Jumat, 02 September 2022

MURID KRISTUS YANG BERKOMITMEN

Minggu Biasa

4 September 2022 

Lukas 14:25-33


Pada saat itu, Yesus sedang melanjutkan perjalanan-Nya ke Yerusalem. Sebuah tempat suci dimana Dia akan menyelesaikan misi-Nya, yakni salib. Tentu kita tahu, perjalanan ini adalah perjalanan yang sungguh serius, dimana siapapun yang berjalan ke sana haruslah memiliki kebulatan tekat. Untuk itulah, Yesus mengingatkan orang-orang yang sedang berjalan mengikuti-Nya.

Secara mengejutkan, Yesus melontarkan kata-kata yang tentunya membuat orang-orang yang sedang berjalan mengikut-Nya kaget bukan kepalang. Bagaimana tidak, Yesus berkata bahwa syarat menjadi murid-Nya adalah membenci anggota keluarga. Apakah Yesus sedang nge-prank atau mengeluarkan jokes-jokes agar perjalanan mereka tidak hambar? Tidak! Yesus serius dengan hal ini! Ketika kita membacanya, tentu kita juga akan bertanya-tanya. Tema ‘keluarga’ sangat kental mengalir dalam Alkitab yang menjadi tuntunan kehidupan kita. Sejak zaman Perjanjian Lama, narasi-narasi keluarga sangat kental diceritakan. Bahkan, Allah berjanji dalam ikatan keluarga umat-Nya. Rasul-rasul juga tak jarang mengangkat isu keluarga sebagai bahan pastoral yang sangat vital. Yesus juga, Ia sering bertutur tentang keluarga. Namun, mengapa Ia sangat berbeda kali ini? Nampaknya, kita harus menelisik lebih dalam, apa maksud Yesus dengan membenci keluarga.

Kata ‘membenci’ yang dipakai Yesus saat itu, berasal dari kata μισεῖ (misei) yang berarti mencintai lebih sedikit. Sehingga, Lukas 14:26 bisa kita baca; Jikalau seseorang tidak sedikit lebih mencintai keluarga-Nya ketimbang aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku”, atau “jika seseorang lebih mencintai keluarganya ketimbang Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku”. Jelas, Yesus tidak bermaksud mengajak mereka untuk membenci anggota keluarganya. Ada dua alasan yang bisa menjelaskan maksud Yesus.

Pertama, setiap kita tentu mengharapkan antar anggota keluarga saling mencintai. Pertanyaannya, darimana kita belajar tentang cinta? Bukankah kita tahu, bahwa Allah sendiri adalah kasih itu (1 Yoh 4:7). Yesus adalah bukti dari kasih Allah yang purna ketika Ia memberikan cinta-Nya kepada manusia. Sehingga, ketika seseorang mau mengikut Yesus dan menjadi murid-Nya yang benar, ia justru akan mencintai keluarganya dengan sebaik-baiknya. Ketika kita mengingat hukum kasih, kita diajak terlebih dahulu mencintai Allah, baru setelah itu mengasihi sesama seperti diri sendiri. Urutan itu tentu bukan tanpa alasan. Ketika seseorang terus mengutamakan mencintai Allah, ia akan hidup dalam cinta itu, dan secara otomatis ia mampu mencintai dengan baik keluarganya.

Kedua, banyak orang yang memberi nama anaknya Nugroho, Anugrah, Kharis, Gifty, Gracia dan nama-nama lainnya, yang kalau kita telisik, artinya sama; pemberian. Ya, anggota keluarga kita adalah pemberian atau anugrah dari Allah. Desmond Tutu pernah berkata, “Kamu tidak bisa memilih keluargamu. Mereka adalah pemberian Tuhan padamu, demikian kamu untuk mereka”. Keluarga adalah pemberian Allah bagi kita. Bahkan dilagukan, ‘harta yang paling berharga adalah keluarga’. Apa maknanya: Begini, apakah anda mempunyai barang pemberian yang diberikan oleh orang yang sangat anda cintai? Bagaimana anda memperlakukan barang itu? Tentu kita semua akan menjaganya dengan sebaik mungkin. Merawatnya, tersenyum bila mengenangnya, dan rasa bahagia lain yang mengiringinya. Saya pernah diberi kado, jam tangan, oleh pacar saya. Kira-kira itu diberikan di tahun 2011. Sampai sekarang, ada rasa bahagia bila memakai jam tangan itu. Masih bagus? Jelas! Saya merawatnya sepenuh hati. Namun, bukankah kita tetap akan lebih mencintai si pemberi, ketimbang kado itu sendiri? Itulah maksud Yesus. Ia ingin agar kita tetap melihat-Nya sebagai Sang Pemberi, dan keluarga kita yang adalah pemberian-Nya, akan kita rawat sebaik-baiknya.

Saudaraku, di sini kita melihat, tidak sekalipun Yesus ingin agar kita membenci keluarga. Namun, Ia ingin agar kita menjadi murid yang berkomitmen, belajar cinta dari-Nya, agar kita bisa mencintai keluarga kita dengan baik. Selain itu, kita menjadi murid yang berkomitmen menjaga dan merawat keluarga kita, karena itu adalah pemberian dari-Nya, Tuhan Sang Pemberi.

Ketika kita mendengar kata ‘murid’, era modern akan mengajak kita membayangkan situasi formal belajar-mengajar. Kata ‘murid’ akan sangat bernuansa akademis. Namun, apakah demikian? Sebuah tradisi Jawa Kuno, sebelum peradaban dan budaya-budaya masuk ke tanah Jawa, ada sebuah metode pembelajaran yang digunakan secara turun-temurun. Metode itu adalah nyantrik, atau menjadi seorang cantrik. Cantrik adalah seseorang yang secara sadar dan sengaja, meguru (berguru) kepada seorang pandita, guru, atau kyai (kyai bukan jabatan kegamaan, namun gelar bagi orang yang dianggap bijak), yang di dalamnya terkandung beberapa dimensi; belajar, mengabdi, dan melayani. Seorang cantrik akan siap melakukan apa saja demi mendapatkan kawruh (ilmu) dari sang guru. Dalam menjalankan proses pembelajarannya, seorang cantrik akan melihat, mendengar, dan menirukan sang guru. Ia akan melihat bagaimana gurunya bersikap. Ia akan menyimak bagaimana gurunya bertutur kata. Juga, ia akan siap meneladan segala kebaikan sang guru.

Saudaraku, kita semua diajak untuk nyantrik kepada Sang Guru kita, yakni Tuhan Yesus. Tidak hanya ngalor-ngidul berjalan mengikuti-Nya, namun ada nilai kehidupan yang siap kita serap dan kita aplikasikan dalam hidup sehari-hari. Lukas 14:25 menceritakan bahwa banyak orang yang berduyun-duyun mengikuti-Nya. Alkitab terjemahan KJV menuliskan dengan tegas, ‘and there went great multitudes with him’, yang berarti banyak sekali orang yang mengikuti Dia. Sebuah pertanyaan; Mengapa orang banyak mengikuti Dia? Tentu, kita bisa segera menjawab bahwa Yesus adalah sosok populer pada masa itu. Tapi, justru kepopuleran itulah yang membuat Yesus harus mengingatkan mereka tentang konsekuensi untuk mengikut-Nya. Ada beberapa kemungkinan dan alasan mengapa orang mengikuti Yesus: melihat aksi spektakuler yang dilakukan Yesus; mematahkan argumen orang Farisi dan Ahli Taurat; bahkan mengharapkan pemberontakan terhadap Romawi.

Saudaraku, banyak alasan untuk mengikut Yesus. Termasuk setiap kita. Sebagaimana orang-orang yang saat itu mengikut Yesus, apakah alasan kita? Jika kita memiliki alasan terselubung, kita akan memiliki kecenderungan menjadi kendur bila keinginan kita sudah terwujud. Apakah menginginkan sesuatu dari Yesus itu salah? Tidak! Namun, menjadi murid Kristus bukanlah tentang keinginan kita, namun komitmen kita. Imajinasikan, perjalanan kita ke depan adalah menuju ‘Yerusalem’, yang sudah sangat jelas memiliki resiko dan derita. Apakah kita akan setia mengikut-Nya, meskipun kerikil melukai kaki kita dalam perjalanan, atau angin menghempas tubuh kita dan membuat kita goyah?

Kesetiaan dan komitmen mengikut Yesus bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Karena bisa dipastikan, perjalanan kita akan sangat dinamis. Di satu masa, kita akan memiliki iman yang menggebu, namun di masa lain, kita bisa kendur dan serasa jauh dari Tuhan. Tak apa. Itu lumrah. 12 murid Yesus memiliki dinamika masing-masing, demikian pula kita. Ujian dalam tiap peristiwa justru akan mendewasakan kesetiaan kita.

Saya pernah menjumpai seorang Biarawati bernama Suster Margaret di biara Santa Clara yang terletak di kawasan Cipanas. Biarawati di sana tidak diperkenankan keluar biara kecuali memperbarui KTP (saat itu belum e-KTP) dan menjenguk orangtua yang sakit. Intinya, sangat susah untuk meninggalkan biara meski hanya keluar gerbang. Bayangkan! Saat saya bertanya kepadanya, “Suster, sudah berapa lama di tempat ini?” Beliau menjawab, “saya baru 45 tahun di sini” (kira-kira percakapan itu ada di tahun 2016). Ada kata ‘baru’ pada jawabannya. Menyiratkan kerendahan hati, dimana ia mengabdikan diri kepada Allah, untuk terus berdoa sepanjang hidupnya. Saya yang sudah menyediakan tiga pertanyaan lain, menjadi enggan untuk bertanya. Saya hanya bisa tertegun, jatuh dalam kekaguman. Saya melihat sinar matanya yang lembut dan sederhana, dan saya meyakini tidak akan pernah melupakan peristiwa itu.

Saudaraku sekalian, entah sampai kapan kita memiliki nafas untuk dihembuskan. Tapi, kiranya pertanyaan tentang kesetiaan kita haruslah kita jadikan refleksi hidup kita sebagai murid Kristus. PKJ 154 berjudul "Setiakah Diriku pada-Mu" sebuah tembang sederhana. Jika ada waktu, bukalah kidung itu, gumamkan perlahan. Resapi tiap katanya. Tak perlu buru-buru menjawab ketika ada pertanyaan. Nikmatilah, seperti Yesus yang setia berjalan menuju Yerusalem. Selamat bertanya. Selamat bergumul. (ftp)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar