Imamat 19:1-2; 15-18 │ Mazmur 1 │ 1 Tesalonika 2:1-8 │ Matius 22:34-46
Andar Ismail mengatakan bahwa seorang anak yang merasa ditolak
akan menjadi orang dewasa yang cenderung menolak dirinya sendiri dan cenderung
menolak kehadiran orang lain. Sebaliknya, seorang anak yang tumbuh dalam
suasana diterima dan diikutsertakan akan tumbuh menjadi orang dewasa yang
bercitra diri tinggi dan terbuka terhadap kehadiran orang lain, bagaimanapun
berbedanya orang itu. Dua pernyataan tersebut terasa begitu dekat dengan kita
sebab dalam keseharian
kita dengan mudah menjumpainya bahkan mengalaminya. Pertanyaannya:
Bila realita ini sudah menghasilkan sebuah usulan yang konkret akan pentingnya
penerimaan antar anggota keluarga, mengapa masih ada banyak cerita orang yang
tak bisa menerima diri dan angggota keluarganya yang berbeda?
Begitu pula yang terjadi ketika Yesus dicobai oleh orang-orang
Farisi dalam bacaan Injil hari ini. Sebagaimana kita tahu, orang-orang Farisi juga
adalah ahli taurat yang hafal setiap peraturan di dalamnya serta begitu taat
menerapkan tiap ayat dalam hidupnya. Mereka bahkan juga biasa mengembangkan
banyak aturan tambahan yang disebut Taurat Lisan. Karena itu, mereka yang
merasa diri lebih benar dari orang lain, merasa harus menjaga kebenaran agama.
Terlebih saat itu mereka mendapati Yesus yang baru saja “menaklukkan” orang Saduki.
Sebagai penjaga Taurat mereka bertanya pada Yesus: "Guru, hukum manakah
yang terutama dalam hukum Taurat?" (Mat. 22:36) Nampaknya mereka berharap Yesus akan menyebutkan salah
satu pasal yang kemungkinan dapat mereka sanggah atau persalahkan sehingga
Yesus akan tergolong sebagai penyesat yang tidak sesuai dengan kebenaran.
Akan tetapi Yesus menjawab mereka "Kasihilah
Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan
segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu,
ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh
hukum Taurat dan kitab para nabi." Jawaban Yesus ini jelas merujuk
pada hukum Taurat (teks Perjanjian Lama) yang termasuk pengajawan Musa, yakni
kasih kepada Allah (Ulangan 6:5) dan kasih kepada sesama (Imamat 19:18).
Secara khusus mari perhatikan ayat 39 “Dan
hukum yang kedua, yang sama dengan
itu” kata “yang sama” adalah alih bahasa dari kata homoios yang berarti menyerupai, mirip, seperti. Kalimat Yesus ini
hendak mengatakan bahwa perintah yang utama adalah kasih yang total kepada
Allah. Seorang yang secara total mempersembahkan hidup bagi Allah, dalam
keseluruhan hidupnya komitmennya hidup dalam kasih akan terwujud dalam emosi,
pikiran, dan tindakan kesehariannya. Bila demikian, maka tentu kasih itu pun
mewujud dalam kasih kepada sesama. Jadi ketika seorang secara total mengasihi
Allah, maka bersamaan dengan itu juga harusnya ia secara total mengasihi
sesamanya. Kasih itu pun bukan sekadar sebuah riasan dari dirinya, namun sebuah
identitas diri yang dihidupi dengan komitmen penuh.
Dengan demikian orang Farisi yang fokus pada pengetahuan mengenai aturan, menerima
jawab dari Yesus yang fokus pada pemahaman utuh dari setiap aturan. Farisi yang
bertanya mengenai urutan pasal mana yang yang lebih utama, bertemu pada hakikat
utama dari setiap pasal aturan yang dihafal mereka. Maka bacaan Injil hari ini
mengingatkan kita untuk menjadi keluarga pengikut Kristus yang memahami firman
bukan sekadar menghafal firman. Mereka yang memahami firman akan bergerak
saling memahami dan mengasihi bukan karena pengetahuan atau aturan mengatakan
demikian. Mereka yang memahami firman akan bergerak mewujudkan Kasih kepada
Allah dalam tindakan nyata kepada sesama.
Sesama dalam bacaan kita berarti “tetangga” terdekat. Di masa pandemi yang
membuat kita “di rumah saja” atau lebih banyak di rumah, sesama kita tentu
anggota keluarga kita sendiri, orang-orang yang hidup disekitar kita, dan/
orang-orang yang dalam masa physical
distancing ini masih dapat / sering kita jumpai. Bila ada yang berpendapat
bahwa intensitas perjumpaan yang meningkat seringkali membuat potensi
berkonflik turut meningkat. Maka kiranya pemahaman yang makin utuh pada firman
hari ini mendorong kita untuk memperjuangkan kasih-Nya makin kuat dirasakan
dalam setiap perjumpaan. Bila pun konflik terjadi, biarlah ini menjadi
kesempatan bagi satu sama lain untuk lebih memahami karakter satu dengan yang
lain.
Masalahnya, kerap kali ketika kita merasa orang lain itu adalah
orang dekat kita (pasangan sendiri, anak sendiri, orang tua sendiri, saudara
sendiri, atau sahabat sendiri) kita bersikap take for granted. Kita merasa sudah memahami mereka dengan
mendalam, sehingga berhak mengambil keputusan berdasar prakiraan kita sendiri.
Misalnya saja kita berpikir istri kita suka bagian sayap ayam, sehingga kita
borong ayam di restoran cepat saji semuanya sayap, padahal ternyata sang istri
lebih mendambakan bagian paha ayam. Atau kita berpikir anak kita menantikan
kuota yang melimpah agar ia bisa main game dalam waktu yang lama, padahal anak-anak
sedang mendambakan ditemani ayahnya/ibunya menyelesaikan pekerjaan rumah yang
sedang harus segera mereka kumpulkan.
Oleh karena itu, sebagai seorang yang siap memahami firman,
bersiaplah pula lebih memahami setiap anggota keluarga. Mereka memang adalah
sesama kita, “tetangga” terdekat kita, namun kita juga perlu berkomitmen untuk
mengasihi mereka sebagai somebody
(seseorang) yang tidak dapat kita cengkeram dalam genggaman kita. Dengan
memahami sesama dengan sungguh bukankah kita juga sedang memahami firman dengan
makin sungguh?
ypp
Tidak ada komentar:
Posting Komentar