Yohanes 20:19-31 | Kisah Para Rasul 5:27-32
Ibu, Bapak, Saudari dan Saudara, pernahkah Anda merasa lelah untuk berkata benar? Atau merasa sia-sia menyampaikan kebaikan, karena merasa tak didengar? Dalam hidup ini, tak sedikit dari kita yang akhirnya memilih diam. Kita tidak berhenti karena tidak tahu apa yang harus dikatakan, tapi karena kecewa, takut ditolak, atau merasa sendiri.
Namun bacaan hari ini mengajak kita untuk kembali melihat: bahwa kita punya alasan kuat untuk tidak berhenti bersaksi karena Tuhan kita adalah Tuhan yang tidak pernah berhenti bekerja. Dalam kasih-Nya, Ia terus menyapa dan memulihkan umat-Nya. Dan kepada umat yang telah dipulihkan, Ia memberi tugas mulia: menjadi saksi.
Agar kita kian mengerti makna panggilan untuk tak berhenti bersaksi, kita perlu terlebih dahulu mengingat karakter Allah yang setia. Apa yang Ia lakukan terhadap murid-murid yang ketakutan dan kecewa?
1. Tuhan Tak Pernah Berhenti Menyapa dan Menolong
Yohanes 20 membawa kita pada sebuah ruangan tertutup. Para murid mengunci diri, bukan hanya karena takut pada orang Yahudi, tetapi karena mereka sedang menghadapi trauma dan kehilangan yang luar biasa. Mereka telah menyerahkan harapan mereka pada Yesus, tetapi kemudian menyaksikan sendiri bagaimana Dia disalibkan dan mati. Mereka takut, bingung, dan kehilangan arah.
Dalam ketakutan para murid itu, Yesus datang. Tanpa mengetuk. Tanpa diundang. Ia masuk dan berkata: “Damai sejahtera bagi kamu.” Menghadapi murid-murid yang terpenjara ketakutan dan melupakan firman-Nya bahwa Ia akan bangkit, Yesus tidak menghakimi. Ia tahu trauma para murid-Nya, dan Ia tidak mengabaikannya. Kehadiran-Nya adalah tanda bahwa Tuhan tidak menyerah terhadap umat-Nya. Dalam ketakutan, dalam keputusasaan, bahkan dalam ruang-ruang terkunci—Tuhan tetap hadir dan menolong.
Karya Allah yang seperti inilah yang menjadi fondasi iman kita. Iman bukan soal optimisme buta. Iman adalah keberanian untuk tetap percaya bahwa Allah tidak meninggalkan kita, bahkan saat kita terkunci dalam rasa takut.
Namun bagaimana jika kita sudah tidak sanggup berharap? Bagaimana jika yang tersisa hanyalah pertanyaan dan keraguan? Mari kini kita cermati apa dan bagaimana Yesus berjumpa dengan Tomas.
2. Kesaksian Lahir dari Iman yang Bergulat
Tomas sering dijuluki sebagai “Si Peragu.” Tapi jika kita jujur, bukankah kita sering seperti dia? Setelah dihantam kekecewaan besar—baik dalam relasi, pelayanan, atau harapan hidup—kita sulit percaya lagi. Kita kembali ke pola lama: pesimis, sinis, dan menarik diri. Seperti Tomas, kita pun berkata, “Sebelum aku melihat dan menyentuh, aku tidak akan percaya.” Perkataan itu bukan hanya ekspresi keraguan intelektual, tapi juga jeritan luka yang dalam. Tomas tidak sedang menolak Yesus, ia hanya tidak sanggup berharap lagi. Dan inilah yang luar biasa: Yesus tidak marah. Ia datang secara personal, memanggil nama Tomas, memperlihatkan luka-Nya, dan berkata: “Taruh jarimu di sini... jangan tidak percaya, melainkan percayalah.”
Yesus hadir bukan untuk memaksa percaya, tetapi untuk memulihkan relasi. Ia menghargai pergumulan batin. Ia tidak anti terhadap pertanyaan, selama itu lahir dari kerinduan untuk sungguh-sungguh percaya. Di sinilah kita belajar: iman sejati bukan berarti tidak pernah ragu. Iman sejati adalah keberanian untuk membawa keraguan itu kepada Tuhan, dan membiarkan Dia menyentuh luka kita. Dari proses bergumul itulah, akhirnya Tomas bisa bersaksi dengan tulus dan penuh keyakinan: “Ya Tuhanku dan Allahku!” Kesaksian lahir bukan dari jawaban yang instan, tetapi dari proses pemulihan yang personal.
Tapi apakah setelah dipulihkan kita bisa dengan mudah bersaksi? Tidak juga. Tantangan tetap ada. Tapi di situlah pentingnya kesetiaan.
3. Tantangan dan Kesaksian
Setelah Yesus naik ke surga, para murid tidak langsung hidup nyaman. Dalam Kisah Para Rasul 5, mereka ditangkap dan dihadapkan kepada Mahkamah Agama. Mereka dipaksa diam. Ditekan untuk berhenti mengajar dalam nama Yesus.Namun yang terdengar adalah suara keberanian: “Kami harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia.” Para murid bisa berkata begitu karena mereka punya dasar iman yang kuat—iman yang lahir dari pengalaman ditolong dan dipulihkan oleh Yesus sendiri.
Kita pun akan menghadapi tekanan. Mungkin bukan dari penguasa, tapi dari lingkungan, keluarga, bahkan keraguan diri sendiri. Mungkin kita akan ditertawakan, dikucilkan, atau dianggap fanatik. Tapi jangan berhenti bersaksi. Kita tidak bersaksi karena keadaan mudah, kita bersaksi karena Tuhan setia. Dengan kata lain, kita dapat meyakini bahwa bersaksi itu bukan soal sudah sempurna maka dapat berbagi. Tapi soal berkata jujur: “Aku pernah terluka, tapi Tuhan menyembuhkan. Aku pernah ragu, tapi Tuhan hadir dan memberiku damai.”
Ibu, Bapak, Saudari dan saudara, hari ini kita belajar bahwa Tuhan tidak berhenti berkarya. Oleh sebab itu, kita pun tak selayaknya berhenti bersaksi. Mungkin kita hari ini seperti Tomas—letih, ragu, kecewa. Tapi ingatlah: Tuhan tetap datang. Ia tidak marah. Ia hadir, dan memulihkan. Ketika kita sudah dipulihkan, jangan simpan sendiri pengalaman itu. Jadikan itu kesaksian. Katakanlah kepada dunia bahwa Tuhan hidup, dan karena itu, kita pun hidup, percaya, dan tak berhenti bersaksi.
ypp