Minggu, 11 Desember 2022

TIDAK RAGU, TIDAK KECEWA

 Yesaya 35:1-10 | Matius 11:2-11 | Yakobus 5:7-10

Anthony de Mello pernah menuliskan kisah demikian: Seorang kawan minta sejumlah uang kepada Nasruddin. Nasruddin yakin bahwa uang itu tidak akan dikembalikan. Tetapi karena ia tidak mau menyakiti hati kawannya dan nilainya tidak terlalu besar, ia memberinya. Ia terkejut ketika persis seminggu sesudah pinjaman itu diberikan, orang itu mengembalikannya. Sebulan kemudian ia kembali untuk meminjam uang yang sedikit lebih banyak. Nasruddin menolaknya. Ketika orang itu bertanya mengapa ia menolak, ia menjawab, “Kali lalu saya tidak mengharapkan engkau mengembalikan uang itu – dan engkau mengecewakan harapanku. Kali ini saya mengharapkan engkau mengembalikan uang itu – saya tidak mau dikecewakan lagi!”

Kisah ini bercerita bahwa seringkali dalam berelaasi dengan orang lain kita sudah memiliki praduga tertentu. Kemudian, saat realita berbeda dengan yang kita duga, kita pun bisa jadi kecewa/ sulit untuk percaya pada orang tersebut.

Nampaknya demikian pulalah yang terjadi pada Yohanes Pembaptis terhadap Yesus Kristus. Yohanes Pembaptis adalah dia yang membaptiskan Yesus. Saat Yesus datang untuk dibaptiskan, ia merasa tak layak dan justru ialah yang seharusnya dibaptiskan oleh Yesus. Sebab Yohanes Pembaptis memiliki keyakinan bahwa Yesus Kristus adalah Mesias – Dia yang akan datang. Keyakinan tersebut disertai dengan praduga/ pandangan tersendiri tentang sosok Mesias. Bagi Yohanes Pembaptis, Mesias itu tak ubahnya petani yang mengambil kapak untuk menebang pohon. Mesias yang akan datang adalah menjadi hakim yang tanpa ampun, dengan api yang tak terpadamkan menyingkirkan semua pendosa dari muka bumi.

Lalu apa yang dilakukan oleh Yesus Kristus? Praduga Yohanes Pembaptis harus berjumpa dengan realita yang berbeda. Yesus tak tampil sebagai hakim yang tanpa ampun menghukum para pendosa. Ketika Yesus berjumpa dengan pendosa, Ia nampak penuh kasih. Yesus mengundang para pendosa duduk semeja dengan-Nya dan melalui percakapan penuh kasih Ia memberi undangan pertobatan. Dari sinilah nampaknya keraguan mulai timbul di hati Yohanes Pembaptis. Untuk menjawab keraguan itu, Yohanes mengutus para muridnya untuk bertanya pada Yesus Matius 11:3. Yohanes – ga suka bergunjing di belakang – ia ingin dapat jawaban langsung dan tegas dari Yesus untuk menghilangkan keraguan yang dapat berujung dengan kekecewaan.

Bagaimana Yesus menjawab pertanyaan ini?

Menarik bahwa Yesus tidak langsung menjawab Ya atau Tidak. Tetapi Yesus mengajak murid Yohanes Pembaptis dan Yoh. Pembaptis sendiri melihat dan merefleksikan setiap tindakan/ karya Yesus. Keraguan Yohanes Pembaptis dijawab dengan bukti nyata, dapat dilihat, dapat didengar bahwa melalui diri Yesus Kristus, Allah sendiri sedang terus berkarya di tengah pergumulan umat-Nya. Kedatangan Mesias adalah tindakan Allah yang hadir membawa pemulihan, pembaruan kehidupan yang utuh dan menyeluruh.

Dari sini kita belajar bahwa kedatangan Kristus bukan untuk memenuhi ekspektasi/ praduga manusia. Sebab kedatangan Mesias untuk menjawab kebutuhan utama umat, yakni keselamatan. Kedatangan-Nya untuk menyelamatkan kita. Menyelamatkan kita dari zona nyaman kuasa dosa. Menyelamatkan kita dari hukuman kekal. Menyelamatkan kita dari ego/pikiran/kepentingan diri yang menjerumuskan. Menyelamatkan kita agar kita mampu menjalani kehidupan baru yang sesuai dengan kehendak Allah dan lebih baik dari kehidupan kita di hari kemarin.

Melalui jawaban Yesus, kita juga makin tersadar bahwa manusia kerap salah memahami karya Allah. Kita merasa bahwa Karya Allah itu harusnya ABCD. Tanpa sadar kita berupaya memaksa Allah berkarya sesuai dengan logika kepala kita. Padahal untuk memahami karya Allah, seharusnya kitalah yang harus memasukkan logika kepala kita ke dalam kerajaan Allah. Agar kita memiliki pola pikir dan pola hidup kerajaan Allah. Saat kita memilikinya niscaya kita akan mampu mengenali kehadiran Allah dalam setiap proses hidup ini dan berbahagia menjalaninya, kita pun terhindar dari keraguan dan kekecewaan.

Saya jadi teringat pada sebuah cerita tentang seorang wisatawan dan seorang gembala di sawah. Wisatawan ini bertanya: “Bagaimana kira-kira cuaca hari ini?” Gembala pun menjawab: “Seperti yang kusukai.” Wisatawan ini pun heran dan kembali bertanya: “Bagaimana engkau tahu cuaca akan seperti yang kausukai?” Gembala itu menjawab: “Tuan, karena saya sering tidak selalu mendapatkan apa yang saya inginkan, maka saya belajar untuk selalu menyukai yang saya dapatkan. Itulah sebabnya saya yakin bahwa cuaca hari ini akan seperti yang saya sukai.”

Tetapi tak sedikit yang berkata, oh tak mudah bila kita dalam keadaan membutuhkan pertolongan Tuhan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Lalu Tuhan berkarya melalui proses yang panjang. Bagaimana supaya kita tidak terjebak dalam keragu-raguan dan kekecewaan?

Yakobus 5:7-10 menasihatkan kepada kita agar menanti dengan sabar dan penuh pengharapan dalam menantikan kedatangan dan pertolongan Allah. Kita diminta sabar sama seperti petani menanti dengan sabar hasil panen yang berharga. Petani yang sabar bukan petani yang nge-teh dan makan singkong di rumahnya. Petani yang sabar menanti di sini adalah dia yang mengisi masa penantian hasil panen dengan menjadwalkan dirinya untuk menggarap tanahnya, kapan waktu untuk menggemburkan, kapan waktu memberi pupuk, kapan menanami degan bibit yang baik, kapan menyiangi tanaman pengganggu, serta mempelajari kemungkinan berbagai tantangan yang dapat menggagalkan panen dan berani mencoba mengatasinya.

Kesabaran dalam masa penantian akan jawaban Allah maupun kedatangan-Nya kembali juga harus kita isi dengan hidup yang bermanfaat dan berkenan kepada Allah. Gimana itu? Menurut Yakobus hal ini nampak saat kita memiliki sikap sabar, keteguhan hati, tidak bersungut-sungut, tidak saling meyalahkan, dan ketekunan dalam menanggung kesukaran.

Saudari/a, suatu ketika seorang pemuda ingin masuk sekolah jurusan A. Syukur kepada Tuhan, ia diterima di jurusan tersebut. Begitu selesai sekolah, ia diterima di sebuah bidang pekerjaan. Namun pekerjaan itu suatu bidang yang asing dan tidak menggembirakannya. Cukup berat ia menjalaninya, ia bekerja hanya demi bertahan hidup. Minggu-minggu, bulan-bulan, tahun-tahun berganti ia terus menekuni bidang tersebut. Akhirnya ia mulai mengisi hari-harinya dengan mengerjakan bagiannya sepenuh hati, belajar bagian lainnya, dan terus menemukan cara-cara terbaik menyelesaikan pekerjaannya. Hingga kemudian pemuda ini mampu membuat sebuah perusahaan sendiri yang berkembang dan membuka lapangan kerja bagi orang banyak di bidang yang semula asing baginya. Suatu perjalanan hidup yang sering disebut orang diberkati Tuhan.

Dengan demikian, marilah kita rayakan masa adven ketiga ini dengan menyadari kehadiran-Nya dalam perjalanan hidup kita yang kadang memang dengan cara-cara yang unik, dan isilah masa-masa penantian akan kedatangan-Nya kembali ini dengan melakukan perbuatan yang memulihkan kehidupan dan meningkatkan kualitas kehidupan diri dan sesama. Amin.

ypp

Jumat, 25 November 2022

BANGUNLAH, SIAP SEDIALAH

Minggu Adven I

Yesaya 2:1-5 | Mazmur 22 | Roma 13:11-14 | Matius 24:36-44


Menunggu. Sebuah pekerjaan yang membosankan dan melelahkan menurut banyak orang. Biasanya, apa yang Saudara lakukan sembari menunggu, dalam antrean di rumah sakit misalnya? Mungkin ada yang melakukan kegiatan produktif lain, seperti membaca buku atau membaca artikel di internet. Ada juga yang menunggu sambil menonton film atau video melalui gawainya, atau ada juga yang bermain video game. Namun ada juga orang yang tidak melakukan apa-apa dan hanya berdiam diri. Bagaimana pun cara kita menunggu, yang pasti semua punya harapan yang sama, yakni agar penantian itu segera berakhir.

Minggu ini kita memulai tahun gerejawi yang baru melalui Minggu Adven pertama. Selain mempersipakan diri kita untuk mengingatrayakan kelahiran Kristus dalam Natal, Minggu Adven pertama juga mengajak kita untuk merenungkan penantian akan kedatangan Tuhan kembali pada akhir zaman. Jadi, sebenarnya masa Adven mengajak kita untuk merenungkan identitas kita sebagai orang Kristen yang hidup di antara dua Adven, yang sudah dan yang belum. Di satu pihak, Kristus sudah datang ke dunia, dan setiap tahun kita merayakannya. Di pihak lain, Kristus belum datang kembali, dan kita masih menantikan kedatangan-Nya kembali ke dunia pada akhir zaman. Dalam penantian itu, ada berbagai hal yang dapat terjadi, tetapi kita semua punya pengharapan bahwa Tuhan akan datang kembali untuk membarui segala sesuatu.

Dalam penantian itu, kita diajak untuk siap sedia. Namun, jangan sampai kebablasan karena pengharapan yang dispekulasikan. Mungkin di antara kita masih ada yang mengingat kejadian sembilan tahun lalu di Bandung. Seorang pendeta menyatakan bahwa pada tanggal 10 November 2003, kiamat akan terjadi, dan para pengikutnya akan diangkat sekitar pukul 09.00-15.00. Lalu ia mengumpulkan banyak orang dari berbagai daerah berkumpul di Baleendah, Bandung. Banyak di antara mereka yang menjual harta bendanya, lalu bekumpul di tempat itu menantikan pengangkatan. Namun ternyata kemudian bukan Tuhan yang mengangkat mereka, melainkan isilop. Sampai sekarang pun, kiamat yang dinubuatkan pendeta itu tidak pernah terjadi. Itulah jika pengharapan itu dispekulasikan, yakni didetailkan sampai hari dan waktunya.

Yesus sendiri sudah menekankan bahwa tentang hari dan saat itu tidak ada seorang pun yang tahu, kecuali Bapa (Mat. 24:36). Karena itulah, Yesus menegaskan kepada murid-murid-Nya untuk berjaga-jaga dan siap sedia. Ia mengatakan bahwa hari Tuhan itu akan datang sepeeti pencuri pada malam hari. Pencuri tidak pernah memberi tahu kapan ia akan datang mencuri, karena itu pemilik rumah harus siap sedia mengamankan rumahnya kapan pun, dalam kondisi apa pun. Ia tidak boleh lengah supaya rumahnya tidak kebobolan. Yesus juga mengatakan bahwa pada waktu itu, jika ada dua orang di ladang atau dua orang perempuan memutar batu kilangan, yang satu akan dibawa dan yang satu ditinggalkan. Yesus mau mengatakan bahwa kita tidak pernah tahu siapa yang berkenan dan siapa yang tidak. Tidak bisa dinilai melalui pekerjaan, jenis kelamin, atau apa pun itu. Hanya Allah yang dapat menghakimi. Selain itu, Yesus juga mengaitkan hari dan waktunya dengan zaman Nuh. Sebelum air bah datang, banyak orang hidup seperti biasa, makan, minum, kawin, dan sebagainya, sampai pada akhirnya air bah itu datang dan melenyapkan mereka. Ini mau menginatkan bahawa hari Tuhan itu bisa datang kapan saja.

Pesan lain dari sini adalah bahwa Nuh sudah mengingatkan orang-orang pada zaman itu, tetapi mereka masih hidup bersenang-senang, berpesta pora, bahkan menganggap sepele peringatan Nuh. Sementara mereka terlena dengan segala kenikmatan, Nuh sedang bersiap sedia. Inilah pesan Yesus bagi murid-murid-Nya dan juga bagi kita, bersiap sedia. Nuh mewujudkan kesiapsediaannya itu dengan membangun bahtera, tidak terlena dengan kenikmatan, dan tidak tergoda untuk mencari kepuasan. Siap sedia juga bukan berarti menjual segala harta benda, menjauhi dunia, dan hanya menanti tanpa berbuah apa-apa, seperti sekte Akhir Zaman yang akhirnya diciduk itu. Rasul Paulus mengekspresikan kesiapsediaan itu dengan kata-kata, “…saatnya telah tiba bagi kamu untuk bangun dari tidur” (Rm. 13:11). Bangun di sini berarti terjaga, waspada, tidak terlena dan terbawa arus dengan moralitas bobrok masyarakat. Orang Kristen tidak boleh ikut arus dunia yang dipenuhi dengan hawa nafsu dan keinginan untuk memuaskan diri sendiri. Namun, bangun di sini juga bukan berarti terus menunggu kedatangan Tuhan tanpa melakukan apa-apa. Bangun dan bersiap sedia artinya tetap melakukan peran dan tugas kita dalam dunia ini dengan bertanggung jawab.

Bangun dan bersiap sedia dalam penantian akan kedatangan Tuhan artinya terus berkarya dan berdampak, serta menghasilkan buah. Penantian itu tetap kita isi dengan melakukan pekerjaan kita – apa pun profesi kita, guru, pedagang, dokter, karyawan, pengacara, dan lainnya – dengan jujur dan bertanggung jawab; Melakukan pelayanan kita dengan sungguh-sungguh untuk Tuhan; Merawat dan mendidik anak-anak dan melakukan tanggung jawab sebagai anggota keluarga dengan kesadaran bahwa apa yang kita lakukan ini untuk membawa kehidupan yang lebih baik dan bermanfaat; Turut memperjuangkan keadilan dan perdamaian dalam masyarakat sebagai bentuk kepedulian kita; Ikut terlibat dalam pembagunan dan transformasi masyarakat. Bangun dan bersiap sedia artinya terus bekerja, dan bekerja adalah menghasilkan buah demi kebaikan dan menjadikan dunia ini tempat yang adil dan damai.

Reformator gereja, Martin Luther, pernah mengatakan, “Seandainya pun aku tahu besok dunia akan berakhir, aku akan tetap menanam apel hari ini.” Kita tidak pernah tahu kapan Tuhan akan datang kembali. Namun, kita punya pengharapan akan kedatangan-Nya kembali yang membawa pembaruan, dan kita terus menantikannya. Dalam penantian itu, kapan pun datang waktunya, bahkan besok sekalipun, bangunlah dan siap sedialah! Jangan pernah berhenti berkarya dan berdiam diri. Tetaplah lakukan karya yang menghasilkan buah dalam pengharapan akan kedatangan-Nya. Maranata! Datanglah, Tuhan! Amin. (thn)

Kamis, 17 November 2022

KRISTUS, RAJA YANG MENYELAMATKAN

Minggu Kristus Raja

Yeremia 23:1-6 | Mazmur 46 | Kolose 1:11-20 | Lukas 23:33-43


Minggu ini adalah hari Minggu terakhir dalam kalender liturgi, yakni Minggu Kristus Raja. Melalui perayaan Minggu Kristus Raja, umat Kristen selalu diingatkan akan otoritas Yesus Kristus sebagai Raja dan Tuhan yang berkuasa atas semesta alam, di tengah dunia yang semakin individualis dan sekuler. Bicara tentang raja dan kekuasaan, beberapa hari lalu baru saja diselenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali. KTT ini diikuti oleh para kepala pemerintahan dan 20 negara anggota dan beberapa undangan, yang punya kekuasaan dalam negaranya dan berperan besar mengarahkan kebijakan di negaranya. KTT ini membicarakan berbagai kesepakatan dan komitmen untuk pemulihan dunia pasca-pandemi, perbaikan ekonomi, konversi energi untuk penyelamatan lingkungan hidup, dan sebagainya.

Sekalipun KTT ini dihadiri orang-orang yang punya kekuasan di negaranya untuk membicarakan soal pemulihan dan kebaikan bersama, acara ini tidak luput dari masalah dan kontroversi. Mulai dari pembatasan, pembungkaman, sampai teror terhadap aktivis, termasuk juga masalah konflik Rusia-Ukraina yang sempat menimbulkan perdebatan di antara negara-negara anggota G20. Para penguasa dan pemerintah ini memang membicarakan pemulihan dan penyelamatan, tetapi orang-orang nomor satu ini pun tidak lepas dari kekurangan. Mereka adalah “raja”, tetapi bukan juru selamat.

Di lain pihak, Yesus Kristus yang tidak pernah menunjukkan diri-Nya sebagai seorang raja, tidak pernah menggunakan pendekatan kekuasaan, Dialah yang membawa pemulihan, rekonsiliasi, dan keselamatan yang sejati. Teks Injil Minggu ini memang menunjukkan Yesus Kristus yang tersalib, yang menderita, tetapi bukan berarti Ia kalah. Dalam derita dan sengsara-Nya, Ia membawa pemulihan dan keselamatan. Dengan berkata, “… ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat,” Yesus menyatakan pengampunan bagi mereka yang menyalibkan-Nya, bahkan mereka yang hanya menyaksikan Ia disalibkan. Selain itu, Ia memberikan keselamatan kepada penjahat yang disalibkan bersama-Nya. Sebelum penyaliban pun, Ia sudah mengampuni Petrus dan memberinya kesempatan kedua, bahkan sebelum ia menyangkal Yesus. Juga, setelah pengadilan-Nya di hadapan Herodes dan Pilatus, Ia membuka jalan rekonsiliasi bagi mereka untuk berdamai dan bersahabat. Secara tak langsung, Ia pun memberi kesempatan kedua bagi Barabas untuk bebas. Bahkan setelah penyaliban-Nya, Ia membuka mata kepala pasukan Romawi sehingga mengakui-Nya sebagai Anak Allah.

Yesus Kristus memang tidak pernah tampil sebagai raja, Ia juga tidak pernah menonjolkan kekuasaan dan hidup dalam kemuliaan seorang raja yang seperti dikenal dunia. Sebaliknya, Ia hidup dengan sederhana, dekat dengan rakyat jelata, bahkan mati dalam kehinaan. Namun, Ia adalah Raja yang sejati, Raja semesta alam yang membawa pemulihan, memberi pengampunan, dan menganugerahkan keselamatan. Pengakuan bahwa Yesus Kristus adalah Raja pun terucap dari mulut penjahat yang disalibkan bersama-Nya. Yang menarik, ketika penjahat itu berkata, “… ingatlah aku, apabila Engkau datang sebagai Raja,” Yesus menjawabnya dengan berkata, “… hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan aku di dalam Firdaus.” Bagi penjahat itu, Yesus suatu saat nanti akan datang sebagai Raja. Namun, dengan jawaban-Nya, Yesus menegaskan bahwa Ia adalah Raja bukan nanti, melainkan hari ini juga. Dengan mengatakan ini, Yesus juga menunjukkan bahwa Kerajaan-Nya dinyatakan saat ini, keselamatan, pengampunan, dan pemulihan-Nya berlaku kini dan dan sini, bukan nanti.

Saudara-saudari, anugerah pengampunan, pemulihan, dan keselamatan dari Kristus Sang Raja Semesta juga diberikan kepada kita. Melalui sengsara, kematian, dan kebangkitan-Nya. Sepanjang jalan derita hingga kematian-Nya, Ia memberikan anugerah kepada banyak orang. Kebangkitan-Nyalah kemudian yang menghadirkan rahmat kepada semesta. Kristus tidak hadir di dunia ini untuk menjadi salah seorang raja (atau pemerintah atau presiden atau perdana menteri), tetapi Ia hadir sebagai Raja di atas segala raja, Raja yang menyelamatkan. Keselamatan dari Kristus bukan hanya soal terbebas dari marabahaya, melainkan sebuah tatanan baru bagi dunia yang dilandasi kehidupan, pengharapan, rahmat, dan cinta.

Mungkin saat ini kita tidak mengalami Kerajaan-Nya secara paripurna, tetapi kita mengalami tanda-tanda Kerajaan-Nya dalam kehidupan kita sebagai gereja, ketika kita menghidupi cinta kasih, pengharapan, pengampunan, dan rekonsiliasi, melalui liturgi, sakramen, dan karya pelayanan kita bagi dunia. Saat ini pun, ketika kita menghadapi pergumulan, penyesalan, dan kekecewaan, kita diingatkan bahwa Ia adalah Raja yang memberika pengharapan, pengampunan, pemulihan, dan keselamatan. Melalui sengsara, kematian, dan kebangkitan-Nya, Ia memberi kehidupan baru dan kesempatan kedua untuk memperjuangkan Kerajaan-Nya kini dan di sini. Amin. (thn)

Jumat, 11 November 2022

WASPADA DAN BERTAHAN

 Minggu Biasa XXXIII

Maleakhi 4:1-2 | Mazmur 98 | 2 Tesalonika 3:6-13 | Lukas 21:5-19


Apa yang Saudara-saudari pikirkan ketika di berbagai media berkembang isu tentang resesi ekonomi pada tahun 2023 mendatang? Tentunya banyak orang yang mulai bersiap-siap dengan mengencangkan ikat pinggang, sehingga bisa bertahan apabila resesi ekonomi benar-benar terjadi. Selain resesi ekonomi yang masih sebagai isu, sebenarnya warga dunia diperhadapkan pada ancaman-ancaman yang lebih konkret, antara lain pandemi yang sudah berjalan hampir tiga tahun ini, krisis pangan yang mulai dirasakan beberapa negara, konflik antar-bangsa yang sudah dimulai bertahun-tahun lalu dan sangat terasa dampaknya pada awal tahun ini ketika Rusia menyerang Ukraina, sampai krisis iklim yang menyebabkan cuaca ekstrem terjadi di mana-mana. Dalam kondisi seperti ini, ada saja orang-orang yang mengaitkannya dengan tanda-tanda akhir zaman. Mereka secara serampangan menilai bahwa krisis, bencana, peperangan, dan lain-lain itu merupakan tanda bahwa akhir zaman sudah semakin dekat. Padahal, yang lebih tepat adalah krisis ekonomi dan krisis pangan sesungguhnya merupakan tanda-tanda akhir bulan. Jika tidak percaya, tanyakan saja kepada anak-anak kost.

Tidak jarang orang Kristen pun mengaitkan segala bencana alam, perang, terorisme, krisis iklim, krisis pangan, dan pandemi dengan akhir dunia. Padahal, sesungguhnya krisis yang menimpa kehidupan manusia adalah bagian dari kehidupan yang terus berlangsung sepanjang sejarah dunia. Yang mengherankan, dengan pandangan-pandangan seperti itu, alih-alih berpengharapan, sebagian orang Kristen malah ketakutan dengan spekulasi-spekulasi yang mengiringi kedatangan Tuhan kembali pada akhir zaman. Yang menyedihkan kemudian adalah kedatangan Tuhan diindetikan dengan kehancuran dunia, sehingga banyak orang Kristen yang hidup dalam ketakutan dan kehilangan semangat iman.

Kekhawatian dan ketakutan ini dilandasi pada pembacaan Alkitab tanpa memahami konteks. Salah satunya adalah bacaan Injil Minggu ini, Lukas 21:5-19. Ketika itu murid-murid Yesus terpesona dan terkagum dengan keindahan dan kemegahan Bait Suci. Namun alih-alih kagum dan terpesona, Yesus justru menubuatkan kehancuran Bait Suci, “… tidak ada satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu lain, semuanya akan diruntuhkan.” (Luk. 21:6). Murid-murid menjadi heran bertanya kapan waktunya. Yesus melanjutkan dengan berkata bahwa akan datang nabi-nabi palsu yang memakai nama-Nya, diikuti tanda-tanda seperti peperangan dan pemberontakan, gempa bumi, kelaparan, wabah penyakit, penganiayaan, pengkhianatan, dan kebencian terhadap umat Tuhan. Berbeda dengan yang dikatakan beberapa kalangan Kristen bahwa itu adalah tanda-tanda akhir zaman, Yesus malah berkata “… itu tidak berarti kesudahannya akan datang segera" (Luk. 21:9).

Yesus di sini mau memaparkan bahwa hal-hal itu akan terus terjadi dalam perjalanan hidup dan iman para murid. Oleh karena itu, Yesus menegaskan agar para murid tetap wasapada ketika hal-hal itu terjadi, supaya mereka tidak mudah dibingungkan dengan berbagai spekulasi dan pengajaran-pengajaran yang tidak bertanggung jawab. Surat Paulus kepada Jemaat Tesalonika mengingatkan secara gamblang ketika jemaat yang saat itu diperhadapkan pada penderitaan dan penganiayaan mengaitkannya dengan Hari Tuhan, hari penghakiman. Pada saat itu, muncul ajaran-ajaran yang tidak bertanggung jawab yang mengajak umat untuk tidak bekerja karena hari Tuhan akan datang. Menanggapi itu, Paulus menegur umat dengan menegaskan bahwa menanti Hari Tuhan harus dilakukan dengan sikap tanggung jawab, tetap melakukan pekerjaannya, dan tidak jemu-jemu berbuat baik.

Yesus juga mengingatkan murid-murid-Nya untuk bertahan menghadapi segala krisis dan penderitaan yang datang. Yesus mengajak para murid dan kita semua untuk tetap setia dan percaya bahwa pemeliharaan Tuhan nyata dalam kehidupan mereka. Ini terlihat dari perkataan-Nya “… tidak sehelaipun dari rambut kepalamu akan hilang.” Karena itu, bagian Injil Lukas ini sebaiknya tidak ditafsirkan sebagai akhir dunia, tetapi sebagai panggilan untuk bertahan dalam krisis dengan berpengharapan pada penyertaan Allah. Kita diajak untuk memahami bahwa segala kesengsaraan, penderitaan, dan krisis pasti selalu terjadi dalam kehidupan manusia. Akan tetapi kita memiliki pengharapan yang tetap setia memelihara dan memampukan kita untuk bertahan. Bukan hanya bertahan, penyertaan Tuhan memampukan kita untuk melanjutkan hidup dan karya kita, tetap bersaksi di tengah penderitaan. Karena itu, kita perlu selalu berusaha untuk melihat kebaikan dan kesetiaan Tuhan melalui hal-hal yang sederhana di tengah derita dan kemelut.

Viktor Frankl, seorang psikolog asal Austria yang dikenal dengan metode logoterapi, yakni penyembuhan dengan cara menemukan makna hidup, pernah menjalani masa penuh penderitaan di kamp konsentrasi Nazi. Dalam penderitaannya itu, ia berusaha untuk melihat kebaikan dan kesetiaan Tuhan melalui kue kering yang dia simpan sepanjang hari untuk kemudian dinikmati saat malam, dari setangkai bunga segar menuju kamp kerja paksa, juga saat seorang tentara Nazi muda memberi tambahan makanan kepada seoang Yahudi tua. Ia bertahan dalam penderitaan itu dengan melihat kebaikan Tuhan melalui hal-hal kecil serta menemukan makna dalam penderitaannya. Ia merefleksikan pengalamannya dengan berkata, “Hidup berarti menderita, bertahan hidup berarti menemukan makna dalam penderitaan.”

Saudara-saudari, mungkin saat ini kita mengalami banyak tekanan dalam hidup; masalah keluarga atau pekerjaan, kebutuhan besar untuk mengurus sekolah anak, orang tua kita sakit sehinga harus berjuang habis-habisan, berjuang memenuhi kebutuhan hidup setelah kehilangan pekerjaan akibat pandemi, serta segala kepahitan hidup yang membuat kita putus asa. Belum lagi segala krisis dunia yang berdampak baik secara langsung maupun tidak langsung kepada keseharian kita. Firman Tuhan saat ini mengajak kita untuk waspada terhadap segala pegajaran tidak bertanggung jawab yang mengaitkan krisis yang kita alami dengan akhir zaman sehingga memuat kita takut dan tidak berbuah. Kita juga diajak untuk bertahan dalam kemelut hidup dengan berusaha menemukan cinta Allah dalam hal-hal yang sederhana, sehingga kita dapat terus berbuah dalam hidup. Amin. (ThN)

Jumat, 04 November 2022

DIA ALLAH YANG HIDUP

Minggu Biasa XXXII 

Ayub 19:23-27 | Mazmur 17:1-9 | 2 Tesalonika 2:1-5, 13-17 | Lukas 20:27-38

 

Selama pandemi Covid-19, kita melihat banyak kematian di sekitar kita. Ada orang-orang yang ketakutan, tetapi ada juga yang apatis dengannya. Mereka yang apatis lalu berkata bahwa mereka tidak takut Covid, tidak takut mati. Namun, apakah mereka berani hidup? Mati itu memang mudah, tetapi hidup dan berbuah serta berjuang di dalam dunia yang penuh dengan penderitaan – pandemi, resesi, krisis pangan, krisis iklim, dan lainnya – bukanlah perkara mudah. Mungkin banyak orang yang berkata mereka berani mati adalah mereka yang sebenarnya lebih takut menghadapi kehidupan daripada kematian. Masalahnya adalah, orang-orang yang siap mati ini, apakah siap menghadapi kematian karena telah menjalani hidup bermakna dan berdampak? Atau jangan-jangan, mereka tidak berbuah dalam hidupnya, tidak berkarya dan membawa dampak, lalu mencari cara yang mudah? Namun, kita tidak bisa juga menghakimi orang yang memutuskan mati karena menanggung beban yang begitu berat dalam hidupnya. Terkadang, ketidakpedulian kita, sebagai orang-orang di sekitarnya juga yang berpengaruh pada ini. Seorang ahli Pendidikan Kristiani, Jack Seymour, mengatakan bahwa salah satu karakteristik Pendidikan Kristiani adalah memperlengkapi naradidik untuk hidup di dalam dunia. Artinya, Pendidikan Kristiani harus menyiapkan orang untuk hidup, bukan untuk mati. Orang Kristen diajarkan untuk berfokus kehidupan, memperjuangkan dan berbagi kehidupan dengan sesama. Orang kristen seharusnya belajar untuk menjalani hidup dan berbuah dalam keadaan tertekan dan penderitaan sekalipun.

Bacaan pertama Ayub merupakan jawaban Ayub terhadap temannya, Bildad. Ayub merasa hidupnya penuh dengan penderitaan yang sangat berat, sekalipun ia tidak berbuat salah. Ditmbah dengan pengahakiman oleh teman-temanya, bisa saja Ayub semakin putus asa dan terpuruk. Namun, ia memohon keadilan Tuhan. Dalam keputusasaannya, Ayub masih berpengharapan. Ia menyerukan, “Tetapi aku tahu bahwa penebusku hidup.” Di tengah kehidupannya yang hancur bekeping-keping, Ayub memilih untuk beriman kepada Allah yang hidup. Hidup artinya masih terus ada, bekerja, bergerak. Ayub yakin bahwa di tengah tekanan dan pergumulan hidupnya, Allah yang dia percayai itu hidup, masih ada dan berkarya dalam hidupnya. Oleh sebab itulah Ayub berpengharapan dan tetap menjalani hidup dalam pergumulannya. Bahkan hidupnya menjadi kesaksian bagi banyak orang.

Kita belajar dari Ayub bahwa hidup bukan sekadar hidup dan menanti ajal menjemput, apalagi hidup yang dipenuhi ketakutan akan kematian. Ada orang Kristen yang ketakutan apakah nanti setelah mati masuk surga atau neraka. Karena penekanan pada yang menakutkan, akhirnya melalaikan tanggung jawabnya dalam kehidupan di dunia saat ini. Sudah takut hidup, takut mati pula. Akhirnya hanya memikirkan diri sendiri, dan tidak peduli kepada orang lain. Jemaat Tesalonika yang menerima pengajaran-pengajaran palsu tentang Hari Tuhan merasa takut akan kengerian-kengerian dan kebinasaan saat Hari Tuhan. Dalam menantikan hari Tuhan, mereka diliputi perasaan takut akan kematian. Mereka gelisah karena ada yang berkata bahwa hari Tuhan segera datang. Oleh karena itu Paulus memberikan pengharapan kepada mereka akan kehidupan. Paulus mengajarkan untuk teguh berdiri karena Tuhan sendiri yang akan menghibur dan menguatkan jemaat, sehingga dapat melakukan pekerjaan dan perkataan baik. Dengan keyakinan iman itu, mereka dapat hidup dengan sikap positif, bekerja dan berkata baik, menjadi berkat bagi sesama, bukannya diliputi kegelisahan dan kebingungan yang membuat jemaat hanya memikirkan diri sendiri.

Kematian janganlah menjadi sesuatu yang menggerakkan kita untuk bertindak, karena jadinya adalah ketakutan dan kita pun menebar ketakutan dan kengerian akan kematian. Kita percaya setelah kematian pun, ada kehidupan abadi dalam persekutuan dengan Allah. Yesus sendiri yang mengajarkannya ketika Ia menjawab ujian orang-orang Saduki tentang kehidupan setelah kematian. Ia tegas berkata bahwa bahwa Allah Abraham, Ishak, dan Yakub adalah Allah orang-orang yang hidup. Dari Yesus kita tahu bahwa Allah yang hidup itu memberikan kehidupan kepada mereka yang sudah mati sekalipun. Ia adalah Allah yang hidup dan menghidupkan. Kematian bukan menjadi akhir yang menakutkan, karena ada pengharapan akan kehidupan dan kebangkitan orang mati. Itulah pengharapan bagi kita juga untuk berkarya dalam kehidupan, bukan takut menanti kematian.

Dengan demikian, tepatlah apa yang dikatakan Seymour, kekristenan itu menyiapkan umatnya untuk hidup, bukan untuk mati. Orang Kristen diajarkan untuk berfokus kehidupan, memperjuangkan dan berbagi kehidupan dengan sesama lewat dengan sikap positif, bekerja dan berkata baik, menjadi berkat bagi sesama. Tanggal 10 November nanti kita merayakan Hari Pahlawan. Kita mengenang para pahlawan yang rela memberikan nyawanya untuk kemerdekaan Indonesia. Mereka rela mati untuk memperjuangkan kehidupan dan kemerdekaan bangsa Indoensia. Dalam keadaan perang dan terjajah, gugur untuk memperjuangkan suatu yang lebih mulia itu salah satu tindakan heroik. Kematian jadi alat perjuangan untuk kehidupan, bukan jadi tujuan. Karena itu, kita mengenang dan merayakan pengurbanan para pahlawan yang gugur untuk memberi dampak kehidupan bagi masyarakat sekarang. Namun, kepahlawanan janganlah menjadi romatisasi berani mati. Dulu pada zamannya, berani mati, rela mengurbankan diri dalam perang adalah jalan untuk membebaskan dan membawa kehidupan. Sekarang keadaannya sudah berbeda. Karenanya diajak untuk menghargai jasa para pahlawan dengan hidup baik, berjungan dalam kehidupan kita, berjuang mempertahankan kemerdekaan ini dengan kepedulian kepada sesama, membangun masyarakat yang adil dan beradab, saling menghormati, saling membantu, dan berbagi hidup dengan sesama.

Itulah juga perjuangan kita sebagai orang Kristen, yang mengimani Allah yang hidup. Memperjuangkan dan merawat kehidupan. Sebagai orang Kristen, kita memang mengimani Yesus Kristus yang mati demi menyelamatkan. Namun, Ia juga bangkit dan hidup, serta memberikan kehidupan. Dalam kebangkitan-Nya, kita diberikan pengharapan akan kehidupan. Maka, iman kepada Allah yang hidup seharusnya menjadi penggerak bagi kita untuk hidup berbuah, memperjuangkan kehidupan melalui karya kita yang membangun dan berdampak bagi masyarakat. Amin. (thn)

Kamis, 27 Oktober 2022

KELUARGA YANG MEMILIKI HIDUP YANG BERDAMPAK


Yesaya 1 : 10 – 18; Mazmur 32 : 1 – 7; 2 Tesalonika 1 : 1 – 4, 11 – 12; Lukas 19 : 1 – 10

 

Saudaraku, kualitas hidup seseorang bukan semata ditentukan dari kehadiran saja melainkan dari dampak apa yang ia beri pada lingkungan sekitar maupun sesama. Karena benda mati saja berdampak. Contoh, pena akan dinyatakan berdampak ketika kehadirannya bisa dipakai untuk menulis catatan, dll. Maka, hidup menjadi berarti ketika kita bukan hanya hadir tetapi juga mempunya dampak. Demikian juga dengan hidup orang percaya.

Dalam Yesaya 1 : 10 – 18 mengisahkan tentang kejemuan (kebosanan, ketidaksukaan) dan kebencian Tuhan (ay. 11, 14) atas ibadah orang Israel. Mereka begitu aktif memberi persembahan kepada Tuhan (ay. 11). Namun ibadah mereka yang baik itu tidak berdampak dalam kehidupan sehari-hari sebab hidup mereka tidak berdampak buat sesama. Tangan yang mereka pakai untuk berdoa ternyata tangan yang sama juga penuh dengan darah (ay. 15). Tentu bukan darah korban persembahan tapi darah sesama. Itu sebabnya, di awal bacaan Tuhan menyebut mereka Sodom dan Gomora karena perbuatan jahat mereka di hadapan Tuhan.  

Kejahatan apa saja yang dilakukan oleh orang Israel? Hal itu terjawab lewat harapan Tuhan untuk orang Israel di akhir bacaan kita. (ay. 16 – 17) Tuhan menginginkan agar umat Israel membasuh atau membersihkan diri mereka dari dosa, berhenti berbuat jahat, belajar berbuat baik, mengusahakan keadilan untuk anak-anak yatim dan perjuangkan perkara para janda. Jika mereka mau berdampak buat sesama, bukan hanya buat Tuhan melalui persembahan korban bakaran, Tuhan berkenan untuk menghapus segala dosa mereka (ay. 18) untuk itu seperti kata pemazmur dalam Mazmur 32 : 1 – 2, “berbahagialah yang diampuni pelanggarannya.”

Berbeda dengan orang-orang Yehuda, jemaat di Tesalonika justru melakukan hal-hal yang berdampak baik. Itu sebabnya, dalam surat Paulus yang kedua kepada jemaat di Tesalonika : 1 – 1 - 4 Paulus, Silwanus dan Timotius bersyukur atas iman dan kasih jemaat di Tesalonika. Sekalipun kehidupan mereka penuh derita, penindasan dan penganiayaan (ay. 4) sebab mereka minoritas sebagai orang percaya. Namun apa yang mereka rasakan tidak membuat mereka berhenti untuk berdampak bagi sesama.

          Hal ini terlihat di ay. 3, Paulus sampaikan karena imanmu makin bertambah dan kasihmu seorang akan yang lain makin kuat di antara kamu. Dampak yang mereka tunjukkan tak perlu jauh-jauh ke orang yang tidak mereka kenal atau asing. Mereka memulai dampak justru dari lingkup terkecil dan di sekitar mereka. Bahkan apa yang mereka lakukan juga berdampak jauh kepada Paulus, Silwanus dan Timotius.

          Saudaraku, bukan hanya dalam surat Paulus karena dalam kitab Injil Lukas, Yesus juga menunjukkan bahwa Ia juga berdampak dan Ia pun mau mengajak orang lain untuk berdampak. Injil Lukas 19 : 1 – 10 menceritakan Zakheus yang kala itu adalah kepala pemungut cukai mengetahui bahwa Yesus datang ke kota Yerikho, tempat ia tinggal. Ia yang kala itu sekalipun seorang pemimpin namun juga dianggap sebagai orang berdosa karena pekerjaannya yang dianggap banyak orang mengambil jatah pajak lebih dari yang seharusnya.

          Namun bagaimanapun tanggapan orang lain tentang dirinya, ia tak peduli karena yang ia butuhkan adalah melihat Yesus. Hal ini terlihat dari bagaimana ia berusaha untuk melihat Yesus dengan berusaha memanjat pohon ara. Hal itu tentu penuh resiko. Bagaimana kalau ia jatuh? pastinya bukan hanya malu, ditertawakan tetapi juga tubuhnya bisa terluka parah. Saat Zakheus berusaha untuk melihat Yesus. Yesus pun melihat Zakheus, memanggil Namanya padahal baru pertama kali emreka bertemu dan berkata  (ay. 5) “Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu.”Lalu Zakheus turun dan menerima Yesus dengan sukacita. Tentu apa yang Yesus lakukan ini bukan gratifikasi.

Namun apa yang Yesus lakukan ini mau memberi pengampunan dan dampak bagi Zakheus. Karena itu, (ay. 8) Zakheus berkata “Zakheus berdiri dan berkata kepada Tuhan: "Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat." Saudaraku, dari bacaan di Injil Lukas, Yesus mau mengajarkan bahwa Ia mau berdampak bagi orang lain melalui kehadiranNya dalam rumah dan hidup Zakheus. Demikian juga akhirnya Zakheus mau berdampak bagi hidup orang lain.

Dari seluruh bacaan hari ini, kita belajar untuk menjadi umat Tuhan yang saleh di hadapan Tuhan. Namun kesalehan kita bukan hanya kita wujudkan untuk Tuhan tetapi juga harus berdampak untuk sesama. Bagaimana dengan kita dan keluarga kita? Apakah hidup kita dan keluarga kita sudah berdampak bagi sesama? Setidaknya di dalam keluarga kita? (jemaat diberi waktu untuk sharing bersama pasangan/keluarga yang hadir/PF memberi contoh-contoh dampak yang bisa ditunjukkan oleh di dalam keluarga). Selamat berdampak. Tuhan memampukan kita semua. Amin. (mc)

Jumat, 21 Oktober 2022

KELUARGA YANG TETAP PERCAYA PADA PERTOLONGAN TUHAN


Yeremia 14 : 7 – 10, 19 – 22; Mazmur 84 : 1 – 7; 2 Timotius 4 : 6 – 8, 16 – 18; Lukas 18 : 9 – 14

 

Saudaraku, sebagai orang-orang yang percaya kepada Tuhan, kita seringkali berdoa. Namun apakah berdoa sudah menjadi bukti bahwa kita percaya? atau berdoa hanya sebatas rutinitas dan hanya sebagai sarana kita meminta sesuatu pada Tuhan. Dalam kitab Yeremia 14, mengisahkan orang-orang Yehuda yang saat itu mengalami kekeringan yang berdampak pada manusia dan juga binatang (ay. 1 – 6). Masalah yang mereka hadapi ini merupakan hukuman Tuhan atas Yehuda karena mereka sering kali memilih untuk menyembah berhala-berhala ketimbang Allah, dan enggan mendengar peringatan dari Allah (bc. Yer. 7, 8, 10 - 11). Itu sebabnya dalam ay. 10 Tuhan berfirman bahwa Ia tidak berkenan kepada mereka tetapi Ia mau mengingat kesalahan mereka dan mau menghukum dosa mereka.

 Dalam persoalan yang orang Yehuda ini alami, sangatlah baik ketika mereka menyadari kemurtadan dan dosa mereka kepada Tuhan (ay. 7), juga berdoa memohon pertolongan Tuhan (ay. 8a). Karena dengan menyadari kesalahan dan berdoa pada Tuhan menunjukkan bahwa mereka masih mengandalkan Tuhan. Namun demikian, berdoa ternyata tidak berarti mereka percaya pada Tuhan. Sebab ketika Tuhan tidak memberi apa yang mereka mau, (ay. 8b – 9a) mereka mengatakan Tuhan itu seperti orang asing, seperti orang perjalanan yang hanya singgah untuk bermalam, seperti orang yang bingung, seperti pahlawan yang tidak sanggup menolong.

Berdoa tidak selalu menunjukkan bahwa seseorang percaya pada pertolongan Tuhan. Karena dalam konteks Yeremia, orang Yehuda justru menggunakan doa hanya sebagai sarana untuk meminta apa yang mereka mau dan meminta Tuhan memberi apa yang mereka minta. Jika Tuhan tidak memberi apa yang mereka mau, mereka menganggap Tuhan seperti pahlawan yang tidak sanggup menolong, orang asing, orang yang bingung karena tidak bisa melakukan apa-apa. Hal ini menunjukkan bahwa rasa percaya orang-orang Yehuda pada Allah itu 0 (nihil). Mereka berdoa namun tidak sungguh-sungguh percaya. Mereka berdoa hanya supaya Tuhan memberi pertolongan.  

Saudara, apa yang dilakukan oleh orang-orang Yehuda berbeda sekali dengan apa yang dilakukan oleh Paulus. Dalam suratnya yang kedua kepada Timotius 4 : 6 - 8, Paulus yang saat itu menyadari bahwa perjalanan hidupnya tidak akan lama lagi (ay. 6) sebab ia sedang dalam penjara di Roma dan akan dieksekusi mati. Dalam refleksi imannya, ia mengatakan “aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.” Apa yang dikatakan Paulus ini menunjukkan bahwa pertandingan yang ia lalui menunjukkan berbagai persoalan hidup yang harus ia lewati. Namun ia tetap percaya, tetap setia bukan hanya sampai di tengah perlombaan tetapi sampai garis akhir. Dan di garis akhir, ia tetap memelihara iman kepada Tuhan. Ia tetap percaya pada pertolongan Tuhan.

Paulus bisa mengatakan hal ini karena dia punya pengalaman dengan Tuhan. Ia sampaikan (ay. 16) di dalam sidang pembelaan, tidak seorang pun yang membantu aku, semuanya (artinya orang-orang yang mengenalnya, orang-orang terdekatnya, orang-orang yang bisa ia andalkan) meninggalkannya. Tetapi (ay. 17) Tuhan telah mendampingi aku dan menguatkan aku, (ay. 18) Tuhan akan menyelamatkan aku. BagiNyalah kemuliaan selama-lamanya! Amin.

Apa yang ditunjukkan Paulus bukan hanya berkata bahwa ia percaya atau ia beriman tapi sebuah sikap di mana ia setia, percaya, memelihara iman dalam setiap persoalan sampai garis akhir kehidupannya. Ada aksi yang ia tunjukkan ketika ia berusaha untuk memelihara iman. Hal ini juga terlihat dalam kondisi yang hampir mati itu, ia tetap memuliakan Tuhan. Karena ia percaya pada pertolongan Tuhan bahkan dalam hidupnya yang penuh dengan sengsara.

Berbicara tentang percaya pada pertolongan Tuhan dalam sikap dan doa, Yesus juga mengajar para muridNya lewat sebuah perumpamaan orang Farisi dan pemungut cukai dalam Lukas 18 : 9 – 14. Diceritakan dalam perumpamaan itu, kalau keduanya suka berdoa di Bait Allah. Hal ini bisa jadi karena orang Yahudi lebih senang berdoa di Bait Allah seperti yang dituliskan dalam Mazmur 84 : 2. Berdoa di rumah Allah pun membawa kebahagiaan (ay. 5) dan pemazmur juga sampaikan mendekat kepada Allah di sion membuat orang percaya berjalan makin kuat (ay. 8). Maka berdoa bagi orang Yahudi merupakan hal yang baik. Apalagi jika dilakukan di kediaman Allah.

Saat orang Farisi yang adalah salah 1 pemuka agama Yahudi pada masa itu berdiri dan berdoa dalam hati, ia bersyukur karena tidak sama dengan perampok, lalim, pezinah dan pemungut cukai. Ia berpuasa 2x seminggu dan 1/10 hasilnya diberikan sebagai persembahan. Jika kita memperhatikan perkataan dalam doanya, di satu sisi memang menampilkan ungkapan syukur, namun di sisi yang lain ia menggap dirinya tinggi, benar, dan juga flexing (pamer) atas perbuatan-perbuatannya pada Tuhan.  

Sementara pemungut cukai yang adalah pemungut pajak untuk pemerintahan Romawi dan dianggap sebagai orang berdosa oleh masyarakat pada masa itu karena pekerjaannya. Ketika berdoa ia berdiri jauh-jauh dan tidak berani menengadah ke langit melainkan memukul diri dan berkata “Ya Allah kasihilah aku orang yang berdosa ini.” Dalam tradisi Yahudi, langit dipahami sebagai tempat kediaman Allah. Sehingga sikap pemungut cukai saat berdoa menunjukkan bahwa ia begitu takut atau tidak berani untuk melihat Allah (menengadah ke langit). Ia juga memukul dirinya sebagai tanda penyesalan, juga mengaku bahwa dirinya berdosa dan butuh dikasihi Allah.

Dari dua sikap orang ini, Yesus katakan (ay. 14) “Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” Tentu dari perumpamaan yang Yesus sampaikan, orang yang dibenarkan adalah pemungut cukai. Bukan hanya karena ia berdoa tapi karena sikapnya ketika berdoa kepada Allah. Saudaraku, dari kumpulan bacaan hari ini. Kita kembali mau diingatkan:


1)   Ingatlah untuk berdoa kepada Allah dalam segala kondisi hidup kita. Sebab dengan berdoa, kita berkomunikasi dengan Allah. Berkomunikasi dengan Allah ini pun tanpa kuota dan pulsa, tanpa batas ruang dan waktu. Maka teruslah berdoa kepada Tuhan. Karena seperti kata Paulus, ketika tidak ada seorang pun yang membantu kita dan semuanya meninggalkan kita, Tuhan akan terus mendampingi dan menguatkan kita dalam segala keadaan yang kita hadapi.

 

2)   Berdoa bukan sebatas kata indah yang diucapkan. Berdoa adalah sikap percaya pada pertolongan Tuhan. Sikap percaya pun bukan kita wujudkan dengan memaksa Tuhan seperti yang dilakukan orang-orang Yehuda tapi dengan rendah hati seperti pemungut cukai yang diceritakan Yesus. Karena dengan percaya dan rendah hati, kita memberi ruang bagi Allah untuk berkarya dalam hidup kita. Entah dengan memberi kita kemampuan untuk mencari dan mendapat jalan keluar, bantuan dari orang-orang sekitar, dll.

 

Saudaraku, di bulan keluarga ini. Mari kita kembali menyegarkan keluarga kita untuk sama-sama kembali berdoa bersama dan mewujudkan doa itu lewat sikap percaya kita pada pertolongan Tuhan. Ia mengenal isi hati kita, Ia juga mengenal keluarga kita. Ia tahu kebutuhan kita, Ia punya banyak cara menolong kita. Untuk itu, berdoa, percaya dan lihatlah karya Allah dalam hidup kita. Allah bersama kita semua. Amin (mc)  


Rabu, 12 Oktober 2022

Keluarga Yang Memiliki Kesatuan Bergumul Bersama Allah

 

Kejadian 32 : 22 – 31; Mazmur 121; 2 Timotius 3 : 14 – 4 : 5; Lukas 18 : 1 – 8

 

Saudaraku, tidak ada keluarga yang tidak pernah bertengkar. Entah itu karena hal sepele maupun karena hal besar yang terjadi. Namun, pertengkaran yang sering ada tanpa diinginkan itu, kadang menjadi ujian dalam keluarga yang entah meningkatkan saling mengenal, bertumbuh dan erat atau semakin berjarak dan membangun tembok. Hal itu tergantung bagaimana setiap anggota keluarga menyikapi setiap pertengkaran yang datang silih berganti.

Berbicara soal pertengkaran, hal itu pun tidak luput dari 2 saudara kembar, yakni Esau dan Yakub (bc. Kej. 27). Pertengkaran itu menghasilkan jarak yang semakin besar antara Esau dan Yakub. Namun demikian, dalam Kejadian 32 berisi kisah Yakub yang diperintahkan Tuhan untuk kembali ke rumah (Kej. 31 : 3). Perintah ini tentu menjadi berita sukacita bagi Yakub. Karena akhirnya ia bisa pulang dan seperti yang dirasakan anak rantau, mau sejauh apapun kita pergi pulang ke rumah keluarga akan menjadi tempat yang selalu dirindukan dan diinginkan.

Namun di sisi lain, buat Yakub perjalanan pulang ini juga menjadi perjalanan yang menakutkan. Mengingat, pertengkaran ia dengan Esau di masa lampau. Bahkan dulu, Esau bukan hanya marah tetapi juga ingin membunuhnya. Apakah perasaan marah dan dendam itu masih ada dalam pikiran saudaranya? Akankah ketika pulang, ia justru bukan melepas homesicknya tetapi malah mati?

          Semua pergumulan yang Yakub rasakan nampaknya tidak diketahui oleh istri, budak dan anak-anaknya entah mengapa? namun tentu diketahui oleh Allah. Sehebat apapun Yakub menyembunyikan masa lalunya dari keluarga, namun ia tidak dapat menyembunyikannya dari Tuhan. Untuk itu, setelah ia menyebrangkan keluarganya dan segala miliknya di sungai Yabok (ay. 23), tinggallah Yakub seorang diri. Untuk apa? Banyak yang mengartikan tindakan Yakub ini untuk berdoa dan bergumul dengan Allah (ay. 24 – 31). Sebab Yakub sadar bahwa ia tidak dapat mengandalkan kekuatannya sendiri dan ia amat sangat membutuhkan Tuhan dalam pergumulannya.

          Bukan hanya Yakub, tetapi juga pemazmur. Dalam Mazmur 121, ia mencari pertolongan dan mungkin saja ia sudah berusaha mencari pertolongan pada yang lain. Namun pertolongan yang sejati hanyalah dari Allah Sang Pencipta dan Penjaga hidup pemazmur. Bahkan penjagaan Allah bukan hanya beberapa jam seperti waktu jaga security atau hanya 24 jam sehari tetapi dari sekarang sampai selama-lamanya (ay. 8). Sebab Penjaga Israel tidak pernah terlelah dan tertidur.  

          Saudara jika dalam kitab Kejadian dan Mazmur, kita melihat bagaimana para tokoh Alkitab baik Yakub dan pemazmur bergumul bersama Allah - dalam pergumulan mencari Allah. Hal ini jugalah yang ditegaskan oleh Yesus dalam Injil Lukas 18 : 1 – 8. Di mana di awal bacaan ini Yesus katakan supaya pendengar harus selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu. Mengapa perlu lagi Yesus tegaskan dan ingatkan? Yesus jelaskan lewat sebuah perumpamaan seorang hakim dan seorang janda. Hakim ini tidak takut Allah dan tidak menghormati seorang pun. Kok bisa? Mungkin karena dia punya jabatan yang tinggi sehingga dia merasa bahwa bukan dia yang menghormati yang lain tetapi dia harus dihormati oleh orang lain. Dan tidak takut Tuhan mungkin menggambarkan bahwa pekerjaannya seperti Allah yang dapat menghukum dan menghakimi siapa pun.

Dalam bacaan juga menceritakan ada seorang janda yang selalu datang untuk minta dibela haknya terhadap lawannya oleh sang hakim. Namun sang hakim terus menolak dalam waktu yang lama. Si hakim pun merasa si janda ini hanya menyusahkannya dan menyerangnya setiap kali ia datang. Mengapa si hakim merasa demikian, bisa jadi karena si hakim memilih siapa yang mau ia tolong. Jika kaya maka tentu akan mendapat bayaran yang cukup tinggi. Namun jika yang datang hanya janda, mana ada uang? Apalagi di masa itu, kaum janda adalah kaum tidak terpandang dan miskin. Hingga suatu kali hakim memutuskan memberi apa yang diminta si janda namun dengan tujuan, supaya janda tidak datang lagi dan mengganggunya.

Saudara, karena ini adalah perumpamaan, maka siapa yang diumpamakan? Si hakim ditafsirkan sebagai Allah sebab Allah selalu dicari, dihormati sebab kedudukanNya melampaui siapapun, dimintai pertolongan, dimintai untuk dibela dan Allah juga seperti hakim yang dapat menghakimi, menghukum dan mengampuni seseorang. Sementara si janda ditafsirkan sebagai umat. Karena seperti janda yang terus datang meminta pertolongan dan tak punya kekuatan apa-apa demikian juga dengan umat.

          Namun demikian dari perumpamaan ini, Yesus menegaskan bahwa ada pemahaman umat yang keliru dan perlu diluruskan. Bahwa sekalipun si hakim berkedudukan tinggi, dicari, dihormati dan dapat menghakimi dan menghukum seperti Allah. Namun si hakim itu bukan Allah dan Allah juga bukan seperti si hakim itu. Sebab sekalipun Allah berkedudukan tinggi, dihormati, dapat menghakimi dan menghukum, namun Allah tidak mengadili secara asal dan pilih kasih dengan hanya memandang status dan uang.

          Pemahaman ini mungkin terjadi ketika di masa itu, banyak orang kaya semakin kaya dan miskin semakin miskin. Yang berlebih terus berlimpah, sementara yang kurang terus berkekurangan. Sehingga banyak orang kaya merasa tidak perlu Tuhan sebab hidup mereka sudah makmur dan orang miskin merasa lelah mencari Tuhan sebab hidup terus berkekurangan. Di tengah pemahaman yang keliru ini, Yesus menegaskan kembali untuk jangan jemu-jemu (KBBI: sudah tidak suka lagi atau bosan) berdoa sebab Allah tidak mempermainkan umatNya dengan mengulur-ulur waktu menolong mereka dan Allah membenarkan orang-orang yang siang malam berseru kepadaNya (ay.7).

          Untuk itu teruslah berdoa kepada Allah dan seperti pesan Paulus dalam 2 Timotius 3 : 15 - 17, ingat dan berpeganglah pada tulisan yang diilhamkan Allah untuk mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan dan mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.

          Saudaraku dari leksionari hari ini kita diingatkan,

1)   Jika saat ini kita punya beban yang begitu berat yang sedang kita pikul, kita akan menghadapi masa lalu kita yang berat, kita akan menghadapi Esau atau masalah yang kita rasa begitu menakutkan, ingatlah sikap Yakub – Ia berdoa dan bergumullah bersama Tuhan. Minta pertolonganNya sebab seperti kata pemazmur, tidak ada yang dapat menolong kita selain Allah dan Allah selalu stand by untuk kita.

 

2)   Jika kita mulai lelah untuk cari Tuhan sebab masalah kita tidak kunjung selesai. Keadilan tidak kita temukan. Kita merasa Tuhan pilih kasih antara kita dengan orang lain. Kita merasa usaha kita sia-sia kepada Tuhan, di titik ini ingatlah perkataan Yesus, harus selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu. Jangan biarkan apa yang kita rasakan dan hadapi membunuh relasi kita dengan Tuhan. Teruslah sekalipun jemu, bukan sebagai paksaan tapi sebagai kebutuhan kita pada Tuhan.

 

Saudara, di bulan keluarga ini. Keluarga kita juga punya banyak pertengkaran dan pergumulan. Kiranya kita belajar bukan berusaha menyelesaikan dengan kekuatan sendiri karena tak akan mampu dan bukan hanya kita secara pribadi yang bergumul dengan Allah. Tetapi sebagai keluarga, kita juga memiliki kesatuan untuk bergumul bersama Allah. Caranya? Carilah Tuhan bersama, berdoalah bersama, sharinglah bersama, baca Alkitablah bersama sebab #praytogetherstaytogether. Tuhan beserta kita semua. Amin (mc)

Jumat, 07 Oktober 2022

KELUARGA YANG MEMILIKI UCAPAN SYUKUR

 

                2 Raja-raja 5 : 1 – 15; Mazmur 111; 2 Timotius 2 : 8 – 15; Lukas 17 : 11 – 19

 

Saudaraku dalam Tuhan, mengucap syukur adalah hal yang sederhana. Namun, sering kali terlupakan. Jangankan di waktu sukar, di waktu suka pun mengucap syukur menjadi hal yang seringkali terlewatkan. Hal ini pun terungkap lewat kisah 10 orang kusta yang diceritakan dalam Injil Lukas 17 : 11 – 19. Dikisahkan ada 10 orang yang sakit kusta.

Entah sejak kapan dan kenapa mereka bisa sakit kusta hal itu tidak diceritakan, namun yang pasti di masa itu orang yang terkena sakit kusta menderita secara fisik karena sakit mereka, tetapi juga secara sosial. Sebab di masa itu, sakit selalu dimaknai sebagai akibat dari dosa yang dilakukan. Apalagi jika sakitnya tidak kunjung sembuh. Itu sebabnya, orang yang sakit kusta akan dijauhi oleh masyarakat dan juga keluarga karena dianggap sebagai orang yang berdosa dan mendekat kepada mereka hanya akan membuat orang yang sehat menjadi najis.

Sebagai orang yang sakit, tentu orang-orang yang sakit kusta ini berharap bisa sembuh. Itu sebabnya ketika mereka tahu Yesus memasuki desa mereka, sekalipun mereka berdiri agak jauh karena mereka dijauhi masyarakat dan harus menjauh dari masyarakat, namun mereka tidak kehabisan ide dan terus berusaha untuk menarik perhatian Yesus dan pertolonganNya. Mereka berteriak: Yesus, Guru, kasihanilah kami! Hal itu dilakukan tentu berkali-kali dengan seluruh daya mereka supaya Yesus memperhatikan mereka juga di tengah banyaknya orang yang mengikuti Yesus saat itu.

Alhasil, usaha mereka tidak sia-sia sebab Yesus berhenti dan memandang mereka. Namun Yesus tidak langsung menyembuhkan mereka seperti yang mereka harapkan. Yesus justru meminta mereka untuk pergi dan memperlihatkan diri mereka kepada imam-imam di Yerusalem. Jika kita berada di posisi mereka, apakah yang akan kita lakukan? Mungkin saja kita akan merasa kesal dan mengeluh, “sudah lelah berteriak ternyata ngga bisa langsung sembuh. Lagi sakit kusta, ini malah disuruh melakukan perjalanan lumayan jauh dari perbatasan Galilea dan Samaria ke Yerusalem. Belum lagi sampai di Yerusalem, bukannya ketemu tabib yang hebat untuk menyembuhkan malah ke imam-imam yang rata-rata bisanya mengajar dan berkhotbah. Nanti bukannya disembuhkan, malah dikhotbahin.”

Kisah ini mirip dengan kisah Naaman dalam 2 Raja-raja 5 : 1 – 15. Ia seorang pahlawan yang juga sakit kusta. Ketika ia pergi menjumpai nabi Elisa dengan harapan disembuhkan langsung seperti kesaksian pelayan istri Namaan, namun ternyata bukan Elisa yang berjumpa dengannya melainkan suruhannya. Ditambah lagi proses penyembuhan tidak langsung terjadi karena Naaman harus pergi ke sungai Yordan dan mandi di sana sebanyak 7x (ay. 10). Hal ini membuat Naaman gusar dan panas hati.

Kita kembali ke kisah 10 orang kusta di kitab Injil. Memang tidak diceritakan apakah mereka menggerutu atau tidak dalam perjalanan. Namun kemungkinan seperti yang dialami oleh Naaman, ada kemungkinan 10 orang kusta ini juga mengeluh. Tetapi sekalipun hal itu terjadi, mereka tetap pergi seperti yang Yesus sampaikan kepada mereka. Mengapa?

1)   Ingin membuktikan apa kata orang yang selama ini mereka dengar tentang Yesus. Kesaksian orang lain, Yesus bisa menyembuhkan banyak orang dan banyak penyakit. Yesus punya kuasa untuk menyembuhkan dengan cepat dan hebat.

2)   Ingin coba dulu karena tidak ada salahnya mencoba. Ya siapa tahu coba kali ini berhasil. Yang penting bisa sembuh, apa saja akan dicoba.  

3)   Percaya pada kuasa Yesus. Sekalipun apa yang Yesus perintahkan tidak masuk di akal dan bahkan penuh misteri. Sebab mungkin saja sesampai di Yerusalem, mereka akan diperintahkan hal lain lagi oleh imam dan tidak langsung sembuh. Namun, percaya pada Yesus tanpa tapi, membuat hal-hal yang nampaknya sulit dipahami dan diterima menjadi tetap bisa dinikmati dan dijalani.

Dan ternyata sekalipun awalnya Yesus tidak menyembuhkan mereka, namun ternyata sementara mereka di tengah jalan, mereka menjadi tahir alias sembuh. Kenapa Yesus tidak lakukan saja di awal ketika Ia berjumpa dengan mereka? Kenapa harus menyuruh mereka melakukan perintah dulu baru disembuhkan? Beberapa penafsir, menafsirkan karena Yesus mau mengajar mereka bahwa percaya pada Yesus bukan hanya keinginan dan perkataan semata, tetapi juga melalui tindakan.

Namun sayangnya, dari 10 orang yang disembuhkan, hanya 1 orang saja yang kembali untuk memuliakan Allah dan mengucap syukur. Hal ini memperlihatkan bahwa mengucap syukur itu sekalipun sederhana, namun mudah dilewatkan. Pertanyaannya kenapa hanya 1 orang yang kembali untuk mengucap syukur? Karena ia mengingat Allah. Ia sadar walaupun belum sampai ia di Yerusalem, namun penyembuhan yang ia terima tidak dapat dipungkiri adalah pekerjaan Allah. Saudaraku yang terkasih, dari kisah ini kita hendak belajar:

1.   Kita tidak bisa memaksa Allah memberi apa yang kita mau. Seperti 10 orang kusta atau Naaman yang tidak bisa memaksa Allah untuk langsung menyembuhkan mereka secara instan. Dari bacaan ini kita justru belajar bukan memaksa Allah mengikuti apa yang kita mau, tetapi kita belajar memaksa diri kita untuk mengikuti apa yang Tuhan mau.

2.   Percaya bukan hanya sebatas kata dan keinginan, namun juga tindakan. Tindakan percaya dengan mengikuti apa yang Tuhan mau akan mendatangkan kebaikan untuk kita.

3.   Jangan lupa untuk mengucap syukur pada Allah sebab sekalipun kita seringkali lupa akan kebaikanNya dan tidak setia kepadaNya, (2 Timotius 2 : 13) Dia tetap setia. Mengucap syukur itu perlu dibiasakan. Mulailah dari diri sendiri dan mulailah dalam keluarga kita.

Selamat mengucap syukur. Tuhan memberkati. Amin. (mc)

Kamis, 29 September 2022

KELUARGA YANG MEMILIKI IMAN SEORANG HAMBA


Habakuk 1 : 1 – 4, 2 : 1 – 4; Mazmur 37 : 1 – 9; 2 Timotius 1 : 1 – 14; Lukas 17 : 5 – 10

 

Saudaraku, ada begitu banyak persoalan yang dihadapi oleh keluarga masa kini. Mulai dari komunikasi, keuangan, pekerjaan, persoalan anak, perbedaan pola asuh, kekerasan dalam rumah tangga, relasi mertua vs menantu, hingga kurangnya waktu bersama. Begitu banyak ya? Berbagai persoalan ini juga bisa menjadi alasan menurunnya jumlah pernikahan di Indonesia selama 10 tahun terakhir ini[1] dan mungkin saja salah 1 persoalan yang disebutkan adalah pergumulan kita juga.

Persoalan yang disebutkan di atas sering kali menimbulkan keretakan dalam sebuah keluarga. Nahasnya, kadang kita lupa bahwa keretakan itu kalau terus kita biarkan akan jadi luka yang menghancurkan sesama anggota keluarga. Untuk itu mengawali bulan keluarga tahun ini, firman Tuhan kembali menjadi bekal perjalanan kita bersama keluarga supaya keluarga kita mampu bertahan menghadapi banyaknya persoalan yang terus datang silih berganti. Apa yang harus kita lakukan? Pertama-tama kita akan belajar dari apa yang dituliskan dalam bacaan Injil hari ini.

Dari Injil Lukas 17 : 5 – 10 yang mengisahkan dialog Yesus dan para muridNya, di ayat 5 para murid berkata pada Tuhan “tambahkanlah iman kami!” Mengapa para murid meminta demikian? bukankah mereka adalah orang-orang beriman? apakah iman mereka selama ini tidak cukup? Jawabannya kemungkinan karena ada 2 alasan. Alasan pertama, para murid meminta tambahan iman pada Tuhan, karena (ay. 3) Yesus memberi nasihat kepada para murid supaya mereka (ay. 4) harus (senantiasa) mengampuni orang yang berdosa bukan hanya kepada Tuhan, tetapi juga yang berbuat dosa terhadap mereka.

Mengampuni tentu bukanlah hal yang mudah. Apalagi jika orang yang melukai kita adalah orang-orang yang terdekat atau bahkan dalam keluarga kita. Namun buat Yesus, pengampunan bukanlah sebuah pilihan melainkan keharusan dan perlu terus diulang. Secara manusiawi, tentu apa yang dinasihatkan Yesus mudah untuk didengar namun berat untuk dijalankan. Alasan kedua, karena para murid menyadari bahwa ke depan ada begitu banyak persoalan dan tantangan yang akan mereka hadapi dari orang-orang sekitar. Menyadari keterbatasan mereka, maka mereka pun meminta Tuhan untuk menambahkan (prostithemi: digunakan untuk makna kuantitatif) iman mereka supaya mereka bisa melakukan apa yang dinasihatkan Yesus sekaligus mampu menghadapi persoalan-persoalan yang akan dihadapi.

Menjawab permintaan para murid, Yesus hendak mengajarkan bahwa kemampuan untuk melakukan apa yang Tuhan nasihatkan sekaligus bersiap menghadapi persoalan ke depan bukan karena para murid punya iman yang ukuran atau jumlahnya banyak dan besar. Tapi kesadaran bahwa para murid sudah memiliki iman itu dan harus mempergunakannya. Karena itu Yesus mengatakan (ay. 6) kalau sekiranya (KBBI: seandainya)[2] kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu."

Tentu ayat ini merupakan kiasan yang Yesus pakai untuk menyampaikan sindirian kepada para muridNya. Bahwa mereka tidak menyadari kalau mereka meminta sesuatu yang mereka sudah punya, namun tidak mereka gunakan, yaitu iman. Sebab mereka sudah beriman kepada Allah. Namun sayangnya, pertanyaan mereka minta ditambahkan iman menunjukkan bahwa mereka seakan tidak memiliki iman tersebut.

Saudaraku Yesus kemudian melanjutkan nasihatNya untuk mengajarkan, bahwa iman para murid seharusnya seperti iman seorang hamba. Hamba (duolos: budak, pelayan)[3] yang setelah bekerja di ladang dan peternakan, tentu ia tidak mendapat ajakan sang tuan untuk makan. Di tengah keletihan akan tantangan hidupnya sebagai seorang hamba, ia harus terus melanjutkan pekerjaannya untuk melayani sang tuan. Bukan hanya itu, dari semua hal yang ia kerjakan, ia pun tidak menerima ungkapan terima kasih dari sang tuan. Namun apa yang ia lakukan? ia tidak meminta lebih dan menutut melainkan tetap melakukan apa yang harus ia lakukan.

Dari bagian ini, Yesus mau mengajak para murid untuk miliklah iman seorang hamba yang bukan meminta tetapi berkarya. Bukan mengeluh dengan banyaknya hal yang dihadapi dan dikerjakan tapi mengerjakan semua dengan baik. Bukan mengharapkan lebih tapi mencukupkan diri dengan apa yang dimiliki. Iman seorang hamba inilah yang perlu terus dimiliki oleh para murid, sehingga sesulit apapun persoalan yang akan dihadapi, mereka menjadi seorang hamba yang terus berkarya, tidak mengeluh dan tidak mengharapkan lebih, tetapi mencukupkan diri.

Saudaraku yang dikasihi Kristus, tentu pesan Yesus ini bukan hanya untuk para muridNya saja di konteks Alkitab, tetapi juga untuk kita semua di masa kini. Bahwa keluarga kita pun perlu memiliki iman seorang hamba.

1.    Kita perlu sama-sama belajar untuk saling bekerja dalam keluarga. Tugas di rumah bukan hanya tugas seorang istri atau ibu tetapi tugas bersama. Termasuk juga mendampingi anak bermain dan belajar adalah pekerjaan bersama. Jika dalam keluarga, semua anggota keluarga diberi peran untuk bekerja maka apa yang dirasa berat dan sulit dapat diatasi bersama-sama.

2.    Tidak mengeluh dalam hal-hal yang dikerjakan dan dihadapi. Karena terus mengeluh hanya membuat kita panas hati, iri hati (Mazmur 37) dan akhirnya tidak mensyukuri berkat lainnya yang Tuhan sudah beri. Yuk kurangi mengeluh, karena apa yang kita hadapi juga menjadi berkat Tuhan buat kita jalani.

3.    Tidak mengharapkan lebih untuk tidak saling menyakiti dalam keluarga, melainkan mencukupkan diri dengan keluarga yang kita miliki. Begitu banyak ekspektasi dan tuntutan yang kita terus gaungkan dalam keluarga dapat membuat kita saling menyakiti. Tentu kita sangat boleh punya harapan untuk keluarga kita akan seperi apa. Namun hal itu harus dibarengi dengan melihat juga kondisi keluarga masing-masing. Jangan sampai kita menuntut lebih, akhirnya kita justru menciptakan penjara dalam keluarga dan bukan tempat yang nyaman untuk tinggal dan pulang.

 

Belajar dari permintaan para murid, jangan meminta ditambahkan (lebih) padahal yang ada tidak kita sadari dan gunakan

 

Kiranya iman seorang hamba menjadi iman yang terus kita hidupi dalam kehidupan pribadi dan bersama keluarga kita. Kiranya melalui Perjamuan Kudus sedunia yang kita rayakan hari ini, juga menjadi pengingat akan iman Kristus, seorang Hamba yang menjadi teladan bagi kita semua. Tuhan memberkati kita semua. Amin. (mc)



[3] seseorang yang memberikan dirinya sendiri bagi kehendak orang lain dan melayaninya dengan kemampuannya. Hamba bukanlah terpaksa melakukan sesuatu karena dia dijual (seorang budak) melainkan menjadi hamba adalah kebanggaan dan pengabdian.