Salah satu momen kehidupan yang paling mengubah manusia adalah kedukaan. Duka bukan hanya tentang kehilangan seseorang yang kita kasihi, tapi juga kehilangan harapan, kehilangan arah, kehilangan pegangan hidup. Sayangnya, tidak semua orang siap menghadapi kedukaan. Banyak dari kita terbiasa berkata, “Saya baik-baik saja,” padahal di dalam hati, kita sedang runtuh. Kita tersenyum, padahal hati kita hancur. Terasa tidak kenapa-kenapa, padahal sebenarnya sedang kenapa-kenapa. Dalam situasi seperti ini, Sabtu Sunyi mengundang kita untuk tidak menutupi luka, tetapi menatapnya. Menghadapi kesedihan, bukan melarikan diri darinya.
Ratapan 3 mengajak kita untuk mengingat masa-masa kesengsaraan, yang bukan untuk membuat kita terpuruk, tetapi agar kita tidak melupakan betapa dalamnya pergumulan itu, dan betapa besarnya pengharapan yang bisa kita miliki di tengah kesedihan.
Mazmur 31 memampukan kita untuk mencari Tuhan dalam ketakutan dan penderitaan. Di tengah kepungan musuh, pemazmur tidak menyerah, tetapi berseru, "Ke dalam tangan-Mu kuserahkan nyawaku.” Ia mengajak kita mempercayakan waktu hidup kita kepada Tuhan—karena waktu duka pun ada dalam tangan-Nya.
1 Petrus 4 mengajarkan kita untuk menggunakan waktu menurut kehendak Allah. Artinya, jangan biarkan kesedihan membuat kita berhenti hidup. Sebaliknya, jalani setiap hari, meski berat, dengan tekad untuk tetap hidup dalam kasih dan pelayanan.
Karena itu, kita layak menikmati momen Sabtu Sunyi. Kita dapat merasakan momen kesedihan, ketakutan, kekuatiran, yang dialami oleh para murid dalam menerima kenyataan bahwa mereka sedang berduka namun harus berharap bahwa Yesus akan bangkit.
Ada 2 (dua) hal yang dapat kita petik dari Sabtu Sunyi:
#1 Memberi yang terbaik meski di tengah duka.
Yusuf dari Arimatea tampil dalam saat terberat: Yesus sudah mati, apalagi para murid pun bersembunyi. Yusuf memberikan tempat yang layak bagi Yesus, sekali pun pada masa itu Yesus juga menderita karena penghinaan yang dilakukan oleh orang banyak. Ia tidak menunggu terang datang untuk berkarya. Ia berkarya di tengah kesedihan.
Yusuf dari Arimatea mengajarkan kita dewasa dalam beriman dengan tetap memberikan yang terbaik bagi Tuhan di tengah gelapnya kehidupan. Di ranah apapun kita berada: pekerjaan, keluarga, pelayanan, kita melakukan yang terbaik, bukan karena semuanya baik-baik saja, tetapi justru karena kita percaya bahwa kebaikan kita tetap bermakna di tengah kedukaan.
#2 Teguh dalam iman di tengah upaya menjatuhkan kita.
Kenyataan bahwa penulis Injil Matius sedang berusaha agar setiap orang percaya diperbandingkan dengan adanya orang-orang lain yang berusaha membuat narasi agar Yesus tidak bangkit sangatlah terlihat. Sebab, hal ini memperlihatkan juga bahwa upaya untuk menjatuhkan semangat bahkan iman akan sangat mungkin terjadi dalam kehidupan kita. banyak hal mencoba meruntuhkan semangat, mengaburkan kebenaran, bahkan membuat kita ragu akan pengharapan. Namun, Sabtu Sunyi mengajarkan kita: di balik kesunyian, ada rencana kebangkitan. Maka, jangan isi hidup dengan ketakutan, namun isi dengan kebenaran. Jangan larut dalam narasi kegelapan, tetapi berpegang pada janji terang.
Pada akhirnya, kebangkitan Yesus bukanlah harapan yang sia-sia. Dia akan benar-benar bangkit, dan itulah karya keselamatan yang sesungguhnya juga terus menguatkan setiap orang percaya sejak dulu, sekarang, dan selamanya. (RA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar