Minggu Paska V
Kis 7:55-60 | Mzm
31:2-6,16-17 | 1 Pet 2:2-10 | Yoh 14:1-14
Pada Minggu Paska
V ini, Injil Tuhan berkisah tentang percakapan Yesus dengan para murid,
terkhusus dengan Tomas dan Filipus. Perikop bacaan Injil kali ini, memuat salah
satu ayat hafalan, yakni Yohanes 14:6, yang seringkali dihayati sebagai ‘ayat
emas’ bagi orang Kristen. Namun, mari kita menyimaknya, bersamaan dengan bacaan
leksionari lainnya.
Pada saat itu, Yesus
tiba-tiba berbicara mengenai ‘kegelisahan’. Hal itu Ia sampaikan, karena Ia tahu
benar, bahwa waktu kematian-Nya sudah hampir tiba dan tentu akan membuat mereka
gelisah, bahkan hilang arah. Lantas, Yesus mengatakan tentang kepergian-Nya ke Rumah
Bapa, untuk menyediakan tempat tinggal. Dari pembukaan percakapan mereka, kita
melihat bahwa Yesus ingin menenangkan mereka jika sesuatu yang berat itu akan
terjadi. Nah, justru di sinilah terjadi kebingungan dalam diri Tomas dan
Filipus. Tomas, dengan kepribadiannya, dengan polos ia berkata; "Tuhan,
kami tidak tahu ke mana Engkau pergi; jadi bagaimana kami tahu jalan ke
situ?" (Yoh 14:5). Yesus menjawab Tomas; "Akulah jalan dan
kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak
melalui Aku. Sekiranya kamu mengenal Aku, pasti kamu juga mengenal Bapa-Ku.
Sekarang ini kamu mengenal Dia dan kamu telah melihat Dia.” (Yoh 14:5-6).
Setelah Yesus selesai menjawab Tomas, Filipus menanggapi perkataan-Nya dengan
berkata; "Tuhan, tunjukkanlah Bapa itu kepada kami, itu sudah cukup
bagi kami." (Yoh 14:7) Dalam ayat 7 itu, seakan-akan Filipus
menanggapi perkataan Yesus dengan sebuah kesimpulan yang bijak, yakni dengan
mengatakan ‘itu sudah cukup bagi kami’. Justru di sinilah, kita bisa merasakan
aroma kesedihan dalam diri Yesus yang berkata; "Telah sekian lama Aku
bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku? Barangsiapa telah
melihat Aku, ia telah melihat Bapa; bagaimana engkau berkata: Tunjukkanlah Bapa
itu kepada kami.” (Yoh 14:8). Jika boleh saya ekspresikan kalimat terakhir
Yesus, seakan Ia ingin berkata : KOK ISOOOOOO??? Ya, mungkin saya berlebihan,
namun itulah dimensi perasaan yang ada dalam tanggapan Yesus atas permintaan
Filipus.
Saudara yang
terkasih, Tomas menanyakan tempat kemana Yesus pergi, sedangkan Filipus meminta
kepada Yesus untuk menunjukkan Bapa kepada mereka. Pertanyaan Tomas dan permintaan
Filipus adalah tanda bahwa mereka lupa akan sosok Yesus di hadapan mereka saat
itu. Mereka lupa, bahwa hidup bersama Yesus adalah ‘jalan’ itu sendiri. Itulah mengapa,
Yesus menjelaskan pada Tomas bahwa Ia adalah jalan, dan kebenaran, dan hidup. Bagi
orang Yahudi, jalan, kebenaran, dan hidup adalah hal terpenting untuk dihidupi.
Ternyata, Tomas melupakan bagaimana perjalanannya bersama Yesus, kebenaran apa
yang dipancarkan Yesus, serta makna kehidupan yang dihayati dan diemban oleh Yesus.
Tomas seakan menanyakan sebuah ‘alamat’ yang hendak dituju, sedangkan Ia lupa
bahwa Yesuslah tujuan itu sendiri. Yesus adalah jalan yang harus setia
ditapaki, kebenaran sejati yang tidak terbantahkan, serta pemberi kehidupan abadi
itu sendiri.
Berbeda dengan
Tomas, Filipus justru mengalami galfok, atau gagal fokus. Ia lebih menyoroti
kalimat Yesus; Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak
melalui Aku (Yoh 14:6b). Ketika Yesus mengungkapkan itu, Filipus merasa
bahwa Yesus adalah media atau penunjuk jalan untuk sampai kepada Bapa. Yesus
sangat menyayangkan hal itu (lih. Yoh 14:9). Ternyata, Filipus lupa
siapa Yesus yang sehahekat dengan Sang Bapa. Hal ini sering kita jumpai dalam PA
atau katekisasi, yakni sebuah gambar salib yang menghubungkan dua tebing yang
terpisahkan jurang (dosa). Jika demikian, untuk bisa sampai kepada tebing
seberang (Bapa), yang harus dilakukan manusia adalah melewati jembatan (salib),
dan akhirnya meninggalkannya. Ironis, bukan?
Kesalahpahaman
Tomas dan Filipus adalah kegagalan manusia untuk mengimani siapa Yesus dalam
hidupnya. Kegagalan mereka, juga bisa merefleksikan kegagalan kita juga, yang
seringkali mendaku sebagai pengikut Yesus, namun kita justru kebingungan dalam
menjalani kehidupan. Namun ada satu hal yang tidak boleh kita lupakan dalam
membaca makna perkataan Yesus tentang ‘jalan’ itu. Kita harus ingat, Yesus mengatakan
itu semua dalam rangka mengingatkan mereka tentang kematian-Nya, yakni saat
raga-Nya tidak lagi bersama dengan mereka. Yesus ingin agar saat raga-Nya tak
bersama dengan mereka, mereka tetap setia berjalan dalam iman bahwa Yesus tetap
ada bersama dengan mereka. Ini hal penting yang ingin Yesus sampaikan. Mungkin
menarik bila membaca teks ini dengan sepenggal sajak dari Eyang Sapardi Djoko
Damono; ‘yang fana adalah waktu. Kita abadi’. Mungkin ada waktu dimana raga
Yesus tak lagi bersama mereka, namun kesatuan hati Yesus dan para murid, itulah
yang abadi. Yesus ingin agar mereka tetap setia sampai akhir. Demikianlah yang
juga dilakukan Stefanus yang dituliskan dalam Kis 7:55-60. Stefanus berkata; Ya
Tuhan Yesus, terimalah rohku” (Kis 7:59). Stefanus tetap setia sampai akhir
hidupnya, dan ia meyakini bahwa sampai selamanya, ia akan terus bersatu dengan
Kristus.
Tema Ibadah
Minggu paska V ini adalah ‘Hidup Sebagai Anak Tuhan’. Ungkapan ‘anak Tuhan’,
adalah ungkapan yang seringkali kita dengar, juga ucapkan. Namun ada sebuah
pertanyaan menarik bagi kita; ungkapan ‘anak Tuhan’ itu kebanggan atau tugas?
Memang benar, kita merayakan keselamatan dari Kristus melalui kematian-Nya di
atas kayu salib. Namun, jika sebatas perayaan, kita akan mudah jatuh pada
kesombongan diri atas privilege yang Tuhan berikan. Sebaliknya, apabila
kita memaknai ungkapan ‘anak Tuhan’ sebagai tugas, kita akan langsung bertanya
pada diri kita; bila aku seorang anak, apakah aku sudah taat dan setia
kepada Bapa? Ya, itulah pertanyaan yang harus membuntuti pernyataan bahwa
kita adalah anak Tuhan.
Ungkapan ‘anak Tuhan’ harus membangkitkan dua
kesadaran. Yang pertama, kesadaran status kita sebagai anak dari Bapa yang
harus selalu taat dan setia, sebagaimana Stefanus lakukan. Ada seorang kawan
yang mengatakan, bahwa ‘Doa Bapa Kami’ diawali dengan sebuah tantangan besar. Bila
kita berani memanggil-Nya ‘Bapa’, berarti kita siap untuk hidup sebagai ‘anak’
yang bertanggung jawab. Di media sosial, beberapa waktu terakhir, berita-berita
diisi dengan para bapak yang kelimpungan menanggung ulah si anak. Orang Jawa
bilang, anak polah bapa kepradah, yang artinya ketika si anak bikin
ulah, Bapaknya menanggung akibatnya. Namun ada satu hal menarik. Si anak yang berinisial
DS, di rumah dikenal sebagai anak yang manis dan penurut, bahkan makan saja
harus ditunggui oleh sang Ibu. Namun kelakuannya di luar rumah, sungguh membagongkan!
Ia bisa menganiaya seseorang hingga dirawat karena tidak sadarkan diri dalam
waktu yang lama. Sungguh ironi. Hal ini membuktikan, bahwa seorang manusia
harus setia menjadi baik, dalam segala kondisi. Inilah maksud Yesus, apabila kita
mengimani-Nya sebagai jalan dan kebenaran dan hidup, kita akan setia dan taat
dimanapun dan kapanpun. Baiknya, kita mengingat formulasi pengutusan GKI; arahkanlah
hatimu kepada Tuhan – kami mengarahkan hati kami kepada Tuhan. Formulasi
itu diletakkan di akhir, bukan di depan atau tengah, seakan ingin menyadarkan
kita, bahwa keharusan kita mengarahkan hidup kita kepada Tuhan bukan hanya saat
ibadah, namun saat keluar dari ruang ibadah. Ya, apakah kita tetap setia dan
taat sebagai anak di luar sana? Yang kedua, ungkapan ‘anak Tuhan’ harus
membangkitkan kesadaran tugas dan tanggung jawab. Dalam 1 Petrus 2:9 dituliskan;
Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus,
umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang
besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada
terang-Nya yang ajaib: Ayat ini seringkali dikutip untuk membesarkan hati umat
yang mendengarkannya. Namun, spotlight ayat ini biasanya berhenti pada
kata ‘sendiri’. Coba perhatikan, bila ayat ini berhenti pada kata ‘sendiri’,
yang terjadi adalah sebuah kesombongan. “ya, aku adalah anak Tuhan yang
dipilih, imamat yang Rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri”. Begitulah
kira-kira. Namun, ayat itu tidak berhenti di situ saja. Kelanjutan ayat itu
adalah; supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia,
yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib. Ternyata,
ada tugas dan tanggung jawab besar yang mengikuti pernyataan di awal ayat itu. Bila
Petrus menulis ini dan menegaskan bahwa kita harus bisa memberitakan
perbuatan-perbuatan besar Yesus, Yesus sendiri justru malah meyakinkan kita
bahwa kita bisa melakukan perbuatan-perbuatan besar itu sendiri; Aku berkata
kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga
pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih
besar dari pada itu (Yoh 14:12). Ya, ternyata, tugas seorang ‘anak Tuhan’
adalah mau setia dan taat melakukan apa yang dikerjakan oleh Yesus sendiri.
Saudaraku yang terkasih, ini semua
dikatakan bukan untuk menakut-nakuti kita untuk mengaku diri sebagai ‘anak
Tuhan’. Justru, kita harus dengan bangga mengatakan dan mengakuinya. Kita harus
merayakan diri sebagai ‘anak Tuhan’, sebab itulah yang dipersaksikan dalam Galatia
3:26 Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus
Kristus. Karena Kristus, kita diperbolehkan memanggil Allah dengan sebutan
Bapa. Bukankah ini menjadi sebuah kemesraan tersendiri dalam hidup beriman? Namun,
di sisi yang sama, kita tetap harus sadar akan tugas dan tanggung jawab kita.
Kita diajak untuk terus menyadari, bagaimana kita hidup bersama Yesus
senantiasa, kapanpun dan dimanapun. Yesus adalah jalan dan kebenaran dan hidup
itu sendiri, yang harus kita hayati sebagai anak-anak Tuhan. Rayakanlah dengan
kesadaran!
ftp
Tidak ada komentar:
Posting Komentar