Kamis, 09 Oktober 2025

BERSYUKUR DALAM KETAATAN

 

2 Raja-raja 5:1–3, 7–15; 2 Timotius 2:8–15; Lukas 17:11–19

 

Saudari-saudara yang dikasihi dan mengasihi Tuhan, pernahkah kita merasa bahwa bersyukur itu lebih mudah dilakukan ketika segalanya berjalan baik—ketika hasil kerja kita mencapai target, anak-anak kita sehat, atau doa kita dijawab seperti yang kita harapkan?

Tetapi jika keadaan tidak seperti itu, saat kenyataan yang kita hadapi justru sakit, kehilangan, tekanan hidup, atau pergumulan panjang yang tak kunjung selesai—masih bisakah kita bersyukur?

Bagi yang sudah melewati keduanya, mungkin ada keteguhan di hati yang berkata, ya melalui susah pun senang – dalam segala hal aku bermazmur dan ucap syukur – s’bab itu kehendak-Nya. Inilah hidup kita, Tuhan hadir lewat dua jalan umum: jalan kemenangan dan jalan pergumulan. Melalui kedua jalan itulah Tuhan ingin menumbuhkan satu hal yang sama dalam diri kita: ketaatan yang melahirkan syukur, dan syukur yang memelihara ketaatan.

Menariknya, tiga bacaan hari ini menunjukkan kepada kita bagaimana kesetiaan Allah hadir di tengah perjalanan hidup yang tidak selalu mudah — dan bagaimana ingatan akan kasih setia itu menumbuhkan hati yang kuat, rendah hati, dan bersyukur.

 

1. Kesetiaan Allah dan Panggilan untuk Mengingat

Dalam 2 Raja-raja 5:15, kita berjumpa dengan Naaman, seorang panglima yang disegani, namun hatinya rapuh. Ia mengira segala masalah bisa diselesaikan dengan kuasa dan koneksi. Namun, Allah menuntun si elit belajar dari seorang budak perempuan si  alit yang menunjukkannya pada Elisa. Naaman disembuhkan bukan karena statusnya, melainkan karena ketaatannya untuk percaya dan merendahkan diri. Dari sana, ia mengenal Allah dan berkata, “Sekarang aku tahu bahwa di seluruh bumi tidak ada Allah kecuali di Israel.”

Kemudian dalam Lukas 17:11-19, sepuluh orang kusta berseru meminta belas kasihan. Mereka semua sembuh, tetapi hanya satu yang kembali si Samaria orang asing yang dianggap najis dan musuh bangsa Yahudi. Ia kembali bukan karena diharuskan, melainkan karena hatinya diisi oleh rasa syukur yang lahir dari pengenalan akan kasih Allah. Ia bukan hanya sembuh, ia diselamatkan.

Hal senada juga dapat kita temukan saat membaca 2 Timotius 2:8, tulisan Paulus dari penjara untuk mengingatkan Timotius dan kita semua: “Ingatlah akan Yesus Kristus, yang telah dibangkitkan dari antara orang mati.” Dalam penderitaan, Paulus tidak menyerah, karena ia tahu bahwa kuasa Kristus tidak terbelenggu kuasa apapun juga. Ia percaya bahwa bahkan ketika manusia gagal setia, Kristus setia hadir dan memulihkan.

             Ketiga kisah dalam bacaan hari ini mengajarkan hal yang senada, yakni kesembuhan dan kesetiaan tidak pernah lahir dari kekuatan manusia, melainkan dari Allah sendiri. Oleh sebab itu ada panggilan bagi setiap kita yang menyaksikan kesetiaan Allah, panggilan untuk mengingat terus-menerus kasih dan karya Allah.

Sebagaimana Naaman setelah sembuh ia menyadari dan mengingat keberadaan Allah. Si Samaria kembali karena mengingat Siapa yang telah menyembuhkannya. Paulus bertahan karena mengingat Kristus yang bangkit. Begitu juga hendaknya kita mengingat kasih dan karya Allah. Mengingat karya Allah bukan sekadar memutar masa lalu, tetapi meneguhkan pusat hidup kita di masa kini. Dalam keluarga, dalam gereja, dalam persekutuan intergenerasi kita dipanggil untuk saling mengingatkan tentang kasih Tuhan. Seorang anak dapat belajar dari orang tua tentang kesetiaan berdoa, sementara para orang tua dapat belajar dari semangat anak muda tentang pengharapan yang menyegarkan. Dengan mengingat kasih dan karya-Nya, bersama-sama kita belajar bersyukur. Dengan bersyukur, kita belajar tetap taat, bahkan di tengah situasi yang rumit dan mencemaskan.

 

2. Allah Bekerja Melalui yang Lemah dan “Asing”

Allah sering kali menunjukkan kuasa-Nya bukan lewat yang kuat, tetapi melalui yang lemah dan tak diperhitungkan. Naaman - si elitis - justru belajar dari si alit - budak perempuan tanpa nama (asing). Dalam Injil, orang Samaria (yang dianggap hina) justru menjadi teladan iman sejati. Dan Paulus, yang sedang terpenjara, justru menjadi saksi bahwa Injil tidak bisa dibungkam oleh penderitaan. Demikian pula dalam kehidupan bergereja. Allah kerapkali bekerja melalui orang-orang yang dunia pandang sebelah mata. Entah itu anak-anak yang polos, remaja dan pemuda dengan idealismenya, orang tua yang penuh ketekunan, ataupun warga usia lanjut yang penuh kebijaksanaan. Ketika setiap generasi saling membuka diri, saling mendengar, dan saling menghargai, di sanalah Tuhan menyingkapkan kemuliaan-Nya.

Dengan demikian, ketaatan bukan hanya soal mengikuti perintah, tetapi juga soal belajar mendengar suara Tuhan dari siapa pun yang Ia kirimkan. Kadang itu suara lembut dari orang yang kita anggap remeh; kadang itu muncul dari generasi yang berbeda pandangan dengan kita. Namun justru di situlah Tuhan mengajarkan kita untuk taat dengan rendah hati dan hati yang terbuka.

 

3. Buah Kesetiaan bernama Ucapan Syukur dan Perkataan yang Membangun

Baik Naaman maupun si Samaria menunjukkan imannya lewat perkataan. Naaman bersaksi tentang Allah Israel setelah sembuh; si Samaria memuliakan Allah dengan suara nyaring. Paulus pun menasihati Timotius agar menjaga perkataan, menjauhi pertengkaran yang sia-sia, dan berbicara dengan damai.

Hal ini dapat kita refleksikan bahwa perkataan adalah cermin dari hati yang telah diubahkan. Lidah yang dulu mengeluh kini bisa bersyukur. Lidah yang dulu menyalahkan kini bisa membangun. Dalam konteks masa kini, ini berarti menggunakan kata-kata dan jemari dengan bijak baik di rumah, di kantor, di media sosial, dan juga di gereja. Perkataan yang penuh kasih, penghargaan, dan penguatan adalah wujud nyata dari iman yang telah disembuhkan oleh kasih Allah.

Dalam gereja intergenerasional, hal ini menjadi panggilan bersama. Ketika generasi yang lebih tua berbicara dengan kasih kepada yang muda, dan generasi muda menghormati dengan bijak mereka yang lebih tua, di situlah syukur menjadi nyata. Syukur tidak hanya dinyanyikan di ibadah, tetapi terdengar dalam setiap percakapan yang memuliakan Allah.

Maka akhirnya, dalam semangat Bulan Keluarga (/Masa Penghayatan Hidup Berkeluarga) dan kesetiaan lintas generasi dari anak, remaja, dewasa, hingga usia lanjut, marilah kita menjadi umat yang bersyukur dalam ketaatan: umat yang terus mengingat karya Allah, mau belajar dari siapa pun yang Ia pakai, dan menjaga perkataan agar senantiasa memuliakan Dia. 

 

ypp

Tidak ada komentar:

Posting Komentar