Jumat, 19 Juli 2019

KERAMAHTAMAHAN SEBAGAI NILAI HIDUP

Minggu Biasa V

Kejadian 18:1-10 | Mazmur 15 | Kolose 1:15-28 | Lukas 10:38-42


Sejak dulu Bangsa Indonesia dikenal dengan keramahtamannya. Orang luar Indonesia juga mengenal orang Indonesia yang suka menyapa orang asing, menanyakan kabar, bahkan menawarkan makanan – yang kita sering sebut basa-basi. Sampai sekarang banyak orang Indonesia selalu membanggakan keramahtamahannya. Namun, belakangan ini budaya ramah tamah Indonesia sudah banyak berubah. Bisa kita lihat di media sosial bertebaran hinaan, makian, umpatan dan kata-kata kebencian yang sama sekali tidak mencerminkan keramahtamahan yang dibangga-banggakan banyak orang Indonesia. Belum lagi di kota-kota besar, kita melihat individualisme dan kecurigaan terhadap orang lain semakin besar.

Saat ini mungkin kita dapat melihat “sisa-sisa” keramahtamahan orang Indonesia di desa-desa yang jauh dari hiruk-pikuk dan individualisme kota besar, daerah-daerah yang kehangatan dan keguyuban masyarakatnya masih kuat. Salah satu contohnya adalah masyarakat Jawa di pedesaan mengenal sebuah kebiasaan menyediakan kendi berisi air minum di depan rumah mereka. Mereka memahami bahwa air merupakan kehidupan, sehingga membagikan air juga bermakna membagikan kehidupan. Dulu, sebelum alat tranportasi seperti sekarang, orang harus menempuh perjalanan dengan berjalan kaki dari desa satu ke desa lain. Air minum dalam kendi ini disediakan bagi siapa saja pejalan kaki yang lewat dan kehausan, bahkan bagi orang asing. Sekarang memang sudah jarang ada yang menyediakan minum dalam kendi, atau sudah bukan pakai kendi melainkan galon, namun jiwa keramahtamahan kepada orang asing ini tetap hidup.


sumber gambar


Masyarakat Yahudi juga memiliki tradisi keramahtamahan yang kuat. Mereka selalu menerima tamu, bahkan orang asing, dengan penyambutan yang baik. Ini terlihat juga dalam bacaan pertama (Kej. 18:1-10) ketika Abraham menyambut tiga orang tamu di Mamre. Saat itu ia sedang mengaso di hari yang panas terik di depan kemahnya dekat pohon tarbantin. Lalu datanglah tiga orang asing, yang tidak ia ketahui adalah utusan-utusan Tuhan yang datang untuk memberitakan kehamilan Sara, istrinya. Dalam kisah itu terlihat keramahtamahan Abraham kepada ketiga utusan Allah itu dengan mengajak mereka untuk mampir, membasuh kaki dan beristirahat di bawah pohon tarbantin itu, lalu menyediakan mereka roti agar mereka dapat melanjutkan perjalanan mereka. Abraham melakukan ini dengan senang hati, padahal saat itu ia tidak mengenal ketiga orang itu. Inilah wujud keramahtamahan kepada tamu, yang bahkan adalah orang asing.

Bacaan Injil (Luk. 10:38-42) pun memperlihatkan bagaiamana keramahtamahan Yahudi itu dipraktikkan oleh Marta dan Maria. Marta menerima Yesus dan murid-murid-Nya di rumahnya dan menjamu mereka sebagai seorang pemilik rumah yang menyambut tamunya dengan keramahtamahan khas Yahudi. Ia menyibukkan diri melayani Yesus dan murid-murid-Nya, sementara Maria, saudarinya, duduk bersama-sama Yesus dan mendengarkan murid-murid-Nya. Sebagai seorang perempuan Yahudi, apa yang dilakukan oleh Maria ini sungguh tidak lazim. Bukan pada tempatnya seorang perempuan duduk bersama para tamu, yang notabene adalah laki-laki. Ini terlihat dari kisah Abraham. Abraham menemani para tamunya makan, sementara Sara mempersiapkan keperluan mereka di belakang kemah. Selain itu, dengan duduk bersama Yesus, Maria juga membiarkan saudarinya, Marta, bekerja sendiri untuk melayani Yesus. Karena itulah Marta mengeluh kepada Yesus tentang saudarinya itu, lalu Yesus menegurnya.

Dengan teguran Yesus kepada Marta, kebanyakan pembaca Alkitab akan menilai Marta secara negatif dan melihat Maria secara positif. Dengan ucapan Yesus kepada Marta, Maria di sini terlihat lebih baik kerena ia mendengarkan Firman, sementara Marta lebih buruk karena ia menyibukkan dirinya melayani Yesus padahal Yesus tidak butuh dilayani. Apalagi dengan perkataan Yesus “… engkau menyusahkan diri dengan banyak perkara …” dan “… Maria telah memilih bagian yang terbaik …” kita akan semakin melihat bahawa Yesus menegur Marta dan membela Maria. Namun, kita juga perlu melihat dari sudut pandang yang lain. Setiap orang punya perannya masing-masing. Dalam hal ini, Marta mengambil peran sebagai pelayan yang menyediakan keperluan Yesus, sedangkan Maria mengambil peran sebagai murid dan sahabat yang duduk menemani Yesus dan mendengarkan perkataan-Nya. Dalam kegiatan-kegiatan di gereja, kita pun melihat pembagian peran ini. Ada yang menjadi panitia, menyelenggarkan acara, bekerja di belakang layar, atau menyiapkan konsumsi. Ada yang datang untuk mendengerkan khotbah atau pembinaan. Tetapi semua yang ada di situ sebenarnya sedang memberikan yang terbaik yang mereka miliki.

Yang menjadi masalah dari Marta adalah dia mengeluh dan iri dengan saudarinya. Yesus menegur Marta karena ia tidak rela jika harus melakukan semua pelayanan itu sendiri, sementara Maria hanya duduk dengan santai. Perkataan Yesus “… engkau kuatir menyusahkan diri dengan banyak perkara …” menrujuk pada Marta yang terlalu memikirkan bagaimana ia susah sendiri sementara saudarinya enak-enakan duduk mendengar pengajaran. Dengan berpikir demikian, Marta sebenarnya sedang menyusahkan dirinya dengan banyak perkara. “… Maria telah memilih bagian yang terbaik… “ bukan berarti bahwa Marta memilih bagian yang buruk. Kedua saudari ini telah memilih bagiannya masing-masing, hanya saja yang menjadi masalah kemudian adalah Marta tidak melakukan bagiannya ini dengan sukacita dan rela hati. Ia bersungut-sungut dan mengeluh karena saudarinya tidak melakukan apa yang ia  lakukan. 

Coba kita bayangkan jika Maria yang mengeluh kepada Yesus, “Tuhan, saudariku itu repot sekali dan tidak mau mendengarkan pengajaran-Mu. Suruhlah ini ke sini untuk mendengarkan pengajaran-Mu.” Kira-kira bagaimana tanggapan Yesus? Keluhan-keluhan ini sama saja dengan panitia acara gereja yang bersungut-sungut, “Jemaat ini kok tidak ada yang bantu melayani, hanya datang untuk duduk, menyanyi dan mendengar khotbah saja.” Atau sebaliknya, peserta acara mengeluh, "Panitia ini kok sibuk di belakang mondar-mandir, bukannya mendengarkan khotbah." Padahal kita semua tahu bahwa masing-masing orang memiliki perannya.

Keluhan dan sungut-sungut Marta tidak menunjukkan keramahtamahan yang sejati. Ia melayani tidak dengan ketulusan dan kerelaan. Karena itulah Yesus menegurnya. Yesus Kristus sendiri adalah teladan keramahtamahan. Ia wujud adalah keramahtamahan Allah kepada ciptaan-Nya, karena melalui Kristuslah Allah menyapa dan merangkul seluruh ciptaan-Nya. Rasul Paulus menyatakan ini dalam Surat Kolose dengan berkata “…di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia” (Kol. 1:16). Sejak penciptaan, Allah menyapa dan merangkul seluruh ciptaan melalui Firman, yakni Kristus. Karena keramahtamaham-Nya pula, Ia menjumpai ciptaan-Nya dalam Kristus yang menjadi manusia. Ia begitu menghargai ciptaann-Nya sehingga ia menjadikan hakikat kemanusiaan sebagai bagian dari diri-Nya. Bahkan keramahtamahan Allah itu dinyatakan secara total, dengan kerelaan dan pengurbanan, “…oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus” (Kol. 1:20).


Sebagai murid-murid Kristus, kita diajak untuk mengikuti teladan Kristus, yang menjadikan keramahtamahan bukan sebagai kebiasaan (basa-basi busuk) atau sebagai keterpaksaaan, melainkan sebagai sebuah nilai hidup, sebagai bagian dari identitas. Kita diajak untuk melayani dan mengambil peran masing-masing dengan sukacita, ketulusan dan kerelaan, sebagaimana Allah menyapa ciptaan-Nya dengan totalitas, bukan dengan keluhan, sungut-sungut, apalagi iri hati terhadap sesama. Sudahkah keramahtamahan Allah menjadi keramahtamahan kita? (ThN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar