


Rabu, 12 Oktober 2022

Keluarga Yang Memiliki Kesatuan Bergumul Bersama Allah

 

Kejadian 32 : 22 – 31; Mazmur 121; 2 Timotius 3 : 14 – 4 : 5; Lukas 18 : 1 – 8

 

Saudaraku, tidak ada keluarga yang tidak pernah bertengkar. Entah itu karena hal sepele maupun karena hal besar yang terjadi. Namun, pertengkaran yang sering ada tanpa diinginkan itu, kadang menjadi ujian dalam keluarga yang entah meningkatkan saling mengenal, bertumbuh dan erat atau semakin berjarak dan membangun tembok. Hal itu tergantung bagaimana setiap anggota keluarga menyikapi setiap pertengkaran yang datang silih berganti.

Berbicara soal pertengkaran, hal itu pun tidak luput dari 2 saudara kembar, yakni Esau dan Yakub (bc. Kej. 27). Pertengkaran itu menghasilkan jarak yang semakin besar antara Esau dan Yakub. Namun demikian, dalam Kejadian 32 berisi kisah Yakub yang diperintahkan Tuhan untuk kembali ke rumah (Kej. 31 : 3). Perintah ini tentu menjadi berita sukacita bagi Yakub. Karena akhirnya ia bisa pulang dan seperti yang dirasakan anak rantau, mau sejauh apapun kita pergi pulang ke rumah keluarga akan menjadi tempat yang selalu dirindukan dan diinginkan.

Namun di sisi lain, buat Yakub perjalanan pulang ini juga menjadi perjalanan yang menakutkan. Mengingat, pertengkaran ia dengan Esau di masa lampau. Bahkan dulu, Esau bukan hanya marah tetapi juga ingin membunuhnya. Apakah perasaan marah dan dendam itu masih ada dalam pikiran saudaranya? Akankah ketika pulang, ia justru bukan melepas homesicknya tetapi malah mati?

          Semua pergumulan yang Yakub rasakan nampaknya tidak diketahui oleh istri, budak dan anak-anaknya entah mengapa? namun tentu diketahui oleh Allah. Sehebat apapun Yakub menyembunyikan masa lalunya dari keluarga, namun ia tidak dapat menyembunyikannya dari Tuhan. Untuk itu, setelah ia menyebrangkan keluarganya dan segala miliknya di sungai Yabok (ay. 23), tinggallah Yakub seorang diri. Untuk apa? Banyak yang mengartikan tindakan Yakub ini untuk berdoa dan bergumul dengan Allah (ay. 24 – 31). Sebab Yakub sadar bahwa ia tidak dapat mengandalkan kekuatannya sendiri dan ia amat sangat membutuhkan Tuhan dalam pergumulannya.

          Bukan hanya Yakub, tetapi juga pemazmur. Dalam Mazmur 121, ia mencari pertolongan dan mungkin saja ia sudah berusaha mencari pertolongan pada yang lain. Namun pertolongan yang sejati hanyalah dari Allah Sang Pencipta dan Penjaga hidup pemazmur. Bahkan penjagaan Allah bukan hanya beberapa jam seperti waktu jaga security atau hanya 24 jam sehari tetapi dari sekarang sampai selama-lamanya (ay. 8). Sebab Penjaga Israel tidak pernah terlelah dan tertidur.  

          Saudara jika dalam kitab Kejadian dan Mazmur, kita melihat bagaimana para tokoh Alkitab baik Yakub dan pemazmur bergumul bersama Allah - dalam pergumulan mencari Allah. Hal ini jugalah yang ditegaskan oleh Yesus dalam Injil Lukas 18 : 1 – 8. Di mana di awal bacaan ini Yesus katakan supaya pendengar harus selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu. Mengapa perlu lagi Yesus tegaskan dan ingatkan? Yesus jelaskan lewat sebuah perumpamaan seorang hakim dan seorang janda. Hakim ini tidak takut Allah dan tidak menghormati seorang pun. Kok bisa? Mungkin karena dia punya jabatan yang tinggi sehingga dia merasa bahwa bukan dia yang menghormati yang lain tetapi dia harus dihormati oleh orang lain. Dan tidak takut Tuhan mungkin menggambarkan bahwa pekerjaannya seperti Allah yang dapat menghukum dan menghakimi siapa pun.

Dalam bacaan juga menceritakan ada seorang janda yang selalu datang untuk minta dibela haknya terhadap lawannya oleh sang hakim. Namun sang hakim terus menolak dalam waktu yang lama. Si hakim pun merasa si janda ini hanya menyusahkannya dan menyerangnya setiap kali ia datang. Mengapa si hakim merasa demikian, bisa jadi karena si hakim memilih siapa yang mau ia tolong. Jika kaya maka tentu akan mendapat bayaran yang cukup tinggi. Namun jika yang datang hanya janda, mana ada uang? Apalagi di masa itu, kaum janda adalah kaum tidak terpandang dan miskin. Hingga suatu kali hakim memutuskan memberi apa yang diminta si janda namun dengan tujuan, supaya janda tidak datang lagi dan mengganggunya.

Saudara, karena ini adalah perumpamaan, maka siapa yang diumpamakan? Si hakim ditafsirkan sebagai Allah sebab Allah selalu dicari, dihormati sebab kedudukanNya melampaui siapapun, dimintai pertolongan, dimintai untuk dibela dan Allah juga seperti hakim yang dapat menghakimi, menghukum dan mengampuni seseorang. Sementara si janda ditafsirkan sebagai umat. Karena seperti janda yang terus datang meminta pertolongan dan tak punya kekuatan apa-apa demikian juga dengan umat.

          Namun demikian dari perumpamaan ini, Yesus menegaskan bahwa ada pemahaman umat yang keliru dan perlu diluruskan. Bahwa sekalipun si hakim berkedudukan tinggi, dicari, dihormati dan dapat menghakimi dan menghukum seperti Allah. Namun si hakim itu bukan Allah dan Allah juga bukan seperti si hakim itu. Sebab sekalipun Allah berkedudukan tinggi, dihormati, dapat menghakimi dan menghukum, namun Allah tidak mengadili secara asal dan pilih kasih dengan hanya memandang status dan uang.

          Pemahaman ini mungkin terjadi ketika di masa itu, banyak orang kaya semakin kaya dan miskin semakin miskin. Yang berlebih terus berlimpah, sementara yang kurang terus berkekurangan. Sehingga banyak orang kaya merasa tidak perlu Tuhan sebab hidup mereka sudah makmur dan orang miskin merasa lelah mencari Tuhan sebab hidup terus berkekurangan. Di tengah pemahaman yang keliru ini, Yesus menegaskan kembali untuk jangan jemu-jemu (KBBI: sudah tidak suka lagi atau bosan) berdoa sebab Allah tidak mempermainkan umatNya dengan mengulur-ulur waktu menolong mereka dan Allah membenarkan orang-orang yang siang malam berseru kepadaNya (ay.7).

          Untuk itu teruslah berdoa kepada Allah dan seperti pesan Paulus dalam 2 Timotius 3 : 15 - 17, ingat dan berpeganglah pada tulisan yang diilhamkan Allah untuk mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan dan mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.

          Saudaraku dari leksionari hari ini kita diingatkan,

1)   Jika saat ini kita punya beban yang begitu berat yang sedang kita pikul, kita akan menghadapi masa lalu kita yang berat, kita akan menghadapi Esau atau masalah yang kita rasa begitu menakutkan, ingatlah sikap Yakub – Ia berdoa dan bergumullah bersama Tuhan. Minta pertolonganNya sebab seperti kata pemazmur, tidak ada yang dapat menolong kita selain Allah dan Allah selalu stand by untuk kita.

 

2)   Jika kita mulai lelah untuk cari Tuhan sebab masalah kita tidak kunjung selesai. Keadilan tidak kita temukan. Kita merasa Tuhan pilih kasih antara kita dengan orang lain. Kita merasa usaha kita sia-sia kepada Tuhan, di titik ini ingatlah perkataan Yesus, harus selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu. Jangan biarkan apa yang kita rasakan dan hadapi membunuh relasi kita dengan Tuhan. Teruslah sekalipun jemu, bukan sebagai paksaan tapi sebagai kebutuhan kita pada Tuhan.

 

Saudara, di bulan keluarga ini. Keluarga kita juga punya banyak pertengkaran dan pergumulan. Kiranya kita belajar bukan berusaha menyelesaikan dengan kekuatan sendiri karena tak akan mampu dan bukan hanya kita secara pribadi yang bergumul dengan Allah. Tetapi sebagai keluarga, kita juga memiliki kesatuan untuk bergumul bersama Allah. Caranya? Carilah Tuhan bersama, berdoalah bersama, sharinglah bersama, baca Alkitablah bersama sebab #praytogetherstaytogether. Tuhan beserta kita semua. Amin (mc)

Jumat, 07 Oktober 2022

KELUARGA YANG MEMILIKI UCAPAN SYUKUR

 

                2 Raja-raja 5 : 1 – 15; Mazmur 111; 2 Timotius 2 : 8 – 15; Lukas 17 : 11 – 19

 

Saudaraku dalam Tuhan, mengucap syukur adalah hal yang sederhana. Namun, sering kali terlupakan. Jangankan di waktu sukar, di waktu suka pun mengucap syukur menjadi hal yang seringkali terlewatkan. Hal ini pun terungkap lewat kisah 10 orang kusta yang diceritakan dalam Injil Lukas 17 : 11 – 19. Dikisahkan ada 10 orang yang sakit kusta.

Entah sejak kapan dan kenapa mereka bisa sakit kusta hal itu tidak diceritakan, namun yang pasti di masa itu orang yang terkena sakit kusta menderita secara fisik karena sakit mereka, tetapi juga secara sosial. Sebab di masa itu, sakit selalu dimaknai sebagai akibat dari dosa yang dilakukan. Apalagi jika sakitnya tidak kunjung sembuh. Itu sebabnya, orang yang sakit kusta akan dijauhi oleh masyarakat dan juga keluarga karena dianggap sebagai orang yang berdosa dan mendekat kepada mereka hanya akan membuat orang yang sehat menjadi najis.

Sebagai orang yang sakit, tentu orang-orang yang sakit kusta ini berharap bisa sembuh. Itu sebabnya ketika mereka tahu Yesus memasuki desa mereka, sekalipun mereka berdiri agak jauh karena mereka dijauhi masyarakat dan harus menjauh dari masyarakat, namun mereka tidak kehabisan ide dan terus berusaha untuk menarik perhatian Yesus dan pertolonganNya. Mereka berteriak: Yesus, Guru, kasihanilah kami! Hal itu dilakukan tentu berkali-kali dengan seluruh daya mereka supaya Yesus memperhatikan mereka juga di tengah banyaknya orang yang mengikuti Yesus saat itu.

Alhasil, usaha mereka tidak sia-sia sebab Yesus berhenti dan memandang mereka. Namun Yesus tidak langsung menyembuhkan mereka seperti yang mereka harapkan. Yesus justru meminta mereka untuk pergi dan memperlihatkan diri mereka kepada imam-imam di Yerusalem. Jika kita berada di posisi mereka, apakah yang akan kita lakukan? Mungkin saja kita akan merasa kesal dan mengeluh, “sudah lelah berteriak ternyata ngga bisa langsung sembuh. Lagi sakit kusta, ini malah disuruh melakukan perjalanan lumayan jauh dari perbatasan Galilea dan Samaria ke Yerusalem. Belum lagi sampai di Yerusalem, bukannya ketemu tabib yang hebat untuk menyembuhkan malah ke imam-imam yang rata-rata bisanya mengajar dan berkhotbah. Nanti bukannya disembuhkan, malah dikhotbahin.”

Kisah ini mirip dengan kisah Naaman dalam 2 Raja-raja 5 : 1 – 15. Ia seorang pahlawan yang juga sakit kusta. Ketika ia pergi menjumpai nabi Elisa dengan harapan disembuhkan langsung seperti kesaksian pelayan istri Namaan, namun ternyata bukan Elisa yang berjumpa dengannya melainkan suruhannya. Ditambah lagi proses penyembuhan tidak langsung terjadi karena Naaman harus pergi ke sungai Yordan dan mandi di sana sebanyak 7x (ay. 10). Hal ini membuat Naaman gusar dan panas hati.

Kita kembali ke kisah 10 orang kusta di kitab Injil. Memang tidak diceritakan apakah mereka menggerutu atau tidak dalam perjalanan. Namun kemungkinan seperti yang dialami oleh Naaman, ada kemungkinan 10 orang kusta ini juga mengeluh. Tetapi sekalipun hal itu terjadi, mereka tetap pergi seperti yang Yesus sampaikan kepada mereka. Mengapa?

1)   Ingin membuktikan apa kata orang yang selama ini mereka dengar tentang Yesus. Kesaksian orang lain, Yesus bisa menyembuhkan banyak orang dan banyak penyakit. Yesus punya kuasa untuk menyembuhkan dengan cepat dan hebat.

2)   Ingin coba dulu karena tidak ada salahnya mencoba. Ya siapa tahu coba kali ini berhasil. Yang penting bisa sembuh, apa saja akan dicoba.  

3)   Percaya pada kuasa Yesus. Sekalipun apa yang Yesus perintahkan tidak masuk di akal dan bahkan penuh misteri. Sebab mungkin saja sesampai di Yerusalem, mereka akan diperintahkan hal lain lagi oleh imam dan tidak langsung sembuh. Namun, percaya pada Yesus tanpa tapi, membuat hal-hal yang nampaknya sulit dipahami dan diterima menjadi tetap bisa dinikmati dan dijalani.

Dan ternyata sekalipun awalnya Yesus tidak menyembuhkan mereka, namun ternyata sementara mereka di tengah jalan, mereka menjadi tahir alias sembuh. Kenapa Yesus tidak lakukan saja di awal ketika Ia berjumpa dengan mereka? Kenapa harus menyuruh mereka melakukan perintah dulu baru disembuhkan? Beberapa penafsir, menafsirkan karena Yesus mau mengajar mereka bahwa percaya pada Yesus bukan hanya keinginan dan perkataan semata, tetapi juga melalui tindakan.

Namun sayangnya, dari 10 orang yang disembuhkan, hanya 1 orang saja yang kembali untuk memuliakan Allah dan mengucap syukur. Hal ini memperlihatkan bahwa mengucap syukur itu sekalipun sederhana, namun mudah dilewatkan. Pertanyaannya kenapa hanya 1 orang yang kembali untuk mengucap syukur? Karena ia mengingat Allah. Ia sadar walaupun belum sampai ia di Yerusalem, namun penyembuhan yang ia terima tidak dapat dipungkiri adalah pekerjaan Allah. Saudaraku yang terkasih, dari kisah ini kita hendak belajar:

1.   Kita tidak bisa memaksa Allah memberi apa yang kita mau. Seperti 10 orang kusta atau Naaman yang tidak bisa memaksa Allah untuk langsung menyembuhkan mereka secara instan. Dari bacaan ini kita justru belajar bukan memaksa Allah mengikuti apa yang kita mau, tetapi kita belajar memaksa diri kita untuk mengikuti apa yang Tuhan mau.

2.   Percaya bukan hanya sebatas kata dan keinginan, namun juga tindakan. Tindakan percaya dengan mengikuti apa yang Tuhan mau akan mendatangkan kebaikan untuk kita.

3.   Jangan lupa untuk mengucap syukur pada Allah sebab sekalipun kita seringkali lupa akan kebaikanNya dan tidak setia kepadaNya, (2 Timotius 2 : 13) Dia tetap setia. Mengucap syukur itu perlu dibiasakan. Mulailah dari diri sendiri dan mulailah dalam keluarga kita.

Selamat mengucap syukur. Tuhan memberkati. Amin. (mc)