Selain menggunakan perumpamaan, yang jarang diketahui orang adalah Yesus juga mengajar menggunakan aforisme, yakni pernyataan yang padat dan ringkas tentang sikap hidup atau kebenaran umum dan biasanya dicetuskan oleh tokoh yang penting. Dalam dunia filsafat, aforisme adalah gaya bahasa dalam kalimat-kalimat pendek yang mudah dicerna secara harafiah, tetapi sulit dipahami maknanya. Dalam teks Injil Minggu ini, Markus 10:17-31, perkataan Yesus yang merupakan aforisme adalah, "Lebih mudah seekor unta melewati lubang jarum daripada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah" (ay. 25).
Bagaimana mungkin seekor unta melewati lubang jarum? Sungguh sulit dipahami. Namun, ada beberapa penafsiran untuk melogiskan perkataan ini. Tafsir pertama, yang lebih tua, berasal dari Bapa Gereja Cyrillus dari Alexandria. Ia pernah menyatakan bahwa kata "unta" yang dimaksud di sini bukanlah hewan pengangkut beban yang hidup di gurun, melainkan tali besar atau tali kapal. Menurutnya, ini merupakaan kesalahan pengejaan dalam Alkitab Bahasa Yunani. Seharusnya yang ditulis adalah καμιλος (kamilos) yang berarti 'tali besar' atau 'tali kapal', tetapi karena kesalahan eja menjadi καμηλος (kamelos) yang berarti 'unta'. Dengan ini, aforisme Yesus ini lebih masuk akal, karena tali adalah benda panjang seperti benang, walaupun tetap tidak mungkin memasukkan tali kapal melewati lubang jarum. Setidaknya masih lebih pada tempatnya daripada unta melewati lubang jarum. Hanya saja tafsiran ini kurang begitu populer bagi banyak kalangan.
Tafsiran yang cukup populer dan sering dipakai adalah tentang pintu lubang jarum. Lubang jarum diklaim sebagai sebuah gerbang kecil pada tembok kota yang dibuka setelah gerbang utama ditutup pada malam hari. Pintu lubang jarum itu berukuran kecil, hanya seukuran seekor unta. Biasanya jika para pedagang –yang membawa unta tentunya– pulang ke kota pada malam hari dan pintu gerbang utama telah ditutup, mereka akan masuk melalui gerbang lubang jarum. Akan tetapi, biasanya unta-unta itu membawa muatan di pundaknya sehingga muatan itu harus diturunkan dulu dan untanya harus menunduk agar dapat melalui pintu lubang jarum itu. Unta yang harus melepaskan muatan dan menunduk untuk masuk pintu lubang jarum disejajarkan dengan orang kaya yang harus melepaskan hartanya dan menundukkan dirinya untuk dapat masuk Kerajaan Allah. Namun, ini merupakan cerita pesudo-historis. Telah banyak penelitian dilakukan dan tidak pernah didapati bukti keberadaan pintu lubang jarum di Palestina. Cerita ini ternyata telah ada setidaknya sejak abad ke-15, dan mungkin dapat dilacak sejak abad ke-9.
Upaya penafsiran untuk melogiskan "unta masuk lubang jarum" terlihat berfokus pada soal kekayaan dan materi, tentang bagaimana seseorang harus meninggalkan kemelekatan hal-hal material untuk dapat menerima kehidupan abadi. Memang perikop ini sering dipakai untuk berbicara soal kekayaan. Namun, perkataan Yesus itu tidak perlu dilogiskan untuk memahami soal kekayaan. David Lose, pendeta Gereja Lutheran Amerika Serikat, menawarkan sebuah penafsiran dari teologi Lutheran lama (…in the Meantime: Curing Our Heartsickness, 2015). Yesus sebenarnya tidak memaksudkan perkataan itu untuk bicara soal kekayaan dan kemelekatan. Perkataan itu lebih merupakan ilustrasi untuk menunjukkan ketidakmampuan mutlak ciptaan mendapatkan keselamatan atau kehidupan abadi, dan hanya bergantung sepenuhnya pada belas kasih Allah saja.
Mari memperhatikan bagaimana orang muda yang kaya itu datang menemui Yesus. Kisah ini diawali dengan kalimat “... datanglah seorang berlari-lari mendapatkan Dia dan sambil berlutut di hadapan-Nya …” Orang itu datang dan bertelut di hadapan Yesus. Injil Markus mecatat beberapa kali orang datang dan bertelut, berlutut, atau tersungkur di hadapan Yesus (Mrk. 1:40; 3:11; 5:22; 5:33; 7:25) dan kesemuanya itu adalah orang-orang sakit –atau kerabat orang sakit– yang meminta kesembuhan kepada Yesus. Orang-orang itu tidak mampu untuk mendapatkan pemulihan dan hanya bergantung sepenuhnya pada belas kasihan Tuhan. Dengan dasar ini, sebenarnya Injil Markus mau memperlihatkan ketidakmampuan si orang muda yang kaya ini untuk mendapatkan keselamatan atau hidup yang abadi, dan seharusnya dia bergantung mutlak pada Tuhan. Orang kaya ini termasuk dalam golongan orang-orang sakit yang bertelut dan tersungkur di hadapan Yesus, yang membutuhkan pemulihan dari Allah.
Lalu, apa penyakit orang muda yang kaya ini? Penyakitnya adalah ketidakpedulian dan egosentrisme. Ia memang memiliki pemahaman yang mantap tentang Hukum Taurat, bahkan ia menuruti semuanya itu; menghormati orang tua, tidak membunuh, tidak berzina, tidak mencuri, tidak mengucapkan saksi dusta, tidak mengurangi hak orang. Jika kita perhatikan, semua yang ducapkan Yesus di ayat 19 –dan sudah dilakukan orang muda ini– adalah hukum yang mengatur relasi dengan sesama. Yesus sepertinya sengaja mengungkapkan keenam hukum ini untuk berbicara soal relasi dengan orang lain. Di sinilah “penyakit” orang kaya itu terlihat. Semua yang dia lakukan itu berpusat pada dirinya sendiri sebagai ketaatannya pada hukum, bukan karena kepedulian terhadap orang lain. Itu sebabnya ketika Yesus menyuruhnya untuk menjual hartanya dan berbagi dengan orang miskin, dia menjadi kecewa. Yesus menantangnya untuk melakukan sesuatu melampaui hukum, untuk bertindak bukan karena aturan dan hukum, dan dia gagal menanggapi tantangan Yesus itu. Dia tidak memiliki kepedulian dan belarasa kepada orang miskin, sehingga ia memikirkan kerugian dirinya jika harus menjual hartanya dan membagikannya dengan orang miskin. Jadi, ketika Yesus berkata, “Alangkah sukarnya orang yang memiliki banyak harta masuk ke dalam Kerajaan Allah", alasannya adalah karena banyak orang kaya yang lebih memikirkan diri sendiri dan mempertimbangkan untung-rugi sehingga kehilangan kepedulian dan rasa keadilan. Mereka melakukan segala sesuatu untuk kepentingan diri sendiri dan keberatan untuk melakukan sesuatu bagi orang lain.
Nabi Amos, dalam bacaan pertama (Am. 5:6-7, 10-15), juga menyuarakan kritik atas tindakan yang menindas untuk kepentingan diri sendiri. Kerajaan Israel di Utara pada waktu itu mengalami kemakmuran setelah kekalahan Siria oleh Asyur, sehingga mereka dapat membangun perdagangan yang menguntungkan. Hanya saja, kemakmuran itu hanya dirasakan oleh para pedagang dan raja-raja. Mereka tidak memperhatikan kaum petani dan orang-orang miskin, bahkan orang-orang kaya ini sering menindas yang miskin. Dalam kehidupan beragama, mereka sangat taat menjalankan semua ritual dan memberikan persembahan kepada Allah –yang didapat dengan memeras kaum miskin. Karena itu, Allah tidak senang dengan ibadah mereka dan mengutus Nabi Amos dari Tekoa di Yehuda untuk menubuatkan kehancuran Israel (ay. 2-3). Allah memberikan kesempatan bagi Israel untuk dipulihkan. Namun, caranya bukan dengan segala ibadah ritual yang hanya berpusat pada diri sendiri. Mereka harus dipulihkan dari segala ketidakadilan, penindasan, dan kepura-puraan yang mereka lakukan melalui ritual-ritual kosong dan persembahan yang didapat dari pemerasan. Tuhan memberikan kehidupan bagi mereka jika mereka berlaku adil, tidak memeras dan menindas, serta peduli kepada orang lain.
Saudara-saudari, dari Firman Tuhan hari ini kita belajara bahwa kehidupan abadi itu bukan soal taat menjalankan hukum atau ritual agama, melainkan kepedulian kepada sesama. Keselamatan dan kehidupan bukan soal berbicara tentang keadilan, melainkan memberlakukan keadilan; bukan soal mencari hidup, melainkan berbagi hidup; bukan hanya tidak melakukan yang jahat, melainkan melakukan yang sebaliknya, yaitu kebaikan. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hidup yang abadi dalam Kerajaan Allah, Yesus mengajak kita untuk peduli, berbagi dengan orang yang membutuhkan, dan berlaku adil kepada sesama. Kita harus dipulihkan dulu dari egosentrisme dan ketidakpedulian yang menghalangi dia untuk menerima kehidupan. Kita perlu mengarahkan diri kita bukan pada diri sendiri, melainkan kepada Allah dan kepada dunia yang dikasihi Allah ini.
(ThN)