Minggu Biasa V
Kejadian 18:1-10 | Mazmur 15 | Kolose 1:15-28 |
Lukas 10:38-42
Sejak dulu Bangsa Indonesia
dikenal dengan keramahtamannya. Orang luar Indonesia juga mengenal orang
Indonesia yang suka menyapa orang asing, menanyakan kabar, bahkan menawarkan
makanan – yang kita sering sebut basa-basi. Sampai sekarang banyak orang Indonesia
selalu membanggakan keramahtamahannya. Namun, belakangan ini budaya ramah tamah
Indonesia sudah banyak berubah. Bisa kita lihat di media sosial bertebaran
hinaan, makian, umpatan dan kata-kata kebencian yang sama sekali tidak
mencerminkan keramahtamahan yang dibangga-banggakan banyak orang Indonesia.
Belum lagi di kota-kota besar, kita melihat individualisme dan kecurigaan
terhadap orang lain semakin besar.
Saat ini mungkin kita dapat
melihat “sisa-sisa” keramahtamahan orang Indonesia di desa-desa yang jauh dari
hiruk-pikuk dan individualisme kota besar, daerah-daerah yang kehangatan dan
keguyuban masyarakatnya masih kuat. Salah satu contohnya adalah masyarakat Jawa
di pedesaan mengenal sebuah kebiasaan menyediakan kendi berisi air minum di
depan rumah mereka. Mereka memahami bahwa air merupakan kehidupan, sehingga
membagikan air juga bermakna membagikan kehidupan. Dulu, sebelum alat
tranportasi seperti sekarang, orang harus menempuh perjalanan dengan berjalan
kaki dari desa satu ke desa lain. Air minum dalam kendi ini disediakan bagi
siapa saja pejalan kaki yang lewat dan kehausan, bahkan bagi orang asing.
Sekarang memang sudah jarang ada yang menyediakan minum dalam kendi, atau sudah
bukan pakai kendi melainkan galon, namun jiwa keramahtamahan kepada orang asing
ini tetap hidup.
![]() |
sumber gambar |
Masyarakat Yahudi juga
memiliki tradisi keramahtamahan yang kuat. Mereka selalu menerima tamu, bahkan
orang asing, dengan penyambutan yang baik. Ini terlihat juga dalam bacaan
pertama (Kej. 18:1-10) ketika Abraham menyambut tiga orang tamu di Mamre. Saat
itu ia sedang mengaso di hari yang panas terik di depan kemahnya dekat pohon
tarbantin. Lalu datanglah tiga orang asing, yang tidak ia ketahui adalah
utusan-utusan Tuhan yang datang untuk memberitakan kehamilan Sara, istrinya.
Dalam kisah itu terlihat keramahtamahan Abraham kepada ketiga utusan Allah itu
dengan mengajak mereka untuk mampir, membasuh kaki dan beristirahat di bawah
pohon tarbantin itu, lalu menyediakan mereka roti agar mereka dapat melanjutkan
perjalanan mereka. Abraham melakukan ini dengan senang hati, padahal saat itu
ia tidak mengenal ketiga orang itu. Inilah wujud keramahtamahan kepada tamu,
yang bahkan adalah orang asing.
Bacaan Injil (Luk. 10:38-42)
pun memperlihatkan bagaiamana keramahtamahan Yahudi itu dipraktikkan oleh Marta
dan Maria. Marta menerima Yesus dan murid-murid-Nya di rumahnya dan menjamu
mereka sebagai seorang pemilik rumah yang menyambut tamunya dengan
keramahtamahan khas Yahudi. Ia menyibukkan diri melayani Yesus dan
murid-murid-Nya, sementara Maria, saudarinya, duduk bersama-sama Yesus dan
mendengarkan murid-murid-Nya. Sebagai seorang perempuan Yahudi, apa yang
dilakukan oleh Maria ini sungguh tidak lazim. Bukan pada tempatnya seorang
perempuan duduk bersama para tamu, yang notabene adalah laki-laki. Ini terlihat
dari kisah Abraham. Abraham menemani para tamunya makan, sementara Sara
mempersiapkan keperluan mereka di belakang kemah. Selain itu, dengan duduk
bersama Yesus, Maria juga membiarkan saudarinya, Marta, bekerja sendiri untuk
melayani Yesus. Karena itulah Marta mengeluh kepada Yesus tentang saudarinya
itu, lalu Yesus menegurnya.
Dengan teguran Yesus kepada
Marta, kebanyakan pembaca Alkitab akan menilai Marta secara negatif dan melihat
Maria secara positif. Dengan ucapan Yesus kepada Marta, Maria di sini terlihat
lebih baik kerena ia mendengarkan Firman, sementara Marta lebih buruk karena ia
menyibukkan dirinya melayani Yesus padahal Yesus tidak butuh dilayani. Apalagi
dengan perkataan Yesus “… engkau menyusahkan diri dengan banyak perkara …” dan
“… Maria telah memilih bagian yang terbaik …” kita akan semakin melihat bahawa
Yesus menegur Marta dan membela Maria. Namun, kita juga perlu melihat dari
sudut pandang yang lain. Setiap orang punya perannya masing-masing. Dalam hal
ini, Marta mengambil peran sebagai pelayan yang menyediakan keperluan Yesus,
sedangkan Maria mengambil peran sebagai murid dan sahabat yang duduk menemani
Yesus dan mendengarkan perkataan-Nya. Dalam kegiatan-kegiatan di gereja, kita
pun melihat pembagian peran ini. Ada yang menjadi panitia, menyelenggarkan
acara, bekerja di belakang layar, atau menyiapkan konsumsi. Ada yang datang
untuk mendengerkan khotbah atau pembinaan. Tetapi semua yang ada di situ
sebenarnya sedang memberikan yang terbaik yang mereka miliki.
Yang menjadi masalah dari
Marta adalah dia mengeluh dan iri dengan saudarinya. Yesus menegur Marta karena
ia tidak rela jika harus melakukan semua pelayanan itu sendiri, sementara Maria
hanya duduk dengan santai. Perkataan Yesus “… engkau kuatir menyusahkan diri
dengan banyak perkara …” menrujuk pada Marta yang terlalu memikirkan bagaimana
ia susah sendiri sementara saudarinya enak-enakan duduk mendengar pengajaran.
Dengan berpikir demikian, Marta sebenarnya sedang menyusahkan dirinya dengan
banyak perkara. “… Maria telah memilih bagian yang terbaik… “ bukan berarti
bahwa Marta memilih bagian yang buruk. Kedua saudari ini telah memilih
bagiannya masing-masing, hanya saja yang menjadi masalah kemudian adalah Marta
tidak melakukan bagiannya ini dengan sukacita dan rela hati. Ia
bersungut-sungut dan mengeluh karena saudarinya tidak melakukan apa yang ia lakukan.
Coba kita bayangkan jika
Maria yang mengeluh kepada Yesus, “Tuhan, saudariku itu repot sekali dan tidak
mau mendengarkan pengajaran-Mu. Suruhlah ini ke sini untuk mendengarkan
pengajaran-Mu.” Kira-kira bagaimana tanggapan Yesus? Keluhan-keluhan ini sama
saja dengan panitia acara gereja yang bersungut-sungut, “Jemaat ini kok tidak
ada yang bantu melayani, hanya datang untuk duduk, menyanyi dan mendengar khotbah
saja.” Atau sebaliknya, peserta acara mengeluh, "Panitia ini kok sibuk di
belakang mondar-mandir, bukannya mendengarkan khotbah." Padahal kita semua
tahu bahwa masing-masing orang memiliki perannya.
Keluhan dan sungut-sungut
Marta tidak menunjukkan keramahtamahan yang sejati. Ia melayani tidak dengan
ketulusan dan kerelaan. Karena itulah Yesus menegurnya. Yesus Kristus sendiri
adalah teladan keramahtamahan. Ia wujud adalah keramahtamahan Allah kepada
ciptaan-Nya, karena melalui Kristuslah Allah menyapa dan merangkul seluruh
ciptaan-Nya. Rasul Paulus menyatakan ini dalam Surat Kolose dengan berkata “…di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang
ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun
kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia
dan untuk Dia” (Kol.
1:16). Sejak penciptaan, Allah menyapa dan merangkul seluruh ciptaan melalui
Firman, yakni Kristus. Karena keramahtamaham-Nya pula, Ia menjumpai ciptaan-Nya
dalam Kristus yang menjadi manusia. Ia begitu menghargai ciptaann-Nya sehingga
ia menjadikan hakikat kemanusiaan sebagai bagian dari
diri-Nya. Bahkan
keramahtamahan Allah itu dinyatakan secara total, dengan kerelaan dan
pengurbanan, “…oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu
dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia
mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus” (Kol. 1:20).
Sebagai murid-murid Kristus,
kita diajak untuk mengikuti teladan Kristus, yang menjadikan keramahtamahan
bukan sebagai kebiasaan (basa-basi busuk) atau sebagai keterpaksaaan, melainkan
sebagai sebuah nilai hidup, sebagai bagian dari identitas. Kita diajak untuk
melayani dan mengambil peran masing-masing dengan sukacita, ketulusan dan
kerelaan, sebagaimana Allah menyapa ciptaan-Nya dengan totalitas, bukan dengan
keluhan, sungut-sungut, apalagi iri hati terhadap sesama. Sudahkah
keramahtamahan Allah menjadi keramahtamahan kita? (ThN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar