Sabtu, 03 Juli 2021

SIAP UNTUK DITOLAK

Minggu Biasa XIV

Yehezkiel 2:1-5 | Mazmur 123 | 2 Korintus 12:2-10 | Markus 6:1-13


Minggu ini, kita diajak untuk menggumuli tentang penolakan terhadap diri Yesus, yang tercatat dalam kesaksian Injil Markus 6:1-13. Yesus dalam perjalanan-Nya, sampai ke Nazaret, yakni kampung halaman-Nya sendiri. Tentu, hal ini menjadi menarik untuk direnungkan bersama.

Ada sebuah lompatan ekstrem dari sikap orang-orang yang mendengar khotbah Yesus. Pertama, mereka merasa takjub (ay. 2), namun dengan segera mereka menolak-Nya (ay.3). Yesus seakan-akan sangat memaklumi respons mereka. Yesus katakan di ayat 4, “Seorang nabi dihormati di mana-mana kecuali di tempat asalnya sendiri, di antara kaum keluarganya dan di rumahnya.”.Namun, tetap saja, penolakan ini picik sekali. Satu, Yesus ditolak karena Ia adalah tukang kayu (ay. 3). Penyebutan Yesus sebagai kayu tentu ingin mempertanyakan keabsahan kerabian Yesus untuk mengajar. Mungkin Yesus belum ‘ditahbiskan’ secara resmi dan melalui ‘bina kader’ atau ‘percakapan gerejawi’, heuheu. Dua, Yesus ditolak dengan menyebut-Nya sebagai ‘anak Maria’ (ay. 3). Penyebutan seseorang pada zaman Yesus dan pra-Yesus, lazimnya menggunakan patron keturunan dari Ayah. Misal, Yakub anak Ishak, Ishak anak Abraham. Penyebutan Yesus sebagai ‘anak Maria’ merupakan cara memandang Yesus dengan sebelah mata. Tepatnya, mereka meremehkan segala latar belakang Yesus.

Kita tahu, bahwa penolakan semacam ini tak jarang kita temui. Seseorang yang ketika dewasa menjadi sosok yang baik, sukses, tentu akan disangkutpautkan dengan masa kecilnya atau latar belakang keluarganya. “masakan ia sekarang baik, padahal dulu ia nakalnya minta ampun.” Atau bisa juga begini, “anak seorang penipu, tentu akan tumbuh menjadi seorang penipu.” Miris. Namun seringkali kita temui. Labelling yang jahat ada dalam tradisi gibah atau hobi me-review orang berdasarkan latar belakang yang tidak bijak.

Kali ini, kita diajak menggumuli sebuah tema, yakni, "Siap Untuk Ditolak". Sebuah ajakan untuk mempersiapkan diri kita, sebagai pribadi, keluarga, atau gereja, jika kita menemui penolakan-penolakan. Untuk itulah, Yesus tidak meladeni apa kata mereka tentang diri-Nya, namun Ia tetap setia mengabarkan kabar baik itu. Lalu, apa hanya itu?

Setelah itu, Yesus mengutus kedua belas murid-Nya untuk pergi ke tempat-tempat lain, yakni untuk mengabarkan kabar sukacita. Ada pesan yang Yesus tandaskan pada pemikiran dan hati mereka; "Kalau di suatu tempat kamu sudah diterima dalam suatu rumah, tinggallah di situ sampai kamu berangkat dari tempat itu. Dan kalau ada suatu tempat yang tidak mau menerima kamu dan kalau mereka tidak mau mendengarkan kamu, keluarlah dari situ dan kebaskanlah debu yang di kakimu sebagai peringatan bagi mereka." Melalui pesan Yesus ini, saya mengusulkan dua hal untuk modal kita menghadapi penolakan kala kita menyampaikan sebuah kebenaran.

Pertama, jangan memaksakan sesuatu. Yesus katakan, jika kita ditolak, pergilan dari tempat itu. Kita tidak diajak untuk terus memaksakan kebenaran yang kita usung. Kita justru diajak untuk pergi. Pergi di sini bukan berarti kita melarikan diri, namun lebih kepada menarik diri. Kita mengenal sebuah kegiatan gereja: retret. Dalam KBBI, retret berarti khalwat dengan memisahkan diri dari dunia ramai untuk mencari ketenangan batin. Tujuan pergi dari tempat (bisa juga dibaca orang, situasi, organisasi) adalah untuk melihat ke dalam batin kita. Tepatnya, kita melakukan introspeksi diri. Kita diajak melihat cara, metode, sikap, dan hal-hal lain ketika kita menyampaikan nasihat atau sebuah kebenaran.

Sesuatu yang baik, disampaikan dengan cara tidak baik, tentu tidak akan diterima dengan baik. Misalkan, menyampaikan dengan aroma kebencian, dengan amarah, dengan keegoisan, nada tinggi, gestur yang meremehkan. Yesus pernah mengatakan dalam Matius 18:15 "Apabila saudaramu berbuat dosa , tegorlah  dia di bawah empat mata.” Menegor empat mata adalah dengan kasih dan kelembutan. Sebaliknya, sesuatu yang baik, disampaikan dengan baik, belum tentu diterima dengan baik. Mungkin kita pernah melakukan hal ini. Mencoba dengan begitu lembut, menata kata, menata hati, menyampaikan dengan kasih sayang, tapi gak direken blas! Ya sudah, tetap, jangan memaksakan. Kita tahu, segala sesuatu yang dipaksakan hasilnya kerap nihil. Lalu, ap akita mundur begitu saja? No. Ada yang harus dilakukan.

Poin kedua yakni lanjutan dari imbauan pertama untuk pergi adalah mengebaskan debu yang menempel’ “…keluarlah dari situ dan kebaskanlah debu yang di kakimu sebagai peringatan bagi mereka.” Apa makna mengebaskan debu? Yesaya 52:1-2, Terjagalah, terjagalah! Kenakanlah kekuatanmu seperti pakaian, hai Sion! Kenakanlah pakaian kehormatanmu, hai Yerusalem, kota yang kudus! Sebab tidak seorangpun yang tak bersunat atau yang najis akan masuk lagi ke dalammu. Kebaskanlah debu dari padamu, bangunlah, hai Yerusalem yang tertawan! Tanggalkanlah ikatan-ikatan dari lehermu, hai puteri Sion yang tertawan! Mengebaskan debu berarti tanda bahwa masih banyak ‘hal kotor’ yang menempel dan perlu dibersihkan. Berarti, Yesus menyuruh murid-murid-Nya untuk memberi  tahu kepada orang-orang yang menolak mereka bahwa banyak debu dalam diri mereka, dan itu perlu dibersihkan. Sekali lagi, cara kita memberi tahu harus dengan lembut dan bijak. Misalkan saja, “mari kita tetap berdoa agar Tuhan mengaruniakan kerendahan kepada kita untuk terus mengupayakan perbaikan diri.”. Intinya, kita diajak untuk mendoakan orang yang sedang kita perhatikan.

Kedua hal itu mengingatkan kita untuk menjadi penyuara kebenaran yang baik. Tidak memaksakan, tetap rendah hati, namun tetap setia mendoakan. Jelas, itulah yang diteladankan dan dikehendaki oleh Tuhan Yesus. Namun, ada satu hal yang perlu kita waspadai dalam merenungkan tema kita; Siap Untuk Ditolak.

Setiap kita tentu tak mau ditolak, meski mungkin sesekali pernah mengalaminya. Kita harus bisa membedakan, mana penolakan yang memang terjadi sebagai jalan kita menyuarakan kebenaran atau terjadi karena kesalahan-kesalahan kita sendiri. Jangan sampai kita berkata bahwa “aku ditolak, aku tetap maju. Ini adalah jalan Tuhan”, padahal jelas-jelas kita menyakiti orang dengan sikap dan lisan kita. Di sinilah kita perlu hikmat Allah untuk menuntun dan memberi kita kecermatan untuk membedakan keduanya. Seperti kasus sebuah gereja yang sudah berbelas-belas tahun lamanya. Ah, entahlah. Kyrie Eleison.

ftp

Tidak ada komentar:

Posting Komentar