Jumat, 25 April 2025

TAK BERHENTI BERSAKSI

Yohanes 20:19-31 | Kisah Para Rasul 5:27-32

Ibu, Bapak, Saudari dan Saudara, pernahkah Anda merasa lelah untuk berkata benar? Atau merasa sia-sia menyampaikan kebaikan, karena merasa tak didengar? Dalam hidup ini, tak sedikit dari kita yang akhirnya memilih diam. Kita tidak berhenti karena tidak tahu apa yang harus dikatakan, tapi karena kecewa, takut ditolak, atau merasa sendiri.

Namun bacaan hari ini mengajak kita untuk kembali melihat: bahwa kita punya alasan kuat untuk tidak berhenti bersaksi karena Tuhan kita adalah Tuhan yang tidak pernah berhenti bekerja. Dalam kasih-Nya, Ia terus menyapa dan memulihkan umat-Nya. Dan kepada umat yang telah dipulihkan, Ia memberi tugas mulia: menjadi saksi.

Agar kita kian mengerti makna panggilan untuk tak berhenti bersaksi, kita perlu terlebih dahulu mengingat karakter Allah yang setia. Apa yang Ia lakukan terhadap murid-murid yang ketakutan dan kecewa?

1. Tuhan Tak Pernah Berhenti Menyapa dan Menolong

Yohanes 20 membawa kita pada sebuah ruangan tertutup. Para murid mengunci diri, bukan hanya karena takut pada orang Yahudi, tetapi karena mereka sedang menghadapi trauma dan kehilangan yang luar biasa. Mereka telah menyerahkan harapan mereka pada Yesus, tetapi kemudian menyaksikan sendiri bagaimana Dia disalibkan dan mati. Mereka takut, bingung, dan kehilangan arah.

Dalam ketakutan para murid itu, Yesus datang. Tanpa mengetuk. Tanpa diundang. Ia masuk dan berkata: “Damai sejahtera bagi kamu.” Menghadapi murid-murid yang terpenjara ketakutan dan melupakan firman-Nya bahwa Ia akan bangkit, Yesus tidak menghakimi. Ia tahu trauma para murid-Nya, dan Ia tidak mengabaikannya. Kehadiran-Nya adalah tanda bahwa Tuhan tidak menyerah terhadap umat-Nya. Dalam ketakutan, dalam keputusasaan, bahkan dalam ruang-ruang terkunci—Tuhan tetap hadir dan menolong.

Karya Allah yang seperti inilah yang menjadi fondasi iman kita. Iman bukan soal optimisme buta. Iman adalah keberanian untuk tetap percaya bahwa Allah tidak meninggalkan kita, bahkan saat kita terkunci dalam rasa takut.

Namun bagaimana jika kita sudah tidak sanggup berharap? Bagaimana jika yang tersisa hanyalah pertanyaan dan keraguan? Mari kini kita cermati apa dan bagaimana Yesus berjumpa dengan Tomas.

2. Kesaksian Lahir dari Iman yang Bergulat

Tomas sering dijuluki sebagai “Si Peragu.” Tapi jika kita jujur, bukankah kita sering seperti dia? Setelah dihantam kekecewaan besar—baik dalam relasi, pelayanan, atau harapan hidup—kita sulit percaya lagi. Kita kembali ke pola lama: pesimis, sinis, dan menarik diri. Seperti Tomas, kita pun berkata, “Sebelum aku melihat dan menyentuh, aku tidak akan percaya.” Perkataan itu bukan hanya ekspresi keraguan intelektual, tapi juga jeritan luka yang dalam. Tomas tidak sedang menolak Yesus, ia hanya tidak sanggup berharap lagi. Dan inilah yang luar biasa: Yesus tidak marah. Ia datang secara personal, memanggil nama Tomas, memperlihatkan luka-Nya, dan berkata: “Taruh jarimu di sini... jangan tidak percaya, melainkan percayalah.”

Yesus hadir bukan untuk memaksa percaya, tetapi untuk memulihkan relasi. Ia menghargai pergumulan batin. Ia tidak anti terhadap pertanyaan, selama itu lahir dari kerinduan untuk sungguh-sungguh percaya. Di sinilah kita belajar: iman sejati bukan berarti tidak pernah ragu. Iman sejati adalah keberanian untuk membawa keraguan itu kepada Tuhan, dan membiarkan Dia menyentuh luka kita. Dari proses bergumul itulah, akhirnya Tomas bisa bersaksi dengan tulus dan penuh keyakinan: “Ya Tuhanku dan Allahku!” Kesaksian lahir bukan dari jawaban yang instan, tetapi dari proses pemulihan yang personal.

Tapi apakah setelah dipulihkan kita bisa dengan mudah bersaksi? Tidak juga. Tantangan tetap ada. Tapi di situlah pentingnya kesetiaan.

3. Tantangan dan Kesaksian

Setelah Yesus naik ke surga, para murid tidak langsung hidup nyaman. Dalam Kisah Para Rasul 5, mereka ditangkap dan dihadapkan kepada Mahkamah Agama. Mereka dipaksa diam. Ditekan untuk berhenti mengajar dalam nama Yesus.Namun yang terdengar adalah suara keberanian: “Kami harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia.” Para murid bisa berkata begitu karena mereka punya dasar iman yang kuat—iman yang lahir dari pengalaman ditolong dan dipulihkan oleh Yesus sendiri.

Kita pun akan menghadapi tekanan. Mungkin bukan dari penguasa, tapi dari lingkungan, keluarga, bahkan keraguan diri sendiri. Mungkin kita akan ditertawakan, dikucilkan, atau dianggap fanatik. Tapi jangan berhenti bersaksi. Kita tidak bersaksi karena keadaan mudah, kita bersaksi karena Tuhan setia. Dengan kata lain, kita dapat meyakini bahwa bersaksi itu bukan soal sudah sempurna maka dapat berbagi. Tapi soal berkata jujur: “Aku pernah terluka, tapi Tuhan menyembuhkan. Aku pernah ragu, tapi Tuhan hadir dan memberiku damai.”

Ibu, Bapak, Saudari dan saudara, hari ini kita belajar bahwa Tuhan tidak berhenti berkarya. Oleh sebab itu, kita pun tak selayaknya berhenti bersaksi. Mungkin kita hari ini seperti Tomas—letih, ragu, kecewa. Tapi ingatlah: Tuhan tetap datang. Ia tidak marah. Ia hadir, dan memulihkan. Ketika kita sudah dipulihkan, jangan simpan sendiri pengalaman itu. Jadikan itu kesaksian. Katakanlah kepada dunia bahwa Tuhan hidup, dan karena itu, kita pun hidup, percaya, dan tak berhenti bersaksi.


ypp

Sabtu, 19 April 2025

PASKAH: MENGINGAT, PERCAYA, DAN MENJADI SAKSI-NYA

Minggu Paska
Yesaya 65:17-25 | Mazmur 118:1-2, 14-24 | Kisah Para Rasul 10:34-43 | Lukas 24:1-12

Percaya Saudara bahwa Yesus benar-benar bangkit? Belakangan ini, ada cerita soal anggota gereja yang mulai goyah, karena mendapat pertanyaan-pertanyaa dari orang-orang di sekitarnya, "Benarkah Yesusmu bangkit?" Ada kemungkinan pertanyaan-pertanyaan ini muncul karena ada klaim-klaim yang terlihat ilmiah dan historis bahwa Yesus tidak bangkit. Dulu, tahun 1980-an pernah ditemukan makam yang katanya adalah makam keluarga Yesus di Kota Talpiot, yang disimpulkan bahwa Yesus tidak bangkit. Ada juga tulisan-tulisan yang dengan yakin berkata bahwa kalau kubur Yesus kosong, bukan berarti Yesus bangkit, sebab tidak ada buktinya. Kesimpulan yang lebih kuat adalah jenazah-Nya diambil dan dipindakan ke tempat lain. Ada banyak kabar dan berita yang menggugurkan dasar kepercayaan Kristen tentang kebangkitan Kristus. Pokok iman inilah yang sering menjadi sasaran dari teori, hipotesis, dan penemuan yang didaulat sebagai "historis" dan "ilmiah".

Kesaksian Injil Lukas menyatakan bahwa para saksi pertama kebangkitan Yesus, para perempuan, dua Maria dan Yohana, juga hanya menemukan kubur yang kosong. Mereka tidak langsung bertemu dengan Yesus. Respons awal mereka pasti syok, berusaha memproses apa yang mereka saksikan. Ketika otak mereka sedang memproses informasi itu, hadirlah dua sosok yang berpakaian putih kemilau, mengatakan, "Mengapa kamu mencari Dia yang hidup, di antara orang mati?" Mereka mau berkata bahwa jika Ia tidak ada di dalam kubur, itu artinya Ia telah bangkit. Teguran dua orang berpakaian kemilauan itu sekaligus menjadi pewartaan mengenai kebangkitan Yesus. Pewartaan itu dilanjutkan dengan ajakan untuk mengingat, "Ingatlah apa yang dikatakan-Nya kepada kamu, ketika Ia masih di Galilea ..." Dalam kondisi trauma dan ketakutan, kadang otak kita tidak bisa memproses informasi dengan baik, sulit untuk mengingat. Inilah yang dialami para perempuan in, mereka lebih mengingat hal-hal yang buruk, seperti trauma dan ketakutan mereka akan sengsara dan kematian Yesus. Mereka pun melupakan janji Tuhan bahwa Ia akan bangkit dan tidak menyadari bahwa kubur kosong adalah bukti Ia setia pada janji-Nya.

Karena itu, kedua sosok itu hadir unruk mengingatkan mereka akan janji Tuhan. "Teringatlah mereka akan perkataan Yesus itu." Ingatan inilah yang menggerakkan para perempuan ini untuk percaya bahwa Kristus sudah bangkit. Kubur kosong adalah tanda Yesus bangkit, bukan kerena jenazah-Nya dicuri atau dipindahkan. Dalam kondisi otak mereka yang masih memproses informasi yang begitu di luar nurul mereka, mereka percaya. Karena itu, mereka kembali kepada para murid yang lain. Apa yang mereka lakukan? Kelanjutan dari percaya, yakni bersaksi. Mereka menceritakan semua kepada para rasul dan suadara yang lain. Sebagai perempuan dalam masyarakat Yahudi yang patriarkis, mereka kerap dianggap lemah dan kurang dianggap di tengah komunitas. Namun, itu tidak mengurangi semangat para perempuan itu untuk menyampaikan berita kebangkitan Tuhan Yesus sesuai dengan perkataan-Nya yang mereka ingat dan sesuai dengan fakta kubur kosong yang mereka lihat. Benar saja, kesaksian mereka tidak dipercaya para murid yang lain, bahkan dikatakan omong kosong. Dalam bahasa Yunani, “omong kosong” ini memakai kata leros yang secara harfiah punya arti ‘mengigau’, ‘menceracau’, ‘bicara tanpa sadar’. Jadi dalam pikiran para murid lainnya, perempuan-perempuan yang kembali dari kubur Yesus itu sedang bermimpi, mengigau, atau meracau tentang Yesus yang bangkit.

Inilah respons para murid karena trauma mereka. Ingatan mereka diliputi ketakuan dan trauma, sehingga mereka pun melupakan perkataan Yesus tentang kebangkitan-Nya. Mendengar informasi dari para peremupuan, otak mereka merespons dengan penyangkalan. Namun, dalam ketakutannya, Petrus penasaran. Ia sulit untuk percaya, karena itu ia mau melihat sendiri, maka ia cepat-cepat pergi ke kubur. Ia pun melihat kubur yang kosong. apakah kemudian kubur kosong itu mengingatkan dia kembali akan janji Yesus dan kemudian percaya tidak dikatakan dalam perikop kita. Namun, jika merujuk pada ayat 34, kita melihat bahwa Tuhan telah menampakkan diri kepada Simon. Simon Petrus pun percaya, dan inilah yang menggerakan ia juga untuk bersaksi, bahkan bukan hanya kepada orang Yahudi, tetapi juga kepada bangsa lain. Inilah yang dipersaksikan Kisah Para Rasul ketika ia membaptis Kornelius, seorang perwira pasukan Italia. Kesaksian Petrus ini menunjukakn bahwa Kristus bukan hanya bangkit sdan hidup, tetapi juga memberi kehidupan. Tindakan Petrus yang masuk ke rumah seorang bukan Yahudi, melawan tradisi, menjadi kesaksian bagi kita bahwa Kristus bangkit dan menghidupkan semua orang, merangkul semua tapa diskriminasi dan membeda-bedakan. Karena itulah juga berita kebangkitan itu dinyatakan pertama kali kepada para perempuan yang sering kali didiskriminasi dalam masyarakat.

Kebangkitan Kristus menggunah ingatan dan iman para perempuan sehingga mereka berani bersaksi sekalipun di tengah diskriminasi; juga Petrus yang pada awalnya sangsi, tetapi kemudian menjadi saksi, bahkan dengan kesaksian yang mendobrak tradisi dan melawan diskriminasi. Dengan mengingat dan percaya, kita pun diberi kekuatan untuk bersaksi. Bersaksi bukanlah soal meng-counter klaim-klaim ketidakbangkitan Yesus berdasarkan bukti-bukti "ilmiah" dan "historis", melainkan dengan tutur kata dan karya kita yang menghadirkan kehidupan, ketika dunia saat ini berproses ke arah kematian. Kematian itu bukanlah kematian fisik melainkan kekerasan, diskriminasi, permusuhan, ketidakadilan, penindasan, juga ekploitasi dan pencemaran lingkungan hidup. Kekesarasan dan kesewenang-wenangan aparat; para pejabat pemerintahan yang mempertontonkan kebobrokan, suap, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan; masyarakat yang juga menjadi cerminan dari pemerintahnya; diskriminasi dan persekusi, penolakan bahkan kekerasan terhadap kelompok yang berbeda; eksploitasi terhadap para pekerja dan buruh. Dunia pun menuju krisis global kerena pertengkaran duo gemini. Kematian dan kehancuran yang lain pun kita saksikan sehari-hari, sampah-sampah plastik mengotori dan merusak lingkungan darat dan laut, bahkan membawa kematian pada hewan-hewan dan tumbuhan.

Kebangkitan Kristus adalah juga kebangkitan semesta, karena Ia menghadirkan kehidupan untuk semesta. Kebangkitan-Nya memberikan kehidupan yang melawan ketidakadilan, diskriminasi, kekerasan penindasan dan eksploitasi. Ia merangkul mereka yang disingkirkan dari masyarakat, Ia mendamaikan dan memulihkan relasi yang rusak, Ia memberikan keberanian dan pengharapan bagi mereka yang ketakutan. Melalui momen kebangkitan Kristus, kita pun diajak untuk menjadi saksi kebangkitan, yakni membawa perdamaian di tengah permusuhan, memperjuangkan keadilan dan melawan diskriminasi, menolak kekerasan dan terorisme, serta berjuang untuk kelestarian dan pemulihan lingkungan hidup. Amin. (ThN)

Kamis, 17 April 2025

BERKARYA DALAM KESEDIHAN

 Ratapan 3: 1-9,19; Mazmur 31:1-4, 15-16; 1 Petrus 4:1-8; Matius 27:57-66 
(Sabtu Sunyi)

Salah satu momen kehidupan yang paling mengubah manusia adalah kedukaan. Duka bukan hanya tentang kehilangan seseorang yang kita kasihi, tapi juga kehilangan harapan, kehilangan arah, kehilangan pegangan hidup. Sayangnya, tidak semua orang siap menghadapi kedukaan. Banyak dari kita terbiasa berkata, “Saya baik-baik saja,” padahal di dalam hati, kita sedang runtuh. Kita tersenyum, padahal hati kita hancur. Terasa tidak kenapa-kenapa, padahal sebenarnya sedang kenapa-kenapa. Dalam situasi seperti ini, Sabtu Sunyi mengundang kita untuk tidak menutupi luka, tetapi menatapnya. Menghadapi kesedihan, bukan melarikan diri darinya. 

Ratapan 3 mengajak kita untuk mengingat masa-masa kesengsaraan, yang bukan untuk membuat kita terpuruk, tetapi agar kita tidak melupakan betapa dalamnya pergumulan itu, dan betapa besarnya pengharapan yang bisa kita miliki di tengah kesedihan. 

Mazmur 31 memampukan kita untuk mencari Tuhan dalam ketakutan dan penderitaan. Di tengah kepungan musuh, pemazmur tidak menyerah, tetapi berseru, "Ke dalam tangan-Mu kuserahkan nyawaku.” Ia mengajak kita mempercayakan waktu hidup kita kepada Tuhan—karena waktu duka pun ada dalam tangan-Nya.

1 Petrus 4 mengajarkan kita untuk menggunakan waktu menurut kehendak Allah. Artinya, jangan biarkan kesedihan membuat kita berhenti hidup. Sebaliknya, jalani setiap hari, meski berat, dengan tekad untuk tetap hidup dalam kasih dan pelayanan. 

Karena itu, kita layak menikmati momen Sabtu Sunyi. Kita dapat merasakan momen kesedihan, ketakutan, kekuatiran, yang dialami oleh para murid dalam menerima kenyataan bahwa mereka sedang berduka namun harus berharap bahwa Yesus akan bangkit.



Ada 2 (dua) hal yang dapat kita petik dari Sabtu Sunyi:


#1 Memberi yang terbaik meski di tengah duka.

Yusuf dari Arimatea tampil dalam saat terberat: Yesus sudah mati, apalagi para murid pun bersembunyi. Yusuf memberikan tempat yang layak bagi Yesus, sekali pun pada masa itu Yesus juga menderita karena penghinaan yang dilakukan oleh orang banyak. Ia tidak menunggu terang datang untuk berkarya. Ia berkarya di tengah kesedihan.

Yusuf dari Arimatea mengajarkan kita dewasa dalam beriman dengan tetap memberikan yang terbaik bagi Tuhan di tengah gelapnya kehidupan. Di ranah apapun kita berada: pekerjaan, keluarga, pelayanan, kita melakukan yang terbaik, bukan karena semuanya baik-baik saja, tetapi justru karena kita percaya bahwa kebaikan kita tetap bermakna di tengah kedukaan.


#2 Teguh dalam iman di tengah upaya menjatuhkan kita.

Kenyataan bahwa penulis Injil Matius sedang berusaha agar setiap orang percaya diperbandingkan dengan adanya orang-orang lain yang berusaha membuat narasi agar Yesus tidak bangkit sangatlah terlihat. Sebab, hal ini memperlihatkan juga bahwa upaya untuk menjatuhkan semangat bahkan iman akan sangat mungkin terjadi dalam kehidupan kita. banyak hal mencoba meruntuhkan semangat, mengaburkan kebenaran, bahkan membuat kita ragu akan pengharapan. Namun, Sabtu Sunyi mengajarkan kita: di balik kesunyian, ada rencana kebangkitan. Maka, jangan isi hidup dengan ketakutan, namun isi dengan kebenaran. Jangan larut dalam narasi kegelapan, tetapi berpegang pada janji terang.


Pada akhirnya, kebangkitan Yesus bukanlah harapan yang sia-sia. Dia akan benar-benar bangkit, dan itulah karya keselamatan yang sesungguhnya juga terus menguatkan setiap orang percaya sejak dulu, sekarang, dan selamanya. (RA)