2 Raja-raja 5:1–3, 7–15; 2 Timotius 2:8–15; Lukas 17:11–19
Saudari-saudara yang dikasihi dan mengasihi Tuhan, pernahkah
kita merasa bahwa bersyukur itu lebih mudah dilakukan ketika segalanya berjalan
baik—ketika hasil kerja kita mencapai target, anak-anak kita sehat, atau doa
kita dijawab seperti yang kita harapkan?
Tetapi jika keadaan tidak seperti
itu, saat kenyataan yang kita hadapi justru sakit, kehilangan, tekanan hidup,
atau pergumulan panjang yang tak kunjung selesai—masih bisakah kita bersyukur?
Bagi yang sudah melewati keduanya,
mungkin ada keteguhan di hati yang berkata, ya melalui susah pun senang – dalam
segala hal aku bermazmur dan ucap syukur – s’bab itu kehendak-Nya. Inilah hidup
kita, Tuhan hadir lewat dua jalan umum: jalan kemenangan dan jalan pergumulan. Melalui
kedua jalan itulah Tuhan ingin menumbuhkan satu hal yang sama dalam diri kita:
ketaatan yang melahirkan syukur, dan syukur yang memelihara ketaatan.
Menariknya, tiga bacaan hari ini
menunjukkan kepada kita bagaimana kesetiaan Allah hadir di tengah perjalanan
hidup yang tidak selalu mudah — dan bagaimana ingatan akan kasih setia itu
menumbuhkan hati yang kuat, rendah hati, dan bersyukur.
1. Kesetiaan Allah dan Panggilan untuk Mengingat
Dalam 2 Raja-raja 5:15, kita
berjumpa dengan Naaman, seorang panglima yang disegani, namun hatinya rapuh. Ia
mengira segala masalah bisa diselesaikan dengan kuasa dan koneksi. Namun, Allah
menuntun si elit belajar dari seorang budak perempuan si alit yang menunjukkannya pada Elisa. Naaman
disembuhkan bukan karena statusnya, melainkan karena ketaatannya untuk percaya
dan merendahkan diri. Dari sana, ia mengenal Allah dan berkata, “Sekarang aku
tahu bahwa di seluruh bumi tidak ada Allah kecuali di Israel.”
Kemudian dalam Lukas 17:11-19,
sepuluh orang kusta berseru meminta belas kasihan. Mereka semua sembuh, tetapi
hanya satu yang kembali si Samaria orang asing yang dianggap najis dan musuh
bangsa Yahudi. Ia kembali bukan karena diharuskan, melainkan karena hatinya
diisi oleh rasa syukur yang lahir dari pengenalan akan kasih Allah. Ia bukan
hanya sembuh, ia diselamatkan.
Hal senada juga dapat kita temukan
saat membaca 2 Timotius 2:8, tulisan Paulus dari penjara untuk mengingatkan
Timotius dan kita semua: “Ingatlah akan Yesus Kristus, yang telah dibangkitkan
dari antara orang mati.” Dalam penderitaan, Paulus tidak menyerah, karena ia
tahu bahwa kuasa Kristus tidak terbelenggu kuasa apapun juga. Ia percaya bahwa
bahkan ketika manusia gagal setia, Kristus setia hadir dan memulihkan.
Sebagaimana Naaman setelah sembuh
ia menyadari dan mengingat keberadaan Allah. Si Samaria kembali karena
mengingat Siapa yang telah menyembuhkannya. Paulus bertahan karena mengingat
Kristus yang bangkit. Begitu juga hendaknya kita mengingat kasih dan karya
Allah. Mengingat karya Allah bukan sekadar memutar masa lalu, tetapi meneguhkan
pusat hidup kita di masa kini. Dalam keluarga, dalam gereja, dalam persekutuan intergenerasi
kita dipanggil untuk saling mengingatkan tentang kasih Tuhan. Seorang anak
dapat belajar dari orang tua tentang kesetiaan berdoa, sementara para orang tua
dapat belajar dari semangat anak muda tentang pengharapan yang menyegarkan. Dengan
mengingat kasih dan karya-Nya, bersama-sama kita belajar bersyukur. Dengan
bersyukur, kita belajar tetap taat, bahkan di tengah situasi yang rumit dan
mencemaskan.
2. Allah Bekerja Melalui yang Lemah dan “Asing”
Allah sering kali menunjukkan
kuasa-Nya bukan lewat yang kuat, tetapi melalui yang lemah dan tak
diperhitungkan. Naaman - si elitis - justru belajar dari si alit - budak perempuan tanpa
nama (asing). Dalam Injil, orang Samaria (yang dianggap hina) justru menjadi
teladan iman sejati. Dan Paulus, yang sedang terpenjara, justru menjadi saksi
bahwa Injil tidak bisa dibungkam oleh penderitaan. Demikian pula dalam
kehidupan bergereja. Allah kerapkali bekerja melalui orang-orang yang dunia
pandang sebelah mata. Entah itu anak-anak yang polos, remaja dan pemuda dengan
idealismenya, orang tua yang penuh ketekunan, ataupun warga usia lanjut yang
penuh kebijaksanaan. Ketika setiap generasi saling membuka diri, saling
mendengar, dan saling menghargai, di sanalah Tuhan menyingkapkan kemuliaan-Nya.
Dengan demikian, ketaatan bukan
hanya soal mengikuti perintah, tetapi juga soal belajar mendengar suara Tuhan
dari siapa pun yang Ia kirimkan. Kadang itu suara lembut dari orang yang kita
anggap remeh; kadang itu muncul dari generasi yang berbeda pandangan dengan
kita. Namun justru di situlah Tuhan mengajarkan kita untuk taat dengan rendah
hati dan hati yang terbuka.
3. Buah Kesetiaan bernama Ucapan Syukur dan Perkataan yang
Membangun
Baik Naaman maupun si Samaria
menunjukkan imannya lewat perkataan. Naaman bersaksi tentang Allah Israel
setelah sembuh; si Samaria memuliakan Allah dengan suara nyaring. Paulus pun
menasihati Timotius agar menjaga perkataan, menjauhi pertengkaran yang sia-sia,
dan berbicara dengan damai.
Hal ini dapat kita refleksikan
bahwa perkataan adalah cermin dari hati yang telah diubahkan. Lidah yang dulu
mengeluh kini bisa bersyukur. Lidah yang dulu menyalahkan kini bisa membangun.
Dalam konteks masa kini, ini berarti menggunakan kata-kata dan jemari dengan
bijak baik di rumah, di kantor, di media sosial, dan juga di gereja. Perkataan
yang penuh kasih, penghargaan, dan penguatan adalah wujud nyata dari iman yang
telah disembuhkan oleh kasih Allah.
Dalam gereja intergenerasional,
hal ini menjadi panggilan bersama. Ketika generasi yang lebih tua berbicara
dengan kasih kepada yang muda, dan generasi muda menghormati dengan bijak
mereka yang lebih tua, di situlah syukur menjadi nyata. Syukur tidak hanya
dinyanyikan di ibadah, tetapi terdengar dalam setiap percakapan yang memuliakan
Allah.
Maka akhirnya, dalam semangat Bulan
Keluarga (/Masa Penghayatan Hidup Berkeluarga) dan kesetiaan lintas generasi
dari anak, remaja, dewasa, hingga usia lanjut, marilah kita menjadi umat yang
bersyukur dalam ketaatan: umat yang terus mengingat karya Allah, mau belajar
dari siapa pun yang Ia pakai, dan menjaga perkataan agar senantiasa memuliakan
Dia.
ypp
Tidak ada komentar:
Posting Komentar