Selasa, 10 November 2020

HAMBA YANG DIPERCAYA

Minggu Biasa

Zefanya 1:7, 12-18 | Mazmur 90:1-12 | 1 Tesalonika 5:1-11 | Matius 25:14-30


Saya yakin kita semua sudah sering mendegar perumpamaan tentang talenta. Kita semua tahu ceritanya. Seorang tuan hendak bepergian, lalu memanggil tiga orang pegawainya. Ia memberikan mereka modal untuk dikembangkan, masing-masing sesuai dengan kemampuan mereka. Yang pertama mendapat lima talenta. Yang kedua mendapat dua talenta. Yang terakhir mendapat satu talenta. Dalam bayangan kita ditambah ilustrasi-ilustrasi yang menggambarkan talenta dengan koin jumlah uang itu mungkin tidak seberapa. Akan tetapi talenta adalah pecahan uang yang sangat besar pada masa itu. Satu talenta sama dengan 6000 dinar, dan satu dinar adalah upah pekerja selama sehari. Untuk mendapatkan satu talenta, seseorang harus bekerja selama 6000 hari. Itu jumlah yang sangat banyak. Lalu tuan itu pergi meninggalkan para pegawainya. Ketika ia kembali, ia meminta hasil dari ketiga pegawainya itu. Yang pertama menghasilkan lima talenta dari modal lima talenta yang diberikan. Yang kedua menghasilkan dua talenta lagi, sehingga totalnya empat talenta. Yang menerima satu telanta menguburnya di tanah dan tidak mengusahakannya. Ini membuat sang tuan itu marah dan menyabutnya hamba yang jahat dan malas. 

Saudara, sudah sering ketika kita mendengar perumpamaan tengan talenta ini dikaitkan dengan bakat atau potensi yang dimiliki seseorang. Ada orang-orang yang mengusahakan potensi dan bakatnya sehingga berkembang, ada yang malas mengasah bakatnya sehingga jadi bakat terpendam. Benar-benar terpendam dan tidak beguna. Tapi kali ini saya mau mengajak kita untuk melihat sisi yang lain. Semua pasti sudah tahu soal bakat dan potensi itu, jadi mari melihat dari sudut pandang lain untuk teks ini, yakni alasan mengapa hamba yang menerima satu talenta itu tidak mengusahakan talentanya.

Setelah tuan pulang dan meminta mereka untuk mengeluarkan hasil masing-masing, hamba yang menerima satu talenta itu berkata, “Tuan, aku tahu bahwa tuan adalah manusia yang kejam yang menuai di tempat di mana tuan tidak menabur dan yang memungut dari tempat di mana tuan tidak menanam. Karena itu aku takut dan pergi menyembunyikan talenta tuan itu di dalam tanah: Ini, terimalah kepunyaan tuan!” Ini adalah alasan mengapa ia tidak mengusahakan talentanya. Ia takut kepada tuannya. Baginya, tuannya adalah sosok yang kejam, yang mencari keuntungan dari hamba-hambanya. Ia takut jika ia mengusahakan talentanya ia akan menjadi rugi dan bukan untung. Ia membayangkan tuannya itu akan memarahinya habis-habisan, bahkan menghukumnya. Ia melihat tuannya sebagai sosok yang kejam, sehingga ia tidak menggunakan talenta yang diberikan itu. Ia mencari keamanan untuk dirinya sendiri.

Saudara, gambaran kita tentang Tuhan pun menentukan sikap hidup kita di dunia ini. Tidak jelas memang apa yang menjadi alasan dua hamba yang lain mengusahakan talenta yang diberikan kepada mereka. Bisa jadi karena mereka mengasihi tuannya. Bisa juga karena mereka terpaksa. Namun, bisa juga karena tuannya memberikan teladan kepada mereka untuk mengusahakan modal mereka. Tidak disebutkan secara jelas dalam teks kita. Tetapi, kita melihat dari hamba yang terakhir bahwa gambarannya tentang tuannya memengaruhi caranya berperilaku. Ia menjadi hamba yang malas dan tidak berguna karena ia membayangkan tuan yang jahat, sehingga ia takut. Saudara, seperti apa kita menggambarkan Allah? Apakah kita melihat Allah sebagai sebagai Allah yang menghukum, yang menuntut balas, dan mengganjar berdasarkan perbutan umat-Nya? Atau kita melihat Allah yang lemah lembut, penuh kasih, dan yang merangkul umat-Nya dengan rahmat?

Bagi saya, Allah yang saya percaya adalah Allah yang meberikan rahmatnya kepada semua orang, yang merangkul dengan kasih. Karena itu, Allah yang demikian mengajak kita untuk juga merangkul sesama kita, mengusahakan kebaikan, kasih dan rahmat dalam hidup kita. Tetapi, jika kita melihat Allah sebagai Allah yang menuntut balas, menghukum dan mengganjar, kita akan ketakutan dan mencari aman untuk diri sendiri. Kita hanya memikirkan perbuatan kita mendatangkan ganjaran yang seperti apa. Pahala atau hukuman, surga atau neraka? Akhirnya kita terlalu sibuk dengan diri sendiri sehingga tidak sempat untuk melakukan sesuatu yang berdampak bagi orang lain, tidak berbuah demi kebaikan sesama dan dunia. Bahkan mungkin kita pun menjadi pribadi-pribadi yang rajin menghakimi sesama yang berdosa di mata kita.

Saudara, Allah memanggil kita untuk menjadi hamba-hamba-Nya yang bertanggung jawab terhadap diri sendiri, sesama, dan dunia ciptaan Allah ini. Bagaimana sikap dan tanggung jawab kita bergantung pada perspektif kita akan Allah. Apakah kita melihat-Nya sebagai Allah yang menuntut balas, yang mengganjar dengan pahala dan hukuman, sehingga kita sibuk mencari keselamatan sendiri dan melupakan tanggung jawab terhadap sesama, bahkan menghakimi sesama? Ataukah kita melihat-Nya sebagai Allah yang penuh cinta dan rahmat terhadap semua ciptaan-Nya, sehingga kita bersedia membagikan kasih dan rahmat itu kepada sesama? 

(ThN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar