Yohanes 14:23-29 / Wahyu 21:10,22-22:5
Pernahkah anda menuliskan surat wasiat? Mari kita membayangkan, kira-kira apa yang akan kita tuliskan dalam surat wasiat itu? Warisan seperti apa yang akan kita tinggalkan? Saat saya menanyakan ini ke teman-teman, banyak yang menjawab, “saya akan memberikan tanah, emas, rumah, dan tabungan buat anak-cucu”, tapi ada juga yang berkelakar menjawab “saya akan tinggalkan hutang, hehehe”.
Suatu ketika, ada seorang ibu yang meninggalkan wasiatnya bagi anaknya. Anti-mainstream warisannya yakni berupa misi-misi yang harus dikerjakan. Misi itu antara lain:
Temui dan ampuni ayahmu yang pernah meninggalkan kita
Kunjungi tetangga yang dulu sering jadi tempat perlindungan kita
Les piano untuk bisa main Fur Elise (Beethoven) yang menjadi cita-citamu waktu kecil
Menjajaki pekerjaan sebagai guru yang menjadi passion-mu sejak kecil
Saat mengerjakan misi, sang anak lama-kelamaan merasa hidupnya diubahkan. Misi itu mempertemukan ia dengan ayahnya, tetangganya, dirinya di masa kecil, pekerjaan yang menjadi mimpinya. Tahu-tahu dia berfokus mengerjakan misi, tidak hanya memikirkan hartanya kelak dan ternyata di akhir sang notaris menunjukkan ada rumah yang disediakan ibunya. Rumah itu pun kemudian diubahnya menjadi tempat belajar gratis buat anak-anak yang membutuhkan. Warisan yang diberikan sang ibu adalah misi-misi ketaatan yang memperjumpakan sang anak dengan panggilan hidupnya.
Wasiat yang Tuhan Yesus berikan sebelum naik ke surga kepada para rasul ternyata bukan harta dalam bentuk yang “sudah jadi” dan terima beres, tapi sebuah misi yang harus terus-menerus dikerjakan. Pemberian Allah kepada murid-muridnya adalah misi ketaatan dalam menghadirkan damai sejahtera di bumi seperti di surga. Yohanes 14:27 mengatakan “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu.” Apa itu damai, apa itu eirene (yunani), apa itu shaloom (ibrani)?
Damai bukan hanya soal rasa tenang, kestabilan emosi dan harmoni batin (inner peace) seperti menurut filsafat Yunani. Damai bukan terutama soal tidak adanya gangguan atau pemberontakan seperti pemahaman PAX ROMANA. Damai itu multidimensional. Dalam PL, shaloom merupakan panggilan yang melingkupi :
1) kesejahteraan fisik dan material (seruan nabi Yeremia, Yesaya, dll di tengah penderitaan umat)
2) keadilan/kesejahteraan relasional (adanya hubungan yang baik dan benar tanpa penindasan)
3) kesadaran moral dan integritas (tanpa keculasan dan kedengkian)
Dalam PB, eirene melengkapi makna damai dengan dimensi spiritual yang mengaitkan langsung kedamaian dengan karakter Allah sendiri. Allah disebut sebagai Allah Sang Sumber Damai Sejahtera yang mampu memberikan damai sejahtera itu sendiri (Yohanes 14:27; Ibrani 13:20). Tuhan Yesus sendiri disebut sebagai Tuhan damai sejahtera (2 Tesalonika 3:16), begitu pula Roh Kudus dalam Roma 14:17, “sebab Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera, dan sukacita oleh Roh Kudus”.
Sehingga kriteria damai sejahtera itu holistik karena mencakup hidup yang berpusat pada Kristus, moral yang bersih, tubuh dan jiwa yang sehat, relasi dengan Tuhan dan sesama yang sehat, begitu pula dengan alam semesta yang Tuhan berikan. Berat? Ya, banget. Abot? Abot tenan.
Bahkan perjuangan damai sejahtera seringkali menghantarkan kita pada konsekuensi-konsekuensi atau resiko dimusuhi. Namun itulah mengapa ini disebut “perjuangan” bukan sekadar berpangku tangan. Ada daya juang yang menjadi bagian dari proses Tuhan menguduskan dan melayakkan umat-Nya. Itulah juga mengapa misi ketaatan yang Tuhan wasiatkan tetap mengandung jaminan penyertaan, pengajaran, dan penghiburan dari Roh Kudus (Yohanes 14:26),
“tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu.”
Roh Kudus memimpin kita untuk mendengarkan, melakukan, juga merefleksikan kembali terus-menerus apa yang dapat diperbaiki dari hari ke hari. Listen - Do - Reflect. Pemberian Allah bukan berupa barang “jadi” dan terima beres, tapi misi yang harus terus diperjuangkan. Pemberian Kristus bagi murid-murid-Nya adalah misi ketaatan, misi menghadirkan Kerajaan Allah di bumi seperti di surga.
Lebih lanjut, penglihatan Yohanes yang dicatatkan dalam Wahyu 21 dan 22 pun menunjukkan betapa misi yang kita kerjakan menjadi bagian dari visi misi Kerajaan Allah yang kelak membawa umat pada langit dan bumi yang baru. Dalam PB, kebaruan itu dibedakan antara neos dan kainos. Neos berarti barang baru dengan kualitas lama, misalnya ketika handphone kita diganti casing-nya. Kainos berarti barang baru dengan kualitas baru, misalnya handphone lama diganti dengan smartphone.
Ini berarti orang Kristen yang mengaku sebagai pengikut Kristus bukan hanya soal memakai kalung salib, rajin menyapa dengan kata shaloom atau “puji Tuhan, haleluya. Melainkan ketaatan setiap saat dalam segala dimensi kehidupan yang mengubahkan. Perwujudannya dapat dilihat dan telah dimulai dari jaman PL dan PB dengan hancurnya tembok-tembok diskriminasi (kaya/miskin, Yahudi/non-Yahudi, budak/merdeka, sunat/tidak bersunat, laki/perempuan). Di saat yang sama, juga kita temukan dalam teladan Yesus membangun komunitas yang rekonsiliatif dan memperjuangkan pengampunan satu sama lain.
Masih banyak PR gereja (gereja adalah kita semua umat-Nya) untuk mengolah daya juang bersama dalam ketaatan pada nilai-nilai Kerajaan Allah. Hingga kelak damai sejahtera Tuhan Allah genapi pada kesudahannya, (Yesaya 11:6-9)
“Serigala akan tinggal bersama domba dan macan tutul akan berbaring di samping kambing. Anak lembu dan anak singa akan makan rumput bersama-sama, dan seorang anak kecil akan menggiringnya. Lembu dan beruang akan sama-sama makan rumput dan anaknya akan sama-sama berbaring, sedang singa akan makan jerami seperti lembu. Anak yang menyusu akan bermain-main dekat liang ular tedung dan anak yang cerai susu akan mengulurkan tangannya ke sarang ular beludak. Tidak ada yang akan berbuat jahat atau yang berlaku busuk di seluruh gunung-Ku yang kudus, sebab seluruh bumi penuh dengan pengenalan akan TUHAN, seperti air laut yang menutupi dasarnya.”