Sabtu, 24 Mei 2025

Ketaatan sebagai Pemberian Allah

Yohanes 14:23-29 / Wahyu 21:10,22-22:5

Pernahkah anda menuliskan surat wasiat? Mari kita membayangkan, kira-kira apa yang akan kita tuliskan dalam surat wasiat itu? Warisan seperti apa yang akan kita tinggalkan? Saat saya menanyakan ini ke teman-teman, banyak yang menjawab, “saya akan memberikan tanah, emas, rumah, dan tabungan buat anak-cucu”, tapi ada juga yang berkelakar menjawab “saya akan tinggalkan hutang, hehehe”.


Suatu ketika, ada seorang ibu yang meninggalkan wasiatnya bagi anaknya. Anti-mainstream warisannya yakni berupa misi-misi yang harus dikerjakan. Misi itu antara lain:


  1. Temui dan ampuni ayahmu yang pernah meninggalkan kita

  2. Kunjungi tetangga yang dulu sering jadi tempat perlindungan kita 

  3. Les piano untuk bisa main Fur Elise (Beethoven) yang menjadi cita-citamu waktu kecil

  4. Menjajaki pekerjaan sebagai guru yang menjadi passion-mu sejak kecil


Saat mengerjakan misi, sang anak lama-kelamaan merasa hidupnya diubahkan. Misi itu mempertemukan ia dengan ayahnya, tetangganya, dirinya di masa kecil, pekerjaan yang menjadi mimpinya. Tahu-tahu dia berfokus mengerjakan misi, tidak hanya memikirkan hartanya kelak dan ternyata di akhir sang notaris menunjukkan ada rumah yang disediakan ibunya. Rumah itu pun kemudian diubahnya menjadi tempat belajar gratis buat anak-anak yang membutuhkan. Warisan yang diberikan sang ibu adalah misi-misi ketaatan yang memperjumpakan sang anak dengan panggilan hidupnya. 


Wasiat yang Tuhan Yesus  berikan sebelum naik ke surga kepada para rasul ternyata bukan harta dalam bentuk yang “sudah jadi” dan terima beres, tapi sebuah misi yang harus terus-menerus dikerjakan. Pemberian Allah kepada murid-muridnya adalah misi ketaatan dalam menghadirkan damai sejahtera di bumi seperti di surga. Yohanes 14:27 mengatakan “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah  dan gentar hatimu.” Apa itu damai, apa itu eirene (yunani), apa itu shaloom (ibrani)?


Damai bukan hanya soal rasa tenang, kestabilan emosi dan harmoni batin (inner peace) seperti menurut filsafat Yunani. Damai bukan terutama soal tidak adanya gangguan atau pemberontakan seperti pemahaman PAX ROMANA. Damai itu multidimensional. Dalam PL, shaloom merupakan panggilan yang melingkupi :

1) kesejahteraan fisik dan material (seruan nabi Yeremia, Yesaya, dll di tengah penderitaan umat)

2) keadilan/kesejahteraan relasional (adanya hubungan yang baik dan benar tanpa penindasan)

3) kesadaran moral dan integritas (tanpa keculasan dan kedengkian)


Dalam PB, eirene melengkapi makna damai dengan dimensi spiritual yang mengaitkan langsung kedamaian dengan karakter Allah sendiri. Allah disebut sebagai Allah Sang Sumber Damai Sejahtera yang mampu memberikan damai sejahtera itu sendiri (Yohanes 14:27; Ibrani 13:20). Tuhan Yesus sendiri disebut sebagai Tuhan damai sejahtera (2 Tesalonika 3:16), begitu pula Roh Kudus dalam Roma 14:17, “sebab Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera, dan sukacita oleh Roh Kudus”.


Sehingga kriteria damai sejahtera itu holistik karena mencakup hidup yang berpusat pada Kristus, moral yang bersih, tubuh dan jiwa yang sehat, relasi dengan Tuhan dan sesama yang sehat, begitu pula dengan alam semesta yang Tuhan berikan. Berat? Ya, banget. Abot? Abot tenan.


Bahkan perjuangan damai sejahtera seringkali menghantarkan kita pada konsekuensi-konsekuensi atau resiko dimusuhi. Namun itulah mengapa ini disebut “perjuangan” bukan sekadar berpangku tangan. Ada daya juang yang menjadi bagian dari proses Tuhan menguduskan dan melayakkan umat-Nya. Itulah juga mengapa misi ketaatan yang Tuhan wasiatkan tetap mengandung jaminan penyertaan, pengajaran, dan penghiburan dari Roh Kudus (Yohanes 14:26),


“tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu.”


Roh Kudus memimpin kita untuk mendengarkan, melakukan, juga merefleksikan kembali terus-menerus apa yang dapat diperbaiki dari hari ke hari. Listen - Do - Reflect. Pemberian Allah bukan berupa barang “jadi” dan terima beres, tapi misi yang harus terus diperjuangkan. Pemberian Kristus bagi murid-murid-Nya adalah misi ketaatan, misi menghadirkan Kerajaan Allah di bumi seperti di surga. 


Lebih lanjut, penglihatan Yohanes yang dicatatkan dalam Wahyu 21 dan 22 pun menunjukkan betapa misi yang kita kerjakan menjadi bagian dari visi misi Kerajaan Allah yang kelak membawa umat pada langit dan bumi yang baru. Dalam PB, kebaruan itu dibedakan antara neos dan kainos. Neos berarti barang baru dengan kualitas lama, misalnya ketika handphone kita diganti casing-nya. Kainos berarti barang baru dengan kualitas baru, misalnya handphone lama diganti dengan smartphone. 


Ini berarti orang Kristen yang mengaku sebagai pengikut Kristus bukan hanya soal memakai kalung salib, rajin menyapa dengan kata shaloom atau “puji Tuhan, haleluya. Melainkan ketaatan setiap saat dalam segala dimensi kehidupan yang mengubahkan. Perwujudannya dapat dilihat dan telah dimulai dari jaman PL dan PB dengan hancurnya tembok-tembok diskriminasi (kaya/miskin, Yahudi/non-Yahudi, budak/merdeka, sunat/tidak bersunat, laki/perempuan). Di saat yang sama, juga kita temukan dalam teladan Yesus membangun komunitas yang rekonsiliatif dan memperjuangkan pengampunan satu sama lain. 


Masih banyak PR gereja (gereja adalah kita semua umat-Nya) untuk mengolah daya juang bersama dalam ketaatan pada nilai-nilai Kerajaan Allah. Hingga kelak damai sejahtera Tuhan Allah genapi pada kesudahannya, (Yesaya 11:6-9)


“Serigala akan tinggal bersama domba dan macan tutul akan berbaring di samping kambing. Anak lembu dan anak singa akan makan rumput bersama-sama, dan seorang anak kecil akan menggiringnya. Lembu dan beruang akan sama-sama makan rumput dan anaknya akan sama-sama berbaring, sedang singa akan makan jerami seperti lembu. Anak  yang menyusu akan bermain-main dekat liang ular tedung dan anak yang cerai susu akan mengulurkan tangannya ke sarang ular beludak. Tidak ada yang akan berbuat jahat atau yang berlaku busuk di seluruh gunung-Ku yang kudus, sebab seluruh bumi penuh dengan pengenalan akan TUHAN, seperti air laut yang menutupi dasarnya.”








Jumat, 16 Mei 2025

KASIH ALLAH YANG MENGINSPIRASI

 

Yohanes 13:31-35

Setelah merenungkan tentang penampakan-penampakan Yesus kepada para murid pasca kebangkitan, minggu ini kita digeret untuk ke belakang untuk membaca kisah sebelum penangkapan Yesus. Persisnya, saat Yudas sudah pergi dari setelah makan perjamuan, Yesus memberikan sebuah perintah baru kepada para murid. Sebenarnya, ada yang menarik ketika kita membaca tentang perintah baru dalam Yohanes 13:31-35. Apa yang baru dari perintah itu? Hal ini yang sebenarnya penting untuk kita renungkan.

Sebagaimana kita tahu, wejangan terakhir ini tentu punya makna yang sangat besar, mengingat bahwa Yesus sendiri tahu bahwa waktu-Nya akan segera tiba. Seakan-akan ini menjadi pesan terakhir Yesus bagi para murid. Hal ini bisa bermakna bahwa Yesus ingin memberi bekal kepada para murid dalam bentuk wejangan sebelum Ia ditangkap. Nah, wejangan itu berupa perintah baru untuk saling mengasihi.

Pendekatan Konversif

Perintah untuk mengasihi tentu bukan hal yang baru bagi para murid-murid. Yesus sudah pernah mengajarkannya berulang-ulang kepada mereka, baik yang memang dalam bentuk ajaran, ataupun laku hidup sehari-hari Yesus bersama orang-orang. Dan tentu, rujukan kita untuk melihat ajaran Yesus tentang kasih tentu dalam Hukum Kasih yang tertuang dalam Matius 22:37-40. Bahkan, tanpa Yesus ajarkan pun, mereka sudah akrab dengan hukum kasih ini seperti yang sudah diajarkan dan diteruskan oleh nenek moyang mereka (bdk. Ulangan 6:5, Imamat 19:18). Lalu, mengapa ini disebut baru? Bukankah mengasihi orang lain juga pernah diajarkan Yesus (bdk. Matius 22:39)? Baiknya, kita melihat struktur antara keduanya;

·     Yohanes 13:34 Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi.

·     Matius 22:39 Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.

Ketika dibaca sekilas, ada sebuah pembeda yang jelas antara kedua ayat ini, yakni setelah kata “seperti”. Yang berarti, jika dalam Mat 22:39 ingin mengatakan bahwa cara dan motivasi untuk mengasihi sesama adalah seperti mengasihi diri sendiri. Sedangkan Perintah Baru dalam Yohanes 13:34 seakan-akan Yesus mengubah cara dan motivasinya, yakni seperti yang sudah Ia lakukan. Di sini kita bisa melihat sesuatu yang baru, yang beda dari biasanya, dan itulah Perintah Baru. Hal ini dikuatkan dengan argumen bahwa saat mengasihi sesama seperti diri sendiri itu bisa berantakan karena kadang orang sulit mengasihi dirinya sendiri. Selain itu, bisa saja kita berpikir, “nah, inilah Perintah Baru, akrena kasih yang sejati hanya ada dalam nama Yesus”.

Nah, hal ini benar-benar baru, bukan? Iya, baru. Baru saja kita menggugurkan apa yang sudah diajarkan Yesus saat mengajar tentang hukum kasih. Hukum Kasih adalah hukum yang sudah diajarkan Allah melalui Musa dalam kitab Taurat, serta Yesus menegaskannya kembali sebagai pedoman hidup. Jika kita menggunakan pendekatan konversif saat membaca Perintah Baru, secara otomatis kita akan melihat bahwa Hukum Kasih menjadi sesuatu yang tidak sempurna dan seakan-akan memang selayaknya diganti. Di sini kita perlu berhati-hati.

Konteks Baru

Bacaan Injil kita di Minggu ini cukup tricky. Lebih mudah mengkhotbahkan tentang penggantian (konversi) dan bisa terdengar sangat memukau. Namun, penggantian ini berbahaya karena bisa menggugurkan apa yang sudah diperintahkan oleh Allah sendiri melalui Musa, dan diulang kembali oleh Tuhan Yesus sebagai hukum yang pertama dan terutama! Lantas pertanyaan di awal muncul, “mengapa ini baru?”

Untuk bisa membaca ini lebih terang, kita harus melihat konteks yang memang berbeda antara kedua teks ajaran tentang kasih ini. Dalam Hukum Kasih, konteks mengasihi sesama adalah benar-benar ditujukan untuk kasih kepada setiap orang, bahkan tanpa pilih kasih. Itulah kenapa ada imbuhan “seperti dirimu sendiri” sebagai pengaplikasiannya. Selain itu, kata “sesama” adalah terjemahan dari kata πλησίον (plēsion), yang berarti orang terdekat. Terjemahan KJV dan NIV juga menerjemahkan kata itu dengan arti “neighbour”. Sehingga, konteks Hukum Kasih itu diperuntukkan untuk kasih yang universal, yakni pedoman hidup sehari-hari untuk mengasihi sesama. Lantas, apa bedanya?

Kita perlu mengingat konteks Perintah Baru. Perintah Baru ada dalam balutan rasa haru dalam diri Yesus di masa-masa akhir-Nya bersama para murid. Yesus ingin membekali mereka dengan ajaran agar mereka tetap bersatu dan tidak saling meninggalkan. Hal itu terbukti Ketika mereka kocar-kacir saat Yesus ditangkap dan dianiaya. Hanya ada Yohanes yang bersama Ibu Yesus. Maka dari itu, Perintah Baru ini sangat lekat dengan perintah Yesus agar mereka bisa saling mengasihi dalam komunitas sebagai murid-murid Yesus. Dalam Perintah Baru itu Yesus juga menegaskan indentitas mereka sebagai murid yang akan dikenal orang di luar dari perilaku mereka, yakni saling mengasihi. Sehingga, ketika mereka saling mengasihi, mereka secara otomatis mampu menjadi saksi. Inilah Perintah Baru, yakni saat Yesus benar-benar memberikan sebuah pedoman untuk hidup sebagai sebuah komunitas orang percaya yang hidup saling mengasihi dan –secara otomatis—bersaksi.

Sekali lagi, konsep mengasihi dalam komunitas dalam Perintah Baru ini tidak bisa dibenturkan dengan konsep Hukum Kasih, karena konteks dan tujuannya sangat berbeda. Dan yang menjadi menarik, hal ini masih sangat relevan hingga sekarang. Lihat saja, perpecahan terjadi di dalam tubuh gereja sendiri. Ada blok-blok atau grup-grup yang berselisih paham di gereja. Ada pendeta yang dipaksa turun dari mimbar oleh sekelompok anggota jemaat. Perpecahan jemaat yang kemudian saling bermusuhan. Bahkan, permusuhan antar kolega. Di sinilah Perintah Baru itu menjadi sesuatu yang sangat baru pada waktu itu, karena Yesus benar-benar ingin murid-murid-Nya memiliki kesatuan hati yang utuh dan kompak untuk mempersaksikan kasih Kristus.

Pertanyaan Reflektif

Pertanyaan reflektif yang menarik untuk kita renungkan adalah, bagaimana gereja kita? Adakah kasih yang akrab satu sama lain? Misalkan saja, ada anggota jemaats akit, apakah hanya akan dikunjungi oleh seorang pendeta saja?

Atau, bila ada yang mengalami beratnya masalah hidup, apakah ada yang menemani? Atau merasa itu tugas pendeta dan para penatua saja?

Bukan dengan maksud membenturkan kedua ajaran kasih, namun minggu ini kita diingatkan untuk bisa saling mengasihi satu dengan yang lain, khususnya dalam komunitas. Yesus ingin tubuh-Nya (gereja) tetap bisa menjadi sesuatu yang mencerminkan kemuliaan-Nya. Dan jangan lupa, sebelum Ia mengatakan tentang Perintah Baru, Ia mengingatkan mereka tentang kesatuan diri-Nya dengan Sang Bapa. Bersatu dalam kasih dan karya, untuk bisa mempersaksikan kemuliaan-Nya.