Kamis, 30 Desember 2021

Kasih Karunia Yang Selalu Baru

Minggu, 2 Januari 2022

Minggu Kedua Sesudah Natal


Tahun 2021 telah kita lalui bersama-sama. Setidaknya, pandemi covid-19 masih mendominasi torehan warna di atas kanvas lukisan tahun lalu. Dinamika naik turun, baik Varian Delta yang meledak di pertengahan tahun, atau berita Varian Omicron yang merangsek ke negeri ini di akhir tahun lalu. Bukan hanya itu, mungkin ada di antara kita yang harus basah pipinya, karena kerabat atau keluarga kita sendiri ada yang terpapar, bahkan berpulang. Selain itu, gejolak alam silih berganti mewarnai tahun 2021. Namun selain itu, tentu banyak hal juga yang membuat kita berbahagia. Kelulusan, naik pangkat, promosi, kelahiran, pernikahan, ulang tahun, atau apapun hal lain yang membuat kita tersenyum hingga tertawa. Pada akhirnya, bukankah kembali pada kita, hendak kita beri makna apa tahun kemarin?

Bacaan Injil pada Minggu ini merupakan lanjutan dari bacaan pada Ibadah Natal tanggal 25 Desember 2021 yang lalu, yakni Yohanes 1:10-18. Injil Yohanes dalam permulaan tulisannya, memaparkan identitas keilahian Yesus yang tersaji dalam penjelasan akan doktrin Inkarnasi. Sang Firman yang menjadi manusia (lih. Yoh 1:14) menjadi sebuah penegasan ilahi bahwa Yang Maha Tak Terbatas, merengkuh manusia ketika Ia menjadi yang terbatas dalam diri Yesus. Peristiwa Natal menjadi sebuah peringatan bahwa Allah sudi merapuhkan diri dalam daging (baca: tubuh). Tentu, hal itu merupakan kasih karunia yang tercurah atas kasih Allah kepada segenap ciptaan.

Bukan hanya itu saja, secara spesifik penulis Injil Yohanes menuliskannya di ayat 16; Karena dari kepenuhan-Nya kita semua telah menerima kasih karunia demi kasih karunia;. Peristiwa Inkarnasi ternyata memiliki makna bahwa karya Allah tidak berhenti pada momen kelahiran, namun juga memuncak pada peristiwa salib, bahkan dalam pengharapan akan kedatangan-Nya yang kedua. Berarti, ‘kasih karunia demi kasih karunia’ menegaskan, bahwa penyertaan dan karya Allah itu berlangsung secara terus menerus dalam kehidupan semesta. Ada sebuah keberlangsungan ‘kasih karunia’ yang tidak pernah berhenti dalam hidup ini. Belajar dari itu, kita bisa memetik makna bahwa segala hal yang terselenggara di bawah kolong langit, adalah karya Allah yang menjadi ‘kasih karunia’ yang tiada hentinya (providentia Dei).

Dalam kehidupan kita, peristiwa silih berganti. Senang-susah, sehat-sakit, mendung-hujan, badai-angin sepoi-sepoi, bergantian mewarnai seluruh sendi kehidupan. Secara khusus, marilah kita melihat kehidupan kita. Begitu rupa permasalahan silih berganti. Ada yang menguras air mata, tapia da juga yang membuat senyum dan tawa tak bisa dibendung. Namun, ‘kasih karunia demi kasih karunia’ mengajarkan kita bahwa itu semua adalah cara Allah menyertai dan memelihara kita yang begitu dikasihi-Nya. Pertanyaannya, apakah kita berani memaknai semua peristiwa sebagai pemeliharaan Allah? Kita terbiasa menganggap sesuatu sebagai anugerah jika hal itu mebuat kita gembira. Padahal, tidak ada manusia yang sepenuhnya gembira. Firman Tuhan dalam ibadah Minggu ini menantang kita untuk berani memaknai semua peristiwa kehidupan kita sebagai  cara Allah memelihara.

Seorang neurolog Austria sekaligus penyintas holocaust, Victor Frankl, pernah menulis kalimat dalam bukunya ‘Man Search for Meaning’, kira-kira begini; "Everything can be taken from a man but one thing: the last of human freedoms - to choose one's attitude in any given set of circumstances, to choose one's own way." Menurut Frankl, kita punya kemerdekaan untuk menentukan sikap atas apapun yang melanda kehidupan kita. Sikap ini bukan untuk membebaskan dari segala emosi yang bisa singgah kapan saja, akan tetapi sebuah kesadaran bahwa Allah yang berperkara dalam setiap kehidupan kita, sebagaimana yang tertulis dalam Yohanes 1:16. Sebenarnya, bukan hanya perkara yang menyedihkan, termasuk yang mebahagiakan. Potensi untuk lupa akan Tuhan sebagai penyelenggara akan pudar oleh euphoria dalam pesta dan segala perayaannya. Jika setiap kita memiliki kesadaran ini, meski ada kesedihan dan kebahagiaan datang silih berganti, kita tidak akan lepas kendali.

Tahun 2022 sudah kita jalani dua hari. Praktis, masih ada 364 hari untuk kita jalani. Adakah di antara kita yang bisa menebak apa yang terjadi sepanjang tahun ini? Saya kira kita akan sepakat bahwa esok pun kita tak tahu, apalagi lusa, minggu depan, dan seterusnya. Keterbatasan kita sebagai manusia bisa merayu kita untuk menjadi lesu dan penuh kuatir dalam menjalani hidup ini. Namun, justru keterbatasan kita itulah yang semestinya mengembalikan kita pada kesadaran bahwa Allah berkarya dalam segala sesuatu. Ia yang menjamin seluruh kehidupan kita.

Inkarnasi Yesus adalah peristiwa dimana Allah secara ekstrem terjun bebas dalam kerapuhan manusia. Yohanes 1:14 mencatat, Firman itu telah menjadi manusia. Dalam bahasa aslinya, kata firman berasal dari ‘logos’, sedangkan manusia berasal dari ‘sarx’ yang berarti harafiah ‘daging’. Kita tahu, bahwa daging adalah simbol kerapuhan dan keterbatasan dalam kehidupan orang Yahudi (bdk. Matius 26:41). Namun, kesengajaan Allah yang menjadi daging ini bisa kita baca maknai bahwa Yesus ingin menunjukkan, bahwa dalam keterbatasan-Nya sebagai manusia, Ia tetap berkarya dan taat pada kehendak Allah. Natal mebuat kita tidak boleh menyerah akan kerapuhan kita. Natal memberi kita kepercayaan diri bahwa kita bisa menjalani kehidupan dengan optimis, bahwa semua yang akan terjadi adalah kasih karunia Allah sendiri. Yesus menjadi semacam ‘manual book’ untuk kita tetap percaya pada rencana Allah. Jadi, apapun yang akan kita temui dalam peziarahan kita di tahun 2022, kita akan tegar menghadapinya, karena semua adalah kasih karunia yang selalu baru, karena Allah yang menjamin dan memelihara kehidupan kita. Selamat menjalani tahun ini.

ftp

Tidak ada komentar:

Posting Komentar