Rabu, 09 Oktober 2024

KELUARGA YANG MENOLAK EGOSENTRISME

Minggu Biasa XXVIII
Amos 5:6-7, 10-15 | Mazmur 90:12-17 | Ibrani 4:12-16 | Markus 10:17-31

Selain menggunakan perumpamaan, yang jarang diketahui orang adalah Yesus juga mengajar menggunakan aforisme, yakni pernyataan yang padat dan ringkas tentang sikap hidup atau kebenaran umum dan biasanya dicetuskan oleh tokoh yang penting. Dalam dunia filsafat, aforisme adalah gaya bahasa dalam kalimat-kalimat pendek yang mudah dicerna secara harafiah, tetapi sulit dipahami maknanya. Dalam teks Injil Minggu ini, Markus 10:17-31, perkataan Yesus yang merupakan aforisme adalah, "Lebih mudah seekor unta melewati lubang jarum daripada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah" (ay. 25).

Bagaimana mungkin seekor unta melewati lubang jarum? Sungguh sulit dipahami. Namun, ada beberapa penafsiran untuk melogiskan perkataan ini. Tafsir pertama, yang lebih tua, berasal dari Bapa Gereja Cyrillus dari Alexandria. Ia pernah menyatakan bahwa kata "unta" yang dimaksud di sini bukanlah hewan pengangkut beban yang hidup di gurun, melainkan tali besar atau tali kapal. Menurutnya, ini merupakaan kesalahan pengejaan dalam Alkitab Bahasa Yunani. Seharusnya yang ditulis adalah καμιλος (kamilos) yang berarti 'tali besar' atau 'tali kapal', tetapi karena kesalahan eja menjadi καμηλος (kamelos) yang berarti 'unta'. Dengan ini, aforisme Yesus ini lebih masuk akal, karena tali adalah benda panjang seperti benang, walaupun tetap tidak mungkin memasukkan tali kapal melewati lubang jarum. Setidaknya masih lebih pada tempatnya daripada unta melewati lubang jarum. Hanya saja tafsiran ini kurang begitu populer bagi banyak kalangan.

Tafsiran yang cukup populer dan sering dipakai adalah tentang pintu lubang jarum. Lubang jarum diklaim sebagai sebuah gerbang kecil pada tembok kota yang dibuka setelah gerbang utama ditutup pada malam hari. Pintu lubang jarum itu berukuran kecil, hanya seukuran seekor unta. Biasanya jika para pedagang –yang membawa unta tentunya– pulang ke kota pada malam hari dan pintu gerbang utama telah ditutup, mereka akan masuk melalui gerbang lubang jarum. Akan tetapi, biasanya unta-unta itu membawa muatan di pundaknya sehingga muatan itu harus diturunkan dulu dan untanya harus menunduk agar dapat melalui pintu lubang jarum itu. Unta yang harus melepaskan muatan dan menunduk untuk masuk pintu lubang jarum disejajarkan dengan orang kaya yang harus melepaskan hartanya dan menundukkan dirinya untuk dapat masuk Kerajaan Allah. Namun, ini merupakan cerita pesudo-historis. Telah banyak penelitian dilakukan dan tidak pernah didapati bukti keberadaan pintu lubang jarum di Palestina. Cerita ini ternyata telah ada setidaknya sejak abad ke-15, dan mungkin dapat dilacak sejak abad ke-9. 

Upaya penafsiran untuk melogiskan "unta masuk lubang jarum" terlihat berfokus pada soal kekayaan dan materi, tentang bagaimana seseorang harus meninggalkan kemelekatan hal-hal material untuk dapat menerima kehidupan abadi. Memang perikop ini sering dipakai untuk berbicara soal kekayaan. Namun, perkataan Yesus itu tidak perlu dilogiskan untuk memahami soal kekayaan. David Lose, pendeta Gereja Lutheran Amerika Serikat, menawarkan sebuah penafsiran dari teologi Lutheran lama (…in the Meantime: Curing Our Heartsickness, 2015). Yesus sebenarnya tidak memaksudkan perkataan itu untuk bicara soal kekayaan dan kemelekatan. Perkataan itu lebih merupakan ilustrasi untuk menunjukkan ketidakmampuan mutlak ciptaan mendapatkan keselamatan atau kehidupan abadi, dan hanya bergantung sepenuhnya pada belas kasih Allah saja.

Mari memperhatikan bagaimana orang muda yang kaya itu datang menemui Yesus. Kisah ini diawali dengan kalimat “... datanglah seorang berlari-lari mendapatkan Dia dan sambil berlutut di hadapan-Nya …” Orang itu datang dan bertelut di hadapan Yesus. Injil Markus mecatat beberapa kali orang datang dan bertelut, berlutut, atau tersungkur di hadapan Yesus (Mrk. 1:40; 3:11; 5:22; 5:33; 7:25) dan kesemuanya itu adalah orang-orang sakit –atau kerabat orang sakit– yang meminta kesembuhan kepada Yesus. Orang-orang itu tidak mampu untuk mendapatkan pemulihan dan hanya bergantung sepenuhnya pada belas kasihan Tuhan. Dengan dasar ini, sebenarnya Injil Markus mau memperlihatkan ketidakmampuan si orang muda yang kaya ini untuk mendapatkan keselamatan atau hidup yang abadi, dan seharusnya dia bergantung mutlak pada Tuhan. Orang kaya ini termasuk dalam golongan orang-orang sakit yang bertelut dan tersungkur di hadapan Yesus, yang membutuhkan pemulihan dari Allah.

Lalu, apa penyakit orang muda yang kaya ini? Penyakitnya adalah ketidakpedulian dan egosentrisme. Ia memang memiliki pemahaman yang mantap tentang Hukum Taurat, bahkan ia menuruti semuanya itu; menghormati orang tua, tidak membunuh, tidak berzina, tidak mencuri, tidak mengucapkan saksi dusta, tidak mengurangi hak orang. Jika kita perhatikan, semua yang ducapkan Yesus di ayat 19 –dan sudah dilakukan orang muda ini– adalah hukum yang mengatur relasi dengan sesama. Yesus sepertinya sengaja mengungkapkan keenam hukum ini untuk berbicara soal relasi dengan orang lain. Di sinilah “penyakit” orang kaya itu terlihat. Semua yang dia lakukan itu berpusat pada dirinya sendiri sebagai ketaatannya pada hukum, bukan karena kepedulian terhadap orang lain. Itu sebabnya ketika Yesus menyuruhnya untuk menjual hartanya dan berbagi dengan orang miskin, dia menjadi kecewa. Yesus menantangnya untuk melakukan sesuatu melampaui hukum, untuk bertindak bukan karena aturan dan hukum, dan dia gagal menanggapi tantangan Yesus itu. Dia tidak memiliki kepedulian dan belarasa kepada orang miskin, sehingga ia memikirkan kerugian dirinya jika harus menjual hartanya dan membagikannya dengan orang miskin. Jadi, ketika Yesus berkata, “Alangkah sukarnya orang yang memiliki banyak harta masuk ke dalam Kerajaan Allah", alasannya adalah karena banyak orang kaya yang lebih memikirkan diri sendiri dan mempertimbangkan untung-rugi sehingga kehilangan kepedulian dan rasa keadilan. Mereka melakukan segala sesuatu untuk kepentingan diri sendiri dan keberatan untuk melakukan sesuatu bagi orang lain.

Nabi Amos, dalam bacaan pertama (Am. 5:6-7, 10-15), juga menyuarakan kritik atas tindakan yang menindas untuk kepentingan diri sendiri. Kerajaan Israel di Utara pada waktu itu mengalami kemakmuran setelah kekalahan Siria oleh Asyur, sehingga mereka dapat membangun perdagangan yang menguntungkan. Hanya saja, kemakmuran itu hanya dirasakan oleh para pedagang dan raja-raja. Mereka tidak memperhatikan kaum petani dan orang-orang miskin, bahkan orang-orang kaya ini sering menindas yang miskin. Dalam kehidupan beragama, mereka sangat taat menjalankan semua ritual dan memberikan persembahan kepada Allah –yang didapat dengan memeras kaum miskin. Karena itu, Allah tidak senang dengan ibadah mereka dan mengutus Nabi Amos dari Tekoa di Yehuda untuk menubuatkan kehancuran Israel (ay. 2-3). Allah  memberikan kesempatan bagi Israel untuk dipulihkan. Namun, caranya bukan dengan segala ibadah ritual yang hanya berpusat pada diri sendiri. Mereka harus dipulihkan dari segala ketidakadilan, penindasan, dan kepura-puraan yang mereka lakukan melalui ritual-ritual kosong dan persembahan yang didapat dari pemerasan. Tuhan memberikan kehidupan bagi mereka jika mereka berlaku adil, tidak memeras dan menindas, serta peduli kepada orang lain.

Saudara-saudari, dari Firman Tuhan hari ini kita belajara bahwa kehidupan abadi itu bukan soal taat menjalankan hukum atau ritual agama, melainkan kepedulian kepada sesama. Keselamatan dan kehidupan bukan soal berbicara tentang keadilan, melainkan memberlakukan keadilan; bukan soal mencari hidup, melainkan berbagi hidup; bukan hanya tidak melakukan yang jahat, melainkan melakukan yang sebaliknya, yaitu kebaikan. Oleh karena itu, untuk  mendapatkan hidup yang abadi dalam Kerajaan Allah, Yesus mengajak kita untuk peduli, berbagi dengan orang yang membutuhkan, dan berlaku adil kepada sesama. Kita harus dipulihkan dulu dari egosentrisme dan ketidakpedulian yang menghalangi dia untuk menerima kehidupan. Kita perlu mengarahkan diri kita bukan pada diri sendiri, melainkan kepada Allah dan kepada dunia yang dikasihi Allah ini.

(ThN)

Jumat, 04 Oktober 2024

Keluarga yang Memperjuangkan Persatuan

 

KELUARGA YANG MEMPERJUANGKAN PERSATUAN

(MINGGU BIASA)

Kejadian 2:18-24 | Mazmur 8 | Ibrani 1:1-4, 2:5-12 | Markus 10:2-16

 

In A Relationship

“In a relationship”. Kira-kira demikianlah simpulan dari bacaan leksionari pada minggu ini. Dari situlah juga, kita berangkat untuk merefleksikan bahwa “in a relationship” bukanlah sebuah status di media sosial yang biasanya dipamerkan untuk menunjukkan hubungan yang dekat dengan seseorang, tetapi “in a relationship” merupakan relasi yang terus-menerus dibangun tanpa henti.

 

Karya Allah untuk Kehidupan Manusia

Dalam keempat bacaan kita pada hari ini, kita menemukan bahwa sesungguhnya Allah yang terlebih dahulu berkarya untuk kehidupan kita semua. Karya Allah yang sungguh-sungguh nyata itu membuat manusia bisa memiliki relasi yang baik dengan Tuhan dan juga dengan sesama.

 

Kitab Kejadian memberikan kesaksian bahwa Allah sudah berjuang untuk turut serta menghadirkan relasi yang baik untuk kehidupan manusia ciptaan-Nya, sehingga kita sadar bahwa sejak penciptaan, Allah berperan supaya manusia menjadikan mereka satu dalam relasi yang diperkenankan oleh Allah. Bukan karena sebatas keinginan manusia, tetapi juga ada kehendak dan karya Allah di dalamnya.

 

Kitab Mazmur memberikan penggambaran bahwa manusia yang sadar bahwa Allah yang benar-benar berjuang untuk kehidupannya akan meresponsnya dengan sungguh-sungguh juga berjuang memuliakan nama-Nya dan menjadikan Allah sebagai yang utama di dalam kehidupannya.

 

Sejalan dengan itu, Surat Ibrani juga menunjukkan bahwa upaya membangun relasi ditunjukkan lewat peran serta Allah melalui karya keselamatan dalam Yesus Kristus, yang bersedia untuk berjuang dalam mengalami penderitaan, kematian, dan kebangkitan demi menebus dosa manusia. Inilah keseriusan Allah dalam menyelamatkan manusia.

 

Maka dari itu, kerinduan kita untuk selalu membangun relasi yang sehat dengan Tuhan dan diwujudkan juga dalam hidup bersama dengan orang-orang yang sudah Tuhan hadirkan dalam kehidupan kita setiap hari, yaitu anggota keluarga kita, sahabat kita, rekan sekerja kita, saudara-saudari kita di gereja dan pelayanan kita, serta juga orang-orang lain yang Tuhan hadirkan di tengah kehidupan kita, akan menjadikan kita memiliki relasi yang sehat itu.

 

Memperjuangkan, Artinya Mengingat Sudah Dipersatukan (Mrk.10:2-9)

Di hadapan orang banyak, Yesus memperkenankan semua orang untuk belajar bahwa kehidupan manusia itu sejak awal dipersatukan oleh Allah. Dalam kasus bacaan kita, Yesus diperhadapkan dengan tatanan hidup orang-orang Israel pada masa itu yang berdasar pada ajaran Musa untuk dapat bercerai karena bangsa-Nya begitu keras hati. Akan tetapi, Yesus meluruskan ajaran kasih Allah yang menyelamatkan itu, yaitu dengan menekankan bahwa relasi yang dibangun dalam Allah, menjadikan setiap orang menjadi satu. Suzeugnumi (yang telah dipersatukan): diikat, tidak terpisahkan, erat sekali, tanpa celah.

 

Allah sendiri tidak akan pernah meninggalkan umat-Nya. Allah selalu hadir dalam kehidupan kita. Karena itulah, “in a relationship” pada bagian ini dapat kita hayati dengan pemahaman bahwa Tuhan sudah, sedang, selalu bersungguh-sungguh menghadirkan karya terbaik bagi kehidupan kita semua.

 

Maka, Sakramen Perjamuan Kudus, selain sakral, sifatnya juga mempersatukan kita semua dalam relasi yang tidak terpisahkan, erat sekali, tanpa celah.

 

Perhatikan kalimat dalam Persiapan Perjamuan Kudus dan Pengantar: Apakah kita hidup dalam damai dengan Allah? Apakah kita hidup dalam damai dengan sesama kita: dengan istri atau suami, dengan orang tua atau anak, dengan saudara-saudara, dengan teman dan tetangga, dan dengan siapapun yang kita jumpai dalam kehidupan kita? Di dalam ketidaksempurnaan kita, kita percaya Allah menyucikan kita dari segala dosa kita, membarui hidup kita,

 

Karena itulah, kita pun akan dipersatukan dalam kasih Kristus melalui Perjamuan Kudus yang akan kita terima pada minggu ini. Itu adalah wujud persekutuan dan dipersatukan Allah yang sangat nyata yang bisa kita rasakan. Apa pun kondisi kita, Allah mempersatukan kita semua dalam tubuh dan darah Kristus.

 

Memperjuangkan, Artinya Mau Setia (Mrk.10:10-12)

Hal menarik yang juga ditampilkan oleh Yesus adalah ketika selesai berbicara di hadapan orang banyak, Yesus mengambil waktu bersama para murid-Nya untuk menjelaskan lebih mendalam ajaran-Nya. Yesus ingin menekankan bahwa ada nilai kesetiaan yang besar di dalam setiap relasi yang sehat. Yesus ingin agar para murid paham bahwa kesetiaan itulah yang dibutuhkan.

 

Kesetiaan akan diuji di sepanjang waktu. Semakin panjang usia kesetiaan kita, maka semakin besar juga kualitas kesetiaan kita. Hal ini berlaku untuk relasi kita dengan Tuhan kita, Yesus Kristus Sang Juruselamat, dan juga relasi kita dengan orang-orang di sekitar kita. Karena itulah, “in a relationship” pada bagian ini dapat kita simpulkan sebagai keinginan untuk terus-menerus membangun hubungan atas dasar kesetiaan yang kuat.

 

Jadi, jangan lagi bermain-main dengan kesetiaan! Yesus mulai menjelaskan tentang kesetiaan itu “ketika mereka sudah di rumah”, yang juga dapat direfleksikan bahwa kesetiaan itu harus dimulai dalam lingkungan terdekat kita, yaitu dari dalam rumah. Teruslah menjadi pribadi yang benar-benar setia: setia dalam Tuhan dan juga setia dengan kasih untuk orang-orang yang Tuhan hadirkan dalam kehidupan kita. Hidup bisa saja tidak abadi, tetapi kesetiaan kita di dunia akan jadi memori yang tidak akan terlupakan. Setialah dengan pasangan, setialah dengan pekerjaan, setialah dengan pelayanan dan mengasihi Tuhan!

 

Memperjuangkan, Artinya Mau Buka Hati (Mrk.10:13-16)

Ketika mereka kembali bersama dengan orang banyak, ternyata orang-orang mengajak serta anak-anak untuk berjumpa dengan Yesus. Para murid yang seharusnya sudah memahami bahwa cinta kasih itu berlaku untuk siapa saja, ternyata malah menghalangi anak-anak untuk berjumpa dengan Yesus. Yesus menyetarakan keinginan dan ketulusan anak-anak untuk berjumpa dengan-Nya seperti semangat untuk menyambut Kerajaan Allah.

 

Sebagai orang yang dewasa, kita sering membangun tembok pemisah antara kita dengan persahabatan kita. Kita membuat syarat dan ketentuan untuk membangun relasi, atau bahkan juga menyembunyikan banyak rahasia di hadapan orang yang kita kasihi hanya untuk menjaga relasi kita tetap baik-baik saja. Padahal, di dalamnya hancur luar biasa. Maka dari itu, “in a relationship” dalam bagian ini ingin mewartakan bahwa kasih Yesus yang ditampilkan-Nya memberikan teladan kepada kita untuk bersedia merobohkan setiap sekat pemisah. Sekat itu bisa berupa kebencian, kemarahan, dendam, pernah kecewa, pernah sakit hati, takut dilukai, dan lain sebagainya.

 

Jadi, jangan sekat hati dan tindakan jika kita tahu bahwa hari ini kita bisa membangun hubungan yang lebih baik. Walau mungkin kita pernah punya pengalaman tidak menyenangkan, tapi dalam kasih dan kemuliaan Tuhan, kita menemukan kekuatan. Berhenti untuk membuat tembok penyekat itu menjadi lebih tebal, menyimpan dendam, atau malah menebalkan hati kita untuk mereka yang sesungguhnya setulus hati mau menjadi sahabat dalam kehidupan kita. Karena di dalam Tuhan, setiap orang bisa dipakai untuk menghadirkan kebaikan dalam kehidupan kita.

 

Keluarga yang Memperjuangkan Persatuan

Jika kita secara khusus menerapkan dalam keluarga, ingatlah bahwa seumur hidup kita “in a relationship”, bukanlah sebatas status tetapi itu adalah alur kehidupan kita, di mana kita harus selalu membangun relasi yang sehat dengan Tuhan dan dengan keluarga kita: Kita dipersatukan Allah, Kita adalah orang-orang yang Setia, Kita bersedia membuka hati kita untuk kebaikan Tuhan lewat semua anggota keluarga dan orang-orang yang ada di dekat kita. (ra)