Sabtu, 06 Mei 2023

HIDUP SEBAGAI ANAK TUHAN

 Minggu Paska V

Kis 7:55-60 | Mzm 31:2-6,16-17 | 1 Pet 2:2-10 | Yoh 14:1-14

 

Pada Minggu Paska V ini, Injil Tuhan berkisah tentang percakapan Yesus dengan para murid, terkhusus dengan Tomas dan Filipus. Perikop bacaan Injil kali ini, memuat salah satu ayat hafalan, yakni Yohanes 14:6, yang seringkali dihayati sebagai ‘ayat emas’ bagi orang Kristen. Namun, mari kita menyimaknya, bersamaan dengan bacaan leksionari lainnya.

Pada saat itu, Yesus tiba-tiba berbicara mengenai ‘kegelisahan’. Hal itu Ia sampaikan, karena Ia tahu benar, bahwa waktu kematian-Nya sudah hampir tiba dan tentu akan membuat mereka gelisah, bahkan hilang arah. Lantas, Yesus mengatakan tentang kepergian-Nya ke Rumah Bapa, untuk menyediakan tempat tinggal. Dari pembukaan percakapan mereka, kita melihat bahwa Yesus ingin menenangkan mereka jika sesuatu yang berat itu akan terjadi. Nah, justru di sinilah terjadi kebingungan dalam diri Tomas dan Filipus. Tomas, dengan kepribadiannya, dengan polos ia berkata; "Tuhan, kami tidak tahu ke mana Engkau pergi; jadi bagaimana kami tahu jalan ke situ?" (Yoh 14:5). Yesus menjawab Tomas; "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku. Sekiranya kamu mengenal Aku, pasti kamu juga mengenal Bapa-Ku. Sekarang ini kamu mengenal Dia dan kamu telah melihat Dia.” (Yoh 14:5-6). Setelah Yesus selesai menjawab Tomas, Filipus menanggapi perkataan-Nya dengan berkata; "Tuhan, tunjukkanlah Bapa itu kepada kami, itu sudah cukup bagi kami." (Yoh 14:7) Dalam ayat 7 itu, seakan-akan Filipus menanggapi perkataan Yesus dengan sebuah kesimpulan yang bijak, yakni dengan mengatakan ‘itu sudah cukup bagi kami’. Justru di sinilah, kita bisa merasakan aroma kesedihan dalam diri Yesus yang berkata; "Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku? Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa; bagaimana engkau berkata: Tunjukkanlah Bapa itu kepada kami.” (Yoh 14:8). Jika boleh saya ekspresikan kalimat terakhir Yesus, seakan Ia ingin berkata : KOK ISOOOOOO??? Ya, mungkin saya berlebihan, namun itulah dimensi perasaan yang ada dalam tanggapan Yesus atas permintaan Filipus.

Saudara yang terkasih, Tomas menanyakan tempat kemana Yesus pergi, sedangkan Filipus meminta kepada Yesus untuk menunjukkan Bapa kepada mereka. Pertanyaan Tomas dan permintaan Filipus adalah tanda bahwa mereka lupa akan sosok Yesus di hadapan mereka saat itu. Mereka lupa, bahwa hidup bersama Yesus adalah ‘jalan’ itu sendiri. Itulah mengapa, Yesus menjelaskan pada Tomas bahwa Ia adalah jalan, dan kebenaran, dan hidup. Bagi orang Yahudi, jalan, kebenaran, dan hidup adalah hal terpenting untuk dihidupi. Ternyata, Tomas melupakan bagaimana perjalanannya bersama Yesus, kebenaran apa yang dipancarkan Yesus, serta makna kehidupan yang dihayati dan diemban oleh Yesus. Tomas seakan menanyakan sebuah ‘alamat’ yang hendak dituju, sedangkan Ia lupa bahwa Yesuslah tujuan itu sendiri. Yesus adalah jalan yang harus setia ditapaki, kebenaran sejati yang tidak terbantahkan, serta pemberi kehidupan abadi itu sendiri.

Berbeda dengan Tomas, Filipus justru mengalami galfok, atau gagal fokus. Ia lebih menyoroti kalimat Yesus; Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku (Yoh 14:6b). Ketika Yesus mengungkapkan itu, Filipus merasa bahwa Yesus adalah media atau penunjuk jalan untuk sampai kepada Bapa. Yesus sangat menyayangkan hal itu (lih. Yoh 14:9). Ternyata, Filipus lupa siapa Yesus yang sehahekat dengan Sang Bapa. Hal ini sering kita jumpai dalam PA atau katekisasi, yakni sebuah gambar salib yang menghubungkan dua tebing yang terpisahkan jurang (dosa). Jika demikian, untuk bisa sampai kepada tebing seberang (Bapa), yang harus dilakukan manusia adalah melewati jembatan (salib), dan akhirnya meninggalkannya. Ironis, bukan?

Kesalahpahaman Tomas dan Filipus adalah kegagalan manusia untuk mengimani siapa Yesus dalam hidupnya. Kegagalan mereka, juga bisa merefleksikan kegagalan kita juga, yang seringkali mendaku sebagai pengikut Yesus, namun kita justru kebingungan dalam menjalani kehidupan. Namun ada satu hal yang tidak boleh kita lupakan dalam membaca makna perkataan Yesus tentang ‘jalan’ itu. Kita harus ingat, Yesus mengatakan itu semua dalam rangka mengingatkan mereka tentang kematian-Nya, yakni saat raga-Nya tidak lagi bersama dengan mereka. Yesus ingin agar saat raga-Nya tak bersama dengan mereka, mereka tetap setia berjalan dalam iman bahwa Yesus tetap ada bersama dengan mereka. Ini hal penting yang ingin Yesus sampaikan. Mungkin menarik bila membaca teks ini dengan sepenggal sajak dari Eyang Sapardi Djoko Damono; ‘yang fana adalah waktu. Kita abadi’. Mungkin ada waktu dimana raga Yesus tak lagi bersama mereka, namun kesatuan hati Yesus dan para murid, itulah yang abadi. Yesus ingin agar mereka tetap setia sampai akhir. Demikianlah yang juga dilakukan Stefanus yang dituliskan dalam Kis 7:55-60. Stefanus berkata; Ya Tuhan Yesus, terimalah rohku” (Kis 7:59). Stefanus tetap setia sampai akhir hidupnya, dan ia meyakini bahwa sampai selamanya, ia akan terus bersatu dengan Kristus.

Tema Ibadah Minggu paska V ini adalah ‘Hidup Sebagai Anak Tuhan’. Ungkapan ‘anak Tuhan’, adalah ungkapan yang seringkali kita dengar, juga ucapkan. Namun ada sebuah pertanyaan menarik bagi kita; ungkapan ‘anak Tuhan’ itu kebanggan atau tugas? Memang benar, kita merayakan keselamatan dari Kristus melalui kematian-Nya di atas kayu salib. Namun, jika sebatas perayaan, kita akan mudah jatuh pada kesombongan diri atas privilege yang Tuhan berikan. Sebaliknya, apabila kita memaknai ungkapan ‘anak Tuhan’ sebagai tugas, kita akan langsung bertanya pada diri kita; bila aku seorang anak, apakah aku sudah taat dan setia kepada Bapa? Ya, itulah pertanyaan yang harus membuntuti pernyataan bahwa kita adalah anak Tuhan.

Ungkapan ‘anak Tuhan’ harus membangkitkan dua kesadaran. Yang pertama, kesadaran status kita sebagai anak dari Bapa yang harus selalu taat dan setia, sebagaimana Stefanus lakukan. Ada seorang kawan yang mengatakan, bahwa ‘Doa Bapa Kami’ diawali dengan sebuah tantangan besar. Bila kita berani memanggil-Nya ‘Bapa’, berarti kita siap untuk hidup sebagai ‘anak’ yang bertanggung jawab. Di media sosial, beberapa waktu terakhir, berita-berita diisi dengan para bapak yang kelimpungan menanggung ulah si anak. Orang Jawa bilang, anak polah bapa kepradah, yang artinya ketika si anak bikin ulah, Bapaknya menanggung akibatnya. Namun ada satu hal menarik. Si anak yang berinisial DS, di rumah dikenal sebagai anak yang manis dan penurut, bahkan makan saja harus ditunggui oleh sang Ibu. Namun kelakuannya di luar rumah, sungguh membagongkan! Ia bisa menganiaya seseorang hingga dirawat karena tidak sadarkan diri dalam waktu yang lama. Sungguh ironi. Hal ini membuktikan, bahwa seorang manusia harus setia menjadi baik, dalam segala kondisi. Inilah maksud Yesus, apabila kita mengimani-Nya sebagai jalan dan kebenaran dan hidup, kita akan setia dan taat dimanapun dan kapanpun. Baiknya, kita mengingat formulasi pengutusan GKI; arahkanlah hatimu kepada Tuhan – kami mengarahkan hati kami kepada Tuhan. Formulasi itu diletakkan di akhir, bukan di depan atau tengah, seakan ingin menyadarkan kita, bahwa keharusan kita mengarahkan hidup kita kepada Tuhan bukan hanya saat ibadah, namun saat keluar dari ruang ibadah. Ya, apakah kita tetap setia dan taat sebagai anak di luar sana? Yang kedua, ungkapan ‘anak Tuhan’ harus membangkitkan kesadaran tugas dan tanggung jawab. Dalam 1 Petrus 2:9 dituliskan; Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib: Ayat ini seringkali dikutip untuk membesarkan hati umat yang mendengarkannya. Namun, spotlight ayat ini biasanya berhenti pada kata ‘sendiri’. Coba perhatikan, bila ayat ini berhenti pada kata ‘sendiri’, yang terjadi adalah sebuah kesombongan. “ya, aku adalah anak Tuhan yang dipilih, imamat yang Rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri”. Begitulah kira-kira. Namun, ayat itu tidak berhenti di situ saja. Kelanjutan ayat itu adalah; supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib. Ternyata, ada tugas dan tanggung jawab besar yang mengikuti pernyataan di awal ayat itu. Bila Petrus menulis ini dan menegaskan bahwa kita harus bisa memberitakan perbuatan-perbuatan besar Yesus, Yesus sendiri justru malah meyakinkan kita bahwa kita bisa melakukan perbuatan-perbuatan besar itu sendiri; Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pada itu (Yoh 14:12). Ya, ternyata, tugas seorang ‘anak Tuhan’ adalah mau setia dan taat melakukan apa yang dikerjakan oleh Yesus sendiri.

Saudaraku yang terkasih, ini semua dikatakan bukan untuk menakut-nakuti kita untuk mengaku diri sebagai ‘anak Tuhan’. Justru, kita harus dengan bangga mengatakan dan mengakuinya. Kita harus merayakan diri sebagai ‘anak Tuhan’, sebab itulah yang dipersaksikan dalam Galatia 3:26 Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus. Karena Kristus, kita diperbolehkan memanggil Allah dengan sebutan Bapa. Bukankah ini menjadi sebuah kemesraan tersendiri dalam hidup beriman? Namun, di sisi yang sama, kita tetap harus sadar akan tugas dan tanggung jawab kita. Kita diajak untuk terus menyadari, bagaimana kita hidup bersama Yesus senantiasa, kapanpun dan dimanapun. Yesus adalah jalan dan kebenaran dan hidup itu sendiri, yang harus kita hayati sebagai anak-anak Tuhan. Rayakanlah dengan kesadaran!

 

ftp

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar